Oleh Adi Warsidi
Tangan perempuan itu menari-nari lincah menata untaian benang-benang sutra yang terhampar di seperangkat alat tenun tradisional. Sembari kakinya cekatan menggerakkan mesin kayu tersebut, sesekali tangan si perempuan menyisipkan benang-benang emas sesuai dengan motif layaknya sulaman.
Perempuan itu, Ainul Mardhiah, 56 tahun, termasuk generasi pertama penenun di Kampung Siem, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar. “Saya sudah pertama sejak tempat ini ada,” ujarnya saat Tempo berkunjung ke Siem bulan lalu.
Tempat yang dimaksud Ainul adalah ruangan seperti kelas sekolah yang berukuran sekitar 6 x 15 meter persegi. Di dalamnya ada sekitar 10 mesin tenun dari kayu. Tempat seperti ini ada dua. Saat Tempo menyambanginya, terlihat lima pekerja di sana.
Selain Ainul, ada Khairani, 40 tahun, generasi selanjutnya, lalu Khairiah, 28 tahun, yang tergolong generasi termutakhir. Khairiah baru dua tahun menjadi penenun di tempat ini. Pengalamannya yang seujung kuku membuatnya tak segesit Ainul.
“Sebelum bekerja, saya mendapat pelatihan dan magang dulu di sini,” ujar Khairiah.
Semua penenun tersebut adalah para pekerja bisnis kain tenun yang mendapatkan ilmu langsung dari “suhu” Nyak Mu, 70 tahun. Rumah Nyak Mu ada di samping tempat menenun, berupa rumah panggung adat Aceh yang khas. Tak ada papan nama di tempat itu, dan mencari lokasinya juga lumayan sulit.
Nyak Mu mulai menggeluti bisnis kain tenun sejak 1970-an. Para pekerjanya datang silih berganti ke tempat itu untuk berguru. Saat ini umurnya yang sudah semakin sepuh memaksa Nyak Mu mengerem aktivitas bisnis. Dia hanya bekerja memeriksa tenun hasil racikan para pekerja.
Untuk mengerjakan selembar kain dibutuhkan waktu sekitar satu bulan. Itu pun jika tak ada kendala, artinya semua bahan lengkap. Soal pe masaran dipercayakan kepada anakanak dan cucu-cucunya. “Saya yang menjaga pemasarannya dan menunggu pesanan,” kata Dahlia, 48 tahun, anak Nyak Mu yang tinggal hanya 20 langkah dari tempat itu.
Dahlia juga mewarisi ilmu tenun. Dia yang merancang berbagai motif pada kain tenun yang diproduksi. Kain itu dapat dirancang dengan berbagai ukuran, umumnya panjang 1,2 meter dengan lebar 50-80 sentimeter. “Motif kami juga sering dicuri orang lain,” ujarnya.
Itu pula sebabnya, saat Tempo berniat mengambil foto produk mereka, seorang pekerja sempat menanyakan identitas Tempo. Kain yang diproduksi adalah songket dan selendang yang biasa dipakai pada pakaian pengantin. Kain itu dijual sebagai cendera mata khas Aceh dan untuk pakaian bawaan bagi pengantin pria jika ingin melamar buah hatinya.
Usaha tenun ini pernah mengalami pasang-surutnya. Kata Dahlia, bisnis mereka sangat maju pada 1980-an.
Banyak pesanan datang dari luar daerah, bahkan sering dipamerkan di tempat-tempat pameran berskala nasional.
Karena dikenal luas, nama kain songket tenun Desa Siem sudah menjadi buah bibir. Tak aneh, Nyak Mu dan Dahlia sebagai empunya kerap diundang dalam berbagai acara atau pertemuan yang berkaitan dengan bisnisnya.
“Sekitar empat bulan lalu, Nyak Mu diundang ke Jakarta dalam pertemuan penenun seluruh Indonesia,” kata Dahlia. Usaha tenun ini pernah surut saat konflik bersenjata makin panas di Aceh pada periode 19982003. Saat itu banyak tamu dari luar daerah yang gentar ke Desa Siem, yang terimbas perang.
