Oleh Raudal Tanjung Banua
Bertandang ke Kalimantan Selatan pada Juni lalu, saya memilih berkunjung ke daerah transmigrasi Pelaihari. Kota kecil yang jauh dari sungai besar ini menarik perhatian saya sejak dulu lantaran menjadi setting novel Orang-orang Trans karya N.H. Dini, yang saya baca di bangku SMP. Mengisahkan perjuangan para transmigran di lahan gambut Kalimantan, penuh inspirasi. Ada keberpihakan pada "bumi dan langit" Tanah Air lewat tokoh-tokoh kecil petani yang penuh bakti.
Saya bahagia ketika akhirnya sampai di Pelaihari, ibu kota Kabupaten Tanah Laut, 65 kilometer dari Banjarmasin, ibu kota Kalimantan Selatan. Tanah Laut tak hanya memiliki lahan pertanian yang terhampar mulai Pegunungan Meratus, tapi juga pantai dan bahkan sebuah pulau yang cukup besar, Sebuku dan Pulau Laut. Di tengah gelora otonomi, kabupaten ini dibagi dua, yakni Tanah Bumbu, dengan ibu kota Pagatan sebagai daerah pemekaran baru, dan Tanah Laut sendiri, dengan ibu kota tetap di Pelaihari.
Kebetulan saya punya kawan, Jamal Suryanata, yang menjadi komuter berapa waktu terakhir. Genap 10 tahun menjadi kepala SD di Batu Ampar (daerah transmigrasi di pedalaman Tanah Laut), belum lama ini ia ditarik ke Kantor Dinas Pendidikan di Pelaihari, dan sembari itu ia mengajar di sejumlah perguruan tinggi di Banjarmasin serta Banjarbaru. Jadi, sekali seminggu, Jamal memacu sepeda motor bebeknya Pelaihari-Banjarmasin pulang-pergi. Hari itu, saya diboncengkan Jamal ke Pelaihari dari Banjarbaru.
Perjalanan dua jam itu cukup melelahkan. Kami harus melewati jalan penuh lubang dan berdebu, terlebih ketika angin santer bangkit menderu. Tapi itu semua tak mengurangi nikmatnya perjalanan karena kami bisa menyaksikan pemandangan rawa dan tanah gambut, lengkap dengan rerumputan dan pohon perdu yang terhampar seluas mata memandang, termasuk pasak bumi yang terkenal "jos" itu.
Sebelum masuk gerbang kota, jalan sedikit menanjak melewati perbukitan, yang merupakan bagian dari anak-anak Pegunungan Meratus. Ada juga sebuah bekas pabrik gula, yang tutup sejak delapan tahun lalu.
Kami memasuki kota senja hari, saat lampu-lampu kota kecil Pelaihari dinyalakan. Hanya sebentar Jamal singgah di terminal bus, yang jika malam disulap menjadi pasar malam, untuk membeli penganan. Selanjutnya, kami pulang ke rumahnya, kompleks Perumahan Matah Raya. Kompleks dekat pusat Kota Pelaihari itu dikelilingi banyak tanah kosong, hamparan lahan gambut, dan rawa-rawa.
Lelah perjalanan membuat saya cepat tertidur. Keesokan pagi, azan subuh serentak menggema. Saya terjaga dan mengintip. Terlihatlah fajar merekah. Tak puas, saya buka jendela dan menikmati matahari perlahan muncul dari punggung Pegunungan Meratus nun di sana. Cahayanya yang kuning kemerahan menyebar ke atap-atap rumah kota kecil Pelaihari, menyepuh semak perdu, pepohonan, dan tanah gambut. Subhanallah! Betapa indah.
Hawa sejuk berembus, embun tepercik ke pori-pori. Burung-burung berkicau. Sepasang tupai berkejaran di dahan jambu. Kokok ayam berderai di tengah kampung. Tanah gambut mulai merata disepuh matahari, menyisakan lembap di dedaunan. Pemandangan jadi segar berkilat.
