London, Inggris - Film "Perempuan Berkalung Sorban" yang dan disutradarai Hanung Bramantyo memukau penonton di gedung pertemuan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) London, Rabu (21/4) malam.
Sekretaris Pertama Pensosbud KBRI London, Novan Ivanhoe Saleh, kepada koresponden ANTARA News mengatakan bahwa penayangan film "Perempuan Berkalung Sorban" merupakan rangkaian dari "Indonesia Film Screening" yang digelar KBRI London.
Film yang dibintangi Revalina S. Temat, Joshua Pandelaki, Widyawati, Oka Antara, Reza Rahadian dan Ida Leman itu berkisah mengenai pengorbanan seorang wanita muslim, Anissa, yang diperankan oleh Revalina S. Temat.
Anissa hidup dalam lingkungan keluarga kyai di sebuah pesantren Salafiah putri al-Huda, di Jawa Timur, Indonesia, yang konservatif. Baginya ilmu sejati dan benar hanyalah al-Qur`an, Hadist dan Sunnah.
Dalam pesantren Salafiah putri Al Huda diajarkan bagaimana menjadi seorang perempuan muslim, di mana pelajaran itu membuat Anissa beranggapan bahwa Islam hanya membela laki-laki, perempuan sangat lemah dan tidak seimbang.
Tapi protes Anissa selalu dianggap sebagai rengekan anak kecil. Hanya Khudori yang diperankan oleh Oka Antara, paman dari pihak ibu, yang selalu menemani Anissa menghiburnya, sekaligus menyajikan dunia yang lain bagi Anissa.
Diam-diam Anissa menaruh hati pada Khudori. Tapi cinta itu tidak terbalas karena Khudori menyadari dirinya masih ada hubungan dekat dengan keluarga Kyai Hanan (diperankan oleh Joshua Pandelaky), sekalipun bukan sedarah. Hal itu membuat Khudori selalu mencoba membunuh cintanya.
Sampai akhirnya Khudori melanjutkan sekolah ke Kairo, Mesir. Secara diam-diam Anissa mendaftarkan kuliah ke Yogyakarta, dan diterima.
Namun, Kyai Hanan tidak mengizinkannya dengan alasan bisa menimbulkan fitnah, ketika seorang perempuan belum menikah berada sendirian jauh dari orang tua, namun Anissa bersikeras dan protes kepada ayahnya.
Akhirnya Anissa malah dinikahkan dengan Samsudin yang diperankan oleh Reza Rahadian, seorang anak kyai dari pesantren Salaf terbesar di Jawa Timur.
Sekalipun hati Anissa berontak, tapi pernikahan itu dilangsungkan juga. Kenyataannya Samsudin menikah lagi dengan Kalsum (diperankan oleh Francine Roosenda).
Harapan untuk menjadi perempuan muslimah yang mandiri bagi Anissa seketika runtuh. Dalam kiprahnya itu, Anissa dipertemukan lagi dengan Khudori. Keduanya masih sama-sama mencintai.
Film ini mengundang kontroversi karena dianggap melakukan kritikan secara kontraproduktif atas tradisi yang terdapat dalam kebudayaan pesantren.
Michael Parrott, mantan wartawan Reuter mengakui film "Perempuan Berkalung Sorban," sangat emosional dan mengundang berbagai reaksi.
"Saya ingin tahu apakah kondisi yang ada dalam film tersebut benar-benar terjadi di Indonesia," ujar Michael, yang mengharapkan adanya diskusi usai pemutaran film tersebut.
Sementara itu Suzanne Aslam, wanita berayahkan Pakistan dan ibu campuran Perancis-Inggris, menilai film tersebut sangat akrab di lingkungan keluarga ayahnya.
Dikatakannya, sistem pendidikan di Indonesia seperti pesantren itu juga dijumpai di Pakistan, ujar Suzanne, yang bekerja sebagai `personal assistant`.
Michael dan Suzanne serta Edvaldo Depaiva yang dulu bekerja di kedutaan Brazil di London, usai pemutaran film `Perempuan Berkalung Sorban` itu asyik berdiskusi mengenai sistem pendidikan yang ada dalam film tersebut.
Edvaldo mengakui bahwa sistem pendidikan di desa-desa di Brazil memiliki kesamaan dengan yang ada dalam film tersebut, hanya saja sdi Brazil edikit lebih bebas.
Novan mengakui penayangan film Indonesia menarik perhatian penggemar film Indonesia yang ada di London, baik kalangan universitas maupun masyarakat.
