(Studi Kasus Pedagang Asal Minangkabau di Pasar Kebayoran Lama Jakarta Selatan)
Oleh Witrianto
I. Pendahuluan
Pasar Kebayoran Lama merupakan salah satu pasar tradisional yang cukup ramai di bagian selatan Kota Jakarta. Perdagangan yang berlangsung di pasar ini secara umum didominasi oleh etnis Cina dan Minangkabau. Etnis Cina mengusai perdagangan menengah ke atas, sementara etnis Minangkabau menguasai lapisan menengah ke bawah. Hanya sedikit pedagang Minangkabau yang memiliki toko-toko besar di tempat strategis, toko-toko yang mereka miliki umumnya terletak di bagian tengah atau belakang pasar. Etnis lain yang berdagang di pasar ini adalah orang Jawa yang umumnya berdagang sayur, dan orang Sunda yang umumnya berdagang buah-buahan.
Pedagang Minangkabau yang ada di Pasar Kebayoran Lama ini secara umum dapat di bagi dalam tiga kategori: Pertama, orang Minangkabau yang baru merantau ke Jakarta, terutama sejak tahun 1990-an sampai sekarang. Umumnya mereka berdagang kaki-lima, sebagian besar di antaranya berasal dari Solok, Selayo dan nagari-nagari lainnya di Sumatera Barat. Kedua, orang Minangkabau yang sudah lebih lama merantau ke Jakarta, yaitu sejak tahun 1970-an hingga 1990-an. Mereka umumnya sudah memiliki toko besar atau kecil, sebagian besar berasal dari Silungkang dan Selayo. Ketiga, orang Minangkabau yang sudah menetap di Jakarta dalam waktu yang lama, bahkan sebagian besar di antaranya lahir di Jakarta. Sebagian besar di antaranya berasal dari Silungkang dan dari berbagai nagari di Minangkabau, terutama dari Luhak Agam dan Tanah Datar. Kelompok pertama dan kedua dalam berkomunikasi sehari-hari di antara sesama mereka masih menggunakan bahasa Minangkabau, sedangkan kelompok ketiga sebagian besar menggunakan bahasa Indonesia, tetapi jika berhubungan dengan orang Minangkabau kelompok pertama dan kedua mereka menggunakan bahasa Minangkabau yang kadang-kadang bercampur dengan bahasa Indonesia logat Jakarta.
Tulisan ini membahas persoalan yang berhubungan dengan perubahan struktur keluarga etnis Minangkabau sebagai akibat dari merantau. Fokus bahasannya terutama adalah pada aspek-aspek sistem kekerabatan, struktur kekuasaan, struktur tanggung jawab, dan sistem waris.
Yang menarik dari kajian mengenai perubahan struktur keluarga migran asal Minangkabau ini adalah mengenai perubahan yang terjadi pada aspek-aspek sistem kekerabatan, sruktur kekuasaan, struktur tanggung jawab, dan sistem waris. Di rantau, ciri-ciri kekerabatan matrilineal yang sebelumnya dianut orang Minangkabau di daerah asal cenderung berubah ke arah bilineal. Di rantau mengenai pandangan seorang anak terhadap keluarga asal ayahnya dan keluarga asal ibunya relatif sama, sementara di Minangkabau seorang anak jauh lebih dekat dengan keluarga asal ibunya daripada keluarga asal ayahnya yang kadang-kadang bahkan tidak terlalu dikenalnya. Jika di Minangkabau yang paling berkuasa dan bertanggung jawab dalam keluarga adalah mamak (saudara laki-laki ibu), maka di rantau yang paling berkuasa dan bertanggung jawab adalah ayah. Di rantau, anak laki-laki mendapat bagian warisan yang setara dengan anak perempuan, sedangkan di daerah asal hanya anak perempuan yang mendapat warisan.
Struktur keluarga, yang merupakan kajian utama dalam tulisan ini, merupakan struktur sosial dengan ruang lingkup keluarga. Struktur keluarga merupakan salah satu aspek dari struktur sosial masyarakat. Namun, struktur keluarga dapat pula dipandang dan dianalisis sebagai struktur sosial tersendiri. Menurut Ihromi (1984), struktur kekerabatan, struktur kekuasaan, dan struktur tanggung jawab merupakan bagian dari struktur keluarga. Dijk (1982), menyatakan bahwa sistem waris sangat terkait dengan sistem kekerabatan. Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa sistem waris merupakan bagian dari struktur keluarga.
Untuk lebih memahami perubahan-perubahan yang terjadi di kalangan migran asal Minangkabau ini, perlu kiranya untuk lebih memahami struktur keluarga yang berlaku di Minangkabau yang mencakup (1) sistem kekerabatan, (2) struktur kekuasaan, (3) struktur tanggung jawab, dan (4) sistem waris. Fokus utama permasalahan yang hendak diangkat adalah, “Bagaimana perubahan struktur keluarga etnis Minangkabau sebagai akibat dari merantau dan mengapa perubahan itu terjadi?”
II. Pola Umum yang Berlaku dalam Masyarakat Minangkabau Secara Tradisional
A. Sistem Kekerabatan Matrilineal
Untuk melihat latar belakang munculnya sistem kekerabatan matrilineal, dapat digunakan Teori Evolusi Keluarga. Teori evolusi yang berkaitan dengan keluarga, pertama kali dikemukakan oleh J.J. Bachofen dalam bukunya Das Mutterecht (1861), yang berarti hukum ibu dengan bahan bukti yang tidak hanya diambilnya dari masyarakat Romawi Klasik dan Yunani Kuno, tetapi juga bahan etnografi dari masyarakat bangsa-bangsa di asia, Afrika, dan suku-suku bangsa Indian di Amerika (Koentjaraningrat: 1987, 38).
Menurut Bachofen, di seluruh dunia keluarga manusia berkembang melalui empat tingkat evolusi. Dalam zaman yang telah jauh dalam kehidupan masyarakat manusia ada keadaan promiskuitas, manusia hidup serupa sekawan binatang berkelompok, dan laki-laki serta wanita berhubungan dengan bebas dan melahirkan keturunannya tanpa ikatan. Kelompok keluarga inti sebagai inti masyarakat belum ada pada waktu itu. Keadaan ini dianggap merupakan tingkat pertama dalam proses perkembangan masyarakat manusia.
Lambat laun manusia sadar akan hubungan antara si ibu dengan anak-anaknya sebagai suatu kelompok keluarga inti dalam masyarakat karena anak-anak hanya mengenal ibunya, dan tidak mengenal ayahnya. Dalam kelompok-kelompok keluarga inti serupa itu, ibulah yang menjadi kepala keluarga. Perkawinan antara ibu dengan anak laki-laki dihindari dan dengan demikian timbullah adat eksogami. Kelompok-kelompok keluarga ibu tadi menjadi luas karena garis keturunannya untuk selanjutnya diperhitungkan menurut garis ibu, maka timbul suatu keadaan masyarakat yang oleh para sarjana waktu itu disebut matriarchate. Ini adalah tingkat kedua dalam proses perkembangan masyarakat manusia.
