Oleh Yohanes Supriyadi
Pendahuluan
Sesungguhnya, berbicara tentang Dayak merupakan sesuatu yang misteri, perlu banyak waktu untuk mengenalinya dengan teliti sehingga paham secara benar. Istilah Dayak baru dikenal dunia setelah penemuan Dr. August Kanderland, seorang sosiolog Belanda, tahun 1803. Dalam penemuannya, August menjelaskan bahwa penduduk yang ia temui di pedalaman Borneo mengaku diri sebagai “orang daya”, koloni manusia yang tinggal di kawasan perhuluan dan non muslim. Tulisan-tulisan Dr. August ini memancing rasa ingin tahu banyak ahli dunia, khususnya tentang “The Head Hunter”. Katanya, orang Daya itu masih primitif, kanibal, sebagaimana koloni manusia yang banyak terdapat di hutan Amazon Amerika Latin.
Umum dikatakan bahwa orang Dayak berasal dari Yunan, Cina Selatan, bagian hulu sungai Mekong. Namun, saya menyangsikan teori ini. Dalam berbagai analisis, saya lebih percaya bahwa Dayak adalah manusia asli Kalimantan, bukan migran dari dunia lain. Secara ilmiah, kita dapat membaca dari Wijowarsito. Menurutnya, jauh sebelum bangsa Austronesia (sebuah bangsa hasil perkawinan silang antar ras mongol dengan ras asli Kalimantan) datang ke Kepulauan Kalimantan, di kepulauan ini telah hidup dua bangsa besar, bangsa Weddoide dan bangsa Negrito (Wijowarsito, 1957).
Pada konteks Kabupaten Bengkayang dan Kota Singkawang, dalam batas tertentu, Dayak yang tersebar di wilayah ini merupakan klan besar dari apa yang dikenal sebagai Klemantan atau Land Dayak. Ada sekitar 4 rumpun Dayak di wilayah ini: Kanayatn, Salako, Bidayuh, dan Punan, dengan beragam bahasa dan variannya. Di terminal Singkawang kita dengan mudah menemui orang-orang Dayak yang berdialek bajare, badameo/damea , bakati, banyadu’, bajanya, bainyam, dan lainnya.
World View dan Praktik Religius Dayak
Orang Dayak adalah orang alam. Mereka hidup di tengah-tengah alam yang maha luas dan ganas. Oleh karena itu, untuk eksistensi diri, mereka selalu melakukan percobaan. Hasil percobaan-percobaan yang dianggap praktek terbaik akan diikuti untuk warisan anak-cucu. Praktek terbaik inilah yang kini dikenal sebagai adat. Adat diyakini sebagai solusi menciptakan keseimbangan kehidupan, antar sesama manusia, antara mereka dengan alam sekitar dan antara mereka dengan sang penguasa alam semesta. Melanggar adat berarti mengancam kehidupan.
Orang Dayak mengenal Allah, zat tertinggi. Allah-lah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Untuk mengungkapkan apa yang disebut “Allah” , agar dapat dimengerti dan dipahami secara jelas bukanlah sederhana dan perlu waktu yang cukup banyak, karena tidak dapat dipisahkan dan sangat erat sekali kaitannya dengan adat, mithe-mithe tentang kejadian alam semesta dan manusia dan mithe-mithe lainya yang memperlihatkan keterkaitan-keterkaitan antara manusia dengan makhluk-makhluk lain serta alam lingkungan sekitarnya.
