Oleh Sonny Eli Zaluchu
Akhirnya saya bisa menginjakkan kaki dan menginap di kota Bethlehem. Keinginan itu sudah sekian lama saya pendam dan selalu gagal terlampiaskan. Berkali-kali dalam kunjungan ke Timur Tengah, saya selalu tak bisa memasuki kota tersebut. Hambatan paling utama adalah soal keamanan dan situasi politik yang tidak stabil. Apalagi saya memasukinya dari arah Israel dan ini membuat perjalanan menjadi tidak mudah. Mengapa?
Kota Bethlehem adalah kota yang sarat konflik dan diperebutkan oleh Palestina dan Israel. Di masa intifada, kota ini menjadi salah satu basis perjuangan Palestina. Pada waktu otoritas Palestina akhirnya berkuasa atas Bethlehem, Israel mempersulit akses keluar masuk kota tersebut. Diperlukan pemeriksaan keamanan yang cukup ketat oleh tentara Israel di pintu perbatasan. Dengan muka yang galak, dan persenjataan lengkap, mereka naik ke bus dan memeriksa setiap penumpang serta mencocokkan wajah dengan foto yang tertera di dalam paspor. Tak cuma itu, siapa pun tidak diizinkan memotret wilayah perbatasan tersebut.
Pintu masuk yang saya maksudkan adalah daerah perbatasan yang diba-ngun oleh Israel untuk memasuki Bethlehem. Sebagaimana kita ketahui, pemerintah Israel telah membangun tembok besar yang sangat tinggi sebagai pembatas wilayah Bethlehem dengan Israel. Hanya ada satu pintu untuk keluar masuk ke sana.
Saya memutuskan naik bus langsung dari wilayah Israel ke Bethlehem. Jika memilih jalan kaki, maka bus Israel hanya mengantar hingga perbatasan. Selanjutnya kita harus berjalan kaki di koridor yang sengaja di buat berkelok-kelok sepanjang satu kilometer, untuk kemudian mencari angkutan di wilayah Palestina. Sungguh beruntung, pemeriksaan berjalan cukup singkat karena mungkin ketika itu antreannya cukup panjang. Bus yang saya tumpangi melintas masuk ke dalam kota bertembok itu.
Menariknya, semua tembok di sisi Israel, tertata dengan baik dan bersih. Beda dengan tembok di sisi Palestina, kotor dan tidak terawat. Tetapi pada semua ruang kosong tembok itu, terpasang poster-poster yang menolak isolasi dan lukisan dinding yang berisi propaganda perjuangan rakyat Palestina. Karena tidak diizinkan me-motret, saya cuma tersenyum menyaksikan parade lukisan tembok yang lucu tapi penuh dengan sindiran itu.
Ya, siapa yang tidak kenal Bethlehem? Ia adalah kota bersejarah yang amat penting bagi umat Nasrani dan Islam, yang aslinya sudah dihuni oleh suku bangsa Kanaan 3.000 tahun SM. Bentuk bangunannya masih terlihat kuno, bentuk rumah di Timur Tengah yang mirip kotak tanpa atap yang terbuat dari batu kapur. Mayoritas penduduknya adalah muslim Palestina. Tetapi di sana mereka hidup bertetangga dengan penganut Protestan dan Katolik. Kota itu bebas dari konflik agama.
***
BETHLEHEM yang terletak di wilayah tepi Barat itu menjadi otoritas Palestina sejak 21 Desember 1995. Momen sangat penting itu ditandai dengan perayaan Natal pertama, tiga hari setelah kepastian otoritas tersebut yang dihadiri pemimpin Palestina kala itu, Yasser Arafat. Maka ketika kita masuk ke dalam kota, kita akan menemukan wajah-wajah Arab dan petugas keamanan Palestina yang berpatroli di tiap sudut kota. Tidak ada orang Israel yang berani masuk. Sebaliknya, banyak orang Arab yang setiap harinya melintasi perbatasan dan bekerja di wilayah Israel. Salah satunya adalah sopir bus yang mengantar saya.