Bersamaan dengan itu, kota bangkit dan menggeliat. Dari lantai dua rumah Jamal, yang berfungsi sebagai ruang kerja dan perpustakaan, itu, saya bebas menikmati pagi di gugusan Pegunungan Meratus. Tuan rumah datang membawakan kopi dan pisang goreng hangat-hangat. Lengkap sudah. Di tengah perasaan megap keharuan, ingatan saya terpacak pada sajak alam Rendra yang menggugah, di antaranya berbunyi: "Apabila kita bertiarap di bukit yang damai/ kita mengarah ke lembah/ dengan gelagah dan semak-semak berbunga./ Di langit yang bersih terpancanglah matahari/ Sepanjang tahun selalu bercaya./"
Pagi itu, Jamal meminjami saya sepeda motor untuk perjalanan ke Pantai Tekisung, sekitar 25 kilometer dari Kota Pelaihari.
Setelah sarapan, kami bertolak bersama seisi rumah: Jamal berboncengan naik sepeda motor istrinya ke kantor, anak-anaknya ke sekolah, dan saya ke Pantai Tekisung. Selain Tekisung, ada obyek lain yang menarik, seperti Pantai Batakan, air terjun Bajuin, dan Waduk Riam Kanan. Namun, kata Jamal, jalan ke sana "susah sungguh".
Perjalanan ke Tekisung diwarnai pemandangan sawah, kebun kelapa, gerumbulan pohon sagu atau rumbia, dan tentu semak perdu yang menjadi pemandangan khas banua Tanah Laut. Di beberapa jembatan kecil yang saya lalui, sepagi itu sudah terlihat orang-orang memancing ikan air tawar. Dua kali saya berhenti, melihat ikan pepuyu, sepat, dan aruan menggelepar di dalam wadah mereka yang terbuat dari rotan. Di pertengahan jalan berikutnya, saya terhalang kemacetan. Rupanya ada "pasar tumpah". Di tepi jalan, dalam ember dan keranjang, saya melihat banyak ikan laut. Wah, wah, saya bergumam sendiri: ikan tawar ada, ikan laut tak ketinggalan. Pantas daerah ini bernama Tanah Laut.
Setelah melewati jembatan di muara Sungai Tabunio (tempat bersandar banyak kapal ikan), akhirnya saya tiba di Pantai Tekisung. Pantai ini terletak dalam kawasan Tanjung Selatan, yang jika dilihat dalam peta Pulau Kalimantan tampak mencolok lantaran menjorok cukup jauh ke Laut Jawa. Pantainya lebar, meski tak terlalu panjang, karena terhalang bukit yang menjulur ke laut. Pohon kelapa dan ketapang berjejer merimbuni pantai. Di kejauhan terlihat sebuah mercu suar warna kuning menyala. Beberapa kapal ikan juga terlihat diparkir di bibir pantai yang hampir tak berombak.
Pasir Pantai Tekisung berwarna kuning. Sungguhpun begitu, pengunjung tetap asyik berenang atau sekadar berendam. Kita bisa menyewa ban, sumber nafkah masyarakat sekitar. Selain itu, ada anak-anak yang berjualan kerang, umang-umang, dan kepiting hidup. Tapi orang dewasa yang menyewakan tikar tampak beberapa kali mengusir pedagang cilik ini agar menyingkir karena bentangan tikar yang mereka sewakan cukup menyita banyak tempat. Saya merasakan sesuatu yang tak adil.
Puas menikmati pantai, kita tinggal menyeberangi jalan untuk masuk ke sebuah pasar. Pasar rakyat ini cukup besar, dengan jejeran los beratap rumah adat khas Banjar. Apa yang menarik di sini? Kita bisa beristirahat sambil memesan minuman dan makanan. Es buah, kelapa muda, minuman kaleng, atau segelas kopi. Makanan pun bervariasi. Di samping tersaji masakan khas Kalimantan Selatan, seperti soto Banjar dan ketupat Kandangan, terdapat sate Madura, soto Kudus, dan nasi rawon. Asli. Ternyata pedagangnya kalangan perantau atau orang-orang trans yang beralih pekerjaan.