Tingkat selanjutnya terjadi karena para pria tak puas dengan keadaan ini, lalu mengambil calon-calon istri mereka dari kelompok-kelompok lain dan membawa gadis-gadis itu ke kelompok-kelompok mereka sendiri. Dengan demikian keturunan yang dilahirkan juga tetap dalam keturunan pria. Kejadian ini menyebabkan timbulnya secara lambat-laun kelompok-kelompok keluarga dengan ayah sebagai kepalanya dan dengan meluasnya kelompok-kelompok serupa itu timbullah keadaan patriarchate. Ini adalah tingkat ketiga dalam proses perkembangan masyarakat manusia.
Tingkat terakhir terjadi waktu perkawinan di luar kelompok, yaitu eksogami, berubah menjadi endogami karena berbagai sebab. Endogami atau perkawinan di dalam batas-batas kelompok menyebabkan anak-anak sekarang senantiasa berhubungan langsung dengan anggota keluarga ayah maupun ibu. Dengan demikian patriarchate lambat laun hilang, dan berubah menjadi suatu susunan kekerabatan yang oleh Bachofen disebut susunan parental.
Sistem kekerabatan yang berlaku di Minangkabau, jika mengacu pada teori di atas berada pada tingkat kedua dalam evolusi keluarga. Sistem tersebut termasuk dalam sistem kekerabatan yang bersifat ”unilineal” atau “unilateral” yaitu suatu sistem yang dalam menghitung garis keturunan hanya mengakui satu pihak orang tua saja sebagai penghubung keturunan. Dalam hal ini di Minangkabau hanya memakai ibu, karena itu disebut dengan sistem “matrilineal” atau garis keturunan ibu, atau sako-indu.
Dalam sistem kekerabatan matrilineal terdapat tiga unsur yang paling dominan, yaitu; (i) garis keturunan menurut garis ibu, (ii) perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar kelompok sendiri yang sekarang dikenal dengan istilah “eksogami matrilineal”, dan (iii) ibu memegang peranan yang sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan, dan kesejahteraan keluarga.
Penelusuran nenek moyang serta ketentuan hubungan keluarga dalam sistem matrilineal (atau unilineal) agak mudah dan penempatan keluarga inti dalam struktur hubungan kekerabatan yang lebih luas menjadi lebih sederhana. Menurut T.O. Ihromi dalam buku Pokok-pokok Antropologi Budaya (1984), hubungan-hubungan yang terjadi dalam sistem kekerabatan matrilineal ini adalah:
1. Yang termasuk dalam keluarga seseorang adalah; ibu, saudara kandung, saudara seibu, anak dari saudara perempuan ibu, saudara kandung ibu, saudara seibu dengan ibu, ibu dari ibu beserta saudara-saudaranya dan anak dari saudaranya yang perempuan, anak-anak dari saudara perempuannya, dan anak dari saudara sepupu atau saudara seneneknya yang perempuan.
2. Ia sama sekali tidak punya hubungan kekerabatan dengan anak saudara laki-lakinya, anak dari saudara laki-laki ibunya, saudaranya yang seayah, bahkan juga dengan ayah kandungnya sendiri.
Menurut adat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal ini, seorang istri tidak meninggalkan rumah kaum kerabatnya sesudah menikah. Sebaliknya sang suami pun tetap tinggal di rumah keluarganya sendiri, kecuali jika ia tidak mempunyai kerabat di kampung itu, atau jika istrinya diizinkan dan mau meninggalkan rumah kerabatnya untuk bertempat tinggal bersama-sama suaminya di tempat lain. Dalam hal seorang asing (bukan orang dari nagari yang bersangkutan) yang menikah dengan seorang perempuan, kaum kerabat istri dapat menerima suami sebagai anggota kelompok mereka dan mengizinkannya untuk tinggal bersama-sama dengan istrinya. Dalam keadaan yang biasa, seorang suami tinggal bersama kelompok kerabatnya sendiri, bersama ibu dan saudara-saudara perempuannya. Ia hanya berjumpa dengan istrinya jika ia mengunjunginya pada malam hari atau jika istrinya mengunjunginya di ladang atau di sawah pada waktu siang hari untuk membawakan makan siangnya. Sang suami diharapkan untuk bekerja pada sebidang tanah yang dibagikan kepada istrinya oleh kelompok keluarga istrinya. Pola kehidupan perkawinan seperti ini dalam ilmu antropologi dan sosiologi disebut pola “duolokal” atau “bilokal” (Bachtiar, 1984: 230).
Anak-anak dari saudara perempuan seorang laki-laki disebut kemenakan, sedangkan ia sendiri dan saudara-saudara laki-lakinya yang lain disebut mamak oleh kemenakannya, suatu kedudukan yang terhormat. Tentu ada kemungkinan, bahwa bisa saja ia tidak mempunyai saudara perempuan, atau tidak seorang pun dari saudara-saudara perempuannya yang memiliki anak. Dalam hal yang demikian ia tidak mempunyai kemenakan dan karena itu ia bukanlah seorang mamak. Tidak mempunyai saudara perempuan, ataupun mempunyai saudara perempuan yang tidak mempunyai anak-anak perempuan merupakan sebab dari suatu kesedihan seorang laki-laki, karena itu berarti pertanda akan berakhirnya suatu kelompok kaum. Kelompok kaum yang demikian disebut punah yang berati musnah, dan seluruh harta pusaka yang mereka miliki kemudian menjadi hak kaum lain yang memiliki hubungan kerabat terdekat dengannya. Dalam hal ini kelahiran seorang anak perempuan sangat diharapkan dan dianggap lebih berharga daripada anak laki-laki, meskipun kelahiran anak laki-laki pun diperlukan untuk melindungi dan menjaga harta pusaka milik kaum. Di samping itu, kelahiran anak laki-laki juga diharapkan sebagai pelindung bagi saudara-saudaranya yang perempuan.
B. Struktur Kekuasaan Tradisional
Kepemimpinan dalam suatu keluarga sangat ditentukan oleh sistem kekerabatan yang dianut oleh keluarga yang bersangkutan. Menurut Amir (1997: 16), dalam sistem kekerabatan matrilineal yang dianut di Minangkabau, mamaklah yang memegang kedudukan sebagai Kepala Kaum. Salah seorang dari mamak diangkat sebagai “penghulu” atau pemimpin suku, pelindung bagi semua anggota kaumnya dan sebagai hakim yang akan memutuskan segala silang sengketa di antara semua kemenakannya.
Dalam kepemimpinan keluarga, kemenakan tunduk kepada mamak, mamak tunduk kepada tungganai (pemimpin keluarga luas), tungganai tunduk kepada penghulu (pemimpin suku yang bergelar datuk). Gelar datuk diwariskan dari mamak kepada kemenakan setelah penyandang gelar meninggal dunia. Orang yang akan mewarisi gelar datuk dipilih di antara kemenakan yang dianggap berpandangan luas, bisa diajak bermusyawarah, dan tunduk kepada kebenaran.
Secara tradisional, seorang mamak berkuasa menentukan jodoh kemenakannya, sedangkan ayah dari anak yang akan dijodohkan hanya diberi tahu sekedar basa-basi. Ibu dari anak yang dijodohkan juga tidak berkuasa untuk menolak keputusan mamak, apalagi anak yang akan dijodohkan, sama sekali tidak kuasa untuk menolak.
Dalam hal pemberian sanksi terhadap anak atau kemenakan yang melakukan pelanggaran terhadap norma yang berlaku dalam masyarakat, mamak, ibu, dan ayah dapat memberikan sanksi. Akan tetapi, dilihat dari intensitas kekuasaannya, maka mamak paling berkuasa memberikan sanksi dibanding ibu atau ayah. Bila seorang anak atau kemenakan melakukan pelanggaran norma, masyarakat umumnya cenderung menyalahkan mamaknya yang dianggap tidak mampu mendidik kemenakan, jarang sekali orang menyalahkan ayahnya.
Dalam mendirikan rumah baru, kekuasaan mengambil keputusan tergantung pada status tanah yang digunakan. Jika rumah akan didirikan di atas tanah pusaka, walaupun biaya pendirian rumah semuanya ditanggung ayah, pengambilan keputusan tetap tergantung kepada mamak. Kalau terjadi perceraian, rumah tersebut dikuasai oleh anak-anaknya. Ayah tidak berhak atas rumah tersebut, meskipun rumah tersebut dibangun dengan uangnya sendiri.
C. Struktur Tanggung Jawab Tradisional
Secara tradisional, seorang laki-laki di Minangkabau berperan sebagai pemimpin dalam keluarga asalnya (keluarga ibunya). Dia mempunyai tanggungjawab untuk menjaga dan melindungi semua saudara perempuannya dan anak dari saudara-saudara perempuannya, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Seorang mamak menurut adat lebih dipatuhi oleh seseorang daripada ayahnya sendiri. Dahulu orang biasanya lebih bangga menjadi kemenakan seorang tokoh terkenal daripada menjadi anak tokoh tersebut.
Sebagai seorang mamak, laki-laki di Minangkabau berkewajiban memenuhi kebutuhan materi saudara-saudara perempuannya beserta anak-anak mereka. Seorang mamak akan melarang keras saudara perempuan atau kemenakan perempuannya meminta uang belanja kepada suami mereka (kecuali jika diberi tanpa diminta), karena hal ini akan membuat kehormatan mamak jatuh di mata kerabat urang sumando-nya (suami saudara perempuannya). Bahkan tidak jarang seorang mamak akan mengisi saku baju urang sumando-nya dengan tujuan agar urang sumando tersebut tetap datang mengunjungi istrinya yang juga merupakan saudara perempuan atau kemenakan perempuan mamak tersebut.
Tugas laki-laki yang terutama terhadap kemenakan perempuannya adalah mencarikan jodoh yang baik baginya. Sebagai mamak, dia akan merasa malu apabila ada di antara kemenakan perempuannya yang sudah cukup umur belum juga menikah. Dia akan dikatakan orang sebagai mamak yang tidak becus mengurus kemenakannya. Oleh karena itu, tugas laki-lakilah untuk mencarikan kemenakan perempuannya jodoh yang baik dan sepadan dengan kemenakannya. Mamaklah yang berkewajiban untuk mendatangi laki-laki yang dianggap pantas sebagai jodoh kemenakannya untuk menanyakan kesediaannya menikah dengan kemenakan perempuan mamak tersebut.
Setelah terjadi perkawinan antara kemenakan perempuan dengan laki-laki dari kaum lain, tanggungjawab mamak kepada kemenakan tersebut tidak beralih kepada suaminya. Mamak tetap berkewajiban menjaga kemenakannya yang telah menikah tersebut dan mencukupi kebutuhan materinya. Tugas untuk mengatur pengeluaran rumahtangga berada pada tangan kaum perempuan dalam keluarga itu, karena itu ia dikenal dengan istilah “umban puruak” (pemegang pundi-pundi).
D. Sistem Waris pada Masyarakat Minangkabau
Secara garis besar sistem waris di Minangkabau terbagi dua, yaitu waris berupa gelar pusaka dan waris berupa harta. Waris yang berupa harta dapat pula digolongkan menjadi dua, yaitu harta pusaka tinggi (harta yang didapatkan secara turun temurun) dan harta pusaka rendah (harta pencaharian). Harta pusaka rendah yang sudah diwariskan kepada dua generasi akan menjadi harta pusaka tinggi.
Waris berupa gelar pusaka harus diwariskan dari mamak kepada kemenakan, baik kemenakan kandung maupun yang tidak kandung. Yang penting bahwa gelar pusaka tersebut harus diwariskan dari mamak kepada kemenakan dalam satu kaum. Jika tidak ada kemenakan yang dianggap pantas menerima suatu gelar pusaka, maka gelar pusaka tersebut dapat disimpan sementara sampai ada yang pantas mewarisi gelar tersebut.
Waris berupa harta, yaitu harta pusaka tinggi, diwariskan dari nenek kepada ibu, dari ibu kepada anak perempuan, dan seterusnya. Seorang laki-laki yang tidak mempunyai pekerjaan lain selain bertani dapat pula menguasai sebidang tanah berupa sawah, ladang, atau kolam ikan untuk kebutuhan sehari-hari. Akan tetapi, tanah yang dikuasainya tersebut tidak dapat diwariskan kepada anaknya, melainkan kepada kemenakannya. Harta pusaka rendah atau harta pencaharian seorang laki-laki, dapat diwariskan kepada istri, anak laki-laki dan anak perempuan, saudara laki-laki dan saudara perempuan, dan bisa juga kemenakan laki-laki dan kemenakan perempuan.
III. Bentuk-bentuk Perubahan Struktur Keluarga yang Terjadi di Rantau
Orang Minangkabau yang melakukan migrasi (merantau) ke daerah lain, menurut Yarmaidi (1999), cenderung akan mengalami perubahan struktur keluarga, baik dalam hal sistem kekerabatan, struktur kekuasaan, struktur tanggung jawab, maupun sistem waris. Penyebab perubahan-perubahan yang terjadi ini, di antaranya adalah karena terbentuknya keluarga inti di rantau yang hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak di daerah rantau. Dalam pola keluarga seperti ini, ayah akan menjadi sangat dekat dengan anak-anaknya daripada dengan kemenakannya. Akibat lebih lanjutnya adalah, ayah menjadi orang yang paling berkuasa dan bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Mamak praktis tidak memiliki kekuasaan dan tanggung jawab di dalam pola keluarga inti, karena dia sudah disibukkan dengan keluarganya sendiri dan juga karena tempat tinggal yang saling berjauhan.
Migrasi yang dilakukan oleh orang Minangkabau telah menyebabkan terjadinya perubahan sistem kekerabatan di tempat yang baru. Di Minangkabau sistem kekerabatan yang berlaku adalah sistem kekerabatan matrilineal, yaitu menarik garis keturunan dari pihak ibu. Pandangan seorang anak terhadap keluarga ibunya berbeda dengan keluarga asal ayahnya. Di rantau, meskipun keturunan masih diperhitungkan menurut garis ibu, karena mereka menganggap hubungan mereka tidak pernah putus dengan keluarga di kampung, tetapi pandangan seorang anak terhadap keluarga asal ibunya setara dengan keluarga asal ayahnya.
