Peresensi: Kasanwikrama
Judul: Sandiwara dan Perang; Politisasi Terhadap Aktifitas Sandiwara Modern Masa Jepang
Penulis: Fandy Hutari
Pengantar: Jakob Sumardjo
Penerbit: Ombak (Yogyakarta)
Tebal: xxii + 146 Halaman ; 14,5 x 20,5 cm
Cetakan: I, 2009
ISBN: 978-602-8335-07-2
Dalam bukunya, Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (1975: 7) Paus sastra Indonesia, H.B. Jassin, menulis bahwa menafikan kesusastraan dalam zaman Jepang adalah menafikan suatu wajah kehidupan dalam perjalanannya membentuk sejarah.
Terinspirasi pada pernyataan H.B. Jassin tersebut, maka pantas jika kita melihat nasib sandiwara--dalam hal ini sandiwara modern--yang notabene merupakan salah satu bentuk dari kesusastraan Indonesia.
Cerita sandiwara modern jaman Jepang adalah cerita propaganda politik. Di jaman Jepang?untuk pertamakalinya dalam sejarah?sandiwara modern Indonesia bersentuhan langsung dengan politik. Mengapa sandiwara dijadikan corong politik? Karena seni ini bisa menggelorakan perasaan orang banyak.
Artinya dengan dua pengaruh langsung?melalui pendengaran (audio) dan penglihatan (visual)?pemerintah militer Jepang berharap propaganda politik gampang merasuk ke pemikiran masing-masing publik. Jasoeda, selaku pemimpin bagian sandiwara dan tari di Keimin Bunka Shidosho (Pusat Kebudayaan buatan pemerintah militer Jepang) di majalah Djawa Baroe, mengakui hal ini. Katanya: ”....kita djangan mengabaikan pengaroeh tonil dan pengaroeh sesoeatoe oetjapan dalam tonil itoe atas djiwa dan semangat ra’jat. Oleh sebab itoe, tidak salah djika saja katakan bahwa sandiwara dan tari-menari itoe dalam zaman peperangan modern ini adalah satoe sendjata jang tadjam dalam melakoekan ”peperangan-pikiran”. Boekankah ra’jat terbanjak, jang tidak tahoe membatja dan menoelis itoe, moedah mendapat penerangan dan pendidikan apabila semoea ini dilakukan dengan perantaraan sandiwara?” (Djawa Baroe, 15 April 2603: 9).
Dapat dicerna orang banyak, termasuk yang buta huruf sekalipun. Itulah alasan sandiwara dijadikan salah satu kendaraan propaganda politik. sebelum benar-benar diterapkan sebagai alat propaganda, terlebih dahulu sandiwara “dibenahi” oleh Jepang. Di antaranya dengan mendirikan Sekolah Tonil, membuat peraturan hukum soal sandiwara, membentuk lembaga khusus yang menangani hal ini, dan membentuk perkumpulan-perkumpulan sandiwara. Sekolah Tonil didirikan pada Juni 1942.
Tujuannya adalah untuk menciptakan ahli-ahli di bidang ini, seperti mendidik penulis naskah profesional, aktor atau pemain, dan staf lainnya. Tentu saja dimaksudkan sebagai ”ketangkasan” berpropaganda nantinya. Pada 3 Januari 1943, Sekolah Tonil ditutup dengan alasan akan membuat badan pendidikan di kemudian hari (Asia Raya, 4 Januari 1943). Tak lama setelah penutupan Sekolah Tonil, dibentuklah Keimin Bunka Shidosho, pada April 1943, dengan bagian sandiwara di dalamnya.
Mungkin inilah maksud ditutupnya Sekolah Tonil. Pada Februari 1943, diterbitkan peraturan hukum yang mengatur kegiatan seni sandiwara, baik yang modern maupun yang tradisional. Isinya sebagai berikut: Semua cerita yang hendak dimainkan mesti dikirim dahulu ke kantor Hoodoka (bagian sensor), Gambir Selatan No. 3 Jakarta, untuk diperiksa; Yang diserahkan ke kantor tersebut bukan hanya isi cerita atau kesimpulan saja, tetapi cerita yang lengkap dengan bagian-bagian lakonnya serta semua pembicaraan (dialog) yang akan dilakukan dalam permainan itu (pementasan); Cerita itu harus ditulis dengan bahasa yang digunakan oleh orang yang bermain pada waktu mengadakan pertunjukan (Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa atau Bahasa Sunda); Semua perkumpulan yang terus-menerus atau sering mengadakan pertunjukan, diwajibkan mendaftarkan nama kelompoknya dan nama orang yang bertanggung jawab pada kelompok tersebut (Kan Po, No.12, Th. II, Februari 2603: 12).
