Oleh Soesetyowati
Udara mulai terasa panas meski belum menyengat. Arloji masih menunjukkan angka 09.00 WIB. Dan malam sebelumnya hujan mengguyur dengan derasnya membasahi kota Palembang Sumatera Selatan, tetapi di hari Minggu itu, sisa-sisa kesejukan malam hari tidak lagi tersisa. Meski demikian, tidak menyurutkan minat kami untuk mencoba merasakan sensasi, menikmati pemandangan alam dengan menyusuri aliran Sungai Musi, sebuah tempat yang namanya sangat internasional.
Kami sebut sensasi, karena untuk menyusur sungai tersebut, kami berkesempatan naik Kapal Patroli Polisi, suatu yang barangkali langka bagi kami. Sebagai obyek wisata sebetulnya banyak perahu (ketek), rakit bahkan kapal yang disewakan. Ongkos sekali sewa Rp 50 ribu untuk 6 orang, sementara jika naik kapal per orang ditarik antara Rp 30 ribu hingga 70 ribu, tergantung jarak yang ditempuh.
Berangkat dari Pos Sungai Lais, menyusur sungai sekitar 10 km, melewati Pasar 16 Ilir, Gudang garam pelabuhan rakyat, Dermaga Boom Baru, Pulau Kemaro, Sungai Gerong, Pulau Silahnama. Dari atas kapal kami bisa melihat pemukiman penduduk seperti Rumah Rakit, pabrik PT. Pusri, Pertamina, Daerah Bagus Kuning, Masjid Lawang Kidul, Masjid Ki Merogan, Banteng Kuto Besak dan Jembatan Ampera.
Dengan laju cukup cepat, kapal melewati ’’ketek’’ (perahu kecil), serta rumah-rumah rakit yang bertebaran di Sungai dengan lebar sekitar satu kilometer dan panjang kurang lebih 460 km. Rumah-rumah rakit menutup sebagian aliran sungai, semakin ke daratan berdiri rumah berbentuk panggung yang diperkirakan menempati lahan satu km di kanan dan satu km di kiri sungai.
’’Barangkali kalau diukur, lebar Sungai Musi tidak hanya satu kilometer tapi bisa 3 km. Siapa tahu rumah panggung itu dulu termasuk pinggiran sungai’’, kata AKP Bambang Widarto, pemandu sekaligus kapten kapal.
Rumah - rumah rakit berjejar di pinggir aliran sungai. Bentuknya ada yang sederhana dan tua, ada pula yang masih baru dengan bangunan penuh ukir-ukiran khas Palembang. Rumah rakit yang sudah ada sejak zaman dahulu kala itu, ada yang ditempati keluarga dan digunakan sebagai tempat tinggal, tetapi ada pula yang dimiliki sebagai rumah istirahat. Pemiliknya bertempat tinggal di kota Palembang serta kota lain. Rumah hanya ditempati pada hari minggu atau libur bersama keluarga dan kolega.
Tertarik melihat rumah rakit, kami berhenti dan masuk ke dalam satu rumah yang tergolong baru. Rumah kosong milik keluarga Hanafi, berada di dekat jembatan Ampera. Luas rumah sekitar 40 meter persegi, dengan pembagian, ruang tamu, sebuah kamar tidur, sebuah dapur, sebuah kamar mandi, serta teras kecil di depan, samping dan di belakang rumah.
Tidak ada furniture, baik di ruang tamu (ruang santai) atau ruang tidur, sebagai gantinya digelar lampit (tikar dari bahan bambu yang agak tebal) yang dipakai sebagai alas tempat duduk atau pun tidur. Ada meja kecil untuk ditempatkan televisi di pojok ruang santai, sebuah kulkas serta sebuah mesin cuci. Tinggi plafon sekitar 2 meteran, dan semua bangunan terbuat dari kayu. Yang menarik, meski berada di atas aliran sungai, udara terasa hangat, dan bergoyang-goyang. Untuk mandi dan minum keluarga tersebut membeli air bersih yang memang ditawarkan.
Berbeda dengan rumah rakit milik penduduk yang umumnya bekerja sebagai nelayan. Untuk aktivitas MCK serta minum sebagian mereka mengambilnya langsung dari sungai yang berada di bawahnya. Itu bisa dilihat daro akitivitas mulai anak-anak hingga orang dewasa. Sejumlah anak-anak bertelanjang dengan riangnya berenang dan bermain dalam air di samping rumah mereka.