Usai penayangan film para penonton mendapat suguhan panganan kecil Indonesia seperti lontong dan pastel yang sangat diminati serta minuman jus jambu dan markisah. (T.H-ZG/H-KWR/P003)
Sumber: http://www.antaranews.com
Sekretaris Pertama Pensosbud KBRI London, Novan Ivanhoe Saleh, kepada koresponden ANTARA News mengatakan bahwa penayangan film "Perempuan Berkalung Sorban" merupakan rangkaian dari "Indonesia Film Screening" yang digelar KBRI London.
Film yang dibintangi Revalina S. Temat, Joshua Pandelaki, Widyawati, Oka Antara, Reza Rahadian dan Ida Leman itu berkisah mengenai pengorbanan seorang wanita muslim, Anissa, yang diperankan oleh Revalina S. Temat.
Anissa hidup dalam lingkungan keluarga kyai di sebuah pesantren Salafiah putri al-Huda, di Jawa Timur, Indonesia, yang konservatif. Baginya ilmu sejati dan benar hanyalah al-Qur`an, Hadist dan Sunnah.
Dalam pesantren Salafiah putri Al Huda diajarkan bagaimana menjadi seorang perempuan muslim, di mana pelajaran itu membuat Anissa beranggapan bahwa Islam hanya membela laki-laki, perempuan sangat lemah dan tidak seimbang.
Tapi protes Anissa selalu dianggap sebagai rengekan anak kecil. Hanya Khudori yang diperankan oleh Oka Antara, paman dari pihak ibu, yang selalu menemani Anissa menghiburnya, sekaligus menyajikan dunia yang lain bagi Anissa.
Diam-diam Anissa menaruh hati pada Khudori. Tapi cinta itu tidak terbalas karena Khudori menyadari dirinya masih ada hubungan dekat dengan keluarga Kyai Hanan (diperankan oleh Joshua Pandelaky), sekalipun bukan sedarah. Hal itu membuat Khudori selalu mencoba membunuh cintanya.
Sampai akhirnya Khudori melanjutkan sekolah ke Kairo, Mesir. Secara diam-diam Anissa mendaftarkan kuliah ke Yogyakarta, dan diterima.
Namun, Kyai Hanan tidak mengizinkannya dengan alasan bisa menimbulkan fitnah, ketika seorang perempuan belum menikah berada sendirian jauh dari orang tua, namun Anissa bersikeras dan protes kepada ayahnya.
Akhirnya Anissa malah dinikahkan dengan Samsudin yang diperankan oleh Reza Rahadian, seorang anak kyai dari pesantren Salaf terbesar di Jawa Timur.
Sekalipun hati Anissa berontak, tapi pernikahan itu dilangsungkan juga. Kenyataannya Samsudin menikah lagi dengan Kalsum (diperankan oleh Francine Roosenda).
Harapan untuk menjadi perempuan muslimah yang mandiri bagi Anissa seketika runtuh. Dalam kiprahnya itu, Anissa dipertemukan lagi dengan Khudori. Keduanya masih sama-sama mencintai.
Film ini mengundang kontroversi karena dianggap melakukan kritikan secara kontraproduktif atas tradisi yang terdapat dalam kebudayaan pesantren.
Michael Parrott, mantan wartawan Reuter mengakui film "Perempuan Berkalung Sorban," sangat emosional dan mengundang berbagai reaksi.
"Saya ingin tahu apakah kondisi yang ada dalam film tersebut benar-benar terjadi di Indonesia," ujar Michael, yang mengharapkan adanya diskusi usai pemutaran film tersebut.
Sementara itu Suzanne Aslam, wanita berayahkan Pakistan dan ibu campuran Perancis-Inggris, menilai film tersebut sangat akrab di lingkungan keluarga ayahnya.
Dikatakannya, sistem pendidikan di Indonesia seperti pesantren itu juga dijumpai di Pakistan, ujar Suzanne, yang bekerja sebagai `personal assistant`.
Michael dan Suzanne serta Edvaldo Depaiva yang dulu bekerja di kedutaan Brazil di London, usai pemutaran film `Perempuan Berkalung Sorban` itu asyik berdiskusi mengenai sistem pendidikan yang ada dalam film tersebut.
Edvaldo mengakui bahwa sistem pendidikan di desa-desa di Brazil memiliki kesamaan dengan yang ada dalam film tersebut, hanya saja sdi Brazil edikit lebih bebas.
Novan mengakui penayangan film Indonesia menarik perhatian penggemar film Indonesia yang ada di London, baik kalangan universitas maupun masyarakat.
Usai penayangan film para penonton mendapat suguhan panganan kecil Indonesia seperti lontong dan pastel yang sangat diminati serta minuman jus jambu dan markisah. (T.H-ZG/H-KWR/P003)
Sumber: http://www.antaranews.com