N g i d a m

Cerpen Emil W.E

“Kupikir kau seharusnya sepakat, Kawan. Logika, menurutku bukanlah tolok ukur kepastian. Bagiku logika hanya salah satu dari sekian banyak metode yang digunakan untuk menimbang permasalahan manusia. Untuk hal yang sudah jelas juntrungannya, logika mungkin terasa pas sebagai senjata analisis. Tapi untuk menganalisis sesuatu yang bernama perasaan? Jangan harap. Logika dan fakta di lapangan punya identitas masing-masing untuk membuktikan mana yang menang dan mana yang kalah, atau bahkan, terkadang keduanya malah tak menemukan titik simpulnya. Ah, untuk awal perbincangan kita, tak usahlah kau pedulikan cerocosku, Kawan. Itu cuma sekedar basa-basi, cuma sekedar pengantar makan angin.

Kau tahu, Kawan. Istriku sedang hamil tiga bulan. Kehamilannya adalah kali yang pertama.

Kenapa? Bahagia ?!!

Oh ya, tentu saja kehamilan ini sangat membahagian kami, terlebih istriku. Kamu yang belum menikah harus tahu, kawan. Bagi seorang perempuan, mengetahui kehamilannya sama saja memperoleh kartupos dari surga. Begitu menggembirakan, tentu sebagai perempuan ia merasa tergenapi fungsinya.

Kuingat saat pertama kali dokter Markun menyatakan bahwa istriku positif hamil. Ya, dokter Markun adalah dokter keluarga kami. Sosoknya tinggi jangkung, bergigi rapi, berkaca mata tebal, bermata cekung seperti siput sawah. Aku ingat betul saat dokter itu memberikan ucapan selamat dengan senyum teramat lebar. Ya, sangat-sangat lebar hingga lesung pipitnya tertakik jelas.

“Selamat, Bu. Selamat,”

Cuma itu kata-kata dokter Markun sambil cengar-cengir seperti monyet kelaparan menjumpai pisang. Setelah itu kau pasti tahu, Kawan. Istriku terpancing benak kewanitaannya. Energi penasaran mengalir spontan, ia pun menyambut kalimat dokter Markun dengan tatapan teduh berbinar.

“Apa itu berarti saya positif hamil, Dok ?” Tatapan istriku saat itu tak beranjak menunggu kalimat dokter Markun

“Ya, Ibu positif hamil,” “Alhamdulillah, ya Allah .. Mas, aku akan jadi Ibu, Mas. Aku sebentar lagi jadi Ibu,”

Dipeluknya aku. Diciumnya aku. Erat sekali tangannya mendekap hingga nafasku sedikit sesak. Tak dipedulikannya dokter Markun yang tersenyum kian lebar di depan kami. Tak dipedulikannya suster magang yang membantu dokter Markun di ruang prakteknya.

Hahaha .. Kau mesti tahu, Kawan. Seperti itulah tingkah perempuan yang mendapat kabar surga. Kebahagiaannya membumbung. Telapak kakinya tak memijak bumi. Ia terbang mengangkasa dengan sayap kebahagiaannya sendiri.

Setelah peluknya melonggar, kutatap wajahnya, dan ia pun tersenyum sambil bola matanya berkaca-kaca. Senyumnya bahkan merupakan senyum tercantik yang pernah kusaksikan. Cantik. Sedemikian cantik. Kalau boleh bermetafora, senyumnya saat itu seperti eksotiknya anggrek hitam di musim penghujan. Menggairahkan, Kawan. Menggairahkan. Ahh .. tapi anehnya, aku sedemikian heran dengan perasaanku sendiri. Setelah mendengar kabar kehamilan istriku dari dokter Markun, aku malah tak tahu harus bereaksi seperti apa. Aku bingung. Tak punya energi spontan yang meledak seperti Istriku. Ah, aku tak memahami diriku sendiri, malah tak enak makan tak enak minum. Kuduga saat itu aku shock dan tak percaya membayangkan sebentar lagi ada bayi kecil yang mengompol di gendonganku. Hahaha .. mungkin aku tak siap jadi bapak, Kawan. Tak siap melarung kebebasanku untuk ngelaba kemana-mana.

Sejak saat itu Istriku bertambah manja. Gaya bicaranya, tatap matanya, ia seperti perempuan yang sedang kasmaran di saat pertama kali. Dan, Kawan. Ia mulai memanggilku “ayah”, panggilan yang di telingaku terdengar menggelikan tapi kutahu dalam maknanya. Apalagi kemudian, seringkali direngkuhnya tangan kananku dan disuruhnya aku mengelus perutnya. Ya, Tuhan .. kau pasti mulai mengerti, Kawan. Itulah yang kumaksud logika bukanlah segalanya. Logika tak mampu menjawab cinta. Kalau kuandaikan seluruh keajaiban hidup itu berbentuk hirarchys piramidal, logika pastilah berada pada kasta terbawah, ia takkan mampu menembus ranah perasaan manusia, apalagi cinta. Jauh, Kawan. Jaraknya terlampau jauh.

