Peresensi : Humaidiy AS *)
Judul Buku : Kunci Rahasia Ketuhanan, Iblis dan Ifrit hingga 40 Juz al-Qur’an
Penulis : Muchammad Hormus
Penerbit : Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan : I (Pertama), Januari 2010
Tebal : xiv + 204 halaman
Salah satu ciri fenomena yang paling menonjol dakam perkembangan kehidupan modern dan serba sekuleristik ini ialah bangkitnya dimensi spriritualitas. Bangkitnya spiritualitas ditandai dengan semakin marak dan berkembangnya pengkajian dan diskusi seputar tasawuf dan “tarekat” tidak hanya di pesantren-pesantren atau lembaga keagamaan, tetapi juga di wilayah perkotaan.
Konon, menurut para sejarawan Islam, kemunculan tasawuf merupakan respons terhadap gemerlapnya dunia yang sangat berlebihan. Pada saat itu Islam memuncaki kejayaannya, sehingga kekayaan melimpah, dan kemewahan menjadi tak terkendali. Namun, dalam perkembangannya, tasawuf juga dianggap sebagai biangnya kemunduran umat Islam. Konsep-konsep tasawuf seperti zuhud, khalwat, wira’i dan riyadhoh tidak lain adalah konsep-konsep yang anti-dunia, yang membawa pelakunya berasyik-masyuk dengan dirinya sendiri, Tuhannya dan melupakan kehidupan sosial kemasyarakatan disekitarnya. Tasawuf kemudian diidentikkan dengan kemiskinan, kelusuhan, dan bahkan kekotoran. Orang takut belajar tasawuf karena kuatir menjadi miskin. Padahal, kemiskinan yang disamakan dengan kesalihan berasal dari kekeliruan dalam memahami Al-Quran dan hadis. Pemahaman sufisme yang parsial dan sempit ataupun kekelruan praktek ajaran-ajaran yang disalahfami, kerapkali menjadi pemicu pemahamn yang tidak tepat terhadap dunia sufistik.
Pada titik inilah, Muhammad Hormus; seorang Mursyid Thoriqoh Syadziliyyah Qodiriyah wa Naqsabandiyah yang menggeluti dunia tasawuf sejak masa muda melalui buku Kunci Rahasia Ketuhanan,menjadi bacaan alternatif bagi pembaca yang ingin menekuni dunia sufi. Pengalaman otentik penulis dan renungan-renungannya yang mendalam, membuat tulisan esai-esainya terasa begitu mengalir dan reflektif. Dalam uraian-uraiannya, seorang sufi sejati, tidak hanya peduli pada “keselamatan” pribadi, tetapi juga berpartisipasi mengentaskan dan berperan aktif di lingkungan masyarakatnya (hlm. vi). Sebab, sufi sejati adalah mereka yang mampu mengaplikasikan perjalanan ruhani yang meng-Allah, yang aktualisasinya merupakan pengabdian diri kepada seluruh umat manusia seumur hidup. Pengabdian diri kepada seluruh umat inilah yang dilandasi dengan cinta (hubb). Cinta seorang sufi kepada seluruh umat manusia itu melampaui batas-batas kemanusiaan, nasionalitas, etnis, ras, suku, ideologi, golongan, budaya, dan bahkan agama.
Lebih jauh, membaca buku ini ditemukan bahwa di dalam tasawuf, kedalaman makna hidup ditemukan. Dari sini hubungan personal antara manusia dan Tuhan yang sangat intim diharapkan bisa berimplikasi positif secara lebih luas dalam tatanan kolektif masyarakat umat manusia. Logikanya, hubungan personal dengan Tuhan itu tidak hanya berhenti pada titik personal itu, juga tidak hanya dipenuhi oleh kebernikmatan hidup secara spiritual individual. Melainkan, berujung dan ditujukan untuk meraih implikasi sosial yang luas. Sehingga, bagi Sayyed Hossein Nasr, misalnya, tasawuf setidaknya bisa turut serta berperan dalam pembebasan dan penyelamatan kemanusiaan dari kondisi yang penuh kecemasan.
Berangkat dari spirit bahwa kehidupan dunia dan akhirat adalah manunggal. Buku setebal 204 halaman ini juga menegaskan bahwa jalan spiritual seharusnya juga dapat menjadi ilham bagi gerakan sosial. Islam dan tasawuf dengan demikian tidaklah anti-dunia dan anti-sosial. Dalam kaitannya dengan itu, maka ibadah sholat, perjalanan spirirtual haji dan puasa Ramadhan dan berbagai bentuk kesalehan lainnya yang kita amalkan akan sangat kering makna ideologisnya, manakala sekedar diniati sebagai “laku spiritual” tanpa kemudian menjadi kritik sosial (hlm. 126). Agenda mengembalikan misi universalitas agama tentu saja tidak segampang yang dibayangkan. Namun, kebutuhan spiritual dan implementasi amal-amal sosial serta kemanusiaan adalah misi universal agama yang mesti ditegakkan kembali dan karenanya tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Walhasil, Sufi sejati adalah mereka yang mampu mengaplikasikan “tasawuf kerakyatan”, yang tidak hanya berperang melawan Iblis dan Ifrit saja. Lebih dari itu, ia juga harus melawan “iblis” sufisme itu sendiri, melampauinya dan mengabdikannya kepada kemanusiaan sepenuh-penuhnya. Apa yang ditulis oleh Penulis melalui buku ini, percikan-percikan pemikiran dan gagasannya, pembaca setidaknya memperoleh “pencerahan baru” tentang dunia tasawuf dan gerakan kerakyatan Indonesia berbasis spiritualitas Islam. Pembaca juga akan mengerti bahwa hakikat tasawuf sebagai bagian dari spirit ajaran Islam jauh dari anti-dunia dan anti-sosial kemanusiaan.
Akhirnya, dalam konteks seperti itulah buku ini bisa dibaca dan difahami. Kehadiran buku ini layak dianggap sebagai penambah khazanah wacana kontekstualitas ajaran agama agar lebih membumi dan bermakna. Selamat membaca!
*) Peresensi adalah Pengajar pada Pondok Pesantren Krapyak dan Aktivis pada Lembaga Kajian Agama dan Swadaya Umat (LeKAS) Yogyakarta
Sumber: http://oase.kompas.com
Judul Buku : Kunci Rahasia Ketuhanan, Iblis dan Ifrit hingga 40 Juz al-Qur’an
Penulis : Muchammad Hormus
Penerbit : Pustaka Pesantren, Yogyakarta
Cetakan : I (Pertama), Januari 2010
Tebal : xiv + 204 halaman
Salah satu ciri fenomena yang paling menonjol dakam perkembangan kehidupan modern dan serba sekuleristik ini ialah bangkitnya dimensi spriritualitas. Bangkitnya spiritualitas ditandai dengan semakin marak dan berkembangnya pengkajian dan diskusi seputar tasawuf dan “tarekat” tidak hanya di pesantren-pesantren atau lembaga keagamaan, tetapi juga di wilayah perkotaan.
Konon, menurut para sejarawan Islam, kemunculan tasawuf merupakan respons terhadap gemerlapnya dunia yang sangat berlebihan. Pada saat itu Islam memuncaki kejayaannya, sehingga kekayaan melimpah, dan kemewahan menjadi tak terkendali. Namun, dalam perkembangannya, tasawuf juga dianggap sebagai biangnya kemunduran umat Islam. Konsep-konsep tasawuf seperti zuhud, khalwat, wira’i dan riyadhoh tidak lain adalah konsep-konsep yang anti-dunia, yang membawa pelakunya berasyik-masyuk dengan dirinya sendiri, Tuhannya dan melupakan kehidupan sosial kemasyarakatan disekitarnya. Tasawuf kemudian diidentikkan dengan kemiskinan, kelusuhan, dan bahkan kekotoran. Orang takut belajar tasawuf karena kuatir menjadi miskin. Padahal, kemiskinan yang disamakan dengan kesalihan berasal dari kekeliruan dalam memahami Al-Quran dan hadis. Pemahaman sufisme yang parsial dan sempit ataupun kekelruan praktek ajaran-ajaran yang disalahfami, kerapkali menjadi pemicu pemahamn yang tidak tepat terhadap dunia sufistik.