Selain sebagai tempat tinggal ada pula yang difungsikan untuk warung makan, bahkan toko kelontong. Di pagi hari, para ibu yang enggan berbelanja ke pasar di darat, di sekitar rumah rakit terdapat rakit - rakit berisi pedagang sayuran dan ikan dan kebutuhan harian lainnya. Saat berbelanja pembeli juga naik rakit.
’’Siapa pun diperbolehkan mendirikan rumah rakit di pinggir Sungai Musi asal meminta izin terlebih dahulu ke Pemda. Saat ini diperkirakan terdapat lebih kurang 300 rumah rakit. Dan itu dilestarikan Pemda sebagai salah satu obyek wisata Sungai Musi yang dijual ke wisatawan’’, kata Bambang tentang banyaknya rumah rakit di pinggir aliran sungai itu.
Ketika ditanya, jika masyarakat dibiarkan semaunya mendirikan rumah di aliran sungai, nantinya menutup sungai Musi. Padahal aktivitas pelayaran masih jadi andalan, Bambang menyebut, barangkali ada perda yang mengatur.
”Saya kurang begitu paham aturan pemda, yang saya tahu rumah rakit dilestarikan dan dijual kepada wisatawan sebagai bagian kekayaan Sungai Musi’’, katanya.
Jembatan Ampera
Kurang lengkap rasanya tanpa membahas ’’kon’’ kota Palembang ’’Jembatan Ampera’’ . Jembatan ini menyatukan dua daratan di Kota Palembang ’’Seberang Ulu dan Seberang Ilir’’. Ide membuat jembatan sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang, tahun 1906. Saat Walikota Palembang dijabat Le Cocq de Ville, tahun 1924, ide ini kembali mencuat dan dilakukan banyak usaha untuk merealisasikannya.
Jembatan dibangun mulai April 1962 dan selesai Mei 1965 dengan masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu dan 16 Ilir, posisinya di pusat kota, terdapat boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan itu (sering digunakan untuk acara pergelaran musik terbuka). Biaya sebesar USD 4.500.000 (kurs saat itu, USD 1 = Rp 200). Jembatan dengan konstruksi baja yang diperkuat kawat baja itu, memiliki panjang 1.100 meter dengan lebar 22 meter. Keenam kakinya, dipancang sedalam 75 meter. Bagian atasnya, terdapat dua menara setinggi 75 meter dengan jarak bentang antar-menara 71,5 meter. Ketinggian bentang jembatan dari air 11,5 meter saat air surut dan 8 meter saat pasang naik itu dapat diangkat ketika akan dilalui kapal. Ketika awal penggunaannya, jembatan bisa dibaikkan, saat bentang diangkat, ketinggiannya dari air mencapai 63 meter. Kapal yang dapat melaluinya berukuran tinggi 9 meter-44,5 meter dan lebar 60 meter. Untuk mengangkat bentang jembatan seberat 994 ton, ditempatkanlah bandul yang masing-masing seberat 450 ton di kedua menara. Kecepatan angkatnya mencapai 10 meter per detik. Namun pada perkembangannya, jembatan tidak bisa lagi diangkat, peralatannya sudah lama rusak.
Benteng Kuto Besak
Masih dari atas sungai, sebuah benteng peninggalan Belanda terlihat dengan megahnya. Benteng ini dibangun selama 17 tahun (1780-1797 M). Sebagaimana umumnya bangunan benteng pada masa lalu, tempat yang kemudian dikenal dengan nama ”Benteng Kuto Besak” (BKB) ini dulu dibangun di atas pulau. Lahan tempatnya berdiri dikelilingi sungai. Yaitu, Sungai Kapuran (kini, alirannya merupakan bagian Jl. Merdeka, setelah ditimbun Pemerintahan Belanda sekitar tahun 1930-an), Sungai Musi di bagian utara, Sungai Sekanak di bagian barat; dan Sungai Tengkuruk di bagian timur.
