`Hibridity` Bali yang Abu-abu

Yogyakarta - Sebatang pohon tua berdiri kokoh di antara pohon-pohon gedung beton bertulang. Tanda silang merah besar terpahat di batang pohon tua itu. Selembar kain kotak-kotak hitam-putih, papan catur, melingkari batangnya.

Pohon-pohon itu dilukis di atas kanvas berukuran 175x300 cm dengan media campuran, yang oleh pelukisnya I Dewa Made Mustika disebut sebagai "Keseimbangan".

Pada kanvas itu, pelukisnya memaparkan perpaduan kemajuan zaman dan kejujuran nilai budaya yang merupakan harapan suatu keseimbangan sebagai suatu identitas. Komposisi warna hitam-putih, membangun pencitraan dingin, kelam dan bias semburat duka. Kalau pelukis asal Bali ini memaparkan keseimbangan, kesan itu tidaklah salah, namun belum merangkum 100 persen keverbalannya. Barangkali yang lebih cocok adalah "keresahan" dari para pengagum kebudayaan Bali.

Antara hitam dan putih. Garis abu-abu dan transparan berujung pada sebuah titik nadir. Made Mustika memang menghadirkan titik nadir tanpa katarsis itu ke dalam sebuah koreksi. Entahlah, apakah keseimbangan yang akan muncul, atau justru keresahan.

Tanpa mengaktualisasikan sebuah perjumpaan yang kontras, Mustika yakin apa yang tersirat di benaknya akan membuahkan sebuah multitafsir di kemudian hari.

Kesadaran itu pun menyeruak pada I Made Ngurah Sadnyana pada lukisannya berjudul Berbagi Cahaya. Sadnyana menyebut, konsep cahaya adalah bagian dari jalinan keseimbangan dalam sentuhan harmoni. Bagi pelukis ini, cahaya adalah satu pandangan kebenaran di mana segala kepadatan dan kedalaman unsur kebendaan dan dimensi ruang, terungkapkan.

Cahaya secara verbal diungkapkan sebagai simbolisasi dari sebuah perenungan sehari-hari tentang kesamaan rasa, kerlap-kerlip semangat, keyakinan dan akhirnya, kepercayaan. Segala sesuatu yang ada selalu berkaitan menjadi satu dalam kecerahan kesadaran akan misteri waktu.

Lukisan-lukisan itu dipamerkan dalam gelaran karya Bali Art Now Hibridity di Jogja Gallery, Yogyakarta, 25 April hingga 8 Mei. Hibriditas sengaja diketengahkan untuk menengahi pergulatan pemikiran yang terjadi pada diri perupa.

Kurator Mikke Susanto menyebut, jika dilacak secara umum, sebagian besar perupa khususnya seniman modern Indonesia, dapat dipastikan mengalami hibridasi. Namun, dalam beberapa kasus tertentu seperti Bali, banyak pertautan dan keunikan yang menarik untuk dikemukakan.

Persoalan pertama muncul: terdiri dari apa sajakah seni rupa (lukis) Bali yang hibrid ini? Adakah atau manakah yang asli?

Sejarah panjang perkembangan budaya di Bali memberi sumbangan menarik dalam pameran ini. Asumsi bahwa perkembangan seni budaya secara terus-menerus terkait dengan fenomena akulturasi adalah hal yang signifikan untuk dibahas lebih lanjut, membicarakan seni akulturasi dalam periode mutakhir juga amat menantang.

Mikke menyimpulkan, jika proses akulturasi berjalan terus-menerus, apa yang menjadi tanda terjadinya proses itu pada saat ini? Benturan-benturan seperti apakah yang kini banyak dialami oleh perupa mutakhir Bali?

Seni-seni semacam ini masih mendominasi dibanding perkembangan seni modern/kontemporer. Seni ulayah Bali ini berkembang dalam dua arus besar: seni lukis tradisional-klasik dan seni modern-turistik.

Dalam pameran ini terlihat sebagian besar peserta pameran telah melakukan pengejawantahan hal-hal yang lebih kompleks dan plural. Hampir sulit menemukan tanda atau simbol-simbol Bali klasik. [SP/Fuska Sani Evani]

Sumber: www.suarapembaruan.com (2 Mei 2008)
-

Arsip Blog

Recent Posts