Selain itu, Jepang juga membentuk perkumpulan sandiwara yang bertugas keliling untuk mengindoktrinasi. Perkumpulan Tjahaja Asia adalah salah satu contoh perkumpulan sandiwara propaganda buatan Jepang.
Ada tiga metode propaganda melalui media sandiwara, yaitu lewat pertunjukan panggung, penulisan naskah, dan penyiaran lewat radio. Jepang memelihara sandiwara pada masa ini, tujuannya adalah untuk memperkuat barisan propaganda. Sesuai dengan itu maka antara tahun 1942 hingga awal tahun 1943, perkumpulan sandiwara menjamur di seluruh Jawa. Beberapa di antaranya mendapat tugas keliling, yaitu Noesantara, Bintang Soerabaja, Tjahaja Timoer, dan Dewi Mada.
Selain perkumpulan-perkumpulan besar tersebut, ada beberapa perkumpulan yang sifatnya lokal diantaranya Warna Delima, Tjahaja Kalimantan, Sendangan, Panggilan Masa, Boelan Poernama, Terang Boelan, Surya Kanta, Dendang, Irama Masa, dan Insaf. Mereka ini harus melakukan pertunjukan sesuai dengan kemauan Jepang.
Metode lainnya adalah penciptaan menciptakan naskah-naskah propaganda. Penyelenggaraan sayembara penulisan naskah di media massa merupakan salah satu yang didorong oleh Jepang. Contohnya saja pada 20 September 1943, sebuah sayembara mengarang cerita sandiwara diselenggarakan oleh surat kabar Asia Raya. Tema sayembara berkaitan dengan anjuran tentang semangat cinta tanah air, keikhlasan berkorban demi kepentingan umum, dan semangat membela tanah air.
Hasil sayembara karangan lakon sandiwara ini diumumkan oleh surat kabar Asia Raya, pada 28 Mei 1945. Pemenang sayembara, seperti F.A.Tamboenan (Poesaka Sedjati dari Seorang Ajah), J.Hoetagalung (Koeli dan Roomusya), A.M.Soekma Rahayoe (Banteng Bererong), S.Yamamato (Kemenangan Tertanggoeng), R.Srimoertono (Penginapan Noesantara), dan Nakao Masakozu (Seroean Zaman) dinilai berhasil menginterpretasikan maksud pemerintah fasis Jepang tersebut. Sebagai catatan, waktu jaman Jepang muncul juga jenis lakon humor. Pada masa itu disebut lakon sandiwara lelucon. Sandiwara lelucon merupakan lakon pendek, biasanya terdiri dari 1 babak, pemain utama adalah seorang penduduk yang bodoh tetapi berhati baik dengan seorang bijaksana yang memberi penerangan mengenai kebijakan dan peraturan baru yang dikeluarkan pemerintah (Kurasawa, 1993: 248). Jenis lakon ini pun didorong perkembangannya sebagai alat propaganda.