Akibat persoalan politik, Israel mengisolasi kota itu dengan cara membangun tembok pembatas yang tinggi dan penuh dengan kamera keamanan. Itu sebabnya sesuatu yang kontras langsung terpampang di depan mata saat memasuki Bethlehem. Tidak ada keramaian, jalanan yang sepi dan suasananya seperti kota yang terkepung. Lalu lintas kendaraan juga sedikit. Orang asing seperti saya akan dengan mudah teridentifikasi di sana. Kendati demikian, orang-orangnya sangat ramah. Setiap wisatawan yang masuk ke dalam kota selalu disambut dengan senyuman suka cita karena dianggap akan membelanjakan dolarnya.
Akibat isolasi tersebut, secara ekonomi Bethlehem jadi berkesan sebagai ”kota mati” karena segala sesuatunya ditentukan oleh arus barang yang keluar masuk melalui gerbang perbatasan. Sangat kontras dengan namanya yang berarti ”rumah roti” dalam bahasa Ibrani atau ”rumah da-ging” dalam bahasa Arab.
Dulu memang kota itu kaya dengan berbagai produk domestik dan hasil bumi seperti buah-buahan dan sayuran. Tetapi isolasi membuatnya seolah-olah kehilangan kemakmurannya. Satu-sa-tunya tempat yang membuat kota itu terasa hidup adalah pusat kota, yang menjadi daerah tujuan wisata mancanegara sekaligus tempat peziarahan kristiani. Di tempat itu ada sebuah gereja, dengan lapangan yang sangat luas yang dikenal dengan nama The Star Way. Disebut demikian karena jalanan ini pernah dilalui oleh tiga orang Majusi dari Persia yang datang ke Bethlehem.
Gereja yang menjadi satu-satunya bangunan tertua di kota Bethlehem itu dibangun di atas lokasi yang secara tradisional dianggap sebagai tempat kelahiran Yesus Kristus. Itu sebabnya dinamakan Gereja Kelahiran (Nativity Church). Hampir setiap tahun, ribuan orang Kristen dan Islam tumpah ruah di jalanan Bethlehem untuk merayakan Christmas Festivities in Bethlehem. Sebuah parade budaya yang melibatkan kekristenan Barat, ortodoks dan Arab yang unik dan khas. Sayang sekali, saya tidak berkesempatan menyaksikannya karnaval itu.
***
SETELAH berjalan sekitar 25 menit dari perbatasan, bus akhirnya tiba di sebuah kaki bukit dan diparkir di sebuah bangunan besar. Gedung parkir ini dapat memuat hingga 100 bus wisatawan sekaligus. Pemerintah Palestina memang membangun secara khusus gedung tersebut mengingat lokasi pusat kota Bethlehem dipadati rumah penduduk dan jalan rayanya sempit, karena hampir semua mobil di parkir di jalan raya.
Semua penumpang harus turun dan berjalan kaki sejauh 15 menit menuju Nativity Church. Lokasi gereja itu berada di puncak sebuah bukit batu setinggi 777 meter di atas permukaan laut sehingga kita perlu berjalan mendaki. Barulah di daerah itu saya merasakan keramaian dan menjumpai toko-toko makanan serta suvenir.
Mungkin karena keadaan ekonomi yang terisolasi, pada umumnya pedagang jalanan di sepanjang pendakian menuju Gereja Kelahiran, sangat agresif. Untuk itu kita harus berhati-hati sewaktu membeli dagangan mereka yang berupa suvenir seperti kalung, gelang, gantungan kunci, tas sulaman dan kartu pos serta kafiyeh khas Arafat. Sekali berhenti untuk menawar, maka semuanya akan datang merubung kita. Jika tidak hati-hati, barang yang sebetulnya murah bisa kita beli dengan harga mahal dan dompet bisa melayang.
