BPK Temukan Kasus Korupsi di Kabupaten Jember Sebesar Rp 133,51 Miliar

Jakarta—Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan praktik korupsi di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Ini menunjukkan bahwa saat ini praktik korupsi sudah melebar hingga ke daerah.

Sebelumnya, temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) hanya terbatas pada keuangan pemerintah pusat. Saat menyampaikan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK Semester I 2006 kepada Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Jakarta, Kamis (7/12), Ketua BPK Anwar Nasution mengatakan, nilai temuan kasus korupsi di Jember mencapai Rp 133,51 miliar.

Pemeriksaan investigatif tersebut dilakukan atas kekurangan kas dan belanja daerah di Kabupaten Jember. Atas dasar kekurangan kas dan belanja daerah tersebut, BPK melakukan investigasi yang berujung pada penemuