Yogyakarta - Kata ”lelung” mungkin tidak akrab di telinga banyak orang. Kata ini sebetulnya singkatan dari ”gule balung” alias gulai tulang. Di Bantul, lelung dibuat dari tulang kambing.
Dibandingkan dengan gulai kambing umumnya, lelung tidak memakai daging atau jeroan kambing, melainkan tulang kambing. Meski banyak warung sate dan gulai kambing di Yogyakarta dan sekitarnya, masih sedikit yang menyajikan menu lelung. Warung Lelung Jodog di Dusun Jodog, Desa Gilangharjo, Pandak, Bantul, Yogyakarta, salah satunya.
Untuk mencapai warung milik suami-istri Wardoyo (49) dan Mujirah (44) ini, dari pusat kota Bantul jaraknya hanya sekitar 3 kilometer ke arah selatan. Sesampainya di simpang empat Palbapang, belok kanan menyusuri Jalan P Senopati atau yang lebih dikenal sebagai Jalan Srandakan.
Setelah melewati simpang tiga Jodog, tepikan kendaraan di sisi kanan karena Warung Jodog ada di utara jalan, tak jauh dari simpang tiga Jodog.
Interior sederhana warung yang dindingnya terbuat dari bambu dengan lincak atau bangku bambu di sudut ruangan menambah suasana pedesaan di Warung Lelung Jodog, yang dapurnya berhadapan langsung dengan sawah itu.
Warung ini dirintis Mujirah sekitar tahun 1993 ketika usaha penjualan telur ayamnya terus merugi. Atas saran Kepala Dusun Jedog, Muji, waktu itu, Mujirah membuka warung sate kambing yang kebetulan belum ada di dusun mereka.
Dua tahun sesudahnya, ketika warungnya bertambah ramai, Camat Pandak yang akrab disapa Pak Wito mengusulkan agar Mujirah memisahkan tulang kambing untuk dimasak tersendiri di luar jeroan, lalu terciptalah lelung.
Tulang belulang
Setelah memesan satu porsi lelung, tak lebih dari 10 menit pesanan datang: satu piring gulai penuh tulang kambing, satu piring lalapan kubis, tomat, dan beberapa biji cabai. Nasi putih dihidangkan terpisah dalam bakul sehingga pembeli bisa mengambil sepuasnya.
Pertama kali mencicipi kuah lelung, rasa gurih dan sedikit manis terasa di lidah. Mujirah menuturkan, santan kental di lelunglah yang banyak memengaruhi kegurihan rasa. ”Banyak yang bilang lelung mirip tengkleng dari Solo. Memang sama-sama gulai, tetapi kami memakai santan kental, bukan santan encer,” kata Mujirah.
Puas menikmati kuah lelung, saya mulai mengambil satu per satu tulang yang ada di dalam piring. Jenisnya beragam, seperti tulang iga, kikil, ekor, sumsum, ataupun tangkar. Di sekitar tulang-tulang itu masih ada sedikit daging yang bisa dimakan. Cabai ataupun sambal kecap yang disediakan bisa menjadi pilihan untuk menambah rasa pedas lelung.
Bagi sebagian orang, menemukan daginglah yang menjadi keasyikan tersendiri saat menyantap makanan hewani. ”Daging yang paling dekat dengan tulang itu paling gurih. Memilih, memegang tulang dengan dua tangan, dan mencari daging yang gurih di tulang itu yang seru. Ada sisi petualangannya,” kata Agus Suryanto (46), pelanggan setia Warung Lelung Jedog.
Untuk memanjakan keasyikan para pelanggannya ”berburu” daging, Mujirah menyediakan sedotan pendek dari plastik di setiap meja. Dengan sedotan ini pelanggan bisa mengisap sumsum dari dalam tulang iga yang sudah dipotong kecil-kecil.
Sedotan ini juga disediakan untuk memudahkan pelanggan berusia lanjut. ”Ada pelanggan setia yang saking senangnya makan lelung, setiap kali makan di warung saya gigi palsunya selalu dilepas. Dia pun selalu menggunakan sedotan untuk membantu mengambil daging,” kata Mujirah.
Aroma tulang yang tidak amis menjadi keistimewaan lain lelung jodog. Pengetahuan tentang mencuci tulang sebelum direbus dan pemberian buah pepaya muda sebagai salah satu campuran bumbu menghilangkan bau amis yang melekat pada tulang kambing didapat Mujirah dari berbagai daerah di sekitar Kabupaten Bantul dan Gunung Kidul.
Harga seporsi lelung jodog lengkap dengan lalapan, nasi, dan satu gelas minuman Rp 10.000. Jika dibawa pulang, harganya Rp 7.500. Mereka yang membeli lelung seharga Rp 5.000 pun dilayani. Pembeli juga bisa memilih jenis tulang yang diinginkan.
Di warung ini juga disediakan menu lain, seperti sate, tongseng, gulai jeroan, dan nasi goreng yang semuanya dari kambing, dijual dengan harga bervariasi mulai dari Rp 7.500-Rp 11.500.
Setiap hari rata-rata Warung Lelung Jodog menghabiskan tulang kambing 50-60 kilogram. Untuk bumbu mentah, tiap 10 hari warung ini membutuhkan sekitar 3 kilogram bumbu mentah yang sudah diolah menjadi bubuk. Meski harga bahan baku saat ini terus merangkak naik, Mujirah mengaku tak tega menaikkan harga jual lelung jodog.
Pada jam-jam makan siang warung ramai dikunjungi pelanggan yang mayoritas pegawai di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bantul. Pada hari-hari libur para pelancong banyak singgah di warung tersebut.
”Waktu libur Lebaran permintaan sebenarnya banyak, tetapi kami batasi karena terbatasnya tenaga yang juga berlebaran,” ujar Mujirah.
Masakan ini pun terus bertahan 15 tahun setelah pertama kali dirintis oleh Mujirah dan Wardoyo, dan saat ini mulai banyak disajikan di warung-warung lain.
Sumber: www.kompas.com (29 April 2008)