Ya, kota itu juga terkenal dengan para pencopet yang sangat lihai dan bekerja secara berkelompok. Mereka juga fasih berbahasa Indonesia. Ungkapan seperti, ”Murah, murah,” ”ayo beli, beli,” dan ”Cuma sepuluh dolar” bisa kita dengar setiap saat. Pemandu yang mengantar saya menjelaskan, banyak sekali orang Indonesia yang berkunjung ke kota itu sehingga para pedagang asongan sedikit bisa berbahasa Indonesia. ”Your people terkenal suka belanja di kota kami.”
Perlu diketahui, denyut ekonomi Bethlehem ditopang oleh produksi minyak zaitun dan buah-buahan yang ”diekspor” ke wilayah Israel. Tetapi sekali lagi, isolasi telah membuat kota itu lumpuh. Pemasukan devisa cuma mengandalkan kedatangan wisatawan, yang memang disambut secara terbuka. Di setiap jalan, kita dapat menjumpai pengemis dan anak-anak Arab yang meminta-minta. Wah, sebuah gambaran kota bersejarah yang bisa dibilang ”merana”.
Jejak Multikultural pada Sebuah Gereja
GEREJA Kelahiran Kristus (Nativity Church) seperti membawa kita ke sebuah dunia yang berbeda, ke dalam satu dunia multibudaya mulai abad pertama hingga pertengahan. Berbagai budaya memang memengaruhi bentuk kota Bethlehem dan bangunan tersebut. Dimulai dari budaya Kanaan asli (penduduk awal Bethlehem) hingga era Byzantium, gaya Romawi, pengaruh Islam-Arab, bahkan Kekristenan Barat.
Konstruksi bangunannya sendiri sudah berkali-kali mengalami bongkar pasang seiring bergantinya penguasa kota.
Aslinya basilika itu dibangun oleh Helena dengan konsep bangunan Byzantium pada abad ke-4. Helena adalah ibu Kaisar Konstantin yang menjadikan agama Kristen sebagai agama negara. Ratu itulah yang berjasa menyelamatkan bangunan-bangunan suci di Yerusalem seperti Gereja Makam Kudus di Golgota dan St Catherine Monastery di kaki Gunung Sinai.
Basilika itu sempat dirobohkan sewaktu orang-orang Samaria menguasai Bethlehem. Kemudian dibangun kembali pada abad ke-6 semasa kekuasaan Kaisar Romawi Justinian. Bangunan yang sekarang berdiri adalah hasil restorasi modern dengan tetap mempertahankan keaslian gereja sebagai upaya penyelamatan berbagai artefak asli peninggalan era Justinian, bahkan Byzantium, yang masih ada.
Salah satu yang terkenal adalah lantai dan dinding bermozaik yang sangat indah. Di atas lantai asli yang penuh mozaik, dibangun lantai baru yang diberi kerangka sehingga kita masih dapat melihat ke bawah. Sisa mozaik di dinding juga masih terlihat menempel kuat meskipun sudah tidak utuh. Di sebelah kiri dan kanan basilika terdapat tiang batu berbentuk pilar setinggi 6 meter dan celah-celah cahaya matahari di jendela dekat atap. Jadi dengan desain seperti itu, di mana pun matahari berada, selalu ada cahaya yang menerobos masuk ke dalam gedung gereja yang ikut membentuk suasana artistik.
Di atas pilar-pilar, tergantung lampu lampu penerangan. Tepat di ujung gedung ada sebuah altar gereja ortodoks yang masih dipakai untuk beribadah hingga kini.
Ya, rasanya tidak ingin meninggalkan tempat yang begitu mengagumkan ini. Ada cerita menarik soal gereja yang juga diberi nama Gereja Al Mahd ini. Sewaktu Persia menginvasi Yerusalem pada tahun 614, bangunan tersebut satu-satunya yang tidak diusik untuk dihancurkan. Kenapa? Pasukan Persia menghormati sebuah lukisan mozaik di dindingnya yang menggambarkan tiga orang Majusi berpakaian Persia yang datang ke Bethlehem menjumpai bayi Yesus.