Bangunan ini menggunakan bahan batu dan semen (batu kapur serta bubuk tumbukan kulit kerang). Konon, sebagai bahan penguat tambahan, digunakan pula putih telur dan rebusan tulang serta kulit sapi dan kerbau. Benteng berbentuk persegi empat dengan ukuran panjang 290 meter, lebar 180 meter, dan tinggi 6,60 meter-7,20 meter. Di keempat sudutnya, terdapat empat bastion (buluarti) untuk menempatkan meriam. Sesuai dengan posisinya yang dikelilingi sungai, BKB memiliki empat pintu. Yaitu, pintu utama yang menghadap Sungai Musi dan tiga pintu lain, yang masing-masing menghadap Sungai Tengkuruk, Sungai Kapuran, dan Sungai Sekanak. Kekokohan dan kemegahan Benteng hanya bisa dilihat dari sungai, karena tempat itu kini dipakai seabgai asrama tentara.
Wisata Kuliner
Pempek, mie celok, pindang meranjat, adalah makanan khas kota tersebut. Sama seperti menyebut bandeng presto, lunpia, soto atau mie Jowo ketika orang berada di Semarang. Maka wisata kuliner pun kami lakukan, khususnya dalam rangka mencoba beberapa restoran dengan menu yang sama. Pindang meranjat, menjadi tujuan pertama karena merupakan hal baru bagi kami. Pindang berisi irisan ikan patin dengan kuah berwarna merah rasanya segar pedas, manis, dan asam. Ada restoran Sri Melayu, Bu Ucha dan warung Musi Rawas, ketiganya menawarkan pindang meranjat sebagai menu andalan.
Cara penyajian di tiga restoran itu sama seperti ketika kita makan di restoran Padang. Semua lauk diatur di atas meja.
Palembang kota pempek, memang betul. Rumah makan, atau warung penjual pempek tersebar hampir di semua tempat. Persaingan yang ketat menjadikan para penjual ini sangat cerdik, terutama ketika melayani pesanan yang akan dikirim ke luar Palembang.
Mereka menciptakan bentukan dan kemasan yang bisa tahan berhari-hari. Pempek Noni misalnya, bulatan yang terbuat dari ikan ini lumayan besar, dibungkus tepung dan saos dibuat kering. Produk Tience lain lagi.
Dia membuat bulatan pempek yang kecil-kecil, dikemas dalam plastik sedang lengkap dengan bumbu kemudian dibungkus lagi dengan kertas koran yang tebal. Pak Raden atau Selamat, menjadi pilihan lain. Sama-sama enaknya, terutama campuran saosnya, yang Yummy.
Legenda Siti Fatimah - Tan Bun An
JIKA di Jawa ada kisah tentang cinta Roro Mendut -Pranacitra yang dirampas oleh Patih Wiraguna, maka Palembang memiliki legenda cinta Siti Fatimah anak Raja Palembang, Mahmud Bahanuddin II dengan Pangeran dari Negeri China, Tan Bun An. Menurut legenda, saat melamar Siti Fatimah Raja meminta Tan Bun An menyerahkan mas kawin, barang-barang berharga.
Tan Bun An pulang ke tanah leluhurnya untuk membawa kembali emas dan barang berharga lainnya ke tanah Palembang. Karena takut barangnya dirampok, dia meletakkannya dalam guci-guci yang di bagian atasnya ditutup sayur-mayur. Melihat yang dibawa sayur mayur, Raja murka dan Tan Bun An diusir dari Palembang, karena sedih pangeran ini menceburkan dirinya di Sungai Musi. Mendengar kekasihnya meninggal, Siti Fatimah menyusul menceburkan dirinya ke sungai itu pula. Keajaiban terjadi, di tengah sungai muncul dua gundukan tanah yang menonjol di antara gundukan lebar membentuk pulau. Gundukan yang menonjol itu diyakini penduduk sebagai jasad kedua sejoli yang muncul dari dasar sungai.
Pulau itu dinamakan Kemaro, berada di hilir Sungai Musi luasnya sekitar 5 ha. Di atasnya, kini berdiri sebuah kelenteng Hok Ceng Bio yang mulai dibangun tahun 1962. Sebelumnya, kelenteng ini hanya berupa bangunan gubuk. Bagi penganut Budha, Kong Hu Cu, dan Tridharma di Palembang, pulau ini memiliki makna ritual yang tinggi. Selain menjadi pusat kegiatan Cap Go Meh (Hari Raya yang diselenggarakan pada hari ke-15 setelah Sincia atau Tahun Baru Kalender Lunar) juga dipercaya sebagai lambang cinta sejati.