Secara ringkas, Orang Dayak yakin bahwa ada dua ruang lingkup alam kehidupan, yaitu kehidupan alam nyata dan kehidupan alam maya. Yang berada di alam kehidupan nyata ialah makhluk tak hidup, tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Sedangkan yang berada di alam kehidupan maya antara lain: Ibalis, bunyi’an, antu, sumangat urang mati, dan Jubata (Tuhan Allah). Kedua alam kehidupan ini dapat saling pengaruh-mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Kekuatan supranatural yang dimiliki oleh seseorang adalah salah satu contoh dari akibat tersebut di atas. Untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan alam nyata dan kehidupan alam maya, serta untuk menata seluruh aspek kehidupan warganya, hubungan timbal-balik sesama warganya, hubungan warganya dengan alam lingkungannya, serta penciptanya/Jubata agar tetap serasi dan harmonis, nenek moyang para leluhur mereka telah menyusun secara arif dan bijaksana ketentuan-ketentuan, aturan-aturan yang harus ditaati dan dijadikan pengangan hidup bagi seluruh warganya dan warga keturunannya dari generasi ke generasi sampai kini, yang terangkum dalam apa yang disebut adat.
Orang Dayak yang hidup berpencar-pencar di desa mereka masing-masing secara umum dikategorikan dalam masyarakat hortikultural (Kottak : 1974). Sebuah masyarakat yang menanam tanaman pangan guna memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga dalam jangka waktu satu tahun. Bentuk subsistensi yang demikian itu bukan untuk mengkasilkan produk yang surplus (pasar oriented), namun hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga saja. Orang Dayak dalam menjalani rutinitas kehidupannya tidak lepas dari praktek religius tradisionalnya –Religi Neolitikum– yang diwarisi oleh para leluhurnya, terutama dala interaksinya dengan alam lingkungan hidupnya (Hofes: 1983).
Mereka percaya bahwa dalam usaha mendapatkan rejeki, kesehatan dan keselamatan dalam kehidupan ini tidak hanya bertumpu pada usaha kerja keras saja, tetapi juga pada harapan adanya campur tangan dari “apa” yang mereka yakini. Dengan kata lain, religi tradisionalnya mengajarkan bahwa segala sesuatu yang mereka dapatkan dalam kehidupan mereka –baik dan jahat– selalu ada campur tangan dari unur-unsur lain di luar manusia.
Dunselman dalam artikelnya di tahun 1950-an pernah menggunakan istilah agama-agama Dayak untuk menyebut praktek religius seperti ini. Istilah religi dalam konteks ini menyangkut pengertian yang menyangkut semua praktek religius yang masih hidup dan dilaksanakan namun sudah tidak sepenuhnya- oleh kelompok masyarakat hortikultur Dayak dalam kehidupannya. Karena religi ini merupakan kebiasaan yang diwariskan oleh para leluhur secara turun-temurun dalam kehidupan masyarakat non-literate ini, selanjutnya disebut Religi Tradisional yang dalam bahasa Dayak disebut adat.
Dalam adat (religi tradisional) ini terkandung segala aturan, norma dan etika yang mengatur korelasi manusia dengan manusia, manusia dengan unsur-unsur yang non-manusia (nature and supranature) dalam sistem kehidupan ini. Religi tradisional ini merupakan suprastruktur dalam sistem sosiokultural masyarakat hortikultural Dayak Selako yang prakteknya selalu disesuaikan dengan lingkungan tempat tinggal mereka (Sanderson : 1981). Penyesuaian ini berimplikasi terhadap perbedaan kecil dalam bentuk-bentuk doa, korban persembahan (bahasa Dayak Selako: buis bantotn) –misalnya posisi ayam korban, jenis daun ritual– dan tempat-tempat mistis dari setiap desa.
Sesuai dengan namanya, religi tradisional atau adat ini bersifat non proselytizing, artinya tidak mencari penganut di luar komunitas, hanya untuk kalangan sendiri (Spier : 1981). Ajaran tentang adat (etika) lingkungan hidup yang mengatur korelasi antara manusia dengan alam ini didasarkan pada pandangan dunia (world-view) masyarakat holtikultural Dayak Selako itu sendiri yang termuat dalam Religi Tradisionalnya dan terpelihara dalam mitos-mitosnya.
