Pusat Kajian Kebudayaan Melayu : Sarana Penyelamatan Khazanah Budaya Melayu

Oleh: Bambang Budi Utomo

Berbicara mengenai Riau, baik itu Riau Kepulauan maupun Riau Daratan dan pantai timur Sumatera, maka pembicaraan kita akan menyangkut pada suku bangsa Melayu dan kebudayaannya. Itulah fakta yang sehari-hari dapat didengar. Orang Riau dan juga sukubangsa Melayu yang mendiami belahan barat Nusantara bangga akan budayanya, terutama budaya yang intangible (budaya tak benda), seperti tari-tarian dan seni berpantun. Kemudian, bagaimana dengan budaya yang tangible (budaya materi) ?

Tanggal 7 Maret yang lalu, pada Harian KOMPAS terdapat berita yang berjudul “Mengkhawatirkan, Kondisi Situs Budaya Melayu Terbesar Abad Ke-19”. Berita ini kemudian disusul keesokan harinya dengan dua artikel yang isinya tentang perubahan-perubahan nilai/moral pada masyarakatnya, dan kondisi naskah-naskah kuna yang tersimpan di Masjid Raya Penyengat. Memang tidak dapat disangkal kebenaran berita itu. Itulah kenyataan pahit yang harus diderita oleh benda-benda tinggalan budaya masa lampau di manapun benda itu berada, serta kondisi moral masyarakatnya. Berita itu tentang benda cagar budaya mengingatkan pernyataan tokoh masyarakat Riau dalam kaitannya dengan Otonomi Daerah menjadi kenyataan, “tidak perduli dengan kebesaran sejarah masa lampau, yang penting bagaimana mendapatkan dua per tiga pendapatan hasil bumi/tambang Riau dari Pemerintah Pusat.”

Karya Sastra
Orang Melayu boleh berbangga karena pada masa lampau banyak anggota masyarakatnya yang mahir dalam menulis naskah yang terkenal dan penyebarannya cukup luas di bumi nusantara ini. Sebut saja, misalnya Raja Ali Haji yang hidup pada sekitar tahun 1809-1873. Ia dikenal sebagai pujangga terbaik dari Penyengat, bersama ayahnya menulis kompilasi Tuhfat al-Nafis, paparan sejarah Melayu dan Bugis yang saling mempengaruhi selama hampir dua abad. Karya sastra sejarah ini dapat dikatakan luar biasa karena mencantumkan sumber baik tertulis maupun lisan, dan memperhatikan susunan materi secara runut dan sistematis. Tentu saja menggunakan bahasa Melayu yang baik dan benar.

Karya tulis lain yang ditulis pada kala itu, misalnya pedoman administrasi kerajaan, puisi penuntun moral, tata-bahasa Melayu, dan semacam ensiklopædi bahasa dan budaya Melayu. Pedoman administrasi kerajaan dapat dikatakan merupakan “pemodernan” administrasi kerajaan, sebab pada kala itu buku petunjuk semacam itu dapat dikatakan belum pernah ada. Dalam hal pengetahuan budaya, masyarakat dapat membaca karyanya pada ensiklopædi budaya Melayu berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa yang ditulis pada tahun 1858. Dari karya-karyanya, dapat diketahui tingkat kesadaran bahwa hancurnya suatu kerajaan/negara dapat disebabkan oleh pengabaian bahasa dan adat yang telah mapan, serta ketertiban administrasi.
Ajaran moral, seperti yang dituliskan dalam puisi Gurindam Duabelas merupakan suatu ajaran/tuntunan moral setiap insani. Ajaran-ajarannya tentu saja mengikuti ajaran agama Islam yang kala itu sedang giat-giatnya dipelajari oleh kalangan masyarakat dan elite kerajaan. Ia percaya bahwa hal itu dapat bermanfaat bagi raja untuk menyediakan bahan dan keadaan batin rakyatnya agar memperhatikan seluruh ajaran Islam dan mempersiapkan diri untuk dunia akhirat.

Karya-karya sastra banyak dihasilkan di kerajaan Riau-Lingga (Penyengat). Sebetulnya, ide penulisan karya sastra tersebut kebanyakan diambil dari ajaran Islam. Para pujangga mempelajari budaya dan agama untuk karya sastranya. Dari karya-karya yang dihasilkan itu, tentu saja mengakibatkan timbulnya modernisasi dunia Islam. Pada sekitar tahun 1880 kelompok pujangga Penyengat membentuk organisasi Rusydiyah. Melalui organisasi ini seluruh karya para pujangga dicetak dan diterbitkan oleh percetakan sendiri di Pulau Lingga, kemudian diedarkan ke seluruh masyarakat Melayu di Nusantara. Tidak heran jika hampir diseluruh nusantara banyak ditemukan naskah budaya Melayu.

Penelitian dan Pelestarian
Riau, baik Riau daratan maupun Riau kepulauan, mempunyai latar belakang sejarah yang cukup panjang. Berbagai tinggalan budaya masa lampau banyak ditemukan di wilayah provinsi itu. Riau Kepulauan pernah berjaya dengan Kerajaan Riau-Lingga dengan pusatnya di Pulau Penyengat. Tinggalan-tinggalan budaya itu ada yang berupa benda bergerak maupun benda tak bergerak seperti bangunan masjid, istana, benteng, dan makam raja-raja Riau-Lingga.

Usaha penelitian dan pelestarian di Situs Pulau Penyengat sudah lama dilakukan dan mulai intensif sejak awal tahun 1980-an. Pada tahun 1981-1983 Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bekerjasama dengan École Française d’Extrême-Orient (Perancis) melakukan penelitian arkeologi dan naskah di Pulau Penyengat dan Pulau Bintan. Sementara itu Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, serta Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Batusangkar, telah melakukan pemugaran di Pulau Penyengat sejak tahun 1982/1983 hingga sekarang dilanjutkan oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala.

Penelitian arkeologi yang mengambil lokasi di Situs Kota Lama Penyengat berhasil mengidentifikasikan beberapa buah bangunan, antara lain bangunan istana, masjid, benteng, perkantoran, dan makam raja-raja Riau-Lingga. Di antara bangunan-bangunan itu terdapat tiga macam ukuran jalan, yaitu besar (lebar 8 meter), sedang (lebar 6 meter), dan kecil (di bawah 4 meter). Bangunan Masjid Raya yang dibangun oleh Sultan Abdurahman Muazham Shah pada tahun 1833 merupakan bangunan yang kondisinya terbaik karena merupakan living monumen.
Usaha penelitian dan pelestarian terhadap tinggalan budaya tersebut bukan tidak menghadapi kendala. Anggaran yang terbatas merupakan kendala utama, apalagi untuk pelestarian suatu areal yang luasnya sekitar 20 ha. Bagaimana mungkin dapat terpelihara dengan baik kalau untuk areal seluas itu hanya terdapat 6/7 juru pelihara. Namun, meskipun dengan keterbatasan dana perhatian terhadap pelestarian benda cagar budaya di Penyengat hingga sekarang tidak pernah surut. Berbagai perbaikan dan pelestarian terus dilakukan.

Tulisan tentang tinggalan budaya masa lampau di Penyengat (Kompas, 7-8 Maret 2005) secara tersurat dan tersirat menggugat usaha pelestarian bentuk fisiknya saja, tetapi sebetulnya yang harus “dipugar” dan dilestarikan adalah nilai-nilai budaya masyarakatnya yang sedang mengalami degradasi. Mengapa demikian ? Kita kembali kepada pesan yang tersurat dan tersirat dalam Gurindam Duabelas dimana disebutkan ajaran-ajaran moral, yaitu Pemimpin yang baik akan memberikan contoh moral yang baik pula kepada yang dipimpinnya. Dikaitkan dengan tinggalan budaya materi, dapat diibaratkan bahwa tinggalan yang ada di Penyengat bagaikan onggokan sampah. Kemudian sampah ini dipugar dengan biaya yang cukup besar. Tetapi karena moral masyarakatnya tidak juga dipugar, maka uang yang dikeluarkan untuk pemugaran fisik tadi menjadi sampah lagi. Dengan demikian bangunan-bangunan yang telah dipugar tidak ada gunanya.

Di Tanjung Pinang ada Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (BKSNT) untuk wilayah Jambi dan Riau. Tugasnya adalah melakukan kajian terhadap tinggalan budaya yang intangible (budaya tak benda) yang datanya antara lain diperoleh dari sumber yang tangible (budaya benda, naskah). Hasil kajian dari BKSNT ini semestinya disosialisasikan untuk dapat diimplementasikan pada masyarakat, bukan masuk ke perpustakaan atau gudang. Kemudian siapa yang “memugar” moral masyarakatnya? Tentu saja anggota masyarakat itu melalui pemimpin dan tokoh-tokoh masyarakatnya, seperti yang telah dipesankan oleh Raja Ali Haji melalui Gurindam Duabelas.

Tanggungjawab benda tinggalan budaya masa lampau di Penyengat, baik benda tak bergerak maupun benda bergerak, tidak sepenuhnya dibebankan pada Balai Penyelamatan Peninggalan Purbakala wilayah Riau dan Sumatera Barat. Ada kesan saling melempar tanggungjawab jika sudah menyangkut masalah pengadaan dana. Tuntutan datang dari kelompok yang merasa dikesampingkan, dalam arti tidak diikutsertakan dalam proyek kegiatan.