Pulau Kemaro dipadati penganut Tridharma yang merayakan Cap Go Meh. Bukan hanya berasal dari Indonesia, para penganut Tridharma, Budha, dan Kong Hu Cu yang berasal dari mancanegara pun hadir di pulau ini. Perayaan bulan purnama pada bulan Cia Gwee (bulan pertama tahun lunar) ini dilakukan semua marga Tionghoa, baik ia beragama Budha, Taoisme, atau Kong Hu Chu. Tetapi, untuk ritual sembahyang, hanya dilakukanoleh umat Tridharma. Hanya, perayaan di Pulau Kemaro sangat khas dibandingkan tempat lain. Saat ritual berlangsung, sembahyang dilaksanakan di enam tempat, baik di luar maupun dalam kelenteng. Sekitar pukul 23.00 dilakukan sembahyang kepada Thien (Tuhan di langit) selama 15 menit. Ritual dilanjutkan dengan sembahyang bagi Hok Tek Cin Sin (Dewa Bumi) selama 15 menit.
Dua Aliran
Ketika berziarah ke makam kedua tokoh legenda itu cara berdoa untuk Tan Bun An dan Siti Fatimah berbeda. Saat masuk ke dalam sebuah bangunan kita dihadang sebuah cungkup yang diyakini makam Tan Bun An yang beragama Khong Hu Chu. Masuk ke dalam lagi (kepala gandeng) diyakini makam Siti Fatimah pemeluk agama Islam. Cara doa yang berbeda terlihat ketika juru kunci keturunan China bernama Linda memandu tamu yang datang. Saat berada di depan makam Tan, dia menggunakan hongsua yang dibakar, sementara saat berada di depan Siti dia mengucapkan Assalamualaikum diteruskan doa dengan cara Islam.
Bagi yang ingin mencoba mengetahui keberuntungan di tempat itu disediakan sebuah kayu panjang. Kayu dibentangkan, pada akhir jari tengah ditandai karet, kemudian kayu diputar-putarkan di atas makam, setelahnya diukur kembali. Kalau karet berpindah dan ukuran menjadi lebih panjang, maka keinginan disebut bakal terlaksana. Kalau berkurang, dikatakan keinginan tidak akan kesampaian.
Selain Sungai Musi serta beberapa bangunan kuno, sebagian obyek wisata Palembang yang ditawarkan adalah makam para raja, istri beserta panglimanya. Beberapa yang terkenal adalah Sabokingking
Kompleks Makam Sabokingking terdapat dalam kawasan PT Pusri. Tokoh yang dimakamkan di kompleks ini antara lain Pangeran Sido Ing Kenayan (1630-1642 M). Sido Ing Kenayan adalah Raja Palembang yang menggantikan pamannya, Pangeran Sido Ing Puro (1624-1630 M) dan kedudukannya kemudian digantikan oleh sepupunya, Pangeran Sido Ing Pasarean (1642-143 M). Makam ini berdampingan dengan makam istri Pangeran Sido Ing Kenayan, yaitu Ratu Sinuhun. Di samping itu, terdapat pula makam guru agama raja, Habib Muhammad Imam Alfasah yang berasal dari Arab.
Hingga kini, Ratu Sinuhun diyakini sebagai penulis kitab Simbur Cahaya. Kitab ini sering pula disebut Undang-undang Simbur Cahaya, yang isinya norma hukum adat. Dalam makam itu, lagi-lagi banyak penziarah yang meminta berkah dengan cara membentangkan kayu seperti yang ada di Pulau Kemaro.
”Banyak caleg dan calon pejabat yang datang ke sini”, kata juru kunci makam.
Tempat lain yang dikeramatkan Kawah Tekurep, serta Bukit Siguntang. Daerah ini terletak di atas 27 meter dari permukaan laut tepat di kelurahan Bukit lama. Tempat ini sampai sekarang masih tetap dikeramatkan karena disini terdapat beberapa makam di antaranya: Raja Si Gentar Alam, Putri Kembang Dadar, Putri Rambut Selako, Panglima Bagus Kuning, Panglima Bagus Karang, Panglima Tuan Junjungan, Panglima Raja Batu Api, Panglima Jago Lawang.