Metode terakhir adalah melalui sandiwara radio. Sandiwara radio, seperti tercatat dalam Asia Raya melalui sebuah iklan berbentuk artikel singkat sebelum penyiaran dilaksanakan, baru terlihat sekitar tahun 1943. Pantjaran Sastera adalah acara yang diselenggarakan oleh Keimin Bunka Shidosho di Radio Jakarta untuk menyiarkan berbagai karya sastra, termasuk sandiwara. Tema-tema propaganda yang disiarkan, yaitu anjuran menambah hasil bumi, semangat peperangan, sejarah tentang kekejaman bangsa Barat, dan cinta tanah air. Tercatat ada beberapa lakon sandiwara yang disiarkan oleh Pemancar Radio Jakarta, di antaranya ”Darah Memanggil” karya Achdiat dan Rosidi; ”Saidja dan Adinda” dan ”Poetera Negara” karya Achdiat; ”Moetiara dari Noesa Laoet” dan ”Tempat jang Kosong” karya Usmar Ismail; ”Djibakoe Atjeh” karya Idroes; ”Diponegoro” karya Soetomo Djauhar Arifin; ”Bende Mataram” karya Ariffien K. Oetojo; ”Sakura dan Njioer” karya M. D. Alif; ”Ajahkoe Poelang” (”Tjitji Kaeroe”) karya Kikoetji Kwan; ”Soemping Soerong Pati” karya Inoe Kertapati; ”Iboe Perdjoerit” karya Matsuzaki Taii; serta ”Djalan Kembali”, ”Mereboet Benteng Kroja”, ”Memotong Padi”, ”Manoesia Oetama”, dan ”Tanah dan Air”. Namun, sandiwara radio ini ternyata kurang efektif untuk mengindoktrinasi publik. Alasannya klise. Sebab waktu itu, tidak banyak yang memiliki radio. Aiko Kurasawa menyebutkan, pada 1939 pemilik radio di Hindia Belanda sebanyak 87.510 dan hanya 25.608 di antaranya orang Indonesia, berarti hanya sekitar 0,04% penduduk yang memiliki radio. Ketika pendudukan Jepang, Sendenbu (departemen propaganda) mendorong angka ini dengan pemasokan radio baru, maka tingkat persebarannya menjadi sekitar 0,15% di Indonesia. Untuk menyiasati keterbatasan jumlah pemilik radio di Jakarta, pemerintah pendudukan Jepang mendirikan pengeras suara (menara radio), di tempat-tempat umum, seperti pasar, stasiun kereta api, jalan raya, dan lapangan (Kurasawa, 1993: 258).
Demikianlah tiga metode propaganda melalui sandiwara modern. Kita dapat belajar banyak dari kehidupan sandiwara zaman Jepang yang sarat politisasi. Sejarah hubungan perang dan sandiwara mengajarkan kita bahwa kegiatan teater modern Indonesia memang masih membutuhkan sponsor kekuasaan. Dukungan pemerintah dalam bentuk dana, kegiatan, produksi, kalau dilakukan secara terencana ternyata menghasilkan kreatifitas tinggi. Begitulah tulis Jakob Sumardjo dalam pengantar buku ini. Pertanyaannya sekarang adalah: berhasilkah pemerintah fasis Jepang mengindoktrinasi rakyat Indonesia lewat media sandiwara ini?
KASANWIKRAMA, Peminat Sejarah.
Sumber: http://oase.kompas.com
Judul: Sandiwara dan Perang; Politisasi Terhadap Aktifitas Sandiwara Modern Masa Jepang
Penulis: Fandy Hutari
Pengantar: Jakob Sumardjo
Penerbit: Ombak (Yogyakarta)
Tebal: xxii + 146 Halaman ; 14,5 x 20,5 cm
Cetakan: I, 2009
ISBN: 978-602-8335-07-2
Dalam bukunya, Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (1975: 7) Paus sastra Indonesia, H.B. Jassin, menulis bahwa menafikan kesusastraan dalam zaman Jepang adalah menafikan suatu wajah kehidupan dalam perjalanannya membentuk sejarah.
Terinspirasi pada pernyataan H.B. Jassin tersebut, maka pantas jika kita melihat nasib sandiwara--dalam hal ini sandiwara modern--yang notabene merupakan salah satu bentuk dari kesusastraan Indonesia.
Cerita sandiwara modern jaman Jepang adalah cerita propaganda politik. Di jaman Jepang?untuk pertamakalinya dalam sejarah?sandiwara modern Indonesia bersentuhan langsung dengan politik. Mengapa sandiwara dijadikan corong politik? Karena seni ini bisa menggelorakan perasaan orang banyak.
Artinya dengan dua pengaruh langsung?melalui pendengaran (audio) dan penglihatan (visual)?pemerintah militer Jepang berharap propaganda politik gampang merasuk ke pemikiran masing-masing publik. Jasoeda, selaku pemimpin bagian sandiwara dan tari di Keimin Bunka Shidosho (Pusat Kebudayaan buatan pemerintah militer Jepang) di majalah Djawa Baroe, mengakui hal ini. Katanya: ”....kita djangan mengabaikan pengaroeh tonil dan pengaroeh sesoeatoe oetjapan dalam tonil itoe atas djiwa dan semangat ra’jat. Oleh sebab itoe, tidak salah djika saja katakan bahwa sandiwara dan tari-menari itoe dalam zaman peperangan modern ini adalah satoe sendjata jang tadjam dalam melakoekan ”peperangan-pikiran”. Boekankah ra’jat terbanjak, jang tidak tahoe membatja dan menoelis itoe, moedah mendapat penerangan dan pendidikan apabila semoea ini dilakukan dengan perantaraan sandiwara?” (Djawa Baroe, 15 April 2603: 9).
