Hilangnya Peran Lelaki dalam Bisnis Seks Perempuan

Apa yang Anda tangkap saat menonton berita mengenai penangkapan atau penggerebekan tempat-tempat mesum, atau pelacuran, di televisi? Deretan perempuan pekerja seks yang berjalan beriringan sambil melindungi wajah mereka dari kamera televisi, digiring oleh para "petugas moral" menuju mobil atau truk yang akan mengangkut mereka ke tahanan. Saat naik ke atas mobil, tak jarang mereka masih menerima pelecehan dalam bentuk tepukan di bokong dari para petugas. Di kantor polisi, kamerawan televisi berusaha mencuri-curi wajah mereka, agar bisa menampilkan sosok si "penjahat moral" dengan jelas. Tujuannya: untuk mempermalukan.

Yang menjadi pertanyaan kemudian: kemana para lelaki yang memanfaatkan jasa mereka? Apakah mereka juga ditangkap dengan tuduhan melakukan tindakan asusila, dan dipenjarakan bersama para perempuan tersebut?

Jelaslah bahwa dalam bisnis layanan seks perempuan yang makin merajalela sekarang ini, aspek lelaki sebagai pembeli bisa dikatakan tidak pernah dipermasalahkan. Yang selalu disalahkan adalah pihak perempuan yang terjebak dalam bisnis tersebut, dan sebenarnya menjadi korban. Kebiasaan para pria untuk membeli layanan seks perempuan merupakan masalah besar, karena artinya melestarikan berbagai bentuk penindasan terhadap kaum perempuan.

Inilah yang ingin dikemukakan oleh Nori Andriyani dalam bukunya, Jakarta Uncovered: Membongkar Kemaksiatan, Membangun Kesadaran Baru. Ada beberapa pokok pikiran yang ingin disampaikannya di sini.

"Pertama, bahwa ini adalah kasus yang menggugah, dan suatu hari bisa saja terjadi pada Anda. Saat melihat berita-berita mengenai perdagangan perempuan di suratkabar atau televisi, kita merasa prihatin, kasihan, tetapi tidak melakukan tindakan apapun karena merasa, 'Ini bukan masalah saya!'," papar Nori, saat diskusi mengenai bukunya, yang berlangsung di kantor The Women Research Institute, Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (2/12/2010) lalu.

Kedua, bahwa permintaan kaum lelaki (demand, mengutip teori ekonomi) terhadap layanan seks perempuan telah menghidupkan bisnis seks ini sehingga berkembang sangat pesat. Layanan ini bisa didapatkan dengan mudah dimana-mana, sehingga Nori menyebut bahwa bisnis layanan seks ini sebenarnya tidak terselubung-terselubung amat. Dari pengamatannya, bisnis seks tidak hanya terjadi di kawasan Kota, tetapi juga di gedung-gedung perkantoran terkemuka di pusat kota Jakarta. "Sex business is right there, on your doorstep," begitu Nori mengistilahkan.

Ketiga, menghilangnya faktor lelaki dari wacana. Anda tidak akan tahu apakah suami, rekan kerja, saudara, atau adik Anda, ternyata juga memanfaatkan layanan seks perempuan ini. Sebab, dari luar mereka menampilkan sosok pria baik-baik yang cinta keluarga. Padahal, kalau kaum lelaki ini diberi pemahaman mengenai akibat dari kebiasaan mereka (yang cenderung merugikan perempuan), kita bisa memotong demand terhadap layanan seks perempuan. Berdasarkan asas ekonomi, berkurangnya demand tentu akan mengurangi supply. Dorongan untuk merekrut perempuan muda dalam perdagangan seks pun akan terpotong.

Melalui studi kasus ini, Nori menghendaki adanya wake up call bagi pembaca. Bahwa, dengan membeli layanan seks ini artinya kaum lelaki mendukung trafficking, yang merupakan kekerasan terhadap perempuan. Dan, jangan lagi memandang masalah ini sebagai masalah orang lain. Dengan menganggap bahwa hal ini merupakan masalah bersama, Anda juga bisa berperan dalam menghentikan praktik perdagangan perempuan. (DIN)

-

Arsip Blog

Recent Posts