Oleh Agus Setiyanto
I. Mukadimah
Ada sebuah potret mati yang benar-benar “mati kutu”. Kondisi jasadnya semakin rusak termakan oleh zaman. Bumi tempat bersandar serta lingkungan sekitarnya pun sudah tidak peduli. Siapapun yang datang, melihat, dan masuk kedalam, mungkin akan memberi kesan sebagai heiligplaats (tempat angker). Itulah nasib “Stelwijk”, sebuah benteng peninggalan VOC yang terletak di bekas wilayah Banten Lama (masuk wilayah Serang).
Sebenarnya, nasib tragis itu tidak hanya dialami oleh “Stelwijk”. Masih banyak bangunan bersejarah di sekitar bekas wilayah Banten Lama (Serang) yang juga bernasib sama, bahkan lebih parah lagi karena sudah hancur berat, termasuk bangunan istananya (Kasultanan, Kaibon, dan lain-lain).
Lain lagi ceritanya dengan bangunan istana di Pulau Penyengat, yang atapnya konon bersemenkan putih telor. Meskipun sudah berstatus istana mati, tetapi nasib masih baik, karena masih dalam perawatan yang serius. Dan daya tarik wisatawannya juga belum bersurut. Setidak-tidaknya ketika saya berkunjung pada tahun 1989. Bahkan saya sempat melihat sebuah Alqur’an yang ditulis pada abad ke 16. Tapi sayang, sebagian kertasnya sudah rapuh.
II. Fort Marlborough
Sekarang ini, bangunan-bangunan bersejarah yang ada di wilayah Bengkulu sudah geheel en al (baca : punah). Istana Sultan Muko-Muko wis ora ono alias sirna. Istana Balai Buntar sudah bubar. Fort Anna, dan Fort York, sudah rontok. Huissen van Pangeran Sillebar, jejaknyapun sudah tak terdengar, apalagi ! Kecuali Fort Marlborough.
Benteng peninggalan Inggris yang mulai dibangun tahun 1714 dan selesai tahun 1719 (Marsden, 1966:452), kini telah berusia 281 tahun (hampir tiga abad). Tentu saja tidak diharapkan akan bernasib seperti “Fort Stelwijk” (benteng peninggalan VOC di Serang) dan kawan-kawannya. Sebab, secara fisik, kondisi benteng yang pernah direnovasi tahun 1979-1984), kini masih cukup kuat dan kokoh, bahkan mungkin tahan banting untuk beberapa generasi ke depan.
Nasib tragis yang terjadi pada janganlah menimpa Fort Marlborough. Sebab, “Fort Stelwijk” kini semakin rusak, rapuh, penuh belukar disekelilingnya, serta sudah kehilangan nilai estetis dan historisnya. Dan bahkan cenderung tenggelam di mata para wisatawan.
Tetapi Benteng Marlborough yang telah dikosongkan oleh pihak Depdikbud sejak 13 Mei 1998, kini mengundang resiko yang serba dilematis. Sebab, pengoperasionalisasian maupun pengosongan benteng itu tidak berarti identik dengan penyelamatan atau pelestarian. Bisa jadi, dengan tetap difungsikannya benteng sebagai kantor Depdikbud, kondisi benteng semakin kehilangan nilai-nilai estetis dan historisnya. Sebaliknya, benteng yang telah berstatus sebagai benteng mati juga beresiko tinggi. Paling tidak, sistem perawatan maupun sistem pengawasan cenderung melemah, yang selanjutnya berpengaruh terhadap kelestarian tata bangunan maupun isinya.
Yang perlu dipersoalkan adalah bagaimana memanfaatkan warisan budaya yang beraset internasional ini, tidak sekedar sebagai sumber daya tarik wisata, tetapi juga menjadi sumber pengkajian ilmu pengetahuan tentang masa lampau, khususnya hal-hal yang berkaitan dengan keberadaan Benteng Marlborough. Bahkan kontribusi yang kedua ini lebih penting dan strategis bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan kata lain, pengkajian dari berbagai cabang ilmu pengetahuan maupun teknologi dapat memanfaatkan eksistensi Benteng Marlborough sesuai dengan obyek kajiannya. Misal saja, bentuk, tata letak, serta komponen-komponen dari bagunan benteng ini dapat dijadikan sebagai comparative study bagi kajian ilmu dan konstruktur tentang berbagai macam bentuk bangungan. Atau bisa juga, dipakai sebagai studi banding dalam kajian ilmu ekonomi dan manajemen, maupun kajian ilmu politik. Sebab, bagaimanapun juga secara historis, benteng Marlborough punya multifungsi, baik sebagai pusat pertahanan, pusat pemerintahan, maupun pusat kegiatan ekonomi.
