Muna, Sulawesi Tenggara - Kota Raha nyaris tak dikenal masyarakat luas. Dia bukan kota dagang, juga bukan kota wisata. Raha hanya sebuah kota kecamatan yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Muna sejak tahun 1960. Di zaman Belanda, Raha adalah ibu kota pemerintahan onderafdeling Muna (setingkat kabupaten).
Pada saat air surut, Raha ketambahan daratan pantai selebar 800-1.000 meter ke arah laut Selat Buton. Namun, daratan semu itu cenderung menjadi kawasan kumuh akibat limpahan sampah dan limbah rumah tangga warga kota.
Sampah dan limbah bersumber pula dari pelabuhan yang berlokasi di pantai tersebut. Selama jangka waktu yang lama, daerah pelabuhan Raha menjadi tempat pedagang kaki lima menjajakan bahan makanan dan aneka kebutuhan lainnya kepada penumpang kapal lokal yang transit di sana.
Bahkan, kehidupan malam kota Raha di masa lalu sebetulnya hanya berdenyut di daerah pelabuhan dengan kehadiran pedagang kaki lima, mulai sore hingga pukul 22.00 Wita. Waktu tersebut merupakan jadwal kedatangan kapal-kapal penumpang dari Kendari dan Bau-Bau.
Selepas waktu tersebut, Raha kembali senyap. Aktivitas warga di siang hari lebih diwarnai kegiatan kantor pemerintahan. Kegiatan bisnis hanya terpusat di kompleks Pecinan dengan jejeran puluhan petak rumah toko. Warga Tionghoa tersebut dibawa Belanda dari Jawa dalam rangka menghadirkan kelas sosial menengah sebagai mitra pemerintah kolonial di wilayah onderafdeling Muna.
Kawasan olahraga
Daerah pasang surut itu pada tahun 2002 oleh Bupati Muna Ridwan digagas menjadi kawasan pengembangan sarana olahraga yang dapat dibanggakan bukan saja rakyat dan pemerintah Kabupaten Muna tetapi juga Sulawesi Tenggara.
Pembangunan kawasan olahraga dengan penyediaan sarana dan fasilitas modern diharapkan menjadi daya tarik sehingga makin banyak wisatawan lokal maupun mancanegara yang berkunjung ke kota kecil di tepi Selat Buton itu.
Maka, Raha pun kini tampak menggeliat, berusaha bangkit dari tidur yang panjang. Daerah pasang surut dengan luas sekitar 200 hektar mulai diuruk dan dibangun bertahap menjadi kawasan tertata rapi dan membuat kota itu bersinar dipandang dari laut. Untuk mengabadikan Raja Muna yang terakhir, kawasan itu diberi nama Kawasan Olahraga La Ode Pandu.
Di kawasan itu sekarang berdiri megah gedung olahraga serbaguna berkapasitas 3.000 orang, stadion kolam renang berdaya tampung 1.000 penonton dengan menara loncat indah standar nasional, dan sebuah kolam arena dayung.
Sebagai uji coba upaya membangkitkan Raha menjadi kota wisata bernuansa olahraga, Pemerintah Kabupaten Muna menyelenggarakan Porda (Pekan Olahraga Daerah) Provinsi Sulawesi Tenggara pada bulan Juli 2007.
Pada saat membuka pekan olahraga itulah Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault mendeklarasikan Raha sebagai pusat pengembangan olahraga perairan di kawasan timur Indonesia. Pertimbangannya, Raha telah memiliki sarana dan fasilitas olahraga perairan yang memadai seperti cabang dayung, renang, loncat indah, polo air, selam, dan ski air.
Bukan cuma itu. Kabupaten Muna selama ini menjadi gudang atlet dayung berprestasi di tingkat nasional, Asia Tenggara, dan dunia. Tercatat, misalnya, Jumina dan Hasima adalah srikandi Indonesia asal Muna yang pernah mengukir emas di pekan olahraga Asia Tenggara beberapa tahun silam.
Khusus kolam arena dayung, seperti dikatakan Ketua KONI Kabupaten Muna Laode Saera, Menteri Adhyaksa menjanjikan dana pembangunan bagi peningkatan dan penyempurnaan sarana maupun fasilitas yang telah dibangun pemerintah kabupaten.
Kolam arena dayung tersebut akan diperluas dari 1.150 x 100 meter menjadi 2.200 x 120 meter. Fasilitas yang harus dibangun antara lain hanggar perahu, tribun, menara kontrol, asrama atlet, dan ruang latihan fisik para atlet.
Kawasan Olahraga La Ode Pandu masih akan dilengkapi dengan sebuah stadion olahraga untuk cabang sepak bola. Tetapi, proyek ini ditempatkan pada urutan berikutnya setelah program pembangunan sarana dan fasilitas olahraga perairan.
Di kawasan itu disediakan pula kapling untuk pembangunan industri perhotelan, restoran, dan pusat perbelanjaan. Para pemilik modal diharapkan berminat melakukan investasi di kawasan siap bangun tersebut.
Tuan rumah
Upaya Bupati Ridwan mendobrak kebekuan Kota Raha dinilai banyak pihak cukup berhasil. Kawasan Olahraga La Ode Pandu telah berfungsi sebagai ruang publik, obyek rekreasi bagi warga kota yang kini sekitar 110.000 jiwa.
Obyek paling ramai adalah stadion renang. Seperti dijelaskan seorang penjual karcis di pintu masuk stadion itu, pengunjung berkisar 300-500 orang setiap hari. Pada hari libur bisa mencapai 700-1.000 orang. Kebanyakan dari kelompok anak-anak dan remaja yang belajar renang dan loncat indah.
Pengunjung gedung serbaguna juga banyak, umumnya para pencinta olahraga bulu tangkis. Secara fungsional, bangunan gedung tersebut didesain untuk penyelenggaraan kejuaraan cabang bulu tangkis, bola voli, dan bela diri.
Untuk lebih menggairahkan Kota Raha sebagai kota wisata olahraga, Pemerintah Kabupaten Muna bersama KONI setempat tinggal meningkatkan lobi dan melakukan koordinasi intensif dengan pengurus cabang olahraga tingkat provinsi maupun pusat terkait kesiapan kota itu menjadi tuan rumah penyelenggaraan kejuaraan daerah, regional, dan nasional.
”Dalam tahun 2008, Raha akan menjadi tuan rumah kejurnas dayung yunior,” tutur Ridwan. Bahkan, lanjut Bupati Muna tersebut, Raha juga telah menyatakan kesiapan menjadi tuan rumah kejuaraan dayung se-Asia pada tahun 2009.
Terkait dengan event 2009 itu, Pemda Muna berusaha mengoperasikan kembali Bandara Sugimanuru, 26 kilometer dari kota Raha. Bandara tersebut pernah dioperasikan pada tahun 1980-an untuk melayani penerbangan perintis.
Lokasi Raha sebetulnya cukup strategis karena dapat dijangkau transportasi darat dan laut. Dari Kota Kendari atau Bau-Bau, kota itu bisa dicapai dengan mobil melalui lintas penyeberangan Torobulu-Tampo, atau Bau-Bau- Wamengkoli. Pelabuhan Raha juga dilalui kapal penumpang rute Kendari-Bau-Bau dengan frekuensi dua kali sehari.
Sumber: www.kompas.com (17 Maret 2008)