Jayapura - Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) No: 21/2001 harus bisa menjadi dasar bagi pemerintah Provinsi Papua untuk melakukan perlindungan terhadap benda cagar budaya (BCB) yang ada di wilayah itu.
"Perlindungan terhadap benda cagar budaya di Papua berdasarkan UU Otsus ada pada pasal 64 ayat satu," kata Peneliti Balai Arkeologi Jayapura, Rini Maryone di Jayapura, Kamis.
Dalam UU No: 21/2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua, pasal 64 ayat satu menyebutkan, pemerintah wajib mengelola lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang, melindungi sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan.
Pasal tersebut lebih lanjut menyebutkan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati serta perubahan iklim dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan penduduk.
Rini menegaskan, dengan peraturan tersebut benda cagar budaya memiliki nilai penting yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Benda cagar budaya sebagai kekayaan arkeologi di Papua, katanya, cukup beragam dan mewakili beberapa kurun waktu sejarah yakni zaman prasejarah, masuknya pengaruh Islam dan Kristen di Papua, zaman kedatangan orang-orang Tionghoa (Cina) yang melakukan perdagangan serta zaman kolonial ketika pecah Perang Dunia II.
"Ini merupakan potensi budaya yang dapat dikelola untuk membangun citra daerah yang memiliki peradaban menarik, bermartabat dan beragam. Seluruh masyarakat harus memahami hal ini agar perlindungan dan pengembangannya bisa berjalan optimal," kata Rini.
Benda cagar budaya, lanjut dia, merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan sehingga selain perlindungan perlu penyadaran dan pemahaman terhadap misi peninggalan sumber daya arkeologi.
Dia menjelaskan, arkeologi merupakan bidang ilmu yang mempelajari kehidupan manusia masa lalu berdasarkan bukti-bukti penemuan artefak dan fosil.
Rentang waktu masa lalu, kata dia, ditetapkan untuk penemuan yang telah berumur 50 tahun ke belakang. Hal ini didasarkan pada UU No.5 Tahun 1992 tentang benda-benda arkeologi.
Dengan potensi arkeologi yang cukup besar, Balai Arkeologi Jayapura membagi wilayah kerjanya menjadi enam, yaitu daerah Kepala Burung, Teluk Cenderawasih, Teluk Bintuni, Pantai Selatan dan sekitarnya, Pantai Utara dan sekitarnya serta Pegunungan Tengah.
Sejak sepuluh tahun terakhir ini, kegiatan penelitian dan pengembangan Balai Arkeologi Jayapura telah menemukan 89 situs yang sangat berharga, baik dari segi pendidikan dan budaya maupun wisata sejarah. (JY)
Sumber: http://regional.kompas.com
"Perlindungan terhadap benda cagar budaya di Papua berdasarkan UU Otsus ada pada pasal 64 ayat satu," kata Peneliti Balai Arkeologi Jayapura, Rini Maryone di Jayapura, Kamis.
Dalam UU No: 21/2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua, pasal 64 ayat satu menyebutkan, pemerintah wajib mengelola lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan penataan ruang, melindungi sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan.
Pasal tersebut lebih lanjut menyebutkan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati serta perubahan iklim dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan penduduk.
Rini menegaskan, dengan peraturan tersebut benda cagar budaya memiliki nilai penting yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Benda cagar budaya sebagai kekayaan arkeologi di Papua, katanya, cukup beragam dan mewakili beberapa kurun waktu sejarah yakni zaman prasejarah, masuknya pengaruh Islam dan Kristen di Papua, zaman kedatangan orang-orang Tionghoa (Cina) yang melakukan perdagangan serta zaman kolonial ketika pecah Perang Dunia II.
"Ini merupakan potensi budaya yang dapat dikelola untuk membangun citra daerah yang memiliki peradaban menarik, bermartabat dan beragam. Seluruh masyarakat harus memahami hal ini agar perlindungan dan pengembangannya bisa berjalan optimal," kata Rini.
Benda cagar budaya, lanjut dia, merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan sehingga selain perlindungan perlu penyadaran dan pemahaman terhadap misi peninggalan sumber daya arkeologi.
Dia menjelaskan, arkeologi merupakan bidang ilmu yang mempelajari kehidupan manusia masa lalu berdasarkan bukti-bukti penemuan artefak dan fosil.
Rentang waktu masa lalu, kata dia, ditetapkan untuk penemuan yang telah berumur 50 tahun ke belakang. Hal ini didasarkan pada UU No.5 Tahun 1992 tentang benda-benda arkeologi.
Dengan potensi arkeologi yang cukup besar, Balai Arkeologi Jayapura membagi wilayah kerjanya menjadi enam, yaitu daerah Kepala Burung, Teluk Cenderawasih, Teluk Bintuni, Pantai Selatan dan sekitarnya, Pantai Utara dan sekitarnya serta Pegunungan Tengah.
Sejak sepuluh tahun terakhir ini, kegiatan penelitian dan pengembangan Balai Arkeologi Jayapura telah menemukan 89 situs yang sangat berharga, baik dari segi pendidikan dan budaya maupun wisata sejarah. (JY)
Sumber: http://regional.kompas.com