Pusat Budaya Melayu
Beberapa waktu yang lalu, 2-4 Desember 2003, ketika para Menteri Kebudayaan dan Pariwisata berkumpul di Beijing dalam rangka Asia-Europe Meeting Ministerial on Cultures and Civilizations, berlangsung suatu pembicaraan bilateral antara Minister for Information, Communication and the Arts Singapura dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia. Dalam pembicaraan itu antara lain disepakati bahwa Indonesia diminta untuk membantu terbentuknya Pusat Kebudayaan Melayu (Malay Heritage Centre) di Singapura. Sementara itu, di Malaysia telah ada semacam pusat kajian Melayu dalam bentuk institut, yaitu Institut Alam dan Tamadun Melayu (Institut ATMA) yang mengkaji peradaban (tamadun) Melayu dengan segala macam aspeknya, dan Singapura telah memiliki Institute of Southeast Asia Study (ISEAS) yang juga mengkaji bidang-bidang Sosial, Ekonomi, Politik, dan Kebudayaan Asia Tenggara.

ATMA merupakan pusat penyelidikan dan pengkajian Melayu di Malaysia yang dibina khusus untuk menghimpun peneliti dan sarjana dari seluruh dunia dalam suatu usaha besar untuk membina suatu khazanah dan pengetahuan yang lengkap tentang dunia dan peradaban Melayu. Institut ini secara organisasi berada di bawah naungan Universiti Kebangsaan Malaysia. Pada awal berdirinya (tahun 1972) institut ini bernama Institut Bahasa, Kesusasteraan dan Kebudayaan Melayu (Institut BKKM). Kemudian sejak tahun 1993 namanya diubah menjadi Institut ATMA.

Tanggal 28 Juli – 1 Agustus 2004 yang baru lalu, di Tanjung Pinang ada perhelatan budaya yang mengambil tema “Revitalisasi Budaya Melayu”. Perhelatan semacam ini diselenggarakan setiap tahun di tempat yang sama dan dihadiri oleh para pakar dan juragan birokrat pemerintahan. Revitalisasi Budaya Melayu hendak menghidupkan kembali sesuatu yang pernah ada, tetapi sudah lama dilupakan masyarakat. Taufik Ikram Jamil berpendapat, upaya merevitalisasi budaya Melayu tidak lain memberi pemaknaan kembali atau mereposisi kebudayaan Melayu dalam konteks kekinian.

Pendapat dari Taufik Ikram Jamil mungkin perlu digaris bawahi. Raja Malik Hasrizal (seorang pemerhati budaya Melayu) menegaskan: “kondisi Tanjung Pinang saat ini adalah sebuah penurunan moral yang sangat tajam. Bobroknya moral akibat terkikisnya budaya menyebabkan masyarakat hancur” (Kompas, 8 Maret 2005). Rupanya generasi sekarang sudah melupakan budayanya, sudah melupakan pesan-pesan dari Gurindam Duabelas-nya Raja Ali Haji. Jadi pesan dari Gurindam Duabelas untuk memberi pemaknaan kembali kebudayaan Melayu harus dimulai dari pihak yang menjadi panutan, seperti tokoh-tokoh masyarakat dan para juragan di pemerintahan. Rupa-rupanya ada salah persepsi mengenai revitalisasi. Di satu fihak mengacu kepada moral, dan di lain fihak mengacu kepada materi (pemugaran bangunan). Saya lebih suka menterjemahkannya sebagai merevitalisasi moral masyarakat di Tanjung Pinang dan sekitarnya yang sudah mengalami degradasi dan tidak menunjukkan identitas kemelayuannya.

Melihat kekayaan budaya Melayu di Penyengat, aktivitas Pekan Budaya Melayu yang setiap tahun diselenggarakan, dan pernah menjadi pusat kajian Melayu pada sekitar abad ke-19, sudah sepantasnya di Tanjung Pinang atau di Penyengat dibangun Pusat Kajian Kebudayaan Melayu, atau memaksimalkan (revitalisasi) tugas dan fungsi Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. Mungkin ini dapat dikatakan sangat penting dan perlu disegerakan pembangunannya, karena 5
dikhawatirkan dalam waktu dekat tinggalan-tinggalan naskah segera berpindah tangan. Seorang sahabat di Johor sering menginformasikan bahwa Muzium Johor baru saja membeli naskah dari Tanjung Pinang. Tidak mustahil hal yang sama juga dilakukan oleh ISEAS Singapura. Apalagi Singapura berniat membuat Malay Heritage Centre. Dengan demikian, sebaiknya kita tidak perlu membantu Singapura dalam membangun Malay Heritage Centre, karena berarti sama saja mempelajari budaya sendiri di negeri orang. Kalaupun ada kerjasama, tidak perlu naskah aslinya dibawa ke Singapura, tetapi dalam bentuk mikrofilm misalnya.

Entah apa dasar filosofinya Pemerintah Kota Tanjung Pinang telah berani mencanangkan kotanya dengan sebutan Kota Gurindam. Tentunya dengan sebutan itu mereka harus berani mempertanggungjawabkan pemakaiannya. Dapatkah para tokoh masyarakat dan juragan di pemerintahan mempertanggungjawabkan sesuai dengan yang telah dipesankan oleh Raja Ali Haji melalui Gurindam Duabelas-nya?

Bambang Budi Utomo
Kerani Rendahan pada
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

-

Arsip Blog

Recent Posts