Demikian juga sewaktu pasukan muslim pimpinan Khalifah Umar bin Khattab menguasai Yerusalem tahun 638, beliau memberi jaminan keamanan untuk seluruh penduduk dan wilayah Bethlehem. Khalifah yang religius itu datang ke Bethemen dan berdoa di ujung lapangan tidak jauh dari gereja Al Mahd. Pada tempat sang khalifah berdoa itu dibangun masjid yang dinamai Masjid Umar dan hingga saat ini berdiri berhadapan dengan Basilika Al Mahd.
Ada satu tempat penting di bagian dasar bangunan megah itu dengan menuruni tangga batu berusia ratusan tahun di sebelah kanan altar gereja ortodoks. Kita harus berhati-hati karena penerangan sangat sedikit. Ruangan itu adalah sebuah gua yang sudah dipekuat dengan lapisan semen dan dibentuk lebih luas untuk menampung orang lebih banyak. Penerangan utamanya berasal dari ratusan lilin dan pelita. Tentu saja tempatnya menjadi sesak dan penuh asap.
Di pojok gua terdapat cekungan gua asli yang sudah menghitam kena asap ribuan tahun. Di sana terdapat altar ibadah. Tepat di bawahnya, ada marmer berlubang. Di sekeliling lubang itu terdapat bintang perak yang besar yang diukir dengan sebuah kalimat latin, ”Hic de Maria Virgine Jesus Christus Natus est” (Di sinilah Kristus dilahirkan dari Perawan Maria). Biasanya, peziarah berdesakan di dalam ruangan itu untuk berdoa dan melihat dari dekat gua kelahiran Kristus. Di depannya ada palungan yang diyakini sebagai tempat bayi Yesus diletakkan.
Setelah berdoa sebentar, saya langsung keluar dari gua melewati pintu di sebelah kiri altar utama yang ada di atas gua. Rupanya saya masuk ke sebuah gedung gereja modern yang dibangun oleh penganut Katolik Fransiskan.
Sumber: http://suaramerdeka.com
Akhirnya saya bisa menginjakkan kaki dan menginap di kota Bethlehem. Keinginan itu sudah sekian lama saya pendam dan selalu gagal terlampiaskan. Berkali-kali dalam kunjungan ke Timur Tengah, saya selalu tak bisa memasuki kota tersebut. Hambatan paling utama adalah soal keamanan dan situasi politik yang tidak stabil. Apalagi saya memasukinya dari arah Israel dan ini membuat perjalanan menjadi tidak mudah. Mengapa?
Kota Bethlehem adalah kota yang sarat konflik dan diperebutkan oleh Palestina dan Israel. Di masa intifada, kota ini menjadi salah satu basis perjuangan Palestina. Pada waktu otoritas Palestina akhirnya berkuasa atas Bethlehem, Israel mempersulit akses keluar masuk kota tersebut. Diperlukan pemeriksaan keamanan yang cukup ketat oleh tentara Israel di pintu perbatasan. Dengan muka yang galak, dan persenjataan lengkap, mereka naik ke bus dan memeriksa setiap penumpang serta mencocokkan wajah dengan foto yang tertera di dalam paspor. Tak cuma itu, siapa pun tidak diizinkan memotret wilayah perbatasan tersebut.
Pintu masuk yang saya maksudkan adalah daerah perbatasan yang diba-ngun oleh Israel untuk memasuki Bethlehem. Sebagaimana kita ketahui, pemerintah Israel telah membangun tembok besar yang sangat tinggi sebagai pembatas wilayah Bethlehem dengan Israel. Hanya ada satu pintu untuk keluar masuk ke sana.
Saya memutuskan naik bus langsung dari wilayah Israel ke Bethlehem. Jika memilih jalan kaki, maka bus Israel hanya mengantar hingga perbatasan. Selanjutnya kita harus berjalan kaki di koridor yang sengaja di buat berkelok-kelok sepanjang satu kilometer, untuk kemudian mencari angkutan di wilayah Palestina. Sungguh beruntung, pemeriksaan berjalan cukup singkat karena mungkin ketika itu antreannya cukup panjang. Bus yang saya tumpangi melintas masuk ke dalam kota bertembok itu.
