Obor Kololi Kie yang disulut Sultan Ternate Ke-48 Mudaffar Sjah diarak prajurit Kesultanan Ternate bersama masyarakat adat mengelilingi Kota Ternate, Maluku Utara, Rabu (31/3) malam. Legu Gam Moloku Kie Raha 2010, pesta rakyat Maluku Utara yang sarat misi, dimulai.
Terjadwalkan 1-17 April 2010, rangkaian acara pesta itu tak hanya bermaksud mengukuhkan eksistensi Kesultanan Ternate sebagai simpul budaya masyarakat Maluku Utara. Lebih dari itu, ingin mengangkat seni tradisi setempat yang berkembang sejak abad ke-15 ketika negeri ini ”mendunia” karena rempah-rempahnya. Mencuat obsesi menjadikan Maluku Utara sebagai daerah tujuan wisata.
Penerbangan Jakarta-Ternate yang harus ditempuh hampir empat jam—termasuk saat transit di Makassar atau Manado—memang cukup melelahkan untuk mengikuti pesta itu. Namun, begitu pesawat berada di atas perairan Laut Maluku, rasa jenuh pasti terbayar oleh pesona alam yang eksotik. Dari kejauhan tampak kepulan asap putih dari puncak Gunung Api Gamalama dan Gamkonora, kontras dengan birunya laut di sekitaran pulau.
Mengawali acara Legu Gam, ratusan warga dari segala penjuru Kota Ternate berduyun-duyun mendatangi area Kadaton (Keraton) Kesultanan Ternate. Mereka tak ingin melewatkan acara kirab obor begitu saja tanpa ikut serta pawai keliling kota.
Warga dari luar Pulau Ternate pun berdatangan. Tidore dan beberapa kabupaten di Pulau Halmahera berdatangan dengan perahu dan kapal motor. Mereka antusias menyaksikan pertunjukan seni tradisi dan seni pop setahun sekali itu.
Lapangan Ngara Lamo dan Dodoku Kapita Lao Ali di sebelah timur Kadaton Kesultanan Ternate, tempat Legu Gam dipusatkan, semarak. Sampai akhir, Legu Gam menyuguhkan
sedikitnya 18 jenis tarian di Maluku Utara, misalnya tarian soya-soya asal Ternate, kie raha dari Tidore, dan tarian katreji asal Bacan (Pulau Halmahera).
Tarian dipersembahkan oleh sanggar-sanggar tari yang berkembang di kampung-kampung, sekolah, dan kampus. Mereka rela menyuguhkan tarian warisan leluhur tanpa dibayar.
”Agar budaya tidak punah dan untuk menghormati Sultan,” kata Idam Kadir (20), salah satu penari dari Sanggar Seni Kilau Gamalama di Kampung Skep, Ternate, yang mementaskan tarian bela-bela cai, Selasa (13/4).
Sebanyak 15 grup band juga tampil. Kaum remaja yang datang dari Ternate, Tidore, Jailolo, dan Tobelo di Pulau Halmahera itu tidak diberi honor. Mereka justru membayar uang administrasi Rp 50.000.
Hiburan organ tunggal di mana pengunjung bisa ikut bernyanyi di panggung kecil di Dodoku (semacam panggung) Kapita Lao Ali menjadi daya pikat tersendiri. Belum lagi hiburan lain, seperti permainan ketangkasan dan aneka ragam wahana bermain anak yang sengaja didatangkan dari Semarang, Jawa Tengah.
Legu Gam selalu ditunggu semua lapisan masyarakat. ”Semuanya lengkap di sini. Hiburan untuk orang dewasa atau anak- anak tersedia. Mau belanja pakaian atau sekadar makan juga bisa,” kata Arifin (42), salah satu pengunjung.
Interaksi sosial di ruang publik berefek ekonomi bagi kota yang berpenduduk 200.000 itu. Pedagang kaki lima bergeliat. Dagangan makanan, minuman, pakaian, dan banyak jenis dagangan lain juga laris. ”Dalam semalam bisa dapat Rp 150.000 sampai Rp 300.000. Ini tiga kali lipat lebih besar daripada pendapatan sehari-hari berjualan es campur,” ujar Suwanto (30), pedagang balon untuk anak-anak.
Itu sebabnya, biaya yang harus dikeluarkan untuk menyewa tempat sebesar Rp 1,5 juta-Rp 7 juta tidak menjadi masalah. Keuntungan yang diperoleh bisa dua kali lipat dari harga sewa.
Legu Gam menjadi gelaran ke-8 sejak tahun 2003. ”Sebelumnya hanya digelar di kampung-kampung. Masyarakat membuat pesta, lalu mengundang Sultan datang. Kali ini, dipusatkan di sekitar Kadaton,” ujar Sultan Ternate Ke-48 Mudaffar Sjah. Diambillah momen ulang tahun Sultan, 13 April, sebagai waktu pelaksanaan.