Pada titik inilah, Muhammad Hormus; seorang Mursyid Thoriqoh Syadziliyyah Qodiriyah wa Naqsabandiyah yang menggeluti dunia tasawuf sejak masa muda melalui buku Kunci Rahasia Ketuhanan,menjadi bacaan alternatif bagi pembaca yang ingin menekuni dunia sufi. Pengalaman otentik penulis dan renungan-renungannya yang mendalam, membuat tulisan esai-esainya terasa begitu mengalir dan reflektif. Dalam uraian-uraiannya, seorang sufi sejati, tidak hanya peduli pada “keselamatan” pribadi, tetapi juga berpartisipasi mengentaskan dan berperan aktif di lingkungan masyarakatnya (hlm. vi). Sebab, sufi sejati adalah mereka yang mampu mengaplikasikan perjalanan ruhani yang meng-Allah, yang aktualisasinya merupakan pengabdian diri kepada seluruh umat manusia seumur hidup. Pengabdian diri kepada seluruh umat inilah yang dilandasi dengan cinta (hubb). Cinta seorang sufi kepada seluruh umat manusia itu melampaui batas-batas kemanusiaan, nasionalitas, etnis, ras, suku, ideologi, golongan, budaya, dan bahkan agama.
Lebih jauh, membaca buku ini ditemukan bahwa di dalam tasawuf, kedalaman makna hidup ditemukan. Dari sini hubungan personal antara manusia dan Tuhan yang sangat intim diharapkan bisa berimplikasi positif secara lebih luas dalam tatanan kolektif masyarakat umat manusia. Logikanya, hubungan personal dengan Tuhan itu tidak hanya berhenti pada titik personal itu, juga tidak hanya dipenuhi oleh kebernikmatan hidup secara spiritual individual. Melainkan, berujung dan ditujukan untuk meraih implikasi sosial yang luas. Sehingga, bagi Sayyed Hossein Nasr, misalnya, tasawuf setidaknya bisa turut serta berperan dalam pembebasan dan penyelamatan kemanusiaan dari kondisi yang penuh kecemasan.
Berangkat dari spirit bahwa kehidupan dunia dan akhirat adalah manunggal. Buku setebal 204 halaman ini juga menegaskan bahwa jalan spiritual seharusnya juga dapat menjadi ilham bagi gerakan sosial. Islam dan tasawuf dengan demikian tidaklah anti-dunia dan anti-sosial. Dalam kaitannya dengan itu, maka ibadah sholat, perjalanan spirirtual haji dan puasa Ramadhan dan berbagai bentuk kesalehan lainnya yang kita amalkan akan sangat kering makna ideologisnya, manakala sekedar diniati sebagai “laku spiritual” tanpa kemudian menjadi kritik sosial (hlm. 126). Agenda mengembalikan misi universalitas agama tentu saja tidak segampang yang dibayangkan. Namun, kebutuhan spiritual dan implementasi amal-amal sosial serta kemanusiaan adalah misi universal agama yang mesti ditegakkan kembali dan karenanya tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Walhasil, Sufi sejati adalah mereka yang mampu mengaplikasikan “tasawuf kerakyatan”, yang tidak hanya berperang melawan Iblis dan Ifrit saja. Lebih dari itu, ia juga harus melawan “iblis” sufisme itu sendiri, melampauinya dan mengabdikannya kepada kemanusiaan sepenuh-penuhnya. Apa yang ditulis oleh Penulis melalui buku ini, percikan-percikan pemikiran dan gagasannya, pembaca setidaknya memperoleh “pencerahan baru” tentang dunia tasawuf dan gerakan kerakyatan Indonesia berbasis spiritualitas Islam. Pembaca juga akan mengerti bahwa hakikat tasawuf sebagai bagian dari spirit ajaran Islam jauh dari anti-dunia dan anti-sosial kemanusiaan.
Akhirnya, dalam konteks seperti itulah buku ini bisa dibaca dan difahami. Kehadiran buku ini layak dianggap sebagai penambah khazanah wacana kontekstualitas ajaran agama agar lebih membumi dan bermakna. Selamat membaca!
*) Peresensi adalah Pengajar pada Pondok Pesantren Krapyak dan Aktivis pada Lembaga Kajian Agama dan Swadaya Umat (LeKAS) Yogyakarta
Sumber: http://oase.kompas.com