Udara mulai terasa panas meski belum menyengat. Arloji masih menunjukkan angka 09.00 WIB. Dan malam sebelumnya hujan mengguyur dengan derasnya membasahi kota Palembang Sumatera Selatan, tetapi di hari Minggu itu, sisa-sisa kesejukan malam hari tidak lagi tersisa. Meski demikian, tidak menyurutkan minat kami untuk mencoba merasakan sensasi, menikmati pemandangan alam dengan menyusuri aliran Sungai Musi, sebuah tempat yang namanya sangat internasional.
Kami sebut sensasi, karena untuk menyusur sungai tersebut, kami berkesempatan naik Kapal Patroli Polisi, suatu yang barangkali langka bagi kami. Sebagai obyek wisata sebetulnya banyak perahu (ketek), rakit bahkan kapal yang disewakan. Ongkos sekali sewa Rp 50 ribu untuk 6 orang, sementara jika naik kapal per orang ditarik antara Rp 30 ribu hingga 70 ribu, tergantung jarak yang ditempuh.
Berangkat dari Pos Sungai Lais, menyusur sungai sekitar 10 km, melewati Pasar 16 Ilir, Gudang garam pelabuhan rakyat, Dermaga Boom Baru, Pulau Kemaro, Sungai Gerong, Pulau Silahnama. Dari atas kapal kami bisa melihat pemukiman penduduk seperti Rumah Rakit, pabrik PT. Pusri, Pertamina, Daerah Bagus Kuning, Masjid Lawang Kidul, Masjid Ki Merogan, Banteng Kuto Besak dan Jembatan Ampera.
Dengan laju cukup cepat, kapal melewati ’’ketek’’ (perahu kecil), serta rumah-rumah rakit yang bertebaran di Sungai dengan lebar sekitar satu kilometer dan panjang kurang lebih 460 km. Rumah-rumah rakit menutup sebagian aliran sungai, semakin ke daratan berdiri rumah berbentuk panggung yang diperkirakan menempati lahan satu km di kanan dan satu km di kiri sungai.
’’Barangkali kalau diukur, lebar Sungai Musi tidak hanya satu kilometer tapi bisa 3 km. Siapa tahu rumah panggung itu dulu termasuk pinggiran sungai’’, kata AKP Bambang Widarto, pemandu sekaligus kapten kapal.
Rumah - rumah rakit berjejar di pinggir aliran sungai. Bentuknya ada yang sederhana dan tua, ada pula yang masih baru dengan bangunan penuh ukir-ukiran khas Palembang. Rumah rakit yang sudah ada sejak zaman dahulu kala itu, ada yang ditempati keluarga dan digunakan sebagai tempat tinggal, tetapi ada pula yang dimiliki sebagai rumah istirahat. Pemiliknya bertempat tinggal di kota Palembang serta kota lain. Rumah hanya ditempati pada hari minggu atau libur bersama keluarga dan kolega.
Tertarik melihat rumah rakit, kami berhenti dan masuk ke dalam satu rumah yang tergolong baru. Rumah kosong milik keluarga Hanafi, berada di dekat jembatan Ampera. Luas rumah sekitar 40 meter persegi, dengan pembagian, ruang tamu, sebuah kamar tidur, sebuah dapur, sebuah kamar mandi, serta teras kecil di depan, samping dan di belakang rumah.
Tidak ada furniture, baik di ruang tamu (ruang santai) atau ruang tidur, sebagai gantinya digelar lampit (tikar dari bahan bambu yang agak tebal) yang dipakai sebagai alas tempat duduk atau pun tidur. Ada meja kecil untuk ditempatkan televisi di pojok ruang santai, sebuah kulkas serta sebuah mesin cuci. Tinggi plafon sekitar 2 meteran, dan semua bangunan terbuat dari kayu. Yang menarik, meski berada di atas aliran sungai, udara terasa hangat, dan bergoyang-goyang. Untuk mandi dan minum keluarga tersebut membeli air bersih yang memang ditawarkan.
Berbeda dengan rumah rakit milik penduduk yang umumnya bekerja sebagai nelayan. Untuk aktivitas MCK serta minum sebagian mereka mengambilnya langsung dari sungai yang berada di bawahnya. Itu bisa dilihat daro akitivitas mulai anak-anak hingga orang dewasa. Sejumlah anak-anak bertelanjang dengan riangnya berenang dan bermain dalam air di samping rumah mereka.