Kesetaraan
Bagi Sultan sendiri, Legu Gam merupakan hukum adat yang harus dilakukan. Hukum itu berdasarkan pada filosofi Kesultanan Ternate, Toma Limau Gapi Matobu, Jou Se Ngofangare (pada tempat tertinggi, ada engkau dan aku). Sebuah prinsip kesetaraan yang lazim ditemukan dalam iklim demokrasi.
Filosofi yang maknanya diyakini sebagai asal dari segala sesuatu di bumi yang menjadi dasar pola hubungan antara engkau sebagai Tuhan dan aku sebagai hamba-Nya sekaligus menjadi dasar hubungan antara engkau sebagai pemimpin—dalam hal ini Sultan—dan aku sebagai rakyat.
Filosofi ini tertuang dalam bentuk Goheba Dopolo Romdidi, yaitu burung berkepala dua, berbadan satu, dan berhati satu. Kedua kepalanya melambangkan Jou Se Ngofangare, dianalogikan dengan dua kalimah syahadat. Itu juga menyimbolkan hubungan sultan dan rakyatnya serta hubungan antarmanusia yang harus satu hati, dalam kedudukan setara.
Nilai itu relevan dengan doru gam, hukum adat lainnya yang mengharuskan sultan senantiasa siap menemui dan mendengarkan aspirasi rakyatnya. Nilai filsafat ini pula yang mendasari sistem pemerintahan di Kesultanan Ternate. Sistem yang sepenuhnya berdasarkan pada kehendak dan daulat rakyat.
Salah satu jabarannya, sultan selalu dipilih rakyat (meskipun melalui perwakilan). Rakyat yang diwakili 18 orang dalam struktur adat bernama bobato 18 memilih sultan.
Bobato adalah pemimpin komunitas (warga) yang mengakui kedaulatan Sultan Ternate. Sosok yang dipilih sebagai sultan tidak harus putra tertua dari permaisuri, tetapi bisa juga putranya yang lain, atau bahkan putra dari istrinya yang lain.
Selain berhak memilih dan mengangkat sultan, bobato 18 juga berhak menurunkan seorang sultan. Hal ini pernah terjadi pada Sultan Ke-42, Sultan M Zen (1836-1850). Dia terpaksa dilengserkan karena dinilai melanggar hukum adat. (A Ponco Anggoro dan Nasrullah Nara)
Sumber: http://cetak.kompas.com
Terjadwalkan 1-17 April 2010, rangkaian acara pesta itu tak hanya bermaksud mengukuhkan eksistensi Kesultanan Ternate sebagai simpul budaya masyarakat Maluku Utara. Lebih dari itu, ingin mengangkat seni tradisi setempat yang berkembang sejak abad ke-15 ketika negeri ini ”mendunia” karena rempah-rempahnya. Mencuat obsesi menjadikan Maluku Utara sebagai daerah tujuan wisata.
Penerbangan Jakarta-Ternate yang harus ditempuh hampir empat jam—termasuk saat transit di Makassar atau Manado—memang cukup melelahkan untuk mengikuti pesta itu. Namun, begitu pesawat berada di atas perairan Laut Maluku, rasa jenuh pasti terbayar oleh pesona alam yang eksotik. Dari kejauhan tampak kepulan asap putih dari puncak Gunung Api Gamalama dan Gamkonora, kontras dengan birunya laut di sekitaran pulau.
Mengawali acara Legu Gam, ratusan warga dari segala penjuru Kota Ternate berduyun-duyun mendatangi area Kadaton (Keraton) Kesultanan Ternate. Mereka tak ingin melewatkan acara kirab obor begitu saja tanpa ikut serta pawai keliling kota.
Warga dari luar Pulau Ternate pun berdatangan. Tidore dan beberapa kabupaten di Pulau Halmahera berdatangan dengan perahu dan kapal motor. Mereka antusias menyaksikan pertunjukan seni tradisi dan seni pop setahun sekali itu.
Lapangan Ngara Lamo dan Dodoku Kapita Lao Ali di sebelah timur Kadaton Kesultanan Ternate, tempat Legu Gam dipusatkan, semarak. Sampai akhir, Legu Gam menyuguhkan
sedikitnya 18 jenis tarian di Maluku Utara, misalnya tarian soya-soya asal Ternate, kie raha dari Tidore, dan tarian katreji asal Bacan (Pulau Halmahera).
Tarian dipersembahkan oleh sanggar-sanggar tari yang berkembang di kampung-kampung, sekolah, dan kampus. Mereka rela menyuguhkan tarian warisan leluhur tanpa dibayar.