Oleh sebab itu, sebaiknya Fort Marlborough tidak saja dijadikan sebagai obyek wisata, tetapi juga obyek studi sejarah. Atau bisa jadi obyek studi wisata sejarah. Sebagai obyek kajian sejarah, Fort Marlborough berpotensi sebagai sentralnya berbagai bidang kajian sejarah seperti sejarah Politik, eknomi, sosial, maupun budaya). Bahkan cukup menarik dalam studi sejarah kota Bengkulu, sebab berdirinya sebuah benteng merupakan salah satu ciri dari sebuah kota lama (Max Weber, dalam Sartono, 1977: 11-39).
III. Strategi Pemberdayaan
Alternatif pemanfaat dan pelestarian Fort Marlborough sebagai obyek wisata sejarah tentu saja memerlukan sebuah “empowerment strategy” (strategi pemberdayaan) yang tidak sekedar berorientasi pada nilai excursie-zaken (bisnis wisata), tetapi juga wetenchappen-zaken (bisnis ilmu pengetahuan).
Secara teoretis, strategi pemberdayaan merupakan konsep-konsep dasar (basic concepts) yang berhubungan dengan sistem perencanaan (planning system), sistem pelaksanaan (action system), sistem penilaian (evaluation system), sistem perawatan dan pengawasan (monitoring and maintenance system), dan juga sistem ramal (prediction system).
Sebagai obyek studi wisata sejarah, Benteng Marlborough harus tampil beda dengan obyek-obyek wisata biasa lainnya. Konsekuensi logisnya, benteng ini mesti didukung oleh berbagai sumber sejarah, baik yang primer, sekunder, maupun tersier. Yang primer bisa berupa arsip (dokumen, catatan harian), ataupun yang artefak (epigrafik, numismatik, sfralgistik, sigilografik) yang berhubungan secara langsung dengan zamannya. Sedangkan sumber-sumber yang sekunder, meskipun tidak berhubungan secara langsung, tapi periodisasinya masih terjangkau. Sumber-sumber sekunder ini biasanya berupa tulisan-tulisan atau laporan-laporan yang sezaman. Sementara sumber tersiernya bisa berupa buku-buku, majalah, maupun literatur-literatur ilmiah (Garraghan, 1957:103-123).
Aplikasinya, perlu ruang khusus untuk penyimpanan barang-barang bersejarah (semacam museum), dan juga ruang perpustakaan khusus. Dengan kata lain, Benteng Marlborough berfungsi sebagai museum dan perpustakaan khusus. Karenanya, diperlukan kerjasama dengan beberapa instansi/lembaga terkait seperti pihak Museum Pusat maupun Wilayah, Perpustakaan Nasional / Daerah, Arsip Nasional/ Daerah. Bahkan bisa jadi bernegosiasi dengan pihak perpustakaan luar negeri (Leiden maupun London).
Pengoperasionalisasian Fort Marlborough sebagai “museum dan perpustakaan istimewa” ini, diharapkan tidak hanya sekedar sebagai alternatif penyelamatan dan pelestarian, tetapi juga punya added value. Bisa jadi sebagai central kajian sejarah budaya Bengkulu. Dan jika dijadikan sebagai tempat studi wisata sejarah dan budaya lokal, maka strategi pemberdayaannya perlu juga melibatkan peran serta dan proaktif kaum pendidik (guru/dosen) melalui penerapan ajaran yang bermuatan lokal di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi. Dan tidak menutup kemungkinan, bisa saja ada kunjungan wisata dari luar daerah yang memanfaatkan sebagai obyek kajian wisata sejarah.