Selain sebagai tempat tinggal ada pula yang difungsikan untuk warung makan, bahkan toko kelontong. Di pagi hari, para ibu yang enggan berbelanja ke pasar di darat, di sekitar rumah rakit terdapat rakit - rakit berisi pedagang sayuran dan ikan dan kebutuhan harian lainnya. Saat berbelanja pembeli juga naik rakit.
’’Siapa pun diperbolehkan mendirikan rumah rakit di pinggir Sungai Musi asal meminta izin terlebih dahulu ke Pemda. Saat ini diperkirakan terdapat lebih kurang 300 rumah rakit. Dan itu dilestarikan Pemda sebagai salah satu obyek wisata Sungai Musi yang dijual ke wisatawan’’, kata Bambang tentang banyaknya rumah rakit di pinggir aliran sungai itu.
Ketika ditanya, jika masyarakat dibiarkan semaunya mendirikan rumah di aliran sungai, nantinya menutup sungai Musi. Padahal aktivitas pelayaran masih jadi andalan, Bambang menyebut, barangkali ada perda yang mengatur.
”Saya kurang begitu paham aturan pemda, yang saya tahu rumah rakit dilestarikan dan dijual kepada wisatawan sebagai bagian kekayaan Sungai Musi’’, katanya.
Jembatan Ampera
Kurang lengkap rasanya tanpa membahas ’’kon’’ kota Palembang ’’Jembatan Ampera’’ . Jembatan ini menyatukan dua daratan di Kota Palembang ’’Seberang Ulu dan Seberang Ilir’’. Ide membuat jembatan sudah ada sejak zaman Gemeente Palembang, tahun 1906. Saat Walikota Palembang dijabat Le Cocq de Ville, tahun 1924, ide ini kembali mencuat dan dilakukan banyak usaha untuk merealisasikannya.
Jembatan dibangun mulai April 1962 dan selesai Mei 1965 dengan masing-masing kakinya di kawasan 7 Ulu dan 16 Ilir, posisinya di pusat kota, terdapat boulevard atau taman terbuka di kedua ujung jembatan itu (sering digunakan untuk acara pergelaran musik terbuka). Biaya sebesar USD 4.500.000 (kurs saat itu, USD 1 = Rp 200). Jembatan dengan konstruksi baja yang diperkuat kawat baja itu, memiliki panjang 1.100 meter dengan lebar 22 meter. Keenam kakinya, dipancang sedalam 75 meter. Bagian atasnya, terdapat dua menara setinggi 75 meter dengan jarak bentang antar-menara 71,5 meter. Ketinggian bentang jembatan dari air 11,5 meter saat air surut dan 8 meter saat pasang naik itu dapat diangkat ketika akan dilalui kapal. Ketika awal penggunaannya, jembatan bisa dibaikkan, saat bentang diangkat, ketinggiannya dari air mencapai 63 meter. Kapal yang dapat melaluinya berukuran tinggi 9 meter-44,5 meter dan lebar 60 meter. Untuk mengangkat bentang jembatan seberat 994 ton, ditempatkanlah bandul yang masing-masing seberat 450 ton di kedua menara. Kecepatan angkatnya mencapai 10 meter per detik. Namun pada perkembangannya, jembatan tidak bisa lagi diangkat, peralatannya sudah lama rusak.
Benteng Kuto Besak
Masih dari atas sungai, sebuah benteng peninggalan Belanda terlihat dengan megahnya. Benteng ini dibangun selama 17 tahun (1780-1797 M). Sebagaimana umumnya bangunan benteng pada masa lalu, tempat yang kemudian dikenal dengan nama ”Benteng Kuto Besak” (BKB) ini dulu dibangun di atas pulau. Lahan tempatnya berdiri dikelilingi sungai. Yaitu, Sungai Kapuran (kini, alirannya merupakan bagian Jl. Merdeka, setelah ditimbun Pemerintahan Belanda sekitar tahun 1930-an), Sungai Musi di bagian utara, Sungai Sekanak di bagian barat; dan Sungai Tengkuruk di bagian timur.