”Agar budaya tidak punah dan untuk menghormati Sultan,” kata Idam Kadir (20), salah satu penari dari Sanggar Seni Kilau Gamalama di Kampung Skep, Ternate, yang mementaskan tarian bela-bela cai, Selasa (13/4).
Sebanyak 15 grup band juga tampil. Kaum remaja yang datang dari Ternate, Tidore, Jailolo, dan Tobelo di Pulau Halmahera itu tidak diberi honor. Mereka justru membayar uang administrasi Rp 50.000.
Hiburan organ tunggal di mana pengunjung bisa ikut bernyanyi di panggung kecil di Dodoku (semacam panggung) Kapita Lao Ali menjadi daya pikat tersendiri. Belum lagi hiburan lain, seperti permainan ketangkasan dan aneka ragam wahana bermain anak yang sengaja didatangkan dari Semarang, Jawa Tengah.
Legu Gam selalu ditunggu semua lapisan masyarakat. ”Semuanya lengkap di sini. Hiburan untuk orang dewasa atau anak- anak tersedia. Mau belanja pakaian atau sekadar makan juga bisa,” kata Arifin (42), salah satu pengunjung.
Interaksi sosial di ruang publik berefek ekonomi bagi kota yang berpenduduk 200.000 itu. Pedagang kaki lima bergeliat. Dagangan makanan, minuman, pakaian, dan banyak jenis dagangan lain juga laris. ”Dalam semalam bisa dapat Rp 150.000 sampai Rp 300.000. Ini tiga kali lipat lebih besar daripada pendapatan sehari-hari berjualan es campur,” ujar Suwanto (30), pedagang balon untuk anak-anak.
Itu sebabnya, biaya yang harus dikeluarkan untuk menyewa tempat sebesar Rp 1,5 juta-Rp 7 juta tidak menjadi masalah. Keuntungan yang diperoleh bisa dua kali lipat dari harga sewa.
Legu Gam menjadi gelaran ke-8 sejak tahun 2003. ”Sebelumnya hanya digelar di kampung-kampung. Masyarakat membuat pesta, lalu mengundang Sultan datang. Kali ini, dipusatkan di sekitar Kadaton,” ujar Sultan Ternate Ke-48 Mudaffar Sjah. Diambillah momen ulang tahun Sultan, 13 April, sebagai waktu pelaksanaan.
Kesetaraan
Bagi Sultan sendiri, Legu Gam merupakan hukum adat yang harus dilakukan. Hukum itu berdasarkan pada filosofi Kesultanan Ternate, Toma Limau Gapi Matobu, Jou Se Ngofangare (pada tempat tertinggi, ada engkau dan aku). Sebuah prinsip kesetaraan yang lazim ditemukan dalam iklim demokrasi.
Filosofi yang maknanya diyakini sebagai asal dari segala sesuatu di bumi yang menjadi dasar pola hubungan antara engkau sebagai Tuhan dan aku sebagai hamba-Nya sekaligus menjadi dasar hubungan antara engkau sebagai pemimpin—dalam hal ini Sultan—dan aku sebagai rakyat.
Filosofi ini tertuang dalam bentuk Goheba Dopolo Romdidi, yaitu burung berkepala dua, berbadan satu, dan berhati satu. Kedua kepalanya melambangkan Jou Se Ngofangare, dianalogikan dengan dua kalimah syahadat. Itu juga menyimbolkan hubungan sultan dan rakyatnya serta hubungan antarmanusia yang harus satu hati, dalam kedudukan setara.
Nilai itu relevan dengan doru gam, hukum adat lainnya yang mengharuskan sultan senantiasa siap menemui dan mendengarkan aspirasi rakyatnya. Nilai filsafat ini pula yang mendasari sistem pemerintahan di Kesultanan Ternate. Sistem yang sepenuhnya berdasarkan pada kehendak dan daulat rakyat.
Salah satu jabarannya, sultan selalu dipilih rakyat (meskipun melalui perwakilan). Rakyat yang diwakili 18 orang dalam struktur adat bernama bobato 18 memilih sultan.
Bobato adalah pemimpin komunitas (warga) yang mengakui kedaulatan Sultan Ternate. Sosok yang dipilih sebagai sultan tidak harus putra tertua dari permaisuri, tetapi bisa juga putranya yang lain, atau bahkan putra dari istrinya yang lain.
Selain berhak memilih dan mengangkat sultan, bobato 18 juga berhak menurunkan seorang sultan. Hal ini pernah terjadi pada Sultan Ke-42, Sultan M Zen (1836-1850). Dia terpaksa dilengserkan karena dinilai melanggar hukum adat. (A Ponco Anggoro dan Nasrullah Nara)
Sumber: http://cetak.kompas.com