Dapat dicerna orang banyak, termasuk yang buta huruf sekalipun. Itulah alasan sandiwara dijadikan salah satu kendaraan propaganda politik. sebelum benar-benar diterapkan sebagai alat propaganda, terlebih dahulu sandiwara “dibenahi” oleh Jepang. Di antaranya dengan mendirikan Sekolah Tonil, membuat peraturan hukum soal sandiwara, membentuk lembaga khusus yang menangani hal ini, dan membentuk perkumpulan-perkumpulan sandiwara. Sekolah Tonil didirikan pada Juni 1942.
Tujuannya adalah untuk menciptakan ahli-ahli di bidang ini, seperti mendidik penulis naskah profesional, aktor atau pemain, dan staf lainnya. Tentu saja dimaksudkan sebagai ”ketangkasan” berpropaganda nantinya. Pada 3 Januari 1943, Sekolah Tonil ditutup dengan alasan akan membuat badan pendidikan di kemudian hari (Asia Raya, 4 Januari 1943). Tak lama setelah penutupan Sekolah Tonil, dibentuklah Keimin Bunka Shidosho, pada April 1943, dengan bagian sandiwara di dalamnya.
Mungkin inilah maksud ditutupnya Sekolah Tonil. Pada Februari 1943, diterbitkan peraturan hukum yang mengatur kegiatan seni sandiwara, baik yang modern maupun yang tradisional. Isinya sebagai berikut: Semua cerita yang hendak dimainkan mesti dikirim dahulu ke kantor Hoodoka (bagian sensor), Gambir Selatan No. 3 Jakarta, untuk diperiksa; Yang diserahkan ke kantor tersebut bukan hanya isi cerita atau kesimpulan saja, tetapi cerita yang lengkap dengan bagian-bagian lakonnya serta semua pembicaraan (dialog) yang akan dilakukan dalam permainan itu (pementasan); Cerita itu harus ditulis dengan bahasa yang digunakan oleh orang yang bermain pada waktu mengadakan pertunjukan (Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa atau Bahasa Sunda); Semua perkumpulan yang terus-menerus atau sering mengadakan pertunjukan, diwajibkan mendaftarkan nama kelompoknya dan nama orang yang bertanggung jawab pada kelompok tersebut (Kan Po, No.12, Th. II, Februari 2603: 12).
Selain itu, Jepang juga membentuk perkumpulan sandiwara yang bertugas keliling untuk mengindoktrinasi. Perkumpulan Tjahaja Asia adalah salah satu contoh perkumpulan sandiwara propaganda buatan Jepang.
Ada tiga metode propaganda melalui media sandiwara, yaitu lewat pertunjukan panggung, penulisan naskah, dan penyiaran lewat radio. Jepang memelihara sandiwara pada masa ini, tujuannya adalah untuk memperkuat barisan propaganda. Sesuai dengan itu maka antara tahun 1942 hingga awal tahun 1943, perkumpulan sandiwara menjamur di seluruh Jawa. Beberapa di antaranya mendapat tugas keliling, yaitu Noesantara, Bintang Soerabaja, Tjahaja Timoer, dan Dewi Mada.
Selain perkumpulan-perkumpulan besar tersebut, ada beberapa perkumpulan yang sifatnya lokal diantaranya Warna Delima, Tjahaja Kalimantan, Sendangan, Panggilan Masa, Boelan Poernama, Terang Boelan, Surya Kanta, Dendang, Irama Masa, dan Insaf. Mereka ini harus melakukan pertunjukan sesuai dengan kemauan Jepang.
Metode lainnya adalah penciptaan menciptakan naskah-naskah propaganda. Penyelenggaraan sayembara penulisan naskah di media massa merupakan salah satu yang didorong oleh Jepang. Contohnya saja pada 20 September 1943, sebuah sayembara mengarang cerita sandiwara diselenggarakan oleh surat kabar Asia Raya. Tema sayembara berkaitan dengan anjuran tentang semangat cinta tanah air, keikhlasan berkorban demi kepentingan umum, dan semangat membela tanah air.