Saya sendiri menikmati es kelapa muda yang segar dan ketupat Kandangan yang besarnya tak kepalang tanggung. Dimakan pakai kuah bersantan, bersayur kacang panjang, menu ini bikin perut cepat kenyang. Setelah itu, saya menuju ke los hasil laut, tempat berjejer lapak pedagang dipenuhi ikan segar, ikan yang dikeringkan, atau yang diasinkan. Mulai ikan kakap, kembung, cakalang, cumi, sampai hiu yang baru ditangkap, semua ada. Untuk oleh-oleh, saya pilih ikan asin kemasan. Tak ketinggalan udang dan cumi kering. Harganya berkisar Rp 4.000-7.000. Ada pula terasi atau belacan dalam keranjang mungil anyaman pandan. Saya memborong 10 bungkus ikan dan 10 kotak belacan.
Sebelum pulang, saya mampir ke kedai suvenir di depan los pasar. Berbagai kerajinan kerang dan lokan terpajang di sini, dari kap lampu, tirai pintu, bingkai foto, sampai ke aksesori meja dan gantungan kunci. Bunyinya yang bergemerincing lumayan mengundang sensasi: mengingatkan kita pada laut! Nah, jika di pasar Tekisung kita selalu teringat kekayaan samudra, di Pusat Agrobisnis di tengah Kota Pelaihari niscaya kita bakal teringat akan kekayaan tanah pertanian. Berbagai hasil bumi, seperti pisang, singkong, pepaya, dan jagung, diikat dan digantung memenuhi kios. Beberapa diolah menjadi makanan kemasan berupa keripik dan kerupuk. Tinggal pilih. Mampir di kedua tempat ini makin mengukuhkan Pelaihari sebagai ibu kota Kabupaten Tanah Laut--tempat menyatunya kekayaan tanah pertanian dan laut.
Raudal Tanjung Banua, Peminat Perjalanan, Tinggal di Yogyakarta
Sumber: http://www.tempointeraktif.com
Bertandang ke Kalimantan Selatan pada Juni lalu, saya memilih berkunjung ke daerah transmigrasi Pelaihari. Kota kecil yang jauh dari sungai besar ini menarik perhatian saya sejak dulu lantaran menjadi setting novel Orang-orang Trans karya N.H. Dini, yang saya baca di bangku SMP. Mengisahkan perjuangan para transmigran di lahan gambut Kalimantan, penuh inspirasi. Ada keberpihakan pada "bumi dan langit" Tanah Air lewat tokoh-tokoh kecil petani yang penuh bakti.
Saya bahagia ketika akhirnya sampai di Pelaihari, ibu kota Kabupaten Tanah Laut, 65 kilometer dari Banjarmasin, ibu kota Kalimantan Selatan. Tanah Laut tak hanya memiliki lahan pertanian yang terhampar mulai Pegunungan Meratus, tapi juga pantai dan bahkan sebuah pulau yang cukup besar, Sebuku dan Pulau Laut. Di tengah gelora otonomi, kabupaten ini dibagi dua, yakni Tanah Bumbu, dengan ibu kota Pagatan sebagai daerah pemekaran baru, dan Tanah Laut sendiri, dengan ibu kota tetap di Pelaihari.
Kebetulan saya punya kawan, Jamal Suryanata, yang menjadi komuter berapa waktu terakhir. Genap 10 tahun menjadi kepala SD di Batu Ampar (daerah transmigrasi di pedalaman Tanah Laut), belum lama ini ia ditarik ke Kantor Dinas Pendidikan di Pelaihari, dan sembari itu ia mengajar di sejumlah perguruan tinggi di Banjarmasin serta Banjarbaru. Jadi, sekali seminggu, Jamal memacu sepeda motor bebeknya Pelaihari-Banjarmasin pulang-pergi. Hari itu, saya diboncengkan Jamal ke Pelaihari dari Banjarbaru.