World-view Orang Dayak memahami alam semesta (kosmos) ini sebagai suatu bentuk kehidupan bersama antara manusia dan yang non-manusia, di luar alam para Jubato (dewa) dan Awo Pamo (arwah para leluhur) yang berada di Subayotn. Bentuk kehidupan itu merupakan suatu sistem yang unsur-unsurnya terdiri dari unsur alam manusia dan alam non-manusia (organisme dan no-organisme) yang saling berkolerasi. Sistem kehidupan itu sendiri merupakan lingkungan hidup manusia dimana manusia hidup dan berkolerasi secara harmonis dan seimbang dengan para “tetangganya” unsur-unsur lain yang non- manusia. Hubungan yang harmonis dan seimbang dalam sistem khidupan ini harus dibangun oleh manusia melalui praktik-praktik religi mereka.
Manusia sebagai bagian dari alam memiliki unsur-unsur alam, misalnya, udara, air, dan zat lainnya dalam dirinya (Sudarminta : 2006). Manusia merupakan mikrokosmos (bagian dari dalam sistem kehidupan (kosmos) ini (Priyono : 1993). Setiap unsur dalam sistem itu masing-masing memiliki nilai dan fungsinya yang saling mendukung dalam satu kesatuan untuk mencapai suau tujuan,kehidupan yang harmonis dan seimbang. Sikap manusia dalam korelasinya bersama unsur-unsur lain dalam sistem kehidupan itu menentukan kehidupan manusia bersama lingkungannya, baik secara individu maupun komunitas. Sikap manusia yang mau menghargai, menghormati dan bersahabat dengan alam akan memberikan permusuhan dan kesengsaraan bagi manusia memisahkan diri dan beroposisi dengan alam.
Pemahaman masyarakat Dayak Salako terhadap manusia sebagai bagian dari alam didasarkan atas adanya korelasi tersebut. Korelasi ini dipahami sebagai bentuk komunikasi yang dijelaskan oleh mitos-mitos yang berkembang ditengah kehidupan masyarakat ini (van Baal : 1987). Alam berkomunikasi dengan manusia antara lain melalui tanda-tanda yang diberikan. Sebaliknya bentuk komunikasi manusia dengan alam melalui praksis (tindakan nyata dan disadari) dan praktik religiusnya.
Beberapa contoh bentuk pemahaman manusia sebagai bagian dari alam yang berkolerasi dalam sistem itu diuraikan di sini. Pertama, kematian dipahami sebagai peristiwa kembalinya dan menyatunya jasad manusia dengan alam dunia (taino) serta sengat atau ayu (jiwa) dengan Subayotn. Saat manusia akan meninggalkan dunia, alam mengkomunikasikannya pada mnusia berupa tanda dalam bentuk suara dari sejenis mahluk alam yang disebut Tirantokng. Suara itu menyerupai bunyi sebuah parang besar beradu dengan alas kayu terjadi pada malam hari antara pukul 10.00 hingga 12.00. Tanda ini diartikan bahwa hantu telah memotong-motong badan orang itu hingga meninggal. Orang segera tahu bahwa dalam beberapa hari akan ada yang meninggal dunia di desanya atau desa sekitarnya.
Saat orang itu akan menghembuskan nafasnya yang terakhir (ngooh), pada malam sebelumnya suara riuh rendah dari mahluk malam di rimba terdengar tidak seperti biasanya. Peristiwa ini bisa dialami oleh mereka yang menunggu durian atau berburu pada malam hari (nereng). Orang menafsirkannya bahwa alam bersorak-sorai menyambut kedatangan manusia yang akan menyatu kembali dengannya. Tidak ada kebiasaan membersihkan dan menyembahyangi dalam kehidupan masyarakat Dayak. Pohon-pohon dan semak dibiarkan tumbuh lebat di sekitar kuburan. Masyarakat takut untuk membersihkannya karena arwah manusia yang dikubur itu akan marah dan menyakitinya. Ketika jenasah itu dikubur atau dibakar (dikremasi), selanjutnya orang tidak pernah mengenali di mana letak kuburan manusia yang meninggal itu. Dia dikubur tanpa nisan.
Rangkaian peristiwa kematian yang dialami dalam kehidupannya membuat masyarakat Dayak berkesimpulan bahwa manusia itu betul-betul telah kembali dan menyatu dengan alam karena dia sesungguhnya berasal dri alam. Religi tradisionalnya mengatakan manusia yang sudah momo’ (meninggal dunia) itu sesungguhnya telah kembali ke binuo (tempat) asalnya.
Sejalan dengan itu, dalam tataran evolusi kehidupan, manusia secara bertahap berkembang dari bentuk-bentuk kehidupan yang lebih rendah (Darwin : 2002). Kedua, manusia dalam melaksanakan aktivitasnya akan terhindar dari marabahaya ketika suara mahluk tertentu (rasi) berbunyi pada situasi yang tidak biasa. Tanda ini dipahami sebagai “alam” bagi manusia agar memilih waktu (jam, hari) yang tepat dalam melaksanakan kegiatan di luar rumah.
Selanjutnya, kesuburan semua mahluk dalam kosmos ini tidak luput dari campur tangan burung Tingkakok dan burung Bungkikik. Kedua burung Jubato ini dengan suaranya yang khas menimang agar semua mahluk hidup timbuh subur, berbuah, berkembang biak dan berketurunan. Manusia mendapatkan kebaikan dari kedua burung ini. Berkat timangan burung ini manusia dapat berketurunan, segala ternak di rumah, Hewan di sungai dan di hutan berkembang biak, dan tanaman padi dan pohon buah-buahan mengeluarkan buah yang lebat. Pada acara ritual kedua burung ini disapa dan diberi sesajian dalam bentuk Patek.
Beberapa contoh pernyataan nyata manusia sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap alam terlihat dalam hal-hal yang berikut. Pertama, ketika alam mengalami musibah misalnya, tanoh rantak (tanah longsor), pembangunan berskala besar, perbuatan berzina dan pembunuhan manusia-manusia membuat upacara ritual besar dan lengkap. Ritual ini merupakan tanda komunikasi dari manusia agar hubungan antara manusia dan alam yang telah rusak itu dipulihkan kembali.
Tanah yang longsor, tanah yang rusak, tanah yang kotor karena perbuatan manusia dipahami sebagai alam yang “sakit”. Kondisi alam seperti itu merupakan tanggungjawab manusia sebagai “tetangga alam” untuk memulihkannya. Ini semua dilakukan agar kekotoran dan kerusakan alam tidak berlarut-larut sehingga menyiksa dan menyengsarakan manusia. Sebagai sebuah sistem, ketika salah satu unsur mengalami kerusakan, maka unsur-unsur yang lain secara otomatis tidak dapat berfungsi dengan baik.
Selanjutnya, lahan yang digarap untuk bercocok tanam harus “diobati” karena lahan tersebut dianggap menderita. Melalui persembahan yang disebut petak, yakni dengan menyampaikan penghargaan, sikap hormat dan bersahabat atas pengorbanan lahan yang telah digunakan mereka untuk mendapatkan rejeki kehidupan sehingga korelasi itu kembali normal, dan kelak kemudian hari manusia dengan mudah mendapatkan rezeki dari setiap lahan yang digarapnya.
Dalam upacara ritual itu, lahan ladang dan sawah yang meliputi tanah, makhluk hidup yang ada di atasnya, dan semua jenis tumbuh-tumbuhan seperti rumput (rumput ratai), pohon besar dan kecil (kayu kayan), serta rotan dan tumbuhan merambat (ui bararotn) lainnya, yang ditebas, ditebang dan kemudian dibakar-disapa melalui doa dan diberi sesajian oleh manusia agar jangan sampai “mereka” marah berkepanjangan, dan dendam sehingga “mereka” menyiksa dan menyengsarakan manusia yang hidup dari berladang dan bercocok tanam.
Adanya korelasi dalam sistem ini masyarakat Dayak Salako memahami bahwa alam selalu siap membantu kehidupan ”teman”-nya manusia disetiap saat. Bahkan alam akan memberikan bantuannya ketika manusia menghadapi kesulitan yang paling berbahaya, misalnya perang suku. Manusia Dayak selalu meminta alam melalui upacara ritualnya memberikan kebaikannya agar membantu dan melindunginya dalam menghadapi lawannya.
Praktik Religius
Praktik religius dalam upacara ritual suku ini merupakan bentuk usaha manusia dalam membangun relasi yang baik dengan unsur-unsur yang non-manusia agar keseimbangan dan keharmonisan dalam sistem kehidupan tetap berlangsung. Usaha itu dapat kita saksikan dalam bentuk doa dan korban yang tidak hanya ditujukan kepada para Jubato (dewa), awo pama (arwah para leluhur) dan roh-roh lainnya (hantu, setan, iblis), namun juga terhadap segala bentuk organisme (hewan, tumbuhan) dan non-organisme (misalnya besi, karat besi/tagar, petir, dan sebagainya yang dianggap memiliki spirit) dalam kehidupannya.
Upacara ritual dalam religi tradisional ini (politheis) memiliki dua unsur yang nyata dalam prakteknya, yaitu doa dan korban persembahan. Doa merupakan bentuk komunikasi nyata dari manusia dengan unsur-unsur lain yang dianggap memiliki kekuatan seperti manusia, bahkan lebih, dalam sistem kehidupan ini. Korban persembahan –dari hasil karya yang terbaik– merupakan bentuk sikap hormat dan bersahabat dari manusia terhadap unsur-unsur lain dalam sistem kehidupannya. Melalui korban ini manusia tidak hanya menanamkan budi baiknya, tetapi juga untuk memenangkan unsur-unsur non-manusia yang marah atas perbuatan manusia yang salah sehingga hubungan yang rusak dapat dinarmalkan kembali.
Melalui upacara ritual, doa dan korban, manusia mengundang semua unsur-unsur non-manusia untuk hadir, mendengarkan permohonan manusia, dan menikmati korban persembahan yang telah disiapkan untuk mereka. ”Mereka” menikmati persembahan korban itu dari aromanya saja. Sebaliknya, manusia menerima berkat berupa rejeki, kesehatan dan keselamatan dari ”mereka” dengan menikmati kuran persembahan itu. Manusia memakan ”sisa” makanan yang mengandung berkat ”mereka”. Manusia mendahulukan ”mereka” menikmati korban persembahan yang masih utuh dan sebaliknya manusia memakan ”sisa” dari ”mereka” dalam upacara ritual itu menandakan bahwa manusia bersikap hormat dan bersahabat dengan alam.
Dalam ritual ini, secara kohesi manusia alam diikat dan dipererat. Kohesi itu selalu diperbaharui dan dipertegas dalam setiap upacara ritual, misalnya dalam upacara ritual padi Nurutni’ dan Ngabayotn.
Peranan Religi dalam Pelestarian Lingkungan Hidup
Adat merupakan produk budaya manusia yang berasal dari akumulasi pengalaman dari adaptive strategy manusia itu sendiri terhadap lingkungan hidupnya agar supaya tetap bertahan hidup dan diwariskan secara turun-temurun pada generasinya sehingga menjadi pedoman hidup mereka, alam, dan roh dalam suatu bentuk sistem kehidupan ditengah masyarakat hortikultural dan egaliter Dayak Salako.
Adat mempengaruhi dan membentuk sikap serta perilaku masyarakat Dayak itu sendiri dalam berinteraksi dengan sasama manusianya, dengan alam yang supernatural. Sikap dan perilaku masyarakat Dayak yang kehidupannya dipengaruhi dan dibentuk oleh adat itu berimplikasi pada pandangan mereka terhadap alam. Mereka memandang manusia sebagai bagian dari alam di mana mitos-mitos mereka berperan dalam memperjelas pandangan itu. Pandangan itu selanjutnya membuat masyarakat Dayak Selako itu bersikap menghargai, menghormati, dan bersahabat dengan alam.