Bangunan ini menggunakan bahan batu dan semen (batu kapur serta bubuk tumbukan kulit kerang). Konon, sebagai bahan penguat tambahan, digunakan pula putih telur dan rebusan tulang serta kulit sapi dan kerbau. Benteng berbentuk persegi empat dengan ukuran panjang 290 meter, lebar 180 meter, dan tinggi 6,60 meter-7,20 meter. Di keempat sudutnya, terdapat empat bastion (buluarti) untuk menempatkan meriam. Sesuai dengan posisinya yang dikelilingi sungai, BKB memiliki empat pintu. Yaitu, pintu utama yang menghadap Sungai Musi dan tiga pintu lain, yang masing-masing menghadap Sungai Tengkuruk, Sungai Kapuran, dan Sungai Sekanak. Kekokohan dan kemegahan Benteng hanya bisa dilihat dari sungai, karena tempat itu kini dipakai seabgai asrama tentara.
Wisata Kuliner
Pempek, mie celok, pindang meranjat, adalah makanan khas kota tersebut. Sama seperti menyebut bandeng presto, lunpia, soto atau mie Jowo ketika orang berada di Semarang. Maka wisata kuliner pun kami lakukan, khususnya dalam rangka mencoba beberapa restoran dengan menu yang sama. Pindang meranjat, menjadi tujuan pertama karena merupakan hal baru bagi kami. Pindang berisi irisan ikan patin dengan kuah berwarna merah rasanya segar pedas, manis, dan asam. Ada restoran Sri Melayu, Bu Ucha dan warung Musi Rawas, ketiganya menawarkan pindang meranjat sebagai menu andalan.
Cara penyajian di tiga restoran itu sama seperti ketika kita makan di restoran Padang. Semua lauk diatur di atas meja.
Palembang kota pempek, memang betul. Rumah makan, atau warung penjual pempek tersebar hampir di semua tempat. Persaingan yang ketat menjadikan para penjual ini sangat cerdik, terutama ketika melayani pesanan yang akan dikirim ke luar Palembang.
Mereka menciptakan bentukan dan kemasan yang bisa tahan berhari-hari. Pempek Noni misalnya, bulatan yang terbuat dari ikan ini lumayan besar, dibungkus tepung dan saos dibuat kering. Produk Tience lain lagi.
Dia membuat bulatan pempek yang kecil-kecil, dikemas dalam plastik sedang lengkap dengan bumbu kemudian dibungkus lagi dengan kertas koran yang tebal. Pak Raden atau Selamat, menjadi pilihan lain. Sama-sama enaknya, terutama campuran saosnya, yang Yummy.
Legenda Siti Fatimah - Tan Bun An
JIKA di Jawa ada kisah tentang cinta Roro Mendut -Pranacitra yang dirampas oleh Patih Wiraguna, maka Palembang memiliki legenda cinta Siti Fatimah anak Raja Palembang, Mahmud Bahanuddin II dengan Pangeran dari Negeri China, Tan Bun An. Menurut legenda, saat melamar Siti Fatimah Raja meminta Tan Bun An menyerahkan mas kawin, barang-barang berharga.
Tan Bun An pulang ke tanah leluhurnya untuk membawa kembali emas dan barang berharga lainnya ke tanah Palembang. Karena takut barangnya dirampok, dia meletakkannya dalam guci-guci yang di bagian atasnya ditutup sayur-mayur. Melihat yang dibawa sayur mayur, Raja murka dan Tan Bun An diusir dari Palembang, karena sedih pangeran ini menceburkan dirinya di Sungai Musi. Mendengar kekasihnya meninggal, Siti Fatimah menyusul menceburkan dirinya ke sungai itu pula. Keajaiban terjadi, di tengah sungai muncul dua gundukan tanah yang menonjol di antara gundukan lebar membentuk pulau. Gundukan yang menonjol itu diyakini penduduk sebagai jasad kedua sejoli yang muncul dari dasar sungai.
Pulau itu dinamakan Kemaro, berada di hilir Sungai Musi luasnya sekitar 5 ha. Di atasnya, kini berdiri sebuah kelenteng Hok Ceng Bio yang mulai dibangun tahun 1962. Sebelumnya, kelenteng ini hanya berupa bangunan gubuk. Bagi penganut Budha, Kong Hu Cu, dan Tridharma di Palembang, pulau ini memiliki makna ritual yang tinggi. Selain menjadi pusat kegiatan Cap Go Meh (Hari Raya yang diselenggarakan pada hari ke-15 setelah Sincia atau Tahun Baru Kalender Lunar) juga dipercaya sebagai lambang cinta sejati.
