Seni Etnis Betawi Tersisih?

Oleh : Abdul Lathief

Jika tidak menghendaki produk kesenian etnis Betawi lenyap ditelan arus perubahan zaman yang sudah mengglobal, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sepatutnya memikirkan alokasi dana secara khusus untuk pengembangan dan promosi produk kesenian bercita rasa Betawi.

Setahun terakhir ini kami hanya mendapat bantuan dana Rp 300 juta sampai Rp 400 juta. Dana sebesar itu tidak hanya untuk membiayai program kegiatan Lembaga Kebudayaan Betawi, tetapi juga gaji karyawan, kata Ketua Bidang Budaya Lembaga Kebudayaan Betawi H Yoyok Moechtar kepada Kompas, Rabu (19/10) di Jakarta.

Dia mengatakan, tidak adanya alokasi dana secara khusus untuk pengembangan dan promosi produk kesenian etnis Betawi setidaknya berpengaruh terhadap eksistensi kesenian khas Betawi di tengah-tengah percaturan produk kesenian global di Jakarta ini. ”Padahal, dana pengembangan dan promosi itu sangat diperlukan untuk eksistensi kesenian etnis Betawi,” ujarnya.

Beragam produk
Perjalanan sejarah produk kesenian etnis Betawi sekarang dan mendatang amat ditentukan oleh masyarakat pendukungnya, termasuk para pelaku kesenian. Namun, yang jelas, orang Betawi boleh bangga karena bahasa Melayu dialek Betawi telah menjadi bagian dari pergaulan warga kota Jakarta.

Dari dialek Betawi itulah ciri-ciri kebetawian bisa dengan gampang dikenali, walaupun mereka yang mempergunakan bahasa Melayu dialek Betawi itu bukan orang Betawi asli ataupun Betawi keturunan.

Jika bahasa Melayu dialek Betawi mampu menjadi bagian dari pergaulan warga Ibu Kota, sebaliknya dengan produk keseniannya, yang belum sepenuhnya mampu menjadi bagian dari pergaulan global Jakarta yang metropolis dengan beraneka corak jenis produk hiburannya.

”Produk budaya etnis Betawi yang sampai sekarang ini masih sangat terasa adalah dialek Betawi dan telah menjadi bahasa pergaulan sehari-hari warga Jakarta,” kata Ketua Bidang Pertunjukan dan Pelatihan Lembaga Kebudayaan Betawi Nendra Wagino Dahrin kepada Kompas.

Produk kesenian etnis Betawi boleh dibilang beragam, dari tari, musik, hingga seni pertunjukan teater rakyat. Dari ondel-ondel, lenong, hingga tanjidor.

Seperti halnya produk kesenian tradisional lain, kesenian tradisional khas Betawi pun ”nyaris” ditinggalkan pendukungnya. Itu tersirat tatkala kesenian tradisional khas Betawi hanya hadir ataupun ditampilkan dalam kegiatan-kegiatan tertentu, terutama pada perayaan-perayaan atau festival kesenian.

”Masalahnya, satu jenis kesenian tradisional jadi hidup karena dihidupkan atau ada masyarakat pendukungnya,” ujar Ketua Harian Badan Musyawarah Masyarakat Betawi Amarullah Asbah.

Jakarta bukan punya orang Betawi, tapi milik Indonesia. Hal itu berarti, segala produk dan bentuk serta jenis kesenian pun punya tempat di tengah-tengah beragam etnis yang tinggal, bermukim, dan hidup di Jakarta.

”Produk kesenian Betawi sendiri terbagi dua wilayah, yakni Betawi Tengah dan Betawi Pinggiran. Produk kesenian komunitas Betawi Tengah di antaranya adalah samrah, sedangkan produk kesenian Betawi Pinggiran adalah tanjidor,” ujarnya.

Realitas itu jelas, kata dia, bahwa selera masyarakat atau komunitas Betawi sendiri berbeda. Artinya, rasa memiliki produk kesenian Betawi berbeda antarsesama Betawi. ”Rasa memiliki sangat relatif. Contohnya ondel-ondel, ada orang Betawi yang tidak suka,” katanya.

Gaung perubahan yang berembus berbarengan dengan reformasi yang menumbangkan rezim Soeharto berimbas pada kesadaran komunitas Betawi untuk menunjukkan eksistensinya sebagai bagian dari anak negeri ini. Munculnya organisasi/komunitas dengan label Betawi, sebut misalnya Forum Komunikasi Anak Betawi, sekurangnya mencerminkan sebuah hasrat dari etnis Betawi untuk menunjukkan eksistensinya sebagai komunitas yang punya hak berekspresi di dalam pergaulan global Jakarta, termasuk dalam ruang-ruang ekspresi berkesenian.

”Bagaimana membawa citra kebetawian karena dalam sejarahnya etnis Betawi bersaudara dengan etnis yang lain. Itulah yang terpenting dalam pergaulan dengan etnis lain,” tuturnya.

Amat disadari, bagaimanapun Jakarta adalah ibu kota negeri dan pusat segala aktivitas anak manusia dari beragam etnis dan bangsa. Hal itu berarti produk kebudayaan termasuk di dalamnya adalah kesenian tidak terbatas pada produk kesenian komunitas Betawi, melainkan pula produk kesenian global dan kapitalis yang menawarkan gaya hidup glamour, sebut misalnya sinetron yang menawarkan kemewahan dan menjual mimpi-mimpi.