Perjalanan dua jam itu cukup melelahkan. Kami harus melewati jalan penuh lubang dan berdebu, terlebih ketika angin santer bangkit menderu. Tapi itu semua tak mengurangi nikmatnya perjalanan karena kami bisa menyaksikan pemandangan rawa dan tanah gambut, lengkap dengan rerumputan dan pohon perdu yang terhampar seluas mata memandang, termasuk pasak bumi yang terkenal "jos" itu.
Sebelum masuk gerbang kota, jalan sedikit menanjak melewati perbukitan, yang merupakan bagian dari anak-anak Pegunungan Meratus. Ada juga sebuah bekas pabrik gula, yang tutup sejak delapan tahun lalu.
Kami memasuki kota senja hari, saat lampu-lampu kota kecil Pelaihari dinyalakan. Hanya sebentar Jamal singgah di terminal bus, yang jika malam disulap menjadi pasar malam, untuk membeli penganan. Selanjutnya, kami pulang ke rumahnya, kompleks Perumahan Matah Raya. Kompleks dekat pusat Kota Pelaihari itu dikelilingi banyak tanah kosong, hamparan lahan gambut, dan rawa-rawa.
Lelah perjalanan membuat saya cepat tertidur. Keesokan pagi, azan subuh serentak menggema. Saya terjaga dan mengintip. Terlihatlah fajar merekah. Tak puas, saya buka jendela dan menikmati matahari perlahan muncul dari punggung Pegunungan Meratus nun di sana. Cahayanya yang kuning kemerahan menyebar ke atap-atap rumah kota kecil Pelaihari, menyepuh semak perdu, pepohonan, dan tanah gambut. Subhanallah! Betapa indah.
Hawa sejuk berembus, embun tepercik ke pori-pori. Burung-burung berkicau. Sepasang tupai berkejaran di dahan jambu. Kokok ayam berderai di tengah kampung. Tanah gambut mulai merata disepuh matahari, menyisakan lembap di dedaunan. Pemandangan jadi segar berkilat.
Bersamaan dengan itu, kota bangkit dan menggeliat. Dari lantai dua rumah Jamal, yang berfungsi sebagai ruang kerja dan perpustakaan, itu, saya bebas menikmati pagi di gugusan Pegunungan Meratus. Tuan rumah datang membawakan kopi dan pisang goreng hangat-hangat. Lengkap sudah. Di tengah perasaan megap keharuan, ingatan saya terpacak pada sajak alam Rendra yang menggugah, di antaranya berbunyi: "Apabila kita bertiarap di bukit yang damai/ kita mengarah ke lembah/ dengan gelagah dan semak-semak berbunga./ Di langit yang bersih terpancanglah matahari/ Sepanjang tahun selalu bercaya./"
Pagi itu, Jamal meminjami saya sepeda motor untuk perjalanan ke Pantai Tekisung, sekitar 25 kilometer dari Kota Pelaihari.
Setelah sarapan, kami bertolak bersama seisi rumah: Jamal berboncengan naik sepeda motor istrinya ke kantor, anak-anaknya ke sekolah, dan saya ke Pantai Tekisung. Selain Tekisung, ada obyek lain yang menarik, seperti Pantai Batakan, air terjun Bajuin, dan Waduk Riam Kanan. Namun, kata Jamal, jalan ke sana "susah sungguh".
Perjalanan ke Tekisung diwarnai pemandangan sawah, kebun kelapa, gerumbulan pohon sagu atau rumbia, dan tentu semak perdu yang menjadi pemandangan khas banua Tanah Laut. Di beberapa jembatan kecil yang saya lalui, sepagi itu sudah terlihat orang-orang memancing ikan air tawar. Dua kali saya berhenti, melihat ikan pepuyu, sepat, dan aruan menggelepar di dalam wadah mereka yang terbuat dari rotan. Di pertengahan jalan berikutnya, saya terhalang kemacetan. Rupanya ada "pasar tumpah". Di tepi jalan, dalam ember dan keranjang, saya melihat banyak ikan laut. Wah, wah, saya bergumam sendiri: ikan tawar ada, ikan laut tak ketinggalan. Pantas daerah ini bernama Tanah Laut.