Sumber: http://agussetiyanto.wordpress.com
I. Mukadimah
Ada sebuah potret mati yang benar-benar “mati kutu”. Kondisi jasadnya semakin rusak termakan oleh zaman. Bumi tempat bersandar serta lingkungan sekitarnya pun sudah tidak peduli. Siapapun yang datang, melihat, dan masuk kedalam, mungkin akan memberi kesan sebagai heiligplaats (tempat angker). Itulah nasib “Stelwijk”, sebuah benteng peninggalan VOC yang terletak di bekas wilayah Banten Lama (masuk wilayah Serang).
Sebenarnya, nasib tragis itu tidak hanya dialami oleh “Stelwijk”. Masih banyak bangunan bersejarah di sekitar bekas wilayah Banten Lama (Serang) yang juga bernasib sama, bahkan lebih parah lagi karena sudah hancur berat, termasuk bangunan istananya (Kasultanan, Kaibon, dan lain-lain).
Lain lagi ceritanya dengan bangunan istana di Pulau Penyengat, yang atapnya konon bersemenkan putih telor. Meskipun sudah berstatus istana mati, tetapi nasib masih baik, karena masih dalam perawatan yang serius. Dan daya tarik wisatawannya juga belum bersurut. Setidak-tidaknya ketika saya berkunjung pada tahun 1989. Bahkan saya sempat melihat sebuah Alqur’an yang ditulis pada abad ke 16. Tapi sayang, sebagian kertasnya sudah rapuh.
II. Fort Marlborough
Sekarang ini, bangunan-bangunan bersejarah yang ada di wilayah Bengkulu sudah geheel en al (baca : punah). Istana Sultan Muko-Muko wis ora ono alias sirna. Istana Balai Buntar sudah bubar. Fort Anna, dan Fort York, sudah rontok. Huissen van Pangeran Sillebar, jejaknyapun sudah tak terdengar, apalagi ! Kecuali Fort Marlborough.
Benteng peninggalan Inggris yang mulai dibangun tahun 1714 dan selesai tahun 1719 (Marsden, 1966:452), kini telah berusia 281 tahun (hampir tiga abad). Tentu saja tidak diharapkan akan bernasib seperti “Fort Stelwijk” (benteng peninggalan VOC di Serang) dan kawan-kawannya. Sebab, secara fisik, kondisi benteng yang pernah direnovasi tahun 1979-1984), kini masih cukup kuat dan kokoh, bahkan mungkin tahan banting untuk beberapa generasi ke depan.
Nasib tragis yang terjadi pada janganlah menimpa Fort Marlborough. Sebab, “Fort Stelwijk” kini semakin rusak, rapuh, penuh belukar disekelilingnya, serta sudah kehilangan nilai estetis dan historisnya. Dan bahkan cenderung tenggelam di mata para wisatawan.
Tetapi Benteng Marlborough yang telah dikosongkan oleh pihak Depdikbud sejak 13 Mei 1998, kini mengundang resiko yang serba dilematis. Sebab, pengoperasionalisasian maupun pengosongan benteng itu tidak berarti identik dengan penyelamatan atau pelestarian. Bisa jadi, dengan tetap difungsikannya benteng sebagai kantor Depdikbud, kondisi benteng semakin kehilangan nilai-nilai estetis dan historisnya. Sebaliknya, benteng yang telah berstatus sebagai benteng mati juga beresiko tinggi. Paling tidak, sistem perawatan maupun sistem pengawasan cenderung melemah, yang selanjutnya berpengaruh terhadap kelestarian tata bangunan maupun isinya.
Yang perlu dipersoalkan adalah bagaimana memanfaatkan warisan budaya yang beraset internasional ini, tidak sekedar sebagai sumber daya tarik wisata, tetapi juga menjadi sumber pengkajian ilmu pengetahuan tentang masa lampau, khususnya hal-hal yang berkaitan dengan keberadaan Benteng Marlborough. Bahkan kontribusi yang kedua ini lebih penting dan strategis bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan kata lain, pengkajian dari berbagai cabang ilmu pengetahuan maupun teknologi dapat memanfaatkan eksistensi Benteng Marlborough sesuai dengan obyek kajiannya. Misal saja, bentuk, tata letak, serta komponen-komponen dari bagunan benteng ini dapat dijadikan sebagai comparative study bagi kajian ilmu dan konstruktur tentang berbagai macam bentuk bangungan. Atau bisa juga, dipakai sebagai studi banding dalam kajian ilmu ekonomi dan manajemen, maupun kajian ilmu politik. Sebab, bagaimanapun juga secara historis, benteng Marlborough punya multifungsi, baik sebagai pusat pertahanan, pusat pemerintahan, maupun pusat kegiatan ekonomi.