Aku tahu hatimu pasti tergelitik dengan hirarki keajaiban hidup yang kupaparkan padamu. Kau pasti penasaran yang selanjutnya. Hahahaha .. oke-oke, akan kulanjutkan.

Setelah logika berada pada kasta terbawah, barulah cinta berada di atasnya. Ya, cinta lah yang lebih tinggi dari logika.

Ayolah, Kawan. Mengapa menggeleng ? Janganlah tak sepakat dengaku. Kau tentu tahu istilah “kalau cinta sudah melekat, tahi kucing rasa coklat”, dimana-mana cinta mengalahkan logika. Tak perlulah kau menggugat kehidupan dan bertanya keadilan Tuhan ketika menjumpai lelaki dekil beristri secantik Dewi Drupadi. Tak usah, Kawan. Buang-buang energi. Pendapatmu laiknya hembus kentut di tengah badai. Pasti kalah kuat!!! Jadi kesimpulannya, cinta punya bilik tersendiri dalam hidup manusia, posisinya berada di atas logika.

Bagaimana penjelasanku?

Aha, aku suka anggukanmu.

Maaf kalau kata-kataku membingungkanmu, Kawan. Maafkan aku. Aku memang lelaki yang banyak bicara. Tapi sejak pertemuan kita disini, aku tahu kau adalah lelaki ramah dan suka mengamati orang. Maksudku, kau adalah person dan kawan bicara yang baik, dan pastinya, kau senang ceritaku. Sambil menunggu KRL datang, ada baiknya kita saling berbagi cerita disini. Biarkan orang-orang lalu lalang sekenanya. Kenapa ?

Hahaha .. rupa-rupanya kau juga tak suka hiruk pikuk. Benarkah ? Rupanya tepat dugaanku, anggukanmu tegas sekali.

Semoga KRL Bogor yang kita tumpangi cukup longgar. Tapi, sepertinya tak mungkin. Kenapa?! Berapa lama lagi?! Mungkin setengah jam lagi.

Hahaha .. jangan kesal, Kawan. Seperti itulah sistem transportasi kita. Tak usahlah kau bikin janji dengan kawan kencanmu kalau naik kereta. Jatuh waktunya pasti molor.

Kenapa? Lanjutkan? Oke-oke, rupanya kau senang juga ceritaku, akan kulanjutkan

***
Kehamilan pertama Istriku mulai menginduksi keluarga besar kami. Baik dari keluarga istriku, maupun keluargaku. Aku ingat di bulan pertama kehamilan Istriku. Kuajak dia pulang kampung, sekalian agar keluarga besarku turut berbahagia dengan penantian calon anggotanya yang baru. Kau tahu apa yang kemudian terjadi ? saat kami berkumpul bersama di ruang keluarga, semua anggota keluarga berkomentar. Yang pertama mereka lakukan adalah berdebat. Ya, berdebat, Kawan. Aku tahu kau mesti mengernyitkan dahi dengan penjelasanku.

“Cucuku ini pasti laki-laki, Cung,” begitu kata Kakekku. Ah, dia masih saja memanggilku dengan nama panggilan kecilku, Kuncung.

“Tak mungkin dia laki-laki, Kung. Kata ibunya yang mengandung, dia pegal di bagian perut. Kalau pegal di bagian perut itu artinya bayi yang dikandung pastilah perempuan,” Nenekku menimpali Kakung, panggilan Kakekku.

“Lah kalo laki-laki tanda-tandanya apa, Nek ?” tanya istriku yang turut geli mendengar ujaran Nenekku, baginya itu sama sekali tak masuk akal

“Kalo laki-laki biasanya pegal di punggung. Lelaki kalau nyangkul kan pegal di punggung,” ujar Nenek. “Yah, Nenek .. masa anakku didoain jadi tukang cangkul ..” protesku “Itu kata orang dulu-dulu, Cung. Nenek cuman menyampaikan.” “Itu mitos, Nek.” Istriku menimpali sambil tersenyum “Mitos?” “Iya, kepercayaan kuno, Nek. Sisa pembodohan jaman Belanda. Kepercayaan jaman jrangkong dan pocong ketika masih main lompat tali di halaman. Nenek tahu kenapa orang jaman dulu sering kalah melawan Belanda?” tanyaku menambahkan kebingungan Kakek dan Nenek. Mereka sudah hapal dengan kelakuanku yang keseringan mengacak-acak kepercayaan adat mereka.

“Orang kita keseringan kalah karena sebelum berangkat perang memakai perhitungan Weton, Nek. Mereka sudah tahu kalo hari baik pemimpinnya jatuh pada kemis legi ato jumat pahing. Disanggong Belanda, Nek. Ditunggu moncong meriam karena sudah hapal kebiasaannya,” imbuhku memperkeruh suasana.

“Ah, kamu terlalu meremehkan, Cung. Orang dulu juga bukan orang bodoh seperti dugaanmu,” Kakekku protes sambil bersungut sungut. Aku tahu, Kawan. Ia begitu menghormati kepercayaannya yang akupun tahu jika kepercayaannya sedikit banyak merupakan local wisdom.

