Nadran, Tradisi Nelayan Pantura

Cirebon - Di tengah gencarnya kemajuan teknologi informasi dan pengaruh budaya Barat, nadran - sebuah tradisi nelayan di Pantai Utara (Pantura) Cirebon - sampai kini ternyata masih menggeliat. Tradisi Nadran biasa dikenal sebagai pesta atau sedekah laut, sedekah bumi, upacara buang sesaji atau labuh saji.

Dalam prosesi pelaksanaannya, Nadran biasanya diawali dengan pemotongan kepala kerbau dan pemotongan nasi tumpeng. Kepala kerbau selanjutnya dibalut dengan kain putih dan bersama dengan perangkat sesaji lainnya dilarung ke laut lepas. Kepala kerbau pun ditenggelamkan di laut.

Namun, nasi tumpeng dan lauk lainnya dibagi-bagikan kepada masyarakat sekitar. Ini biasa disebut dengan bancaan atau berkah.

Upacara tradisi nadran biasanya disemarakkan dengan tari-tarian, pergelaran wayang kulit, dan doa-doa mantra. Belakangan ini upacara tersebut telah memperkaya potensi wisata budaya, dengan diselenggarakan secara besar-besaran hampir setiap tahun dengan promosi seperlunya dari pihak biro perjalanan wisata.

"Di Sukabumi, terutama di kalangan nelayan Pelabuhan Ratu, budaya itu hidup sejak lama dan selalu diselenggarakan setiap tahun. Pada setiap pelaksanaannya, wisatawan banyak yang menyaksikan acara itu," ujar Heddy Suhaedi, kader Golkar yang juga wartawan Suara Karya di Sukabumi.

Di Banten, seperti diutarakan Ketua PHRI Banten Achmadsari Alam, budaya nadran atau sedekah laut juga ada. Buktinya, setiap tahun upacara itu digelar di Teluk Labuan, Pandeglang atau di Anyer, Serang. Wisatawan juga ramai-ramai menyaksikannya. "Soalnya, beragam kesenian menarik selalu mengikuti digelarnya acara itu. Makanya tidak aneh kalau setiap ada acara sedekah laut, lokasi upacara khas itu ramai dikunjungi wisatawan lokal dan asing," ujar Achmadsari Alam.

Menurut Dekan FISIP Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon, Dra Hariyani Agustina, MM, nadran memang bukan lagi sekadar upacara tradisi, melainkan bisa dijadikan bagian dari kegiatan kepariwisataan yang menghasilkan uang karena menarik untuk diperhatikan oleh wisatawan.

Nadran, kata Hariyani, juga memiliki akar tradisi yang kuat di pesisir pantura, khususnya di Cirebon.

Tradisi turun-temurun itu telah dijadikan salah satu cara bagaimana masyarakat nelayan mengekspresikan rasa syukur kepada Tuhan atas tangkapan ikan yang mereka peroleh. Selain itu, nadran juga sekaligus sebagai bentuk permohonan keselamatan dalam mencari nafkah di laut.

"Nilai-nilai filosofis yang menarik untuk dipelajari antara lain nilai solidaritas, etis, estetis, kultural, dan religius yang terungkap dalam ekspresi simbolis dari upacara-upacara yang disajikan melalui bentuk tari-tarian, nyanyian, doa-doa, dan ritus-ritus lainnya," ungkap Hariyani dalam mempertahankan disertasinya untuk meraih gelar doktor bidang ilmu filsafat pada program Pascasarjana UGM Yogyakarta, Senin lalu.

Menurut sang promovenda, pemahaman terhadap nilai-nilai itu dapat ditransformasikan dalam membangun kehidupan masyarakat kelautan ke taraf yang lebih maju dan lebih baik-baik dari sisi pendidikan, ekonomi maupun solidaritas sosial budaya.

"Nadran, sebagai sebuah tradisi yang lahir dari masyarakat pesisir, sangat berguna dalam memperkaya konsepsi dan tujuan pembangunan nasional berbasis kelautan. Salah satunya di bidang pendidikan. Penjabarannya dapat dilakukan dengan menampung muatan tradisi lokal pada kurikulum sekolah nasional atau menjadi salah satu mata kuliah yang perlu diajarkan di perguruan tinggi," katanya.

Dalam konteks relasi sosial, lanjutnya, tradisi nadran dapat meningkatkan persaudaraan antarwarga desa yang selama ini tinggal di sekitar pesisir, dan dikenal memiliki watak dan karakter yang keras.

Ia mengkritisi jika dalam konteks kekinian, nadran dianggap tidak lagi terlihat sebagai upaya pelestarian tradisi, tetapi cuma mengarah pada sarana hiburan semata bagi masyarakat setempat.

"Kalau nadran seolah-olah kehilangan ruhnya, ini karena banyak masyarakat yang mulai meninggalkan pesan-pesan moral. Bahkan, hiburan yang menyertai nadran lebih banyak dalam bentuk campur sari dan ndangdutan. Terkadang, malah ada yang mengarah pada kemaksiatan. Dengan demikian, tradisi nadran terkadang hanya sebagai pawai budaya. Ini perlu dibenahi kembali oleh pemerintah daerahnya," pesannya mengingatkan.

Sumber: www.suarakarya-online.com (26 April 2008)
-

Arsip Blog

Recent Posts