Oleh Budi Cahyono
Pada sebuah lembah hijau, berdiri tegak sebuah bangunan dengan tembok yang tebal. Di balik tembok itu, seribu kisah bisa didedah mengenai para perempuan yang mendedikasikan hidupnya untuk mengabdi pada Tuhan. Nama tempat itu Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono di Bukit Gedono, Dukuh Weru, Dusun Jetak, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, 15 kilometer arah barat daya kota Salatiga.
Tempat itu merupakan pertapaan pertama rubiah (sebutan untuk pertapa wanita-Red) Ordo Cisterciensis Observansi Ketat (OCSO) atau di Indonesia lebih dikenal dengan Trappist, yang didirikan pada tahun 1987.
Memang hanya tiga hari saya berada di sana, dan itu tak cukup untuk menghayati semua segi kehidupan para biarawati di balik tembok bangunan itu. Tapi waktu yang singkat itu cukuplah untuk suatu perwisataan spiritual yang tetap bisa memberikan pencerahan rohaniah tertentu.
Ketika datang pada pukul 14.00, hawa dingin berkabut disertai rerintik hujan mulai menyelimuti wilayah yang luas arealnya mencapai delapan hektare: satu hektare untuk bangunan, selebihnya area pepohonan, perkebunan, dan pemakaman. Di depan pintu utama, saya melihat jadwal doa yang dipajang, seolah-olah mengatakan kepada para pengunjung bahwa para rubiah menghabiskan banyak sekali waktu untuk berdoa.
Setelah saya pastikan bahwa pada saat itu tidak ada ibadat doa, saya memberanikan diri memencet bel untuk bertemu seorang suster yang akan membimbing saya mengikuti retret pribadi. Tak berselang lama, datanglah Suster Ema yang berusia 48 tahun. Perempuan yang telah menjadi suster sejak berusia 30 tahun di Pertapaan Trappistine, Italia itu menyambut saya dengan sangat ramah dan hangat. Kami berbincang-bincang di dalam Ruang Bicara. Ya perbincangan di situ mengisyaratkan kepada semua tamu bahwa pintu pertapaan terbuka untuk siapa pun yang sedang mencari Tuhan.
Kata Suster Ema, pendirian pertapaan calon rubiah pertama di Indonesia itu diprakarsai oleh komunitas Rawaseneng dan diberkati oleh Almarhum Justinus Kardinal Darmoyuwono pada tanggal 31 Mei 1988 itu tetap terbuka untuk kunjungan para tamu. Pengunjung akan diterima oleh petugas kamar tamu yang akan melayani keperluan mereka. Wajah-wajah berseri-seri dan tangan-tangan serentak mengatakan ”selamat datang”.
Perlu diketahui, kehidupan para Rubiah Cisterciensis memberi corak khas bahwa mereka mengarahkan hidup untuk kontemplasi. Mereka membaktikan diri seutuhnya kepada Tuhan semata dalam kesunyian, keheningan, doa, dan pertobatan terus-menerus.
***
SAAT ini ada 36 suster di sana, 26 di antaranya sudah mendapat kaul kekal dengan menggunakan jubah hitam, dan sisanya 10 suster kaul sementara. Namun demikian, mereka tetap harus bekerja untuk mendapatkan nafkah dan untuk mengungkapkan solidaritas, terutama untuk kaum pekerja kecil. Bagi rubiah Cisterciensis, kerja merupakan kesempatan yang menunjang perkembangan pribadi untuk memberi diri masing-masing kepada sesama.
Contohnya, saat saya berkunjung, ada seorang suster yang tengah memberikan pelayanan kepada para penduduk sekitar biara berupa pemberian semacam beasiswa bagi anak-anak yang kurang mampu, serta setiap satu bulan sekali memberikan pelayanan pengobatan gratis. Mereka bekerja membuat hosti, kefir (susu fermentasi semacam yogurt), selai, dan sirup. Cetakan kartu bergambar dengan teks rohani dan doa, pembuatan rosario, dan ikon juga dikerjakan mereka. Pengelolaan kebun pertapaan yang akhirnya akan menghasilkan buah dan sayur juga merupakan bagian dari kerja tangan mereka untuk menafkahi mereka sendiri.