Dengan sikap dan perilaku masyarakat yang demikian, konsep etika lingkungan hidup telah dibangun sehingga kehidupan berkelanjutan terealisasi. Dengan kata lain, adat memainkan peranannya dalam usaha mencegah kemerosotan kualitas lingkungan hidup.
Adat sebagai aturan yang berfungsi mengontrol sikap dan perilaku manusia dalam sistem kehidupannya memiliki kekuatan memaksa baik secara spritual maupun sosial. Ketika manusia melakukan suatu perbuatan yang baik terhadap sesamanya, manusia itu akan mendapatkan sanksi spritual dan sanksi sosial. Perbuatan manusia yang salah itu telah merusak hubungan yang harmonis dan seimbang dalam sistem kehidupan masyarakat itu. Sanksi spiritual adalah sanksi yang (akan) didapatkan oleh manusia baik dari ala sendiri maupun supernatural karena perbuatannya. Jika kehidupan manusia itu baik-hidup yang beradat, manusia akan mendapatkan rejeki yang mudah dan berlimpah serta kesehatan dan keselamatan di sepanjang hidupnya. Sebaliknya, manusia akan mendapatkan tuoh (tulah) dan papo (sengsara) karena perbuatannya yang tidak baik hidup yang tidak beradat. Ini biasanya disebut dengan hukum karma.
Masyarakat percaya bahwa manusia yang hidupnya tulah dan papa sulit untuk mendapatkan rejeki kehidupan walaupun sudah bekerja keras. Pengalaman kehidupan masyarakat itu menunjukan bahwa walaupun seseorang dalam kehidupannya mendapat rejeki yang melimpah, namun salah satu anggota keluarga tidak mendapat kesehatan, sakit yang saling silih berganti mengakibatkan rejeki yang diperoleh itu akan habis juga.
Sanksi sosial mengacu pada sanksi yang diatur oleh adat dan dikenakan oleh kelompok masyarakat yang memiliki adat tersebut kepada anggota masyarakat yang perbuatannya melanggar adat. Sanksi sosial itu berupa pembebanan beaya untuk menyiapkan material korban persembahan dan biaya-biaya lain kepada yang bersalah. Ukuran sanksi sosial yang dikenakan pada manusa yang bersalah itu disesuaitka dengan jenis kasus yang diperbuatnya. Selain itu, manusia yang bersalah itu mendapatkan cap kehidupan ”si pelanggar adat” di sepanjang kehidupan generasinya dalam komunitasnya. Dia menjadi buah bibir dan contoh perbuatan yang salah bagi generasi lain dalam komunitasnya.
Kelompok masyarakat menjatuhkan sanksi adat pada anggotanya yang bersalah baik terhadap manusia maupun alam bertujuan untuk memulihkan kehidupan yang telah rusak karena perbuatannya agar menjadi normal kembali, dan merehabilitasi manusia yang bersalah itu agar hidup beradat lagi. Pelaksanaan sanksi adat itu selalu disertai dengan upacara ritual. Upacara ritual itu selain merupakan wujud nyata dari bentuk pelaksanan adat itu sendiri (sanksi sosial), juga merupakan wujud nyata untuk menghapus sanksi spiritual. Pelaksanaan sanksi adat akan sah di depan masyarakat (manusia), alam dan supernatural ketika upacara ritual selesai dilaksanakan.
Adanya pandangan kosmologi dan adat yang dimiliki oleh masyarakat Dayak Salako dalam kehidupan membuat masyarakat ini tidak dapat mengeksploitasi alam dengan semau-maunya demi kepentingan ekonominya. Adat (etika) mengajarkan amai’ (tabu). Karena itu manusia harus menyadari bahwa dia merupakan bagian dari alam dan dapat bertahan hidup karena dia mendapat dukungan kehidupan dari alam itu sendiri.
Alam lingkungan hidup Dayak Salako sesungguhnya telah dilindungi dan dilestarikan oleh etika lingkungan hidup yang mereka miliki yang terdapat dalam pandangan kosmologi dan adatnya. Adat religi, norma, etika mereka itu memiliki peranan yang signifikan dalam melestarikan lingkungan hidup mereka.
