Pesan Moral dari Jayawijaya

Oleh Harry Susilo

Dinginnya udara dan tebalnya kabut tidak menyurutkan niat para pendaki yang tergabung dalam tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia untuk merayakan peringatan Hari Bumi di kawasan es Nggapulu, Pegunungan Jayawijaya, Papua, Kamis (22/4), atau di ketinggian sekitar 4.700 meter di atas permukaan laut.

Di kawasan yang jaraknya sekitar 150 meter lagi menuju Puncak Nggapulu atau Soekarno tersebut mereka merenungkan arti penting bagi kondisi lingkungan saat ini. Pemanasan global, perubahan iklim, kerusakan hutan, dan alih fungsi lahan membuat bencana semakin dekat pada manusia.

Sekitar 23 orang yang tergabung dalam tim Alfa dan tim Bravo Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia ini memiliki asa yang sama, yaitu perubahan perlakuan lingkungan untuk kehidupan Bumi yang lebih baik.

Dari Lembah Danau-Danau, tim Bravo berangkat sekitar pukul 08.00 waktu Indonesia timur atau 06.00 waktu Indonesia barat. Tim menempuh perjalanan sekitar empat jam sebelum mencapai lokasi yang dituju, padang es yang diapit Puncak Nggapulu dan Puncak Soemantri.

Sehari sebelumnya atau pada Rabu (21/4), tim Alfa sudah lebih dahulu berada di kawasan Puncak Nggapulu. Mereka mendirikan tenda untuk berlatih menginap di atas medan es. Tujuannya, agar mereka terbiasa dengan medan dan suhu ekstrem yang nantinya akan mereka hadapi di puncak-puncak gunung tertinggi lainnya.

Setelah kedua tim bertemu di atas medan es, mereka kemudian mendaki dengan berpegangan tali agar dapat bergerak bersama. Namun, pekatnya kabut cukup menghambat perjalanan tim. Jarak pandang hanya sekitar 3 meter.

Belum lagi dinginnya udara dan hujan yang mendera anggota tim. Agar tidak menggigil kedinginan, semua pendaki harus terus bergerak dan berjalan dalam jarak dekat.

Setelah tiba di padang es, sesama anggota tim saling menggamit tangan. Mereka mengheningkan cipta sejenak, kemudian disambung dengan sebuah nyanyian penyemangat.

Ketua Harian Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia Yoppie Rikson membuka sambutan dalam ”seremoni” kecil itu. Dia menekankan, kegiatan ini hanya untuk memberikan pesan soal kerusakan lingkungan.

Anggota Wanadri angkatan 1968/1969 yang tergabung dalam tim Bravo, Iwan Hignasto (58), mengungkapkan, perayaan Hari Bumi di kawasan es Nggapulu ini juga untuk memberikan kesadaran secara luas kepada masyarakat akan ancaman pemanasan global.

”Pemanasan global membuat es menyusut di kawasan Pegunungan Jayawijaya ini begitu pesat. Ada juga gejala lokal yang timbul, seperti banjir dan kekeringan,” kata Iwan.

Anggota Wanadri lainnya, Remy Tjahari (65), mengajak seluruh masyarakat agar mau bertindak sesuatu sesuai dengan kompetensi masing-masing. ”Dengan menanam pohon atau mengurangi kegiatan yang menghasilkan polusi,” ucapnya.

Pemimpin berani

Selain kesadaran masyarakat, menurut Erry Ryana Hardjapamekas, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, yang tergabung dalam tim Bravo, untuk menangani persoalan lingkungan yang semakin parah dibutuhkan juga kebijakan yang berani dari pemimpin bangsa, baik dari kalangan eksekutif maupun legislatif.

Seperti halnya korupsi, kata dia, penanganan kerusakan lingkungan harus dengan kepastian hukum. Pemerintah bisa saja memberikan batasan masa pelanggaran yang dapat diampuni jika memang kesulitan mendeteksi waktu pelanggaran.

”Misalnya, pemerintah mengampuni pelanggaran lingkungan yang pernah dilakukan hingga tahun 2000. Dengan catatan, perusak lingkungan harus memberikan denda senilai 50 persen sesuai dengan tingkat kesalahannya,” kata Erry.

Namun, setelah tahun yang ditentukan, pemerintah harus memberikan hukuman berat agar terdapat efek jera bagi perusak lingkungan meskipun berasal dari perusahaan besar. ”Hanya saja, butuh pemimpin yang berani mengambil risiko untuk membuat keputusan yang tidak populis tersebut,” kata Erry.

Tidak adanya keputusan yang tegas untuk menindak perusak lingkungan, seperti perambah hutan secara liar, pertambangan ilegal, dan pelaku eksploitasi sumber daya alam secara masif, membuat dampak pemanasan global tidak akan bisa dicegah.

Iwan menambahkan, parahnya dampak pemanasan global sekarang ini membuat masyarakat dunia beradaptasi dengan perubahan lingkungan, tidak lagi melakukan mitigasi.

Seusai upacara, tim kembali turun ke kamp terakhir di Lembah Danau-Danau. Selama perjalanan turun, mereka mengumpulkan sampah anorganik, baik yang mereka hasilkan maupun mereka temukan di sepanjang jalur, untuk konservasi.

Tak pelak, kampanye ”kecil” tim ekspedisi pada Hari Bumi ini memang ingin memberikan pesan moral bagi pemimpin bangsa. Keselamatan lingkungan hanya akan menjadi wacana jika pemimpinnya terus membiarkan eksploitasi lingkungan secara besar-besaran berlangsung.

Sumber: http://cetak.kompas.com
-

Arsip Blog

Recent Posts