Penetrasi kebudayaan massa dan industrialisasi musik pop, misalnya, serta akulturasi kebudayaan di tengah-tengah kehidupan modern Jakarta tidak terelakkan oleh komunitas Betawi. Perkawinan lintas etnis pun menjadi bagian dari pergulatan komunitas Betawi sehingga terjadi percampuran kebudayaan. Dan, konflik pun terkadang muncul. Orang Betawi, anaknya nikah dengan anak orang Jawa. Adat-istiadat perkawinan pun bisa Jawa dan bisa Betawi, atau campuran keduanya.

”Harus kompromi jika produk kebudayaan dan kesenian etnis Betawi tetap eksis,” tutur budayawan Betawi, Ridwan Saidi.

Lenong Rumpi yang pernah menghiasi layar televisi dan sinetron Si Doel Anak Betawi boleh dikata adalah bagian dari kompromi-kompromi kesenian tradisional dengan produk global-kapitalis. Meski demikian, hal itu belum mampu menjadikan produk kesenian Betawi bagian dari pergaulan berkesenian di Jakarta. Padahal, jauh sebelum Orde Lama (Orla)-Orde Baru (Orba), salah satu produk kesenian Betawi berupa musik Melayu Jakarta menjadi bagian dari cita rasa musikal yang sejajar dengan produk musik Melayu Deli maupun Melayu Semenanjung.

”Orang Betawi sendiri lebih suka menyebut Melayu Jakarta daripada Melayu Betawi karena lebih modern dan tidak kampungan. Dan, sampai hari ini lagu Seroja ciptaan orang Betawi, Husein Bawafi, dan lagu Halimun Malam ciptaan Abdul Cholik masih sering diperdengarkan di Malaysia,” katanya.

Seroja, kata Ridwan, berarti teratai hutan. Ritme dan cengkoknya tidak Melayu Deli dan bukan pula Melayu Semenanjung ataupun India, melainkan lebih ada kemiripan dengan zapin. ”Lebih punya akar Kalimantan, sebut misalnya lagu Ampar-ampar Pisang dan Amas Panghira,” ujarnya menjelaskan.

Masa lampau musik/lagu Melayu Jakarta yang menjadi bagian dari pergaulan berkesenian kini bagaikan lenyap ditelan waktu. Kedahsyatan Melayu Jakarta dalam dunia musik di Tanah Air masa itu tidak terlepas dari seniman/pencipta lagu Husein Bawafy, Abdul Choliq, hingga Mashabi.

”Dalam pergaulan berkesenian, sejak tahun 1930-an Jakarta sudah diperhitungkan. Buktinya, Pangeran Johor pun menciptakan lagu berjudul Jakarta Gembira,” tutur Ridwan.

Dia lalu mengutip bait-bait lagu berirama melayu Jakarta ciptakan sang pangeran asal negeri jiran, Malaysia, itu: Kalau tuan tamasya ke tanah Jawa// Jangan lupa mampir dulu di Jakarta// Jakarta kota ramai yang istimewa// terkenal sejak dulu kala.

Era tahun 1970-an, kata Ridwan, genre Melayu Jakarta yang pernah mencapai masa kejayaan dalam pergaulan musik Melayu lenyap dan punah. ”Perubahan besar dari Orba ke Orla tidak terelakkan dan ekonomi susah, musik (Melayu Jakarta) tidak tumbuh,” tuturnya.

Jika seni samrah dan tanjidor nyaris punah, sebaliknya dengan gambang keromong dan tari topeng Betawi, yang sampai sekarang tetap eksis. ”Tari topeng Betawi peminatnya besar, tapi teater rakyat lenong dan tonil parah dan berat untuk bisa eksis. Peminatnya ada, tapi tidak sehebat seni tari topeng dan gambang keromong. Tari cokek yang menjadi tari pergaulan pun masih kuat dan eksis,” tuturnya.

Sang penulis buku Babat Tanah Betawi, Ridwan Saidi menyatakan, secara umum kesenian Betawi masih berbicara dalam konteks kesenian nusantara walaupun pada kegiatan-kegiatan tertentu, seperti perayaan hari ulang tahun Jakarta. ”Tidak seperti di Eropa, sponsorship mau mendanai seni-seni etnik. Di negara kita, sponsorship lebih pada untung-rugi,” ujarnya.

Sebagai salah seorang tokoh komunitas Betawi, dia menyatakan, gejala baru dalam ruang-ruang berkebudayaan dan berkesenian yang amat diharapkan dalam Kongres Kebudayaan dan Kongres Kesenian justru gagal. ”Kita mengharapkan muncul gagasan baru dalam content lokal, tapi nyatanya kedua kongres tersebut gagal semua dan tidak punya arti apa-apa terhadap berkesenian,” ujarnya.

Satu hal yang sudah dia kerjakan bersama KRMT Daud, seniman pembatik asal Yogyakarta, adalah seni batik dengan tema mitologi Betawi. Hal itu berarti sebuah karya seni etnis telah lahir dalam pergaulan berkebudayaan dan berkesenian di kota megapolitan Jakarta.

Lalu, persoalan lain yang masih tersisa, benarkah produk kesenian Betawi terpinggirkan alias tersisih di tengah-tengah pergaulan berkesenian yang cenderung mengedepankan selera pasar?

”Betawi tersisih, bisa ya, bisa tidak. Betawi punah, bisa ya, bisa tidak,” kata Amarullah Asbah.

Hal itu berarti, seberapa besar komunitas Betawi sendiri merasa memiliki dan mengaktualisasikannya seiring dengan arus anak zaman.

-

Arsip Blog

Recent Posts