Kelenteng Dharma Jaya, Situs Sejarah yang Terlupakan

Jangankan menyebut namanya, bangunan gedungnya saja tidak terlihat. Padahal, usia Kelenteng Dharma Jaya ini cukup tua karena dibangun pada tahun 1689.

Untuk menuju lokasinya, pengunjung atau penziarah juga harus melewati pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di lorong sempit. Belum lagi sampah dan barang-barang milik kaki lima yang berserakan di sekitarnya menambah pesona kelenteng kebanggaan warga pecinan Passer Baroe makin meredup.

Bila berjalan kaki dari kawasan jalan Samanhudi, menelusuri Gang Kelinci, Pasar Baru, Jakarta Pusat, lokasi kelenteng ini nyaris tak ditemukan karena terhimpit bangunan gedung bertingkat.

Belum lagi, kegiatan mencuci piring, sendok, gelas hingga pakaian dilakukan warga setempat dengan air kotor yang mengalir di gang yang luasnya hanya sekitar 1,5 meter.

Tidak hanya itu, aroma kurang sedap dari sisa-sisa makanan, sayur-sayuran, dan ikan menyengat hidung pengunjung atau penziarah yang hendak berdoa di sana.

Bila malam tiba, di sekitar kelenteng banyak tuna wisma duduk-duduk, dan tidur pulas di emperan bangunan itu dan di pelataran rumah warga hanya beralaskan koran atau karton.

"Ini semua karena dibangunnya Plaza Metro Atom tahun 1980-an lalu," kata pengelola kelenteng Dharma Jaya, Santoso Wutoyo membuka cerita mengenai kondisi kelenteng yang nyaris terlupakan itu.

Padahal, cagar budaya ini masih menyimpan patung yang berusia ratusan tahun, seperti Dewa Rejeki (Hok-teng Ceng-sin), Dewa Macan Putih (Pai-hu Chiang-kun), Dewi Segalanya (Ma Kwan-Im), Dewa Kejujuran (Kwan Kong), Dewa Uang (Han-Tan Kong), Dewa Penolak Ilmu Hitam (Hian-thian Siang-tee), dan Dewa Air (Ema Ma-cou-po).

Selain itu di gedung bersejarah itu tersimpan enam buah tandu (joli), lentera, lampion (ten lung), bendera pusaka yang dibuat tahun 1768 juga ada tempat dupa (hiolo) kuno dan papan nama Sin Tek Bio (1753).

Barang-barang tersebut biasanya diarak saat acara Gotong Toapekong (tradisi warga Tionghoa mengarak dewa-dewi utama mengitari kelenteng setiap tanggal 15 setelah Imlek).

Acara Gotong Toapekong terakhir dilakukan tahun 2004 dan dihadiri Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meuthia Hatta.

Kepala Seksi Sejarah dan Permuseuman Dinas Pariwisata Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta Norviadi Husodo mengatakan, sejumlah bangunan bersejarah di Pasar Baru merupakan cagar budaya. "Sayangnya belum masuk program penataan Pemerintah DKI Jaya karena sebenarnya strategis mendukung pengembangan pariwisata," katanya.

Sedikitnya 20-25 wisatawan dari Amerika Serikat (AS), Australia, Belanda, Bangkok, Thailand, Taiwan, dan China setiap bulan mengunjungi kelenteng tersebut.

Kelenteng ini juga menjadi sasaran kunjungan para ilmuwan dan mahasiswa yang ingin menghimpun data sejarahnya. "Seringlah dari Jakarta, Surabaya, Bandung, Makassar, dan Manado ke sini," ujar Santoso.

Sejarah kelenteng
Dari catatan sejarah, pada awalnya bangunan kelenteng ini terletak di pedalaman, sekitar 5 km di luar kota Batavia yang waktu itu hanya meliputi Sunda Kelapa, pasar ikan hingga Stasiun Kota.

Bangunan itu didirikan seiring dihuninya daerah Pasar Baru pada pertengahan abad ke-17, menyusul dibukanya persawahan dan perkebunan kopi di sekitar lapangan Banteng.

Semakin berkembangnya kawasan itu, "orang-orang kaya" mendirikan rumah peristirahatan di sekitar waterloopin sekarang Lapangan Banteng. Dulu lapangan Banteng adalah tempat menggembalakan ternak karena padatnya Kota Batavia.

Bangunan-bangunan megah mulai didirikan pertengahan abad ke-18 seperti istana Weltevreden (sekarang rumah sakit pusat TNI-AD), het Groote Huis/het Witte Huis-rumah besar/gedung putih (sekarang gedung Departemen Keuangan), dan Stadtsschouwburg (gedung kesenian).

Kelenteng ini kemungkinan dibangun oleh petani-petani Tionghoa yang tinggal di tepi sungai Ciliwung. Saat itu, orang Tionghoa tidak diperbolehkan tinggal di dalam Kota Batavia.

Sungai Ciliwung merupakan jalur utama transportasi perdagangan untuk mengangkut hasil bumi dan hutan ke Kota batavia dan Glodok, apalagi, sepanjang tepian sungai Ciliwung terdapat sejumlah pabrik gula dan orang Tionghoa menjadi buruh di sana.

Sudah menjadi kebiasaan sekiranya orang perantau tinggal, maka pastinya membawa kebudayaan, adat istiadat, agama, bahasa, dan pola hidup.

Demikian pula orang Tionghoa yang tinggal di pinggiran sungai Ciliwung, pada masa itu membangun kelenteng untuk menjalankan ibadah.

Kelenteng tersebut awalnya bernama Het Kong Sie Huis Tek, berubah menjadi Sin Tek Bio tahun 1820, selanjutnya sejak tahun 1982 dinamakan Dharma Jaya.

Semula bangunannya terletak di Jl Belakang Kongsi no 16, kini dipakai Mie Aboen. Kemudian, pada tahun 1812 bangunan dipindahkan menghadap ke Jl Samanhudi yang dulunya disebut gang Tepekong, sekarang sebagai jalan Pasar Baru Dalam Pasar no 146 Jakarta Pusat.

Bangunan cagar budaya dengan situs-situs bernilai sejarah tersebut kini menunggu perhatian pemerintah agar tidak terancam tergusur dan terlupakan.

-

Arsip Blog

Recent Posts