Setelah melewati jembatan di muara Sungai Tabunio (tempat bersandar banyak kapal ikan), akhirnya saya tiba di Pantai Tekisung. Pantai ini terletak dalam kawasan Tanjung Selatan, yang jika dilihat dalam peta Pulau Kalimantan tampak mencolok lantaran menjorok cukup jauh ke Laut Jawa. Pantainya lebar, meski tak terlalu panjang, karena terhalang bukit yang menjulur ke laut. Pohon kelapa dan ketapang berjejer merimbuni pantai. Di kejauhan terlihat sebuah mercu suar warna kuning menyala. Beberapa kapal ikan juga terlihat diparkir di bibir pantai yang hampir tak berombak.
Pasir Pantai Tekisung berwarna kuning. Sungguhpun begitu, pengunjung tetap asyik berenang atau sekadar berendam. Kita bisa menyewa ban, sumber nafkah masyarakat sekitar. Selain itu, ada anak-anak yang berjualan kerang, umang-umang, dan kepiting hidup. Tapi orang dewasa yang menyewakan tikar tampak beberapa kali mengusir pedagang cilik ini agar menyingkir karena bentangan tikar yang mereka sewakan cukup menyita banyak tempat. Saya merasakan sesuatu yang tak adil.
Puas menikmati pantai, kita tinggal menyeberangi jalan untuk masuk ke sebuah pasar. Pasar rakyat ini cukup besar, dengan jejeran los beratap rumah adat khas Banjar. Apa yang menarik di sini? Kita bisa beristirahat sambil memesan minuman dan makanan. Es buah, kelapa muda, minuman kaleng, atau segelas kopi. Makanan pun bervariasi. Di samping tersaji masakan khas Kalimantan Selatan, seperti soto Banjar dan ketupat Kandangan, terdapat sate Madura, soto Kudus, dan nasi rawon. Asli. Ternyata pedagangnya kalangan perantau atau orang-orang trans yang beralih pekerjaan.
Saya sendiri menikmati es kelapa muda yang segar dan ketupat Kandangan yang besarnya tak kepalang tanggung. Dimakan pakai kuah bersantan, bersayur kacang panjang, menu ini bikin perut cepat kenyang. Setelah itu, saya menuju ke los hasil laut, tempat berjejer lapak pedagang dipenuhi ikan segar, ikan yang dikeringkan, atau yang diasinkan. Mulai ikan kakap, kembung, cakalang, cumi, sampai hiu yang baru ditangkap, semua ada. Untuk oleh-oleh, saya pilih ikan asin kemasan. Tak ketinggalan udang dan cumi kering. Harganya berkisar Rp 4.000-7.000. Ada pula terasi atau belacan dalam keranjang mungil anyaman pandan. Saya memborong 10 bungkus ikan dan 10 kotak belacan.
Sebelum pulang, saya mampir ke kedai suvenir di depan los pasar. Berbagai kerajinan kerang dan lokan terpajang di sini, dari kap lampu, tirai pintu, bingkai foto, sampai ke aksesori meja dan gantungan kunci. Bunyinya yang bergemerincing lumayan mengundang sensasi: mengingatkan kita pada laut! Nah, jika di pasar Tekisung kita selalu teringat kekayaan samudra, di Pusat Agrobisnis di tengah Kota Pelaihari niscaya kita bakal teringat akan kekayaan tanah pertanian. Berbagai hasil bumi, seperti pisang, singkong, pepaya, dan jagung, diikat dan digantung memenuhi kios. Beberapa diolah menjadi makanan kemasan berupa keripik dan kerupuk. Tinggal pilih. Mampir di kedua tempat ini makin mengukuhkan Pelaihari sebagai ibu kota Kabupaten Tanah Laut--tempat menyatunya kekayaan tanah pertanian dan laut.
Raudal Tanjung Banua, Peminat Perjalanan, Tinggal di Yogyakarta
Sumber: http://www.tempointeraktif.com