Hal ini menunjukkan bahwa ciri-ciri sistem kekerabatan bilateral mulai tampak pada keluarga migran tersebut. Di rantau, seorang migran tidak lagi membedakan antara anak dari saudara perempuan dengan anak dari saudara laki-laki. Ciri-ciri bilateral juga tampak pada terbentuknya keluarga inti di rantau. Menurut Dijk (1982), biasanya dalam susunan pertalian bilateral, keluarga intilah yang merupakan kesatuan sosial terpenting.
Dalam hal struktur kekuasaan, juga terjadi perubahan pada keluarga migran. Di Minangkabau, mamak berkuasa atas sebagian besar aspek kehidupan berkeluarga, sedangkan di rantau ayah berkuasa atas sebagian besar aspek kehidupan berkeluarga. Akan tetapi, perubahan tersebut bukanlah perubahan yang bersifat dikotomi (hitam jadi putih), melainkan dilihat dari gradasi dominasi kekuasaannya.
Oleh karena keluarga telah meninggalkan teritorial hukum adat, maka cengkeraman adat-istiadat menjadi melemah terhadap keluarga etnis Minangkabau di rantau. Dengan meninggalkan teritorial hukum adat berarti pula keluarga meninggalkan tanah pusaka. Walaupun selama di kampung halaman ibu menguasai harta pusaka, tetapi ibu tidak dapat menjualnya untuk kepentingan modal di rantau. Harta itu hanya dapat dijadikannya cadangan seandainya ia pulang ke kampung halaman. Jadi, harta yang ada di rantau adalah hasil pencaharian ayah yang dibantu dengan pencaharian ibu.
Struktur tanggung jawab juga mengalami perubahan dalam keluarga Minangkabau di rantau. Sewaktu berada di kampung halaman, tanggung jawab sebagian besar terletak di pundak mamak dan ibu; sedangkan setelah keluarga berada di rantau, tanggung jawab sebagian besar terletak di pundak ayah dan diikuti oleh ibu. Jenis-jenis tanggung jawab yang beralih dari mamak kepada ayah tersebut, di antaranya ialah dalam urusan adat, sosialisasi norma-norma yang berlaku, biaya pendidikan, kebutuhan ekonomi keluarga, dan pemeliharaan anak. Sementara itu dalam hal mengurus ayah yang sedang sakit, jika di kampung halaman merupakan tugas keluarga asal ayah, di rantau menjadi tugas istri dan anak-anaknya.
Perubahan dalam sistem waris dalam keluarga perantau asal Minangkabau terutama adalah yang bersangkutan dengan pencaharian, karena harta pusaka tinggi, berdasarkan pengamatan belum ditemukan di kalangan pedagang asal Minangkabau di Pasar Kebayoran Lama Jakarta Selatan. Jika di kampung halaman harta warisan dapat diwariskan kepada anak dan kemenakan, di rantau harta pencaharian hanya diwariskan kepada anak, kemenakan hanya dibantu sekedarnya selama mamak masih hidup. Harta yang dimiliki di rantau bukan berasal dari harta pusaka tinggi, melainkan harta pencahariann atau harta gono-gini. Sistem waris harta pencaharian tidak terikat oleh ketentuan adat.
Sementara itu, sistem waris yang berkenaan dengan gelar pusaka tidak mengalami perubahan. Meskipun keluarga berada di rantau, gelar pusaka tetap diwariskan dari mamak kepada kemenakan. Perubahan tidak terjadi karena gelar pusaka tidak terikat oleh teritorial seperti harta pusaka. Dalam prakteknya, gelar pusaka jarang diwariskan kepada kemenakan yang ada di rantau, karena kesempatan untuk pulang ke kampung halaman sudah agak terbatas, lagi pula di rantau gelar tersebut tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya.
IV. Penutup
Orang yang merantau adalah orang yang meninggalkan teritorial asal dan menempati teritorial yang baru. Hal ini juga dapat diartikan meninggalkan tanah pusaka berupa ulayat kaum yang sebelumnya digunakan sebagai sumber utama perekonomian keluarga. Di rantau, perekonomian keluarga tergantung dari hasil pencaharian. Orang yang merantau juga berarti pindah dari lingkungan sosial yang lama ke lingkungan sosial yang baru. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur keluarga perantau di daerah baru dengan struktur keluarga yang ada di daerah asal mereka. Di samping itu, hidup berdampingan dengan etnis lain, juga memberi peluang terjadinya akulturasi budaya.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur keluarga etnis Minangkabau di rantau, di antaranya adalah dalam hal sistem kekerabatan dari matrilineal menjadi cenderung bilateral, struktur kekuasaan dari mamak kepada ayah, struktur tanggung jawab dari mamak kepada ayah, dan sistem waris dari hanya anak perempuan menjadi anak laki-laki dan anak perempuan. Semakin lama suatu keluarga tinggal di rantau, semakin jauh mereka tercabut dari akar budaya aslinya, khususnya yang berkaitan dengan sistem kekerabatan matrilineal.
Meskipun terjadi banyak perubahan, yang perlu dicatat ialah bahwa perubahan-perubahan pada tiap aspek tersebut tidak bersifat dikotomi, tetapi dalam gradasi. Nilai-nilai dan norma-norma yang terdapat di daerah asal masih terus mempengaruhi perantau Minangkabau, sementara kondisi kehidupan di kampung halaman sendiri pun terus mengalami perubahan.
DAFTAR PUSTAKA
Amir M.S. 1997. Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Mutiara Sumber Widya. Jakarta.
Bachtiar, Harsja W. “Negeri Taram: Masyarakat Desa Minangkabau”, dalam Koentjaraningrat (ed.). 1984. Masyarakat Desa di Indonesia. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Chandra, Ade, et al. 2000. Minangkabau dalam Perubahan. Yasmin Akbar. Padang.
Evers, Hans-Dieter & Rudiger Korff. 2002. Urbanisme di Asia Tenggara Makna dan Kekuasaan dalam Ruang-ruang Sosial. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Ihromi, T.O. (ed.). 1984. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Gramedia. Jakarta.
Junus, Umar. 2002. “Kebudayaan Minangkabau”, dalam Koentjaraningrat (ed.). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan. Jakarta.
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. UI-Press, Jakarta.
Latief, H.Ch.N, Dt. Bandaro. 2002. Etnis dan Adat Minangkabau Permasalahan dan Masa Depannya. Angkasa. Bandung.
Naim, Mochtar. 1984. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Nye, Ivan & Felix dan Berardo. 1967. Emerging Conceptual Frame Work of Family Analisis, The Macmillan Company, New York.
Pelly, Usman. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. LP3ES. Jakarta.
