Cirebon - Kalau Anda berkesempatan ke Keraton Kasepuhan, Kanoman, Keprabonan, dan Keraton Kacirebonan di Cirebon, Jawa Barat, dengan mudah Anda akan melihat bangunan yang telah tua dan kian keropos dimakan zaman. Di sana-sini cat mulai kusam, tiang-tiang sepertinya tak kuat lagi menyangga. Namun, betapapun eksistensi keraton masih dibutuhkan....
Saat Maulid Nabi Muhammad, misalnya, puluhan ribu warga dari berbagai daerah berdatangan ke keraton di Cirebon. Begitupun saat Grebeg Syawal, seminggu setelah Lebaran, warga menyemut di makam Sunan Gunungjati, leluhur keraton Cirebon.
Bukan cuma masyarakat biasa, elite politik pun berdatangan ke keraton, terutama menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) seperti terjadi beberapa waktu lalu. Elite-elite politik datang silih berganti meminta ”restu” untuk maju ke gelanggang pilkada.
Ini membuktikan, eksistensi keraton tidak bisa diabaikan. Walaupun kini keraton tidak memegang kekuasaan politik, masyarakat masih tetap mengakui pimpinan informal seperti para sultan di keraton-keraton di Cirebon.
Jika eksistensi keraton tetap dibutuhkan, bagaimana keraton menghidupi dirinya, ”mengepulkan” asap dapurnya? Menanggapi hal itu, Pangeran Raja Adipati (PRA) Arief Natadiningrat, Putra Mahkota Keraton Kasepuhan, menyatakan, bantuan rutin dari pemerintah daerah tidak ada, namun ada bantuan insidentil.
”Itu pun bantuannya angin-anginan. Ya kami harus survive dengan segala daya upaya,” kata PRA Arief.
Dulu, di zaman Indonesia belum merdeka, keraton-keraton adalah negara-negara yang memiliki aset tanah, sawah, kebun, dan hutan-hutan. Dulu pembagian kekuasaan keraton di Cirebon antara lain Keraton Kasepuhan membawahi wilayah dari pusat kota ke arah timur. Sedangkan Keraton Kanoman dari arah pusat kota ke arah barat.
Namun, saat keluar Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Landreform, tanah-tanah di wilayah keraton diambil alih menjadi milik negara tanpa penggantian.
Ganti rugi?
Saat ini keraton-keraton di Cirebon itu sedang menanti ganti rugi dari Pemerintah Indonesia. ”Kami menunggu kesadaran pemerintah saja, tidak mengambil jalur hukum, apalagi zaman Orde Baru itu, wah mentok,” kata PRA Arief.
Sejak 1813 aset-aset keraton di Cirebon terbagi jelas dan dihormati pemerintah Belanda dan Inggris. ”Mereka tidak mengambil aset keraton, justru memelihara budaya. Malah oleh Pemerintah Indonesia aset keraton diambil alih. Kami sudah menyurati Kepala Badan Pertanahan Nasional Pusat, mencoba mencari kejelasan status, tetapi sampai sekarang diambangkan,” kata PRA Arief Natadiningrat.
Padahal, jika keraton bisa mengelola asetnya sendiri, pemerintah tidak akan diberatkan karena keraton bisa mandiri. Terlebih, luas wilayah Keraton Kasepuhan mencapai 25 hektar, di mana situs-situs seperti Astana Gunung Jati, Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Taman Air Gua Sunyaragi juga menjadi urusan Keraton Kasepuhan yang membutuhkan dana pemeliharaan tidak sedikit.
Meski dalam keterbatasan, keraton-keraton di Cirebon tetap memiliki grand design atau ide-ide untuk pengembangan keraton di masa depan.
”Untuk ke depan, dengan segala keterbatasan kami, kami akan berusaha untuk maksimal. Kami juga berusaha melibatkan mahasiswa agar jangan melihat keraton sebagai bangunan rusak, tetapi ada catatan sejarah yang belum terungkap yang layak untuk dipelajari,” kata juru bicara Keraton Kanoman, Ratu Arimbi.
Untuk ke depan, jika ada roda ekonomi yang berputar di keraton, tentu keraton akan mampu menghidupi dirinya sendiri, misalnya dengan batik atau kuliner.
Menurut Ratu Arimbi, pada tahun 1950-an keraton memiliki pembatik yang memproduksi batik-batik untuk keluarga keraton. Tidak diperjualbelikan atau dikomersialkan karena batik-batik tersebut memang hanya dipakai keluarga keraton.
Namun, pada tahun 1960-an, batik di keraton akan dikenai pajak oleh pemerintah. Karena batik buatan pembatik keraton tak diperjualbelikan, para pembatik itu memilih berhenti berproduksi dan kembali ke desa.
Kini para pembatik di wilayah Trusmi Cirebon yang berkembang. Melihat hal itu, Keraton Kanoman pun berpikir untuk mengembangkan batik guna menghidupi keraton, sekaligus melestarikan kebudayaan yang dulu pernah ada di lingkungan keraton.
Kelangsungan keraton
Terkait kelangsungan keraton, PRA Arief Natadiningrat mengharapkan aset budaya, seni, adat tradisi, bangunan purbakala, hingga gedung kuno bisa terpelihara dengan baik meski banyak kendala dan keterbatasan.
”Harapan eksistensi keraton bisa terpublikasi untuk anak cucu kita kelak tentu memerlukan biaya tidak sedikit. Misalnya untuk pembayaran listrik, air, kebersihan, dan upah abdi dalem keraton. Kami berharap ada pemasukan rutin dari aset kami,” kata PRA Arief Natadiningrat.
Keraton pun terus berupaya menjawab persoalan yang ada di masyarakat, bagaimana menata kembali hubungan keraton dengan pemerintah, bagaimana keraton bisa membangun dirinya.
Di Keraton Kanoman pun, menurut Ratu Arimbi, tersimpan naskah-naskah tua berisi catatan peradaban manusia di Cirebon. ”Coba naskah-naskah itu kita buka, kita kaji dan gali. Di masa depan adalah bagaimana keraton bisa menjawab persoalan masyarakat,” katanya.
PRA Arief Natadiningrat juga memandang demikian. Keraton sebagai pusat pendidikan, sebagai pusat budaya, dan pusat sosial masyarakat.
”Mulai dari murid SD, SMP, SMA, hingga mahasiswa perguruan tinggi, bahkan orang-orang asing yang membuat tesis, menjadikan keraton sebagai tempat belajar. Banyak tesis yang mengangkat kesenian, arsitektur, agama, tradisi, dan tari di keraton,” katanya.
Di sisi lain, keraton pun bersikap proaktif dengan membuka Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, dengan kurikulum utama kesenian Cirebon. ”Langkah ini untuk memelihara budaya Cirebon,” kata Arief.
Di era yang kian terbuka, keraton bisa dibilang menjadi ”benteng terakhir” dari kebudayaan. Di keratonlah masih bisa dilihat aktivitas budaya meski keraton sendiri diimpit berbagai masalah untuk kelangsungan hidupnya.
Sebagai pusat sosial masyarakat, keraton pun terbukti tetap membuka diri, menjadi tempat berkeluh kesah warga masyarakat. ”Harga sembako meningkat, banyak yang sakit, sawah kena hama, panen gagal, warga datang ke keraton untuk memohon doa...,” kata Arief Natadiningrat. (Elok Dyah Messwati)
Sumber: www.kompas.com (29 April 2008)