Menariknya, semua tembok di sisi Israel, tertata dengan baik dan bersih. Beda dengan tembok di sisi Palestina, kotor dan tidak terawat. Tetapi pada semua ruang kosong tembok itu, terpasang poster-poster yang menolak isolasi dan lukisan dinding yang berisi propaganda perjuangan rakyat Palestina. Karena tidak diizinkan me-motret, saya cuma tersenyum menyaksikan parade lukisan tembok yang lucu tapi penuh dengan sindiran itu.
Ya, siapa yang tidak kenal Bethlehem? Ia adalah kota bersejarah yang amat penting bagi umat Nasrani dan Islam, yang aslinya sudah dihuni oleh suku bangsa Kanaan 3.000 tahun SM. Bentuk bangunannya masih terlihat kuno, bentuk rumah di Timur Tengah yang mirip kotak tanpa atap yang terbuat dari batu kapur. Mayoritas penduduknya adalah muslim Palestina. Tetapi di sana mereka hidup bertetangga dengan penganut Protestan dan Katolik. Kota itu bebas dari konflik agama.
***
BETHLEHEM yang terletak di wilayah tepi Barat itu menjadi otoritas Palestina sejak 21 Desember 1995. Momen sangat penting itu ditandai dengan perayaan Natal pertama, tiga hari setelah kepastian otoritas tersebut yang dihadiri pemimpin Palestina kala itu, Yasser Arafat. Maka ketika kita masuk ke dalam kota, kita akan menemukan wajah-wajah Arab dan petugas keamanan Palestina yang berpatroli di tiap sudut kota. Tidak ada orang Israel yang berani masuk. Sebaliknya, banyak orang Arab yang setiap harinya melintasi perbatasan dan bekerja di wilayah Israel. Salah satunya adalah sopir bus yang mengantar saya.
Akibat persoalan politik, Israel mengisolasi kota itu dengan cara membangun tembok pembatas yang tinggi dan penuh dengan kamera keamanan. Itu sebabnya sesuatu yang kontras langsung terpampang di depan mata saat memasuki Bethlehem. Tidak ada keramaian, jalanan yang sepi dan suasananya seperti kota yang terkepung. Lalu lintas kendaraan juga sedikit. Orang asing seperti saya akan dengan mudah teridentifikasi di sana. Kendati demikian, orang-orangnya sangat ramah. Setiap wisatawan yang masuk ke dalam kota selalu disambut dengan senyuman suka cita karena dianggap akan membelanjakan dolarnya.
Akibat isolasi tersebut, secara ekonomi Bethlehem jadi berkesan sebagai ”kota mati” karena segala sesuatunya ditentukan oleh arus barang yang keluar masuk melalui gerbang perbatasan. Sangat kontras dengan namanya yang berarti ”rumah roti” dalam bahasa Ibrani atau ”rumah da-ging” dalam bahasa Arab.
Dulu memang kota itu kaya dengan berbagai produk domestik dan hasil bumi seperti buah-buahan dan sayuran. Tetapi isolasi membuatnya seolah-olah kehilangan kemakmurannya. Satu-sa-tunya tempat yang membuat kota itu terasa hidup adalah pusat kota, yang menjadi daerah tujuan wisata mancanegara sekaligus tempat peziarahan kristiani. Di tempat itu ada sebuah gereja, dengan lapangan yang sangat luas yang dikenal dengan nama The Star Way. Disebut demikian karena jalanan ini pernah dilalui oleh tiga orang Majusi dari Persia yang datang ke Bethlehem.