Sairin, Sjafri. 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia Perspektif Antropologi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Yarmaidi. 1999. “Perubahan Struktur Keluarga Suku Minangkabau (Studi Kasus Perantau Asal Nagari di Bandar Lampung”. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Sumber Tulisan: http://www.bpsnt-padang.info
Oleh Witrianto
I. Pendahuluan
Pasar Kebayoran Lama merupakan salah satu pasar tradisional yang cukup ramai di bagian selatan Kota Jakarta. Perdagangan yang berlangsung di pasar ini secara umum didominasi oleh etnis Cina dan Minangkabau. Etnis Cina mengusai perdagangan menengah ke atas, sementara etnis Minangkabau menguasai lapisan menengah ke bawah. Hanya sedikit pedagang Minangkabau yang memiliki toko-toko besar di tempat strategis, toko-toko yang mereka miliki umumnya terletak di bagian tengah atau belakang pasar. Etnis lain yang berdagang di pasar ini adalah orang Jawa yang umumnya berdagang sayur, dan orang Sunda yang umumnya berdagang buah-buahan.
Pedagang Minangkabau yang ada di Pasar Kebayoran Lama ini secara umum dapat di bagi dalam tiga kategori: Pertama, orang Minangkabau yang baru merantau ke Jakarta, terutama sejak tahun 1990-an sampai sekarang. Umumnya mereka berdagang kaki-lima, sebagian besar di antaranya berasal dari Solok, Selayo dan nagari-nagari lainnya di Sumatera Barat. Kedua, orang Minangkabau yang sudah lebih lama merantau ke Jakarta, yaitu sejak tahun 1970-an hingga 1990-an. Mereka umumnya sudah memiliki toko besar atau kecil, sebagian besar berasal dari Silungkang dan Selayo. Ketiga, orang Minangkabau yang sudah menetap di Jakarta dalam waktu yang lama, bahkan sebagian besar di antaranya lahir di Jakarta. Sebagian besar di antaranya berasal dari Silungkang dan dari berbagai nagari di Minangkabau, terutama dari Luhak Agam dan Tanah Datar. Kelompok pertama dan kedua dalam berkomunikasi sehari-hari di antara sesama mereka masih menggunakan bahasa Minangkabau, sedangkan kelompok ketiga sebagian besar menggunakan bahasa Indonesia, tetapi jika berhubungan dengan orang Minangkabau kelompok pertama dan kedua mereka menggunakan bahasa Minangkabau yang kadang-kadang bercampur dengan bahasa Indonesia logat Jakarta.
Tulisan ini membahas persoalan yang berhubungan dengan perubahan struktur keluarga etnis Minangkabau sebagai akibat dari merantau. Fokus bahasannya terutama adalah pada aspek-aspek sistem kekerabatan, struktur kekuasaan, struktur tanggung jawab, dan sistem waris.
Yang menarik dari kajian mengenai perubahan struktur keluarga migran asal Minangkabau ini adalah mengenai perubahan yang terjadi pada aspek-aspek sistem kekerabatan, sruktur kekuasaan, struktur tanggung jawab, dan sistem waris. Di rantau, ciri-ciri kekerabatan matrilineal yang sebelumnya dianut orang Minangkabau di daerah asal cenderung berubah ke arah bilineal. Di rantau mengenai pandangan seorang anak terhadap keluarga asal ayahnya dan keluarga asal ibunya relatif sama, sementara di Minangkabau seorang anak jauh lebih dekat dengan keluarga asal ibunya daripada keluarga asal ayahnya yang kadang-kadang bahkan tidak terlalu dikenalnya. Jika di Minangkabau yang paling berkuasa dan bertanggung jawab dalam keluarga adalah mamak (saudara laki-laki ibu), maka di rantau yang paling berkuasa dan bertanggung jawab adalah ayah. Di rantau, anak laki-laki mendapat bagian warisan yang setara dengan anak perempuan, sedangkan di daerah asal hanya anak perempuan yang mendapat warisan.
Struktur keluarga, yang merupakan kajian utama dalam tulisan ini, merupakan struktur sosial dengan ruang lingkup keluarga. Struktur keluarga merupakan salah satu aspek dari struktur sosial masyarakat. Namun, struktur keluarga dapat pula dipandang dan dianalisis sebagai struktur sosial tersendiri. Menurut Ihromi (1984), struktur kekerabatan, struktur kekuasaan, dan struktur tanggung jawab merupakan bagian dari struktur keluarga. Dijk (1982), menyatakan bahwa sistem waris sangat terkait dengan sistem kekerabatan. Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa sistem waris merupakan bagian dari struktur keluarga.
Untuk lebih memahami perubahan-perubahan yang terjadi di kalangan migran asal Minangkabau ini, perlu kiranya untuk lebih memahami struktur keluarga yang berlaku di Minangkabau yang mencakup (1) sistem kekerabatan, (2) struktur kekuasaan, (3) struktur tanggung jawab, dan (4) sistem waris. Fokus utama permasalahan yang hendak diangkat adalah, “Bagaimana perubahan struktur keluarga etnis Minangkabau sebagai akibat dari merantau dan mengapa perubahan itu terjadi?”
II. Pola Umum yang Berlaku dalam Masyarakat Minangkabau Secara Tradisional
A. Sistem Kekerabatan Matrilineal
Untuk melihat latar belakang munculnya sistem kekerabatan matrilineal, dapat digunakan Teori Evolusi Keluarga. Teori evolusi yang berkaitan dengan keluarga, pertama kali dikemukakan oleh J.J. Bachofen dalam bukunya Das Mutterecht (1861), yang berarti hukum ibu dengan bahan bukti yang tidak hanya diambilnya dari masyarakat Romawi Klasik dan Yunani Kuno, tetapi juga bahan etnografi dari masyarakat bangsa-bangsa di asia, Afrika, dan suku-suku bangsa Indian di Amerika (Koentjaraningrat: 1987, 38).
Menurut Bachofen, di seluruh dunia keluarga manusia berkembang melalui empat tingkat evolusi. Dalam zaman yang telah jauh dalam kehidupan masyarakat manusia ada keadaan promiskuitas, manusia hidup serupa sekawan binatang berkelompok, dan laki-laki serta wanita berhubungan dengan bebas dan melahirkan keturunannya tanpa ikatan. Kelompok keluarga inti sebagai inti masyarakat belum ada pada waktu itu. Keadaan ini dianggap merupakan tingkat pertama dalam proses perkembangan masyarakat manusia.
Lambat laun manusia sadar akan hubungan antara si ibu dengan anak-anaknya sebagai suatu kelompok keluarga inti dalam masyarakat karena anak-anak hanya mengenal ibunya, dan tidak mengenal ayahnya. Dalam kelompok-kelompok keluarga inti serupa itu, ibulah yang menjadi kepala keluarga. Perkawinan antara ibu dengan anak laki-laki dihindari dan dengan demikian timbullah adat eksogami. Kelompok-kelompok keluarga ibu tadi menjadi luas karena garis keturunannya untuk selanjutnya diperhitungkan menurut garis ibu, maka timbul suatu keadaan masyarakat yang oleh para sarjana waktu itu disebut matriarchate. Ini adalah tingkat kedua dalam proses perkembangan masyarakat manusia.