Hal ini sudah teruji dalam ruang dan waktu dan dipraktekkan di sepanjang sejarah kehidupan masyarakat yang hidup dari berladang dan merambvah hasil alam. Etika lingkungan hidup yang termuat dari adat yang selanjutnya dipertegas oleh bentuk pandangan kosmologi dan mitos-mitos masyarakat ini telah menciptakan suatu bentuk kehidupan berkelanjutan yang membuat hubungan manusia dan bumi harmonis dan seimbang. Alhasil, alam lingkungan hidup ini (dulunya) tetap terpelihara dan lestari.
Kesimpulan
Adat yang mencakup pengertian religi (world-view), norma, dan etika yang selanjutnya diperjelas oleh mitos merupakan pandangan hidup (way of life) bagi masyarakat holtikultural Dayak Salako dalam kehidupannya. Adat bersama mitosnya mempengaruhi dan membentuk sikap serta perilaku individu maupun komunitas terhadap alam dalam sistem kehidupan ini.
Berdasarkan pandangan dunianya, masyarakat Dayak Salako memahami manusia itu sebagai bagian dari alam dalam suatu bentuk sistem kehidupan. Bentuk sistem kehidupan ini merupakan lingkungan hidup bersama dari unsur manusia dan unsur-unsur lain yang non-manusia (organisme dan non-organisme). Kesemua unsur dalam sistem itu memiliki nilai dan fungsinya masing-masing.
Pandangan kosmologi tersebut telah berdampak pada pemahaman mereka terhadap hubungan manusia dengan alam yang bersifat antropokosmik, yang berarti manusia dan alam menyatu, tidak terpisahkan, hal ini berimplikasi terhadap korelasi dari unsur-unsur dalam sistem kehidupan itu di mana manusia sebagai salah satu unsurnya tidak pernah memanifestasikan diri mereka sebagai raja penguasa atas alam.
Pandangan kosmologi yang demikian itu melahirkan suatu etika lingkungan hidup yang tercakup dalam adat sehingga membuat masyarakat Dayak Salako mempunyai sikap menghargai, menghormati dan bersahabat terhadap alam. Dengan demikian, manusia tidak dapat bertindak semau-maunya terhadap alam, mengeksploitasi alam sehabis-habisnya demi kepentingan ekonominya.
Daftar Pustaka
Child, Alice B., et.al. Religion ang Magic in the Life of Traditional People. New Yeysey: Prentice-Hall, 1993.
Darwin, Charles. The Origin of Spicies. a.b. F. Susiloharjo & Basuki Harwono. Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002.
Dunselman, Donatus, OFM Cap. Bijdrage Tot de Kennis van de Taal en Adat der Kanayatn Dayaks van West Borneo. 1950.
Hofes, M. Lewis. Religion of the World. New york: Macmillan Publishing Co., Inc., 1983.
Johnstones, R.L. Religion and Society in interaction. New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1975.
Kottak, Conrad Phillip. Anthopology. The Ekploration of Human Diversity. New York: Mcgraw-Hill, Inc. 1974.
Nugroho, Alois A. Fungsi Rasio Alfred North Whitehead. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Otto, Rudolf. The Idea of the Holy. London: Pelican Books, 1959
Priyono, Herry. Nilai Budaya Barat dan Timur Menuju Tata Hubungan Baru dalam Jelajah Hakikat Pemikiran Timur. Jakarta: PT. Gramedia, 1993.
Sanderson, Stephen K. Macrosociology, An Introduction to Human Societies. New York: Harper Collins Purblishers, 1991.
Schleiermacher, Friedrich. On Religin. New York: Frederick Ungar Publishing Co., 1995.
Skolimowski, Henryk. Eco-Philosophy: Designing New Tactics for Living. London: Marion Noyars Publishers Ltd., 1981.
____________________
Yohanes Supriyadi adalah Pemerhati Adat dan Budaya Dayak.