Oleh sebab itu, sebaiknya Fort Marlborough tidak saja dijadikan sebagai obyek wisata, tetapi juga obyek studi sejarah. Atau bisa jadi obyek studi wisata sejarah. Sebagai obyek kajian sejarah, Fort Marlborough berpotensi sebagai sentralnya berbagai bidang kajian sejarah seperti sejarah Politik, eknomi, sosial, maupun budaya). Bahkan cukup menarik dalam studi sejarah kota Bengkulu, sebab berdirinya sebuah benteng merupakan salah satu ciri dari sebuah kota lama (Max Weber, dalam Sartono, 1977: 11-39).
III. Strategi Pemberdayaan
Alternatif pemanfaat dan pelestarian Fort Marlborough sebagai obyek wisata sejarah tentu saja memerlukan sebuah “empowerment strategy” (strategi pemberdayaan) yang tidak sekedar berorientasi pada nilai excursie-zaken (bisnis wisata), tetapi juga wetenchappen-zaken (bisnis ilmu pengetahuan).
Secara teoretis, strategi pemberdayaan merupakan konsep-konsep dasar (basic concepts) yang berhubungan dengan sistem perencanaan (planning system), sistem pelaksanaan (action system), sistem penilaian (evaluation system), sistem perawatan dan pengawasan (monitoring and maintenance system), dan juga sistem ramal (prediction system).
Sebagai obyek studi wisata sejarah, Benteng Marlborough harus tampil beda dengan obyek-obyek wisata biasa lainnya. Konsekuensi logisnya, benteng ini mesti didukung oleh berbagai sumber sejarah, baik yang primer, sekunder, maupun tersier. Yang primer bisa berupa arsip (dokumen, catatan harian), ataupun yang artefak (epigrafik, numismatik, sfralgistik, sigilografik) yang berhubungan secara langsung dengan zamannya. Sedangkan sumber-sumber yang sekunder, meskipun tidak berhubungan secara langsung, tapi periodisasinya masih terjangkau. Sumber-sumber sekunder ini biasanya berupa tulisan-tulisan atau laporan-laporan yang sezaman. Sementara sumber tersiernya bisa berupa buku-buku, majalah, maupun literatur-literatur ilmiah (Garraghan, 1957:103-123).
Aplikasinya, perlu ruang khusus untuk penyimpanan barang-barang bersejarah (semacam museum), dan juga ruang perpustakaan khusus. Dengan kata lain, Benteng Marlborough berfungsi sebagai museum dan perpustakaan khusus. Karenanya, diperlukan kerjasama dengan beberapa instansi/lembaga terkait seperti pihak Museum Pusat maupun Wilayah, Perpustakaan Nasional / Daerah, Arsip Nasional/ Daerah. Bahkan bisa jadi bernegosiasi dengan pihak perpustakaan luar negeri (Leiden maupun London).
Pengoperasionalisasian Fort Marlborough sebagai “museum dan perpustakaan istimewa” ini, diharapkan tidak hanya sekedar sebagai alternatif penyelamatan dan pelestarian, tetapi juga punya added value. Bisa jadi sebagai central kajian sejarah budaya Bengkulu. Dan jika dijadikan sebagai tempat studi wisata sejarah dan budaya lokal, maka strategi pemberdayaannya perlu juga melibatkan peran serta dan proaktif kaum pendidik (guru/dosen) melalui penerapan ajaran yang bermuatan lokal di sekolah-sekolah atau perguruan tinggi. Dan tidak menutup kemungkinan, bisa saja ada kunjungan wisata dari luar daerah yang memanfaatkan sebagai obyek kajian wisata sejarah.
Sumber: http://agussetiyanto.wordpress.com