Tingkat selanjutnya terjadi karena para pria tak puas dengan keadaan ini, lalu mengambil calon-calon istri mereka dari kelompok-kelompok lain dan membawa gadis-gadis itu ke kelompok-kelompok mereka sendiri. Dengan demikian keturunan yang dilahirkan juga tetap dalam keturunan pria. Kejadian ini menyebabkan timbulnya secara lambat-laun kelompok-kelompok keluarga dengan ayah sebagai kepalanya dan dengan meluasnya kelompok-kelompok serupa itu timbullah keadaan patriarchate. Ini adalah tingkat ketiga dalam proses perkembangan masyarakat manusia.
Tingkat terakhir terjadi waktu perkawinan di luar kelompok, yaitu eksogami, berubah menjadi endogami karena berbagai sebab. Endogami atau perkawinan di dalam batas-batas kelompok menyebabkan anak-anak sekarang senantiasa berhubungan langsung dengan anggota keluarga ayah maupun ibu. Dengan demikian patriarchate lambat laun hilang, dan berubah menjadi suatu susunan kekerabatan yang oleh Bachofen disebut susunan parental.
Sistem kekerabatan yang berlaku di Minangkabau, jika mengacu pada teori di atas berada pada tingkat kedua dalam evolusi keluarga. Sistem tersebut termasuk dalam sistem kekerabatan yang bersifat ”unilineal” atau “unilateral” yaitu suatu sistem yang dalam menghitung garis keturunan hanya mengakui satu pihak orang tua saja sebagai penghubung keturunan. Dalam hal ini di Minangkabau hanya memakai ibu, karena itu disebut dengan sistem “matrilineal” atau garis keturunan ibu, atau sako-indu.
Dalam sistem kekerabatan matrilineal terdapat tiga unsur yang paling dominan, yaitu; (i) garis keturunan menurut garis ibu, (ii) perkawinan harus dengan kelompok lain, di luar kelompok sendiri yang sekarang dikenal dengan istilah “eksogami matrilineal”, dan (iii) ibu memegang peranan yang sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan, dan kesejahteraan keluarga.
Penelusuran nenek moyang serta ketentuan hubungan keluarga dalam sistem matrilineal (atau unilineal) agak mudah dan penempatan keluarga inti dalam struktur hubungan kekerabatan yang lebih luas menjadi lebih sederhana. Menurut T.O. Ihromi dalam buku Pokok-pokok Antropologi Budaya (1984), hubungan-hubungan yang terjadi dalam sistem kekerabatan matrilineal ini adalah:
1. Yang termasuk dalam keluarga seseorang adalah; ibu, saudara kandung, saudara seibu, anak dari saudara perempuan ibu, saudara kandung ibu, saudara seibu dengan ibu, ibu dari ibu beserta saudara-saudaranya dan anak dari saudaranya yang perempuan, anak-anak dari saudara perempuannya, dan anak dari saudara sepupu atau saudara seneneknya yang perempuan.
2. Ia sama sekali tidak punya hubungan kekerabatan dengan anak saudara laki-lakinya, anak dari saudara laki-laki ibunya, saudaranya yang seayah, bahkan juga dengan ayah kandungnya sendiri.
Menurut adat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal ini, seorang istri tidak meninggalkan rumah kaum kerabatnya sesudah menikah. Sebaliknya sang suami pun tetap tinggal di rumah keluarganya sendiri, kecuali jika ia tidak mempunyai kerabat di kampung itu, atau jika istrinya diizinkan dan mau meninggalkan rumah kerabatnya untuk bertempat tinggal bersama-sama suaminya di tempat lain. Dalam hal seorang asing (bukan orang dari nagari yang bersangkutan) yang menikah dengan seorang perempuan, kaum kerabat istri dapat menerima suami sebagai anggota kelompok mereka dan mengizinkannya untuk tinggal bersama-sama dengan istrinya. Dalam keadaan yang biasa, seorang suami tinggal bersama kelompok kerabatnya sendiri, bersama ibu dan saudara-saudara perempuannya. Ia hanya berjumpa dengan istrinya jika ia mengunjunginya pada malam hari atau jika istrinya mengunjunginya di ladang atau di sawah pada waktu siang hari untuk membawakan makan siangnya. Sang suami diharapkan untuk bekerja pada sebidang tanah yang dibagikan kepada istrinya oleh kelompok keluarga istrinya. Pola kehidupan perkawinan seperti ini dalam ilmu antropologi dan sosiologi disebut pola “duolokal” atau “bilokal” (Bachtiar, 1984: 230).
Anak-anak dari saudara perempuan seorang laki-laki disebut kemenakan, sedangkan ia sendiri dan saudara-saudara laki-lakinya yang lain disebut mamak oleh kemenakannya, suatu kedudukan yang terhormat. Tentu ada kemungkinan, bahwa bisa saja ia tidak mempunyai saudara perempuan, atau tidak seorang pun dari saudara-saudara perempuannya yang memiliki anak. Dalam hal yang demikian ia tidak mempunyai kemenakan dan karena itu ia bukanlah seorang mamak. Tidak mempunyai saudara perempuan, ataupun mempunyai saudara perempuan yang tidak mempunyai anak-anak perempuan merupakan sebab dari suatu kesedihan seorang laki-laki, karena itu berarti pertanda akan berakhirnya suatu kelompok kaum. Kelompok kaum yang demikian disebut punah yang berati musnah, dan seluruh harta pusaka yang mereka miliki kemudian menjadi hak kaum lain yang memiliki hubungan kerabat terdekat dengannya. Dalam hal ini kelahiran seorang anak perempuan sangat diharapkan dan dianggap lebih berharga daripada anak laki-laki, meskipun kelahiran anak laki-laki pun diperlukan untuk melindungi dan menjaga harta pusaka milik kaum. Di samping itu, kelahiran anak laki-laki juga diharapkan sebagai pelindung bagi saudara-saudaranya yang perempuan.
B. Struktur Kekuasaan Tradisional
Kepemimpinan dalam suatu keluarga sangat ditentukan oleh sistem kekerabatan yang dianut oleh keluarga yang bersangkutan. Menurut Amir (1997: 16), dalam sistem kekerabatan matrilineal yang dianut di Minangkabau, mamaklah yang memegang kedudukan sebagai Kepala Kaum. Salah seorang dari mamak diangkat sebagai “penghulu” atau pemimpin suku, pelindung bagi semua anggota kaumnya dan sebagai hakim yang akan memutuskan segala silang sengketa di antara semua kemenakannya.
Dalam kepemimpinan keluarga, kemenakan tunduk kepada mamak, mamak tunduk kepada tungganai (pemimpin keluarga luas), tungganai tunduk kepada penghulu (pemimpin suku yang bergelar datuk). Gelar datuk diwariskan dari mamak kepada kemenakan setelah penyandang gelar meninggal dunia. Orang yang akan mewarisi gelar datuk dipilih di antara kemenakan yang dianggap berpandangan luas, bisa diajak bermusyawarah, dan tunduk kepada kebenaran.
Secara tradisional, seorang mamak berkuasa menentukan jodoh kemenakannya, sedangkan ayah dari anak yang akan dijodohkan hanya diberi tahu sekedar basa-basi. Ibu dari anak yang dijodohkan juga tidak berkuasa untuk menolak keputusan mamak, apalagi anak yang akan dijodohkan, sama sekali tidak kuasa untuk menolak.