”Ada banyak mulut untuk diberi makan di dalam biara. Tak hanya para rubiah, tetapi juga tamu-tamu yang begitu banyak,” ujar Suster Ema, ”Ya, dengan keringatmu sendiri, engkau akan menghasilkan makananmu. Itulah sesuatu yang penting dari kerja dan tidak boleh dilupakan oleh siapa pun juga.”
Dalam biara itu, mereka mengelola rumah tangganya sendiri. Seorang pemimpin biara disebut ibu abdis, dua wakil abdis, pemimpin novis, dan bagian keuangan yang disebut seorang ekonom.
***
SEBAGAI biara yang terbuka, maksudnya bisa dikunjungi orang luar, Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono memang kerap didatangi orang dari berbagai tempat. Mereka datang untuk visitasi (kunjungan singkat) atau bermalam mengasingkan diri untuk berdoa (retret).
Adapun rumah retret adalah salah satu kawasan yang steril dari kebisingan. Bagi seseorang atau keluarga yang ingin berdoa dan meresapi keheningan pertapaan, disediakan kamar penginapan dengan tarif Rp 50 ribu per orang per malam termasuk makan tiga kali sehari. Biasanya, mereka ini disebut ”retretan”. Para retretan datang ke pertapaan untuk mengikuti ibadat harian dan perayaan ekaristi bersama dengan komunitas rubiah di kapel pertapaan.
Saya merupakan salah satu dari retretan tersebut. Saat diantar Suster Ema, saya melihat semua bangunan yang ada di sana memiliki dinding dari batu alam dan bernilai seni tinggi. Maklum, pertapaan tersebut didesain oleh almarhum Yusuf Bilyarta Mangunwijaya (Romo Mangun). Dia dikenal sebagai pastor, pendidik, arsitek, sastrawan, serta budayawan. Sebagai seorang arsitek, karyanya cukup banyak. Salah satu karyanya pernah memperoleh Aga Khan Award tahun 1992, semacam penghargaan Nobel untuk karya arsitektur yaitu desain pemukiman Kali Code di Yogyakarta.
Desain Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono ini juga mendapat penghargaan utama dari Ikatan Arsitek Indonesia untuk kategori Desain Arsitektur. Polanya berupa arsitektur monastik Cisterciensis yang melambangkan keserasian dan keindahan ilahiah. Bangunan-bangunan dalam biara monastik dibangun dengan sederhana dan bersahaja. Di luar itu, yang jelas, suasana teduh, hening, dan sunyi di pertapaan ini sungguh menjadi daya tarik utama dipadukan dengan keagungan pesona alam lereng Gunung Merbabu. Semua itu tentunya akan membantu kekhusukan dalam melambungkan hati ke hadirat Tuhan.
Masing-masing bagian bangunan dibuat terpisah satu sama lain. Misalnya, ruang ibadah dalam satu bangunan, rumah tamu dalam satu bangunan, ruang cuci satu bangunan, ruang dapur dan makan satu bangunan, serta ruang tidur dari empat bangunan berbentuk rumah panggung serta Pondok Baca Maria yang terletak di tengah-tengah alam terbuka. Khusus mengenai rumah tamu, bangunannya cukup besar menghadap ke utara dalam bentuk memanjang dan berkoridor. Temboknya terbuat dari batu alam yang tersusun rapi.
Bangunan itu berdiri di atas gundukan tanah dengan dua undakan tangga di depannya. Tangga pertama langsung menghubungkan area parkir dengan tempat pendaftaran tamu. Tangga kedua berfungsi menghubungkan rumah tamu dengan rumah retret. Tangganya berbentuk tiga sengkedan dengan atap di atasnya. Begitu harmonis. Ornamennya juga unik, dengan dua pintu yang saling berseberangan, empat jendela berbentuk kubah, serta banyak kisi jendela berbentuk persegi dan bulat. Selain itu, ada juga rumah toko yang menyediakan beragam hasil kerja tangan para rubiah.