Gereja yang menjadi satu-satunya bangunan tertua di kota Bethlehem itu dibangun di atas lokasi yang secara tradisional dianggap sebagai tempat kelahiran Yesus Kristus. Itu sebabnya dinamakan Gereja Kelahiran (Nativity Church). Hampir setiap tahun, ribuan orang Kristen dan Islam tumpah ruah di jalanan Bethlehem untuk merayakan Christmas Festivities in Bethlehem. Sebuah parade budaya yang melibatkan kekristenan Barat, ortodoks dan Arab yang unik dan khas. Sayang sekali, saya tidak berkesempatan menyaksikannya karnaval itu.
***
SETELAH berjalan sekitar 25 menit dari perbatasan, bus akhirnya tiba di sebuah kaki bukit dan diparkir di sebuah bangunan besar. Gedung parkir ini dapat memuat hingga 100 bus wisatawan sekaligus. Pemerintah Palestina memang membangun secara khusus gedung tersebut mengingat lokasi pusat kota Bethlehem dipadati rumah penduduk dan jalan rayanya sempit, karena hampir semua mobil di parkir di jalan raya.
Semua penumpang harus turun dan berjalan kaki sejauh 15 menit menuju Nativity Church. Lokasi gereja itu berada di puncak sebuah bukit batu setinggi 777 meter di atas permukaan laut sehingga kita perlu berjalan mendaki. Barulah di daerah itu saya merasakan keramaian dan menjumpai toko-toko makanan serta suvenir.
Mungkin karena keadaan ekonomi yang terisolasi, pada umumnya pedagang jalanan di sepanjang pendakian menuju Gereja Kelahiran, sangat agresif. Untuk itu kita harus berhati-hati sewaktu membeli dagangan mereka yang berupa suvenir seperti kalung, gelang, gantungan kunci, tas sulaman dan kartu pos serta kafiyeh khas Arafat. Sekali berhenti untuk menawar, maka semuanya akan datang merubung kita. Jika tidak hati-hati, barang yang sebetulnya murah bisa kita beli dengan harga mahal dan dompet bisa melayang.
Ya, kota itu juga terkenal dengan para pencopet yang sangat lihai dan bekerja secara berkelompok. Mereka juga fasih berbahasa Indonesia. Ungkapan seperti, ”Murah, murah,” ”ayo beli, beli,” dan ”Cuma sepuluh dolar” bisa kita dengar setiap saat. Pemandu yang mengantar saya menjelaskan, banyak sekali orang Indonesia yang berkunjung ke kota itu sehingga para pedagang asongan sedikit bisa berbahasa Indonesia. ”Your people terkenal suka belanja di kota kami.”
Perlu diketahui, denyut ekonomi Bethlehem ditopang oleh produksi minyak zaitun dan buah-buahan yang ”diekspor” ke wilayah Israel. Tetapi sekali lagi, isolasi telah membuat kota itu lumpuh. Pemasukan devisa cuma mengandalkan kedatangan wisatawan, yang memang disambut secara terbuka. Di setiap jalan, kita dapat menjumpai pengemis dan anak-anak Arab yang meminta-minta. Wah, sebuah gambaran kota bersejarah yang bisa dibilang ”merana”.
Jejak Multikultural pada Sebuah Gereja
GEREJA Kelahiran Kristus (Nativity Church) seperti membawa kita ke sebuah dunia yang berbeda, ke dalam satu dunia multibudaya mulai abad pertama hingga pertengahan. Berbagai budaya memang memengaruhi bentuk kota Bethlehem dan bangunan tersebut. Dimulai dari budaya Kanaan asli (penduduk awal Bethlehem) hingga era Byzantium, gaya Romawi, pengaruh Islam-Arab, bahkan Kekristenan Barat.
Konstruksi bangunannya sendiri sudah berkali-kali mengalami bongkar pasang seiring bergantinya penguasa kota.
Aslinya basilika itu dibangun oleh Helena dengan konsep bangunan Byzantium pada abad ke-4. Helena adalah ibu Kaisar Konstantin yang menjadikan agama Kristen sebagai agama negara. Ratu itulah yang berjasa menyelamatkan bangunan-bangunan suci di Yerusalem seperti Gereja Makam Kudus di Golgota dan St Catherine Monastery di kaki Gunung Sinai.