Pulau Kemaro dipadati penganut Tridharma yang merayakan Cap Go Meh. Bukan hanya berasal dari Indonesia, para penganut Tridharma, Budha, dan Kong Hu Cu yang berasal dari mancanegara pun hadir di pulau ini. Perayaan bulan purnama pada bulan Cia Gwee (bulan pertama tahun lunar) ini dilakukan semua marga Tionghoa, baik ia beragama Budha, Taoisme, atau Kong Hu Chu. Tetapi, untuk ritual sembahyang, hanya dilakukanoleh umat Tridharma. Hanya, perayaan di Pulau Kemaro sangat khas dibandingkan tempat lain. Saat ritual berlangsung, sembahyang dilaksanakan di enam tempat, baik di luar maupun dalam kelenteng. Sekitar pukul 23.00 dilakukan sembahyang kepada Thien (Tuhan di langit) selama 15 menit. Ritual dilanjutkan dengan sembahyang bagi Hok Tek Cin Sin (Dewa Bumi) selama 15 menit.
Dua Aliran
Ketika berziarah ke makam kedua tokoh legenda itu cara berdoa untuk Tan Bun An dan Siti Fatimah berbeda. Saat masuk ke dalam sebuah bangunan kita dihadang sebuah cungkup yang diyakini makam Tan Bun An yang beragama Khong Hu Chu. Masuk ke dalam lagi (kepala gandeng) diyakini makam Siti Fatimah pemeluk agama Islam. Cara doa yang berbeda terlihat ketika juru kunci keturunan China bernama Linda memandu tamu yang datang. Saat berada di depan makam Tan, dia menggunakan hongsua yang dibakar, sementara saat berada di depan Siti dia mengucapkan Assalamualaikum diteruskan doa dengan cara Islam.
Bagi yang ingin mencoba mengetahui keberuntungan di tempat itu disediakan sebuah kayu panjang. Kayu dibentangkan, pada akhir jari tengah ditandai karet, kemudian kayu diputar-putarkan di atas makam, setelahnya diukur kembali. Kalau karet berpindah dan ukuran menjadi lebih panjang, maka keinginan disebut bakal terlaksana. Kalau berkurang, dikatakan keinginan tidak akan kesampaian.
Selain Sungai Musi serta beberapa bangunan kuno, sebagian obyek wisata Palembang yang ditawarkan adalah makam para raja, istri beserta panglimanya. Beberapa yang terkenal adalah Sabokingking
Kompleks Makam Sabokingking terdapat dalam kawasan PT Pusri. Tokoh yang dimakamkan di kompleks ini antara lain Pangeran Sido Ing Kenayan (1630-1642 M). Sido Ing Kenayan adalah Raja Palembang yang menggantikan pamannya, Pangeran Sido Ing Puro (1624-1630 M) dan kedudukannya kemudian digantikan oleh sepupunya, Pangeran Sido Ing Pasarean (1642-143 M). Makam ini berdampingan dengan makam istri Pangeran Sido Ing Kenayan, yaitu Ratu Sinuhun. Di samping itu, terdapat pula makam guru agama raja, Habib Muhammad Imam Alfasah yang berasal dari Arab.
Hingga kini, Ratu Sinuhun diyakini sebagai penulis kitab Simbur Cahaya. Kitab ini sering pula disebut Undang-undang Simbur Cahaya, yang isinya norma hukum adat. Dalam makam itu, lagi-lagi banyak penziarah yang meminta berkah dengan cara membentangkan kayu seperti yang ada di Pulau Kemaro.
”Banyak caleg dan calon pejabat yang datang ke sini”, kata juru kunci makam.
Tempat lain yang dikeramatkan Kawah Tekurep, serta Bukit Siguntang. Daerah ini terletak di atas 27 meter dari permukaan laut tepat di kelurahan Bukit lama. Tempat ini sampai sekarang masih tetap dikeramatkan karena disini terdapat beberapa makam di antaranya: Raja Si Gentar Alam, Putri Kembang Dadar, Putri Rambut Selako, Panglima Bagus Kuning, Panglima Bagus Karang, Panglima Tuan Junjungan, Panglima Raja Batu Api, Panglima Jago Lawang.
Sumber: http://suaramerdeka.com