Karena banyak yang tidak berani datang ke sana, akhirnya mereka berinisiatif membuka ruang pamer sekaligus tempat pemesanan di Kampung Laksana, Banda Aceh. Kebetulan Sabirin, abang Dahlia, tinggal di kota itu dan menjadi pengelolanya.
Perlahan usaha tenun itu berkembang lagi seusai tsunami. “Banyak tamu yang datang memesan atau langsung datang ke sini, mungkin karena sudah damai,” ujarnya.
Menurut Dahlia, mereka tidak punya tempat khusus untuk menjual kain songket hasil tenun. Semuanya dikerjakan sesuai dengan pesanan para pelanggan. Harganya beragam, tergantung motif. Selembar kain biasanya bernilai jual rata-rata Rp 1,2 juta.
Soal pesanan, Sabirin menjelaskan, datang beragam karena kain penghias itu bukanlah untuk kebutuhan primer atau sekunder. “Siapa yang ingin untuk oleh-oleh atau butuh untuk yang lain, biasanya pesan,” ujarnya.
Menurut dia, rata-rata setiap bulan ada delapan orang pemesan. Mereka kadang memesan dua lembar. Ratarata kain yang dijual per bulan mencapai 15-20 lembar. Kendala produksi juga ada, biasanya karena sulit mencari benang yang berwarna keemasan. Ini yang kerap membuat produksi kain tenun tersendat.
Kain tenun Aceh adalah tradisi yang telah ada sejak dulu. Dahulu para raja memakainya sebagai pelengkap pakaian kebesaran. Kain itu dilingkarkan pada pinggang sebatas lutut, juga dililitkan melintang badan.
Kini umumnya kain itu dipakai pengantin dalam pakaian adat. Para penenun kain khas Aceh di Desa Siem bekerja sambil merawat tradisi, yang ilmunya kian sulit didapat.
Sumber: http://memobisnis.tempointeraktif.com
Tangan perempuan itu menari-nari lincah menata untaian benang-benang sutra yang terhampar di seperangkat alat tenun tradisional. Sembari kakinya cekatan menggerakkan mesin kayu tersebut, sesekali tangan si perempuan menyisipkan benang-benang emas sesuai dengan motif layaknya sulaman.
Perempuan itu, Ainul Mardhiah, 56 tahun, termasuk generasi pertama penenun di Kampung Siem, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar. “Saya sudah pertama sejak tempat ini ada,” ujarnya saat Tempo berkunjung ke Siem bulan lalu.
Tempat yang dimaksud Ainul adalah ruangan seperti kelas sekolah yang berukuran sekitar 6 x 15 meter persegi. Di dalamnya ada sekitar 10 mesin tenun dari kayu. Tempat seperti ini ada dua. Saat Tempo menyambanginya, terlihat lima pekerja di sana.
Selain Ainul, ada Khairani, 40 tahun, generasi selanjutnya, lalu Khairiah, 28 tahun, yang tergolong generasi termutakhir. Khairiah baru dua tahun menjadi penenun di tempat ini. Pengalamannya yang seujung kuku membuatnya tak segesit Ainul.
“Sebelum bekerja, saya mendapat pelatihan dan magang dulu di sini,” ujar Khairiah.
Semua penenun tersebut adalah para pekerja bisnis kain tenun yang mendapatkan ilmu langsung dari “suhu” Nyak Mu, 70 tahun. Rumah Nyak Mu ada di samping tempat menenun, berupa rumah panggung adat Aceh yang khas. Tak ada papan nama di tempat itu, dan mencari lokasinya juga lumayan sulit.
Nyak Mu mulai menggeluti bisnis kain tenun sejak 1970-an. Para pekerjanya datang silih berganti ke tempat itu untuk berguru. Saat ini umurnya yang sudah semakin sepuh memaksa Nyak Mu mengerem aktivitas bisnis. Dia hanya bekerja memeriksa tenun hasil racikan para pekerja.
Untuk mengerjakan selembar kain dibutuhkan waktu sekitar satu bulan. Itu pun jika tak ada kendala, artinya semua bahan lengkap. Soal pe masaran dipercayakan kepada anakanak dan cucu-cucunya. “Saya yang menjaga pemasarannya dan menunggu pesanan,” kata Dahlia, 48 tahun, anak Nyak Mu yang tinggal hanya 20 langkah dari tempat itu.
Dahlia juga mewarisi ilmu tenun. Dia yang merancang berbagai motif pada kain tenun yang diproduksi. Kain itu dapat dirancang dengan berbagai ukuran, umumnya panjang 1,2 meter dengan lebar 50-80 sentimeter. “Motif kami juga sering dicuri orang lain,” ujarnya.
Itu pula sebabnya, saat Tempo berniat mengambil foto produk mereka, seorang pekerja sempat menanyakan identitas Tempo. Kain yang diproduksi adalah songket dan selendang yang biasa dipakai pada pakaian pengantin. Kain itu dijual sebagai cendera mata khas Aceh dan untuk pakaian bawaan bagi pengantin pria jika ingin melamar buah hatinya.
Usaha tenun ini pernah mengalami pasang-surutnya. Kata Dahlia, bisnis mereka sangat maju pada 1980-an.
Banyak pesanan datang dari luar daerah, bahkan sering dipamerkan di tempat-tempat pameran berskala nasional.
Karena dikenal luas, nama kain songket tenun Desa Siem sudah menjadi buah bibir. Tak aneh, Nyak Mu dan Dahlia sebagai empunya kerap diundang dalam berbagai acara atau pertemuan yang berkaitan dengan bisnisnya.
“Sekitar empat bulan lalu, Nyak Mu diundang ke Jakarta dalam pertemuan penenun seluruh Indonesia,” kata Dahlia. Usaha tenun ini pernah surut saat konflik bersenjata makin panas di Aceh pada periode 19982003. Saat itu banyak tamu dari luar daerah yang gentar ke Desa Siem, yang terimbas perang.
Karena banyak yang tidak berani datang ke sana, akhirnya mereka berinisiatif membuka ruang pamer sekaligus tempat pemesanan di Kampung Laksana, Banda Aceh. Kebetulan Sabirin, abang Dahlia, tinggal di kota itu dan menjadi pengelolanya.
Perlahan usaha tenun itu berkembang lagi seusai tsunami. “Banyak tamu yang datang memesan atau langsung datang ke sini, mungkin karena sudah damai,” ujarnya.
Menurut Dahlia, mereka tidak punya tempat khusus untuk menjual kain songket hasil tenun. Semuanya dikerjakan sesuai dengan pesanan para pelanggan. Harganya beragam, tergantung motif. Selembar kain biasanya bernilai jual rata-rata Rp 1,2 juta.
Soal pesanan, Sabirin menjelaskan, datang beragam karena kain penghias itu bukanlah untuk kebutuhan primer atau sekunder. “Siapa yang ingin untuk oleh-oleh atau butuh untuk yang lain, biasanya pesan,” ujarnya.
Menurut dia, rata-rata setiap bulan ada delapan orang pemesan. Mereka kadang memesan dua lembar. Ratarata kain yang dijual per bulan mencapai 15-20 lembar. Kendala produksi juga ada, biasanya karena sulit mencari benang yang berwarna keemasan. Ini yang kerap membuat produksi kain tenun tersendat.
Kain tenun Aceh adalah tradisi yang telah ada sejak dulu. Dahulu para raja memakainya sebagai pelengkap pakaian kebesaran. Kain itu dilingkarkan pada pinggang sebatas lutut, juga dililitkan melintang badan.
Kini umumnya kain itu dipakai pengantin dalam pakaian adat. Para penenun kain khas Aceh di Desa Siem bekerja sambil merawat tradisi, yang ilmunya kian sulit didapat.
Sumber: http://memobisnis.tempointeraktif.com