Basilika itu sempat dirobohkan sewaktu orang-orang Samaria menguasai Bethlehem. Kemudian dibangun kembali pada abad ke-6 semasa kekuasaan Kaisar Romawi Justinian. Bangunan yang sekarang berdiri adalah hasil restorasi modern dengan tetap mempertahankan keaslian gereja sebagai upaya penyelamatan berbagai artefak asli peninggalan era Justinian, bahkan Byzantium, yang masih ada.
Salah satu yang terkenal adalah lantai dan dinding bermozaik yang sangat indah. Di atas lantai asli yang penuh mozaik, dibangun lantai baru yang diberi kerangka sehingga kita masih dapat melihat ke bawah. Sisa mozaik di dinding juga masih terlihat menempel kuat meskipun sudah tidak utuh. Di sebelah kiri dan kanan basilika terdapat tiang batu berbentuk pilar setinggi 6 meter dan celah-celah cahaya matahari di jendela dekat atap. Jadi dengan desain seperti itu, di mana pun matahari berada, selalu ada cahaya yang menerobos masuk ke dalam gedung gereja yang ikut membentuk suasana artistik.
Di atas pilar-pilar, tergantung lampu lampu penerangan. Tepat di ujung gedung ada sebuah altar gereja ortodoks yang masih dipakai untuk beribadah hingga kini.
Ya, rasanya tidak ingin meninggalkan tempat yang begitu mengagumkan ini. Ada cerita menarik soal gereja yang juga diberi nama Gereja Al Mahd ini. Sewaktu Persia menginvasi Yerusalem pada tahun 614, bangunan tersebut satu-satunya yang tidak diusik untuk dihancurkan. Kenapa? Pasukan Persia menghormati sebuah lukisan mozaik di dindingnya yang menggambarkan tiga orang Majusi berpakaian Persia yang datang ke Bethlehem menjumpai bayi Yesus.
Demikian juga sewaktu pasukan muslim pimpinan Khalifah Umar bin Khattab menguasai Yerusalem tahun 638, beliau memberi jaminan keamanan untuk seluruh penduduk dan wilayah Bethlehem. Khalifah yang religius itu datang ke Bethemen dan berdoa di ujung lapangan tidak jauh dari gereja Al Mahd. Pada tempat sang khalifah berdoa itu dibangun masjid yang dinamai Masjid Umar dan hingga saat ini berdiri berhadapan dengan Basilika Al Mahd.
Ada satu tempat penting di bagian dasar bangunan megah itu dengan menuruni tangga batu berusia ratusan tahun di sebelah kanan altar gereja ortodoks. Kita harus berhati-hati karena penerangan sangat sedikit. Ruangan itu adalah sebuah gua yang sudah dipekuat dengan lapisan semen dan dibentuk lebih luas untuk menampung orang lebih banyak. Penerangan utamanya berasal dari ratusan lilin dan pelita. Tentu saja tempatnya menjadi sesak dan penuh asap.
Di pojok gua terdapat cekungan gua asli yang sudah menghitam kena asap ribuan tahun. Di sana terdapat altar ibadah. Tepat di bawahnya, ada marmer berlubang. Di sekeliling lubang itu terdapat bintang perak yang besar yang diukir dengan sebuah kalimat latin, ”Hic de Maria Virgine Jesus Christus Natus est” (Di sinilah Kristus dilahirkan dari Perawan Maria). Biasanya, peziarah berdesakan di dalam ruangan itu untuk berdoa dan melihat dari dekat gua kelahiran Kristus. Di depannya ada palungan yang diyakini sebagai tempat bayi Yesus diletakkan.
Setelah berdoa sebentar, saya langsung keluar dari gua melewati pintu di sebelah kiri altar utama yang ada di atas gua. Rupanya saya masuk ke sebuah gedung gereja modern yang dibangun oleh penganut Katolik Fransiskan.
Sumber: http://suaramerdeka.com