“Iya deh, Kek. Asal jangan Kakek suruh istriku yang hamil itu mengulum pecahan genting saat gerhana matahari tiba,” ujarku kemudian “Kamu tahu dari mana, Cung ?” Nenekku nampak terkejut “Dari Ibu lah, Nek ..hahaha. Ibu pernah cerita jika dipaksa Nenek bersembunyi di kolong tempat tidur sambil mengulum pecahan genting,” aku tertawa berderai. “Kenapa, Nek ? kenapa ?” Istriku tak kuasa menahan tawa. Ia tertawa hingga hampir keluar air mata. “Orang dulu percaya jika saat gerhana matahari adalah saat kemunculan Bathara Kala. Matahari ditelannya sedikit demi-sedikit sampai ia kenyang. Tapi saat matahari sudah habis dan ia masih lapar, Bathara itu akan memakan janin yang dikandung perempuan hamil. Bathara jahat itu datang dan meniti lewat cahaya. Jadi semua lubang rumah harus ditutup, atau jalan satu-satunya menyembunyikan perempuan hamil di tempat yang tak mungkin didatangi cahaya, di kolong tidur,” Kakekku menjawab sambil mengumbar senyum. Ia tahu jika kepercayaan tempo dulunya salah.

“Lalu mengulum pecahan genting apa tujuannya, Nek?” Istriku yang tersenyum menahan tawa lanjut bertanya. Ia kemudian memandangku seraya ingin berbagi kekonyolan “Itu untuk menjaga agar perempuan tak bersuara, biar Bathara Kala tak tahu tempat persembunyiannya.” “Hahahaha ..” tawaku meledak, Istriku tak kuasa menahan geli, Kakek dan Nenekku kemudian terkekeh saling berpandangan.

Begitulah, Kawan, perdebatan awal kami.

“Sebentar lagi istrimu ini mulai merepotkan, Cung” saat itu Kakek langsung mengalihkan percakapan. “Merepotkan?! Memangnya kenapa, Kek?” “Ngidam, Cung .. ngidam .. sepertinya sudah ketetapan Gusti Allah jika perempuan merepotkan saat hamil muda.” “Ah, ngidam itu Cuma efek psikologis, Kek. Efek perasaan, penelitian ilmiah tak bisa membuktikan hubungan kehamilan dan ngidam,” sanggahku “Kowe iki ngomong opo to ..” timpal Nenekku sambil menilik Istriku yang sedikit manyun.

Rupanya saat itu aku tahu, Kawan. Ngidam adalah bagian dari cinta. Ya, cinta yang ingin dibuktikan secara kekanak-kanakan oleh perempuan terkasih kita. Kau pasti ingat penjelasanku sebelumnya, posisi cinta jenis ini berada di atas logika.

Hahahaha .. kenapa geleng-geleng kepala ?!!

Oke-oke .. kulanjutkan ceritaku ya ..

Istriku kemudian ngidamnya parah .. kau tahu manifesto cinta yang ingin dibuktikannya pada ku?

ia merengek dan memaksaku mencari tiga helai bulu ketek bencong !! menjijikkan !!

Hei, tunggu .. mengapa kau tertawa, Kawan.

Aha .. rupanya kau tak percaya. Istriku itu kesannya lebih ingin mengerjaiku daripada menuruti keinginan si jabang bayi. Aku protes, Kawan. Aku enggan. Lagi pula aku tak pernah punya kenalan bencong slebor.

Kutawar-tawar syarat ngidamnya tak turun jua. Mulai dari mencari itik berkaki tiga sampe kadal berbuntut cabang, ia masih tak mau. Akhirnya terpaksa, Kawan. Kucoba berikhtiar mencari tiga helai bulu bertuah itu daripada ngeri membayangkan bibir anakku terus-terusan melelehkan air liur sebaskom. Kucari kemana-mana, tak ada bencong yang memelihara bulu ketek. Najis tralala katanya. Sialan !

Hahahaha !!! kenapa kau tertawa, Kawan !! kau tak percaya ceritaku ?!! Oke-oke .. kau boleh percaya atau tidak, terserah. Dan sekarang, aku bersyukur kita dipertemukan Tuhan di tempat ini, di Stasiun Kalibata. Kenapa ?!! kau bisa menyediakan ?? Beneran ?!! bulu siapa?!! Apa aku tak salah dengar ?!! Kau ?!! Bukankah kau lelaki tulen ?!!

Tidak??!! kau pasti bercana, Kawan .. tubuhmu kekar seperti Rambo !! bulu ketekmu itu .. aaaaahhh .. lebat menggantung seperti tawon hutan !! mana mungkiiinn … hahahahaha ..

Oke .. oke .. kuterima .. Kenapa?!! Kau beri bonus??!!

Tak usah!! Aku cuma butuh tiga helai!!!

Mampang Prapatan, 23 Desember 2009 Emil W.E

Emil W.E, www.emilwe.wordpress.com Kontak email : emil_we@yahoo.com YM : emil_we

-

Arsip Blog

Recent Posts