Dalam hal pemberian sanksi terhadap anak atau kemenakan yang melakukan pelanggaran terhadap norma yang berlaku dalam masyarakat, mamak, ibu, dan ayah dapat memberikan sanksi. Akan tetapi, dilihat dari intensitas kekuasaannya, maka mamak paling berkuasa memberikan sanksi dibanding ibu atau ayah. Bila seorang anak atau kemenakan melakukan pelanggaran norma, masyarakat umumnya cenderung menyalahkan mamaknya yang dianggap tidak mampu mendidik kemenakan, jarang sekali orang menyalahkan ayahnya.
Dalam mendirikan rumah baru, kekuasaan mengambil keputusan tergantung pada status tanah yang digunakan. Jika rumah akan didirikan di atas tanah pusaka, walaupun biaya pendirian rumah semuanya ditanggung ayah, pengambilan keputusan tetap tergantung kepada mamak. Kalau terjadi perceraian, rumah tersebut dikuasai oleh anak-anaknya. Ayah tidak berhak atas rumah tersebut, meskipun rumah tersebut dibangun dengan uangnya sendiri.
C. Struktur Tanggung Jawab Tradisional
Secara tradisional, seorang laki-laki di Minangkabau berperan sebagai pemimpin dalam keluarga asalnya (keluarga ibunya). Dia mempunyai tanggungjawab untuk menjaga dan melindungi semua saudara perempuannya dan anak dari saudara-saudara perempuannya, baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Seorang mamak menurut adat lebih dipatuhi oleh seseorang daripada ayahnya sendiri. Dahulu orang biasanya lebih bangga menjadi kemenakan seorang tokoh terkenal daripada menjadi anak tokoh tersebut.
Sebagai seorang mamak, laki-laki di Minangkabau berkewajiban memenuhi kebutuhan materi saudara-saudara perempuannya beserta anak-anak mereka. Seorang mamak akan melarang keras saudara perempuan atau kemenakan perempuannya meminta uang belanja kepada suami mereka (kecuali jika diberi tanpa diminta), karena hal ini akan membuat kehormatan mamak jatuh di mata kerabat urang sumando-nya (suami saudara perempuannya). Bahkan tidak jarang seorang mamak akan mengisi saku baju urang sumando-nya dengan tujuan agar urang sumando tersebut tetap datang mengunjungi istrinya yang juga merupakan saudara perempuan atau kemenakan perempuan mamak tersebut.
Tugas laki-laki yang terutama terhadap kemenakan perempuannya adalah mencarikan jodoh yang baik baginya. Sebagai mamak, dia akan merasa malu apabila ada di antara kemenakan perempuannya yang sudah cukup umur belum juga menikah. Dia akan dikatakan orang sebagai mamak yang tidak becus mengurus kemenakannya. Oleh karena itu, tugas laki-lakilah untuk mencarikan kemenakan perempuannya jodoh yang baik dan sepadan dengan kemenakannya. Mamaklah yang berkewajiban untuk mendatangi laki-laki yang dianggap pantas sebagai jodoh kemenakannya untuk menanyakan kesediaannya menikah dengan kemenakan perempuan mamak tersebut.
Setelah terjadi perkawinan antara kemenakan perempuan dengan laki-laki dari kaum lain, tanggungjawab mamak kepada kemenakan tersebut tidak beralih kepada suaminya. Mamak tetap berkewajiban menjaga kemenakannya yang telah menikah tersebut dan mencukupi kebutuhan materinya. Tugas untuk mengatur pengeluaran rumahtangga berada pada tangan kaum perempuan dalam keluarga itu, karena itu ia dikenal dengan istilah “umban puruak” (pemegang pundi-pundi).
D. Sistem Waris pada Masyarakat Minangkabau
Secara garis besar sistem waris di Minangkabau terbagi dua, yaitu waris berupa gelar pusaka dan waris berupa harta. Waris yang berupa harta dapat pula digolongkan menjadi dua, yaitu harta pusaka tinggi (harta yang didapatkan secara turun temurun) dan harta pusaka rendah (harta pencaharian). Harta pusaka rendah yang sudah diwariskan kepada dua generasi akan menjadi harta pusaka tinggi.
Waris berupa gelar pusaka harus diwariskan dari mamak kepada kemenakan, baik kemenakan kandung maupun yang tidak kandung. Yang penting bahwa gelar pusaka tersebut harus diwariskan dari mamak kepada kemenakan dalam satu kaum. Jika tidak ada kemenakan yang dianggap pantas menerima suatu gelar pusaka, maka gelar pusaka tersebut dapat disimpan sementara sampai ada yang pantas mewarisi gelar tersebut.
Waris berupa harta, yaitu harta pusaka tinggi, diwariskan dari nenek kepada ibu, dari ibu kepada anak perempuan, dan seterusnya. Seorang laki-laki yang tidak mempunyai pekerjaan lain selain bertani dapat pula menguasai sebidang tanah berupa sawah, ladang, atau kolam ikan untuk kebutuhan sehari-hari. Akan tetapi, tanah yang dikuasainya tersebut tidak dapat diwariskan kepada anaknya, melainkan kepada kemenakannya. Harta pusaka rendah atau harta pencaharian seorang laki-laki, dapat diwariskan kepada istri, anak laki-laki dan anak perempuan, saudara laki-laki dan saudara perempuan, dan bisa juga kemenakan laki-laki dan kemenakan perempuan.
III. Bentuk-bentuk Perubahan Struktur Keluarga yang Terjadi di Rantau
Orang Minangkabau yang melakukan migrasi (merantau) ke daerah lain, menurut Yarmaidi (1999), cenderung akan mengalami perubahan struktur keluarga, baik dalam hal sistem kekerabatan, struktur kekuasaan, struktur tanggung jawab, maupun sistem waris. Penyebab perubahan-perubahan yang terjadi ini, di antaranya adalah karena terbentuknya keluarga inti di rantau yang hanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak di daerah rantau. Dalam pola keluarga seperti ini, ayah akan menjadi sangat dekat dengan anak-anaknya daripada dengan kemenakannya. Akibat lebih lanjutnya adalah, ayah menjadi orang yang paling berkuasa dan bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Mamak praktis tidak memiliki kekuasaan dan tanggung jawab di dalam pola keluarga inti, karena dia sudah disibukkan dengan keluarganya sendiri dan juga karena tempat tinggal yang saling berjauhan.
Migrasi yang dilakukan oleh orang Minangkabau telah menyebabkan terjadinya perubahan sistem kekerabatan di tempat yang baru. Di Minangkabau sistem kekerabatan yang berlaku adalah sistem kekerabatan matrilineal, yaitu menarik garis keturunan dari pihak ibu. Pandangan seorang anak terhadap keluarga ibunya berbeda dengan keluarga asal ayahnya. Di rantau, meskipun keturunan masih diperhitungkan menurut garis ibu, karena mereka menganggap hubungan mereka tidak pernah putus dengan keluarga di kampung, tetapi pandangan seorang anak terhadap keluarga asal ibunya setara dengan keluarga asal ayahnya.
