Jauh dari Rumah

Cerpen M. Arman AZ
Dimuat di Jurnal Nasional

Apakah pulang selalu jadi alamat terakhir setiap tualang? Pertanyaan itu acap muncul tiba-tiba, menyentak dalam benak, ketika bermil-mil jarakku dari rumah. Membuatku bagai tercekat di riuh simpang jalan. Hawa dingin yang berkelebat di tengkuk membuatku gamang: melanjutkan langkah atau memutar arah ke belakang?

Bapak melarung ari-ariku di sungai kecil belakang rumah dan masih kuingat cerita nenek tentang tahi lalat di telapak kakiku. Maka, ketika rumah membuat jemu kian liat, sepasang kakiku kerap merayu untuk pergi mencarinya. Sedikit pakaian dalam ransel, tanpa peta di saku belakang celana, jam tangan atau kompas, aku menjelma jadi anak mata angin. Bergurau dengan takdir. Bergumul dengan kecemasan tak berujung. Dari satu kota ke lain kota, dari satu kisah ke lain kisah, dari satu tubuh ke lain tubuh, dari satu luka ke lain luka.

Aku, mungkin juga kau, pernah dicekam keterasingan, ditelikung kesepian. Kapan saja. Di mana saja. Termasuk di kampung halaman, bahkan dalam rumah sendiri. Padamu ingin kuceracaukan sejumlah ruang dalam perjalanan yang mengerak dalam ingatan. Semacam catatan tentang kota-kota yang menitipkan jejaknya dalam benak. Barangkali kelak ada yang harus kau lupakan juga tentang rumah, dan kau akan mencatatnya sekadar penanda bahwa di sana kau pernah ada.
***

TERMINAL

Senyampang menunggu bis penuh, menyusup ke sebuah kedai yang berserak jadi jadwal selingan. Gelombang manusia dan kendaraan keluar masuk terminal. Paras batu para preman dan copet lebur dalam kerumunan penumpang yang membopong letih. Teriak calo tumpang tindih dengan bising kendaraan. Aroma mesin dan asap knalpot campur kecut keringat. Orang-orang menjinjing cemas dalam benaknya masing-masing. Ditemani segelas kopi dan rokok, kudengarkan suara-suara dalam hati merumuskan berbagai kemungkinan yang bakal menyambangi dalam perjalanan.

Dalam bis antarkota yang berisi paras-paras beku, entah didera rindu atau diburu waktu, kupilih menekuri segala yang berlesatan di luar jendela. Bentang hijau kebun teh dan sawah. Bukit yang nyaris longsor. Jurang nganga dengan taring-taring yang siap menerkam. Hutan yang nampak pasrah namun memeram kesumat. Siapa sesungguhnya yang ditinggalkan? Siapa pula yang meninggalkan? Dan ketika senja rebah perlahan ke telapak malam, deretan rumah sederhana berlampu temaram di tepi jalan menjelma wajah-wajah yang menyembunyikan kemurungan. Pintu-pintunya menutup diri dari angin malam. Menolak segala isyarat celaka dari luar rumah.
***

STASIUN

Acap kupergoki lelaki berpunuk berkaki cacat itu ketika pagi merekah di WC umum Stasiun Gambir. Menunggui orang-orang mandi, buang hajat, atau sekadar basuh muka. Di wajahnya kutemukan bahwa kesetiaan kadang menyakitkan. Saat matahari mendaki langit, gemuruh datang dari kejauhan dan kian dekat di atas kepala. Tembok-tembok gemetar. Udara bergetar. Ular besi yang baru datang memuntahkan manusia dari lantai atas. Dipisahkan kaca bening gerai donat, aku ngungun menatap kaki-kaki bergegas itu. Kaki-kaki yang seolah hendak melepaskan diri dari bayangannya sendiri.