Hasil sayembara karangan lakon sandiwara ini diumumkan oleh surat kabar Asia Raya, pada 28 Mei 1945. Pemenang sayembara, seperti F.A.Tamboenan (Poesaka Sedjati dari Seorang Ajah), J.Hoetagalung (Koeli dan Roomusya), A.M.Soekma Rahayoe (Banteng Bererong), S.Yamamato (Kemenangan Tertanggoeng), R.Srimoertono (Penginapan Noesantara), dan Nakao Masakozu (Seroean Zaman) dinilai berhasil menginterpretasikan maksud pemerintah fasis Jepang tersebut. Sebagai catatan, waktu jaman Jepang muncul juga jenis lakon humor. Pada masa itu disebut lakon sandiwara lelucon. Sandiwara lelucon merupakan lakon pendek, biasanya terdiri dari 1 babak, pemain utama adalah seorang penduduk yang bodoh tetapi berhati baik dengan seorang bijaksana yang memberi penerangan mengenai kebijakan dan peraturan baru yang dikeluarkan pemerintah (Kurasawa, 1993: 248). Jenis lakon ini pun didorong perkembangannya sebagai alat propaganda.
Metode terakhir adalah melalui sandiwara radio. Sandiwara radio, seperti tercatat dalam Asia Raya melalui sebuah iklan berbentuk artikel singkat sebelum penyiaran dilaksanakan, baru terlihat sekitar tahun 1943. Pantjaran Sastera adalah acara yang diselenggarakan oleh Keimin Bunka Shidosho di Radio Jakarta untuk menyiarkan berbagai karya sastra, termasuk sandiwara. Tema-tema propaganda yang disiarkan, yaitu anjuran menambah hasil bumi, semangat peperangan, sejarah tentang kekejaman bangsa Barat, dan cinta tanah air. Tercatat ada beberapa lakon sandiwara yang disiarkan oleh Pemancar Radio Jakarta, di antaranya ”Darah Memanggil” karya Achdiat dan Rosidi; ”Saidja dan Adinda” dan ”Poetera Negara” karya Achdiat; ”Moetiara dari Noesa Laoet” dan ”Tempat jang Kosong” karya Usmar Ismail; ”Djibakoe Atjeh” karya Idroes; ”Diponegoro” karya Soetomo Djauhar Arifin; ”Bende Mataram” karya Ariffien K. Oetojo; ”Sakura dan Njioer” karya M. D. Alif; ”Ajahkoe Poelang” (”Tjitji Kaeroe”) karya Kikoetji Kwan; ”Soemping Soerong Pati” karya Inoe Kertapati; ”Iboe Perdjoerit” karya Matsuzaki Taii; serta ”Djalan Kembali”, ”Mereboet Benteng Kroja”, ”Memotong Padi”, ”Manoesia Oetama”, dan ”Tanah dan Air”. Namun, sandiwara radio ini ternyata kurang efektif untuk mengindoktrinasi publik. Alasannya klise. Sebab waktu itu, tidak banyak yang memiliki radio. Aiko Kurasawa menyebutkan, pada 1939 pemilik radio di Hindia Belanda sebanyak 87.510 dan hanya 25.608 di antaranya orang Indonesia, berarti hanya sekitar 0,04% penduduk yang memiliki radio. Ketika pendudukan Jepang, Sendenbu (departemen propaganda) mendorong angka ini dengan pemasokan radio baru, maka tingkat persebarannya menjadi sekitar 0,15% di Indonesia. Untuk menyiasati keterbatasan jumlah pemilik radio di Jakarta, pemerintah pendudukan Jepang mendirikan pengeras suara (menara radio), di tempat-tempat umum, seperti pasar, stasiun kereta api, jalan raya, dan lapangan (Kurasawa, 1993: 258).
Demikianlah tiga metode propaganda melalui sandiwara modern. Kita dapat belajar banyak dari kehidupan sandiwara zaman Jepang yang sarat politisasi. Sejarah hubungan perang dan sandiwara mengajarkan kita bahwa kegiatan teater modern Indonesia memang masih membutuhkan sponsor kekuasaan. Dukungan pemerintah dalam bentuk dana, kegiatan, produksi, kalau dilakukan secara terencana ternyata menghasilkan kreatifitas tinggi. Begitulah tulis Jakob Sumardjo dalam pengantar buku ini. Pertanyaannya sekarang adalah: berhasilkah pemerintah fasis Jepang mengindoktrinasi rakyat Indonesia lewat media sandiwara ini?
KASANWIKRAMA, Peminat Sejarah.
Sumber: http://oase.kompas.com