Hal ini menunjukkan bahwa ciri-ciri sistem kekerabatan bilateral mulai tampak pada keluarga migran tersebut. Di rantau, seorang migran tidak lagi membedakan antara anak dari saudara perempuan dengan anak dari saudara laki-laki. Ciri-ciri bilateral juga tampak pada terbentuknya keluarga inti di rantau. Menurut Dijk (1982), biasanya dalam susunan pertalian bilateral, keluarga intilah yang merupakan kesatuan sosial terpenting.
Dalam hal struktur kekuasaan, juga terjadi perubahan pada keluarga migran. Di Minangkabau, mamak berkuasa atas sebagian besar aspek kehidupan berkeluarga, sedangkan di rantau ayah berkuasa atas sebagian besar aspek kehidupan berkeluarga. Akan tetapi, perubahan tersebut bukanlah perubahan yang bersifat dikotomi (hitam jadi putih), melainkan dilihat dari gradasi dominasi kekuasaannya.
Oleh karena keluarga telah meninggalkan teritorial hukum adat, maka cengkeraman adat-istiadat menjadi melemah terhadap keluarga etnis Minangkabau di rantau. Dengan meninggalkan teritorial hukum adat berarti pula keluarga meninggalkan tanah pusaka. Walaupun selama di kampung halaman ibu menguasai harta pusaka, tetapi ibu tidak dapat menjualnya untuk kepentingan modal di rantau. Harta itu hanya dapat dijadikannya cadangan seandainya ia pulang ke kampung halaman. Jadi, harta yang ada di rantau adalah hasil pencaharian ayah yang dibantu dengan pencaharian ibu.
Struktur tanggung jawab juga mengalami perubahan dalam keluarga Minangkabau di rantau. Sewaktu berada di kampung halaman, tanggung jawab sebagian besar terletak di pundak mamak dan ibu; sedangkan setelah keluarga berada di rantau, tanggung jawab sebagian besar terletak di pundak ayah dan diikuti oleh ibu. Jenis-jenis tanggung jawab yang beralih dari mamak kepada ayah tersebut, di antaranya ialah dalam urusan adat, sosialisasi norma-norma yang berlaku, biaya pendidikan, kebutuhan ekonomi keluarga, dan pemeliharaan anak. Sementara itu dalam hal mengurus ayah yang sedang sakit, jika di kampung halaman merupakan tugas keluarga asal ayah, di rantau menjadi tugas istri dan anak-anaknya.
Perubahan dalam sistem waris dalam keluarga perantau asal Minangkabau terutama adalah yang bersangkutan dengan pencaharian, karena harta pusaka tinggi, berdasarkan pengamatan belum ditemukan di kalangan pedagang asal Minangkabau di Pasar Kebayoran Lama Jakarta Selatan. Jika di kampung halaman harta warisan dapat diwariskan kepada anak dan kemenakan, di rantau harta pencaharian hanya diwariskan kepada anak, kemenakan hanya dibantu sekedarnya selama mamak masih hidup. Harta yang dimiliki di rantau bukan berasal dari harta pusaka tinggi, melainkan harta pencahariann atau harta gono-gini. Sistem waris harta pencaharian tidak terikat oleh ketentuan adat.
Sementara itu, sistem waris yang berkenaan dengan gelar pusaka tidak mengalami perubahan. Meskipun keluarga berada di rantau, gelar pusaka tetap diwariskan dari mamak kepada kemenakan. Perubahan tidak terjadi karena gelar pusaka tidak terikat oleh teritorial seperti harta pusaka. Dalam prakteknya, gelar pusaka jarang diwariskan kepada kemenakan yang ada di rantau, karena kesempatan untuk pulang ke kampung halaman sudah agak terbatas, lagi pula di rantau gelar tersebut tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya.
IV. Penutup
Orang yang merantau adalah orang yang meninggalkan teritorial asal dan menempati teritorial yang baru. Hal ini juga dapat diartikan meninggalkan tanah pusaka berupa ulayat kaum yang sebelumnya digunakan sebagai sumber utama perekonomian keluarga. Di rantau, perekonomian keluarga tergantung dari hasil pencaharian. Orang yang merantau juga berarti pindah dari lingkungan sosial yang lama ke lingkungan sosial yang baru. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur keluarga perantau di daerah baru dengan struktur keluarga yang ada di daerah asal mereka. Di samping itu, hidup berdampingan dengan etnis lain, juga memberi peluang terjadinya akulturasi budaya.
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur keluarga etnis Minangkabau di rantau, di antaranya adalah dalam hal sistem kekerabatan dari matrilineal menjadi cenderung bilateral, struktur kekuasaan dari mamak kepada ayah, struktur tanggung jawab dari mamak kepada ayah, dan sistem waris dari hanya anak perempuan menjadi anak laki-laki dan anak perempuan. Semakin lama suatu keluarga tinggal di rantau, semakin jauh mereka tercabut dari akar budaya aslinya, khususnya yang berkaitan dengan sistem kekerabatan matrilineal.
Meskipun terjadi banyak perubahan, yang perlu dicatat ialah bahwa perubahan-perubahan pada tiap aspek tersebut tidak bersifat dikotomi, tetapi dalam gradasi. Nilai-nilai dan norma-norma yang terdapat di daerah asal masih terus mempengaruhi perantau Minangkabau, sementara kondisi kehidupan di kampung halaman sendiri pun terus mengalami perubahan.
DAFTAR PUSTAKA
Amir M.S. 1997. Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Mutiara Sumber Widya. Jakarta.
Bachtiar, Harsja W. “Negeri Taram: Masyarakat Desa Minangkabau”, dalam Koentjaraningrat (ed.). 1984. Masyarakat Desa di Indonesia. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Chandra, Ade, et al. 2000. Minangkabau dalam Perubahan. Yasmin Akbar. Padang.
Evers, Hans-Dieter & Rudiger Korff. 2002. Urbanisme di Asia Tenggara Makna dan Kekuasaan dalam Ruang-ruang Sosial. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Ihromi, T.O. (ed.). 1984. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Gramedia. Jakarta.
Junus, Umar. 2002. “Kebudayaan Minangkabau”, dalam Koentjaraningrat (ed.). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djambatan. Jakarta.
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. UI-Press, Jakarta.
Latief, H.Ch.N, Dt. Bandaro. 2002. Etnis dan Adat Minangkabau Permasalahan dan Masa Depannya. Angkasa. Bandung.
Naim, Mochtar. 1984. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Nye, Ivan & Felix dan Berardo. 1967. Emerging Conceptual Frame Work of Family Analisis, The Macmillan Company, New York.
Pelly, Usman. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing. LP3ES. Jakarta.
Sairin, Sjafri. 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia Perspektif Antropologi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Yarmaidi. 1999. “Perubahan Struktur Keluarga Suku Minangkabau (Studi Kasus Perantau Asal Nagari di Bandar Lampung”. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Sumber Tulisan: http://www.bpsnt-padang.info