Menuju Tugu sekian tahun lalu. Tak ada sisa bangku meski tiket di genggaman. Aku jongkok meringkuk persis depan kakus berpintu rusak. Terhimpit tubuh-tubuh dan tumpukan kardus. Derak kereta membuat kertas pengganjal pintu kakus kerap jatuh. Bau busuk kontan menohok paru-paru. Aku menghambur keluar gerbong ketika tengah malam kereta berhenti di stasiun sebuah kota. Menghirup udara sembari merekam wajah stasiun berarsitektur kuno. Kios 24 jam mengantuk menunggu pembeli. Satu dua lelaki lelap bergelimpangan di bangku tunggu. Beberapa gelandangan melingkari gundukan sampah yang dibakar. Lalu kereta kembali berderak menembus pekat hingga tiba di Tugu pagi buta. Menjauhi hiruk pikuk, gerbong-gerbong panjang yang di atas rel yang berkilau oleh sisa embun, di mataku menjelma untaian kenangan kelam dan muram. Aku mencari seseorang di antara kelimunan manusia. Berharap kutemukan lambaian tangannya. Seseorang itu: aku.
***

JALAN RAYA

â€Å“Tuan, berapa simpang dan kelok jalan lagi mesti kutempuh? Apa pula yang tersembunyi di balik kabut tipis yang menghadang di tengah jalan itu? Sungguh, dalam perjalanan panjang dan melelahkan ini, bukan jurang dalam atau tikungan tajam yang kutunggu.”

Ada debar kala simpang jalan nampak di depan mata. Menerka ke mana sopir akan mengarahkan kemudi. Jalanan murung seusai hujan atau aspal melepuh dirajam terik. Dini hari terjaga dari tidur, mendapati embun menempel di kaca jendela bis. Selalu kuhindari bercakap dengan sesama penumpang ketika bis rehat di rumah makan. Berulangkali kudengar pertanyaan serupa yang membuat jengah: Dari mana? Hendak ke mana? Aku ingin sebuah pantat mengisi bangku hampa disampingku. Sambil mengaduk kopi dan memesan semangkuk sepi, pemiliknya menepuk benakku dengan pertanyaan getas: Beragam rambu tegak, namun mengapa makin banyak saja yang tersesat?

O, kota-kota yang berlomba menyusun tangga ke langit. Kota-kota yang tergesa memburu masa depan namun cuai memahami diri sendiri. Orang-orang memborong topeng. Lebur dalam riuh mall, memeluk manekin, turun naik tangga jalan, mematut sepatu dan jam tangan. Lampu merah, zebra cross, dan jembatan penyeberangan menjadi benda-benda asing tak punya arti. Dan aku, setiap mencari penanda kota, justru tersesat dalam rimba iklan, lorong-lorong remang lokalisasi, kumuh pasar, lengang museum, sejuk kafetaria, dan tersungkur di antara lalu lalang manusia di trotoar.

Ahai, di jalan raya yang disesaki kecemasan, aku membaca luka di mata orang-orang yang lalu lalang.
***

KAMAR

Entah kenapa malam pertama di tempat atau kota asing senantiasa menyiksaku. Meski gelap pekat dan badan penat, kantuk tak kunjung mengetuk pelupuk mata. Kerap aku diam-diam keluar kamar. Mengayun langkah ringan sepanjang trotoar jam dua malam. Menghirup udara dingin dengan sepasang tangan terbenam dalam saku jaket. Menoreh jejak di kota asing yang telah pulas. Sesekali bertukar sapa dengan manusia-manusia yang setia pada malam. Bayanganku hitam memanjang, menguntit di bawah temaram lampu jalan. Dari balik gedung-gedung tinggi dan kelam itu seperti ada ribuan mata menatapku, berbisik sinis dan asing. Lalu kembali ke kamar dengan perut penuh arak atau asap tembakau.

Bila sendiri dalam kamar, aku suka telentang telanjang dada di lantai. Meresapi jarum-jarum dingin yang mengecupi pori-pori punggung. Mendengarkan rintihanku berpantulan silang sengkarut di tembok kamar. Menerka telah berapa jauh jarakku dari rumah. Di langit-langitnya kuarsir sejumlah wajah bidadari nostalgi yang luput dari genggaman, juga peri-peri binal yang pernah menemani membakar malam dengan kecupan-kecupan liar dan lenguh tertahan. Segelintir dari mereka, entah sadar atau bodoh, tak sungkan bertukar cawat. Esoknya ada yang mesti usai. Kami akan berpisah, saling melupa, dan hidup harus dilanjutkan. Begitulah, selalu ada yang lucu dari masa lalu.
***

HALTE

Menatap sebuah halte seperti memergoki sosokku risau menunggu di situ.
***

DERMAGA

Selat Sunda senantiasa melantunkan haru. Aku putih buih ombak yang tak letih berlari membentur lambung kapal, pecah berkeping, lalu kembali lari menjauh. Aku ombak yang selalu gagal menafsir rasi bintang di langit malam.