Menguduskan Waktu dengan Doa dan Kerja
BOLEH dibilang, tak sesaat pun waktu dalam biara yang tak dilewatkan untuk berdoa. Melalui Lectio Divina (cara monastik untuk berdoa dengan menggunakan kitab suci), komunitas rubiah Cisterciensis berkumpul untuk merayakan liturgi Ekaristi dan ibadat harian tujuh kali sehari, yaitu ibadat Laudes, Prima, Terzia, Sexta, Nona, Vesper, dan Completorium. Acara harian monastik merupakan keseimbangan antara doa pribadi, doa liturgi, lectio divina, dan kerja tangan.
Selama mengikuti retret, saya membiasakan diri bangun pukul 02.55. Lima menit sebelum jadwal ibadat dimulai, lonceng kapel sudah berdentang memecah kelam dan kejekutan hari yang menggigilkan tubuh. Para rubiah di Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono segera menyudahi tidurnya. Usai berbenah diri, dengan mengenakan kovel (mantel putih) bak mutiara yang teruntai rapi mereka bergegas dalam keheningan memasuki kapel.
Tepat pukul 03.15, mazmur dan kidung mulai berkumandang. Ibadat Malam dimulai. Selepas itu, mereka membaktikan diri dalam doa hening, disusul dengan Bacaan Ilahi (Lectio Divina). Bergulir ke pukul 05.45 WIB, kumandang mazmur dan kidung kembali terdengar. Ibadat Pagi itu pun mengalir dalam iringan lembut musik. Kadang orgen, kadang juga gending atau sejenis kecapi yang sangat syahdu dan menyentuh hati. Puncak dari seluruhnya adalah perayaan Ekaristi pada pukul 07.30.
Selepas itu, acara harian ditentukan oleh jam-jam Ibadat Harian (Ofisi Ilahi) sebagai sarana untuk memperpanjang Ekaristi sepanjang hari dan menguduskan waktu dan dunia. Ibadat-ibadat yang dilakukan dalam rangkaian madah, mazmur dan kidung, bacaan, serta saat-saat hening itu bergulir dari waktu ke waktu. Ada Ibadat Jam Ketiga (usai perayaan Ekaristi), Ibadat Jam Keenam (11.15), Ibadat Jam Kesembilan (13.30), dan Ibadat Sore (16.45). Sebelum istirahat malam (19.30), pada pukul 18.55, para Rubiah Cisterciensis itu menutup hari dengan Ibadat Penutup yang diakhiri dengan nyanyian ”Salam, Ya Ratu” (Salve Regina) sesuai tradisi monastik untuk menyerahkan diri ke dalam perlindungan Bunda Maria.
Kegembiraan di suatu senja yang tenang dan penuh rasa kekeluargaan itu ditutup dengan sebuah ibadat yang disebut Completorium. Itulah waktu untuk merenungkan hari yang sebentar lagi akan berlalu dan mengungkapkan beberapa kata taubat serta menerima pengampunan sehingga kita boleh mengaso dalam damai. Di sela-sela jam-jam rutinitas harian itu, para rubiah melakukan kegiatan di dalam kompleks klausura atau slot (ruangan pertapaan yang tertutup untuk umum dan hanya terbuka bagi para rubiah saja). Mereka mencari nafkah dengan kerja tangan (membuat hosti, selai, sirup, rosario, dan kartu rohani). Melalui persetujuan tata tertib rumah tangga yang menetapkan hari-hari sebagai waktu hening tanpa bunyi radio atau televisi, membuat mereka selalu mendambakan kedamaian batin sebagai tempat persemaian yang hikmat. Namun, kadang-kadang para rubiah berkumpul di ruang Kapitel untuk mendengarkan sebagian dari Peraturan St Benediktus, pembacaan, pengumuman akan berita dunia, diskusi, dan dialog atau pengajaran Sr Martha E Driscoll OSCO (Ibu Abdis).
Begitulah, dalam sehari, waktu seolah-olah tak boleh dibiarkan berlalu untuk kesia-siaan. Waktu harus dikuduskan dengan doa dan bekerja.
Sumber: http://suaramerdeka.com
Pada sebuah lembah hijau, berdiri tegak sebuah bangunan dengan tembok yang tebal. Di balik tembok itu, seribu kisah bisa didedah mengenai para perempuan yang mendedikasikan hidupnya untuk mengabdi pada Tuhan. Nama tempat itu Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono di Bukit Gedono, Dukuh Weru, Dusun Jetak, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, 15 kilometer arah barat daya kota Salatiga.
Tempat itu merupakan pertapaan pertama rubiah (sebutan untuk pertapa wanita-Red) Ordo Cisterciensis Observansi Ketat (OCSO) atau di Indonesia lebih dikenal dengan Trappist, yang didirikan pada tahun 1987.
Memang hanya tiga hari saya berada di sana, dan itu tak cukup untuk menghayati semua segi kehidupan para biarawati di balik tembok bangunan itu. Tapi waktu yang singkat itu cukuplah untuk suatu perwisataan spiritual yang tetap bisa memberikan pencerahan rohaniah tertentu.
Ketika datang pada pukul 14.00, hawa dingin berkabut disertai rerintik hujan mulai menyelimuti wilayah yang luas arealnya mencapai delapan hektare: satu hektare untuk bangunan, selebihnya area pepohonan, perkebunan, dan pemakaman. Di depan pintu utama, saya melihat jadwal doa yang dipajang, seolah-olah mengatakan kepada para pengunjung bahwa para rubiah menghabiskan banyak sekali waktu untuk berdoa.
Setelah saya pastikan bahwa pada saat itu tidak ada ibadat doa, saya memberanikan diri memencet bel untuk bertemu seorang suster yang akan membimbing saya mengikuti retret pribadi. Tak berselang lama, datanglah Suster Ema yang berusia 48 tahun. Perempuan yang telah menjadi suster sejak berusia 30 tahun di Pertapaan Trappistine, Italia itu menyambut saya dengan sangat ramah dan hangat. Kami berbincang-bincang di dalam Ruang Bicara. Ya perbincangan di situ mengisyaratkan kepada semua tamu bahwa pintu pertapaan terbuka untuk siapa pun yang sedang mencari Tuhan.
Kata Suster Ema, pendirian pertapaan calon rubiah pertama di Indonesia itu diprakarsai oleh komunitas Rawaseneng dan diberkati oleh Almarhum Justinus Kardinal Darmoyuwono pada tanggal 31 Mei 1988 itu tetap terbuka untuk kunjungan para tamu. Pengunjung akan diterima oleh petugas kamar tamu yang akan melayani keperluan mereka. Wajah-wajah berseri-seri dan tangan-tangan serentak mengatakan ”selamat datang”.
Perlu diketahui, kehidupan para Rubiah Cisterciensis memberi corak khas bahwa mereka mengarahkan hidup untuk kontemplasi. Mereka membaktikan diri seutuhnya kepada Tuhan semata dalam kesunyian, keheningan, doa, dan pertobatan terus-menerus.
***
SAAT ini ada 36 suster di sana, 26 di antaranya sudah mendapat kaul kekal dengan menggunakan jubah hitam, dan sisanya 10 suster kaul sementara. Namun demikian, mereka tetap harus bekerja untuk mendapatkan nafkah dan untuk mengungkapkan solidaritas, terutama untuk kaum pekerja kecil. Bagi rubiah Cisterciensis, kerja merupakan kesempatan yang menunjang perkembangan pribadi untuk memberi diri masing-masing kepada sesama.
Contohnya, saat saya berkunjung, ada seorang suster yang tengah memberikan pelayanan kepada para penduduk sekitar biara berupa pemberian semacam beasiswa bagi anak-anak yang kurang mampu, serta setiap satu bulan sekali memberikan pelayanan pengobatan gratis. Mereka bekerja membuat hosti, kefir (susu fermentasi semacam yogurt), selai, dan sirup. Cetakan kartu bergambar dengan teks rohani dan doa, pembuatan rosario, dan ikon juga dikerjakan mereka. Pengelolaan kebun pertapaan yang akhirnya akan menghasilkan buah dan sayur juga merupakan bagian dari kerja tangan mereka untuk menafkahi mereka sendiri.
”Ada banyak mulut untuk diberi makan di dalam biara. Tak hanya para rubiah, tetapi juga tamu-tamu yang begitu banyak,” ujar Suster Ema, ”Ya, dengan keringatmu sendiri, engkau akan menghasilkan makananmu. Itulah sesuatu yang penting dari kerja dan tidak boleh dilupakan oleh siapa pun juga.”
Dalam biara itu, mereka mengelola rumah tangganya sendiri. Seorang pemimpin biara disebut ibu abdis, dua wakil abdis, pemimpin novis, dan bagian keuangan yang disebut seorang ekonom.
***
SEBAGAI biara yang terbuka, maksudnya bisa dikunjungi orang luar, Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono memang kerap didatangi orang dari berbagai tempat. Mereka datang untuk visitasi (kunjungan singkat) atau bermalam mengasingkan diri untuk berdoa (retret).
Adapun rumah retret adalah salah satu kawasan yang steril dari kebisingan. Bagi seseorang atau keluarga yang ingin berdoa dan meresapi keheningan pertapaan, disediakan kamar penginapan dengan tarif Rp 50 ribu per orang per malam termasuk makan tiga kali sehari. Biasanya, mereka ini disebut ”retretan”. Para retretan datang ke pertapaan untuk mengikuti ibadat harian dan perayaan ekaristi bersama dengan komunitas rubiah di kapel pertapaan.
Saya merupakan salah satu dari retretan tersebut. Saat diantar Suster Ema, saya melihat semua bangunan yang ada di sana memiliki dinding dari batu alam dan bernilai seni tinggi. Maklum, pertapaan tersebut didesain oleh almarhum Yusuf Bilyarta Mangunwijaya (Romo Mangun). Dia dikenal sebagai pastor, pendidik, arsitek, sastrawan, serta budayawan. Sebagai seorang arsitek, karyanya cukup banyak. Salah satu karyanya pernah memperoleh Aga Khan Award tahun 1992, semacam penghargaan Nobel untuk karya arsitektur yaitu desain pemukiman Kali Code di Yogyakarta.
Desain Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono ini juga mendapat penghargaan utama dari Ikatan Arsitek Indonesia untuk kategori Desain Arsitektur. Polanya berupa arsitektur monastik Cisterciensis yang melambangkan keserasian dan keindahan ilahiah. Bangunan-bangunan dalam biara monastik dibangun dengan sederhana dan bersahaja. Di luar itu, yang jelas, suasana teduh, hening, dan sunyi di pertapaan ini sungguh menjadi daya tarik utama dipadukan dengan keagungan pesona alam lereng Gunung Merbabu. Semua itu tentunya akan membantu kekhusukan dalam melambungkan hati ke hadirat Tuhan.
Masing-masing bagian bangunan dibuat terpisah satu sama lain. Misalnya, ruang ibadah dalam satu bangunan, rumah tamu dalam satu bangunan, ruang cuci satu bangunan, ruang dapur dan makan satu bangunan, serta ruang tidur dari empat bangunan berbentuk rumah panggung serta Pondok Baca Maria yang terletak di tengah-tengah alam terbuka. Khusus mengenai rumah tamu, bangunannya cukup besar menghadap ke utara dalam bentuk memanjang dan berkoridor. Temboknya terbuat dari batu alam yang tersusun rapi.
Bangunan itu berdiri di atas gundukan tanah dengan dua undakan tangga di depannya. Tangga pertama langsung menghubungkan area parkir dengan tempat pendaftaran tamu. Tangga kedua berfungsi menghubungkan rumah tamu dengan rumah retret. Tangganya berbentuk tiga sengkedan dengan atap di atasnya. Begitu harmonis. Ornamennya juga unik, dengan dua pintu yang saling berseberangan, empat jendela berbentuk kubah, serta banyak kisi jendela berbentuk persegi dan bulat. Selain itu, ada juga rumah toko yang menyediakan beragam hasil kerja tangan para rubiah.
Menguduskan Waktu dengan Doa dan Kerja
BOLEH dibilang, tak sesaat pun waktu dalam biara yang tak dilewatkan untuk berdoa. Melalui Lectio Divina (cara monastik untuk berdoa dengan menggunakan kitab suci), komunitas rubiah Cisterciensis berkumpul untuk merayakan liturgi Ekaristi dan ibadat harian tujuh kali sehari, yaitu ibadat Laudes, Prima, Terzia, Sexta, Nona, Vesper, dan Completorium. Acara harian monastik merupakan keseimbangan antara doa pribadi, doa liturgi, lectio divina, dan kerja tangan.
Selama mengikuti retret, saya membiasakan diri bangun pukul 02.55. Lima menit sebelum jadwal ibadat dimulai, lonceng kapel sudah berdentang memecah kelam dan kejekutan hari yang menggigilkan tubuh. Para rubiah di Pertapaan Bunda Pemersatu Gedono segera menyudahi tidurnya. Usai berbenah diri, dengan mengenakan kovel (mantel putih) bak mutiara yang teruntai rapi mereka bergegas dalam keheningan memasuki kapel.
Tepat pukul 03.15, mazmur dan kidung mulai berkumandang. Ibadat Malam dimulai. Selepas itu, mereka membaktikan diri dalam doa hening, disusul dengan Bacaan Ilahi (Lectio Divina). Bergulir ke pukul 05.45 WIB, kumandang mazmur dan kidung kembali terdengar. Ibadat Pagi itu pun mengalir dalam iringan lembut musik. Kadang orgen, kadang juga gending atau sejenis kecapi yang sangat syahdu dan menyentuh hati. Puncak dari seluruhnya adalah perayaan Ekaristi pada pukul 07.30.
Selepas itu, acara harian ditentukan oleh jam-jam Ibadat Harian (Ofisi Ilahi) sebagai sarana untuk memperpanjang Ekaristi sepanjang hari dan menguduskan waktu dan dunia. Ibadat-ibadat yang dilakukan dalam rangkaian madah, mazmur dan kidung, bacaan, serta saat-saat hening itu bergulir dari waktu ke waktu. Ada Ibadat Jam Ketiga (usai perayaan Ekaristi), Ibadat Jam Keenam (11.15), Ibadat Jam Kesembilan (13.30), dan Ibadat Sore (16.45). Sebelum istirahat malam (19.30), pada pukul 18.55, para Rubiah Cisterciensis itu menutup hari dengan Ibadat Penutup yang diakhiri dengan nyanyian ”Salam, Ya Ratu” (Salve Regina) sesuai tradisi monastik untuk menyerahkan diri ke dalam perlindungan Bunda Maria.
Kegembiraan di suatu senja yang tenang dan penuh rasa kekeluargaan itu ditutup dengan sebuah ibadat yang disebut Completorium. Itulah waktu untuk merenungkan hari yang sebentar lagi akan berlalu dan mengungkapkan beberapa kata taubat serta menerima pengampunan sehingga kita boleh mengaso dalam damai. Di sela-sela jam-jam rutinitas harian itu, para rubiah melakukan kegiatan di dalam kompleks klausura atau slot (ruangan pertapaan yang tertutup untuk umum dan hanya terbuka bagi para rubiah saja). Mereka mencari nafkah dengan kerja tangan (membuat hosti, selai, sirup, rosario, dan kartu rohani). Melalui persetujuan tata tertib rumah tangga yang menetapkan hari-hari sebagai waktu hening tanpa bunyi radio atau televisi, membuat mereka selalu mendambakan kedamaian batin sebagai tempat persemaian yang hikmat. Namun, kadang-kadang para rubiah berkumpul di ruang Kapitel untuk mendengarkan sebagian dari Peraturan St Benediktus, pembacaan, pengumuman akan berita dunia, diskusi, dan dialog atau pengajaran Sr Martha E Driscoll OSCO (Ibu Abdis).
Begitulah, dalam sehari, waktu seolah-olah tak boleh dibiarkan berlalu untuk kesia-siaan. Waktu harus dikuduskan dengan doa dan bekerja.
Sumber: http://suaramerdeka.com