Duduk di geladak, digigilkan desau angin, aku melihat orang-orang mangu menatap laut. Mungkin lirih ombak membuat mereka rindu dermaga. Mungkin lengking camar di keluasan langit mengingatkan mereka pada paras rumah. Mungkin mereka letih mencari sorot mercusuar atau menerka di horison mana matahari mekar atau jatuh dalam dekap lautan. Mungkin juga memikirkan ribuan puisi yang lahir di laut dan entah di mana dan bagaimana nasib mereka sekarang. Mungkin seorang gadis gelisah di tubir dermaga menanti lelakinya pulang. Saat kapal sandar dan lelakinya menyibak kerumunan manusia, dia memeluknya meski pulang dengan tangan hampa dan kaki telanjang bernanah. Ah, entah harapan atau impian macam apa diburu orang-orang ke pulau seberang dengan liur menggenang.
***

BANDARA

Semogalah para pilot di negeri penuh bala ini dapat bilik nyaman di sorga. Bukan sebab membuatku terpukau melihat gumpalan awan, biru laut, atau kelok sungai serupa liuk naga dari jendela pesawat. Mereka membuatku berakrab-akrab dengan Tuhan dan kematian.

Bila jadwal penerbangan ditunda, aku suka mengamati bagaimana orang-orang memaknai waktu di bandara. Ada yang bersungut-sungut tak tentu, berselancar ke dunia maya lewat laptopnya, bertukar pesan pendek atau bercakap-cakap dengan seseorang lewat ponsel. Sempatkah terlintas di benak mereka jika burung besi yang akan mereka tumpangi menukik deras, pecah berkeping di bukit-bukit perawan atau karam di palung laut. Siapa di antara kami duduk dekat pintu darurat?
***

Begitulah ceracauku tentang sejumlah tempat yang mengerak dalam benak. Tempat-tempat dalam perjalanan yang kadang memantik rinduku pada rumah. Seperti ada sesuatu yang terpasung di dalamnya, tabah menunggu kujenguk. Mungkin kenangan atau kisah masa kanak yang menghunuskan remah-remah ingatan ketika aku mabuk dibuai tualang.

Kursi tamu mencatat wajah-wajah yang datang dan pergi. Ruang makan tempat berbincang hal-hal sederhana. Dapur menebar aroma lapar. Mangu menatap gerimis sebuah senja di beranda. Tetes ritmik dari kamar mandi yang bergema ritmik di hening malam. Lumut hitam di genteng kering terpanggang matahari. Televisi melulu mewartakan petaka. Jam tak lagi bernyawa. Kulkas tak lagi dingin. Laba-laba menganyam sarang di pojok plafon. Tumpukan koran basi berdebu di rak buku. Pagar berkarat digerus waktu.

Dalam kamar, kulepas bermacam topeng yang nyaris lengket di wajah lalu menyusun kembali diri sendiri. Semau hati telanjang bulat, menyetel lagu-lagu kegemaran, menyandarkan punggung di tembok, menjentikkan upil ke sembarang tempat. Membongkar ransel, membentangkan pakaian apak, tiket-tiket yang remuk, dan sejumlah kartu nama yang kudapat dalam perjalanan. Dan selalu saja setiap pulang, aku cuai melunasi niat ziarah ke makam ibu, mengadu bahwa tak jua kutemukan diriku sejauh-jauh perjalanan. Di kaki nisan ibu, muara segala duka itu, aku melulu termangu. Tak ada sedu. Aku telah lupa cara menangis sebagaimana saat keluar dari rahim ibu.

Apakah pulang selalu jadi alamat terakhir bagi setiap tualang? Begitulah, acap pertanyaan itu menohok ulu batin bila kudengar kata pulang ketika bermil-mil jarakku dari rumah. Aku masih ragu untuk percaya bahwa tak setiap tanya butuh jawaban. Mungkin lebih baik aku dan waktu saling mengintai saja. Menunggu saat yang tepat untuk memulai perjalanan baru menuju entah. Barangkali, dengan kendaraan yang lain.***

Bandarlampung, Juli 2008-Agustus 2009

Sumber: http://www.sriti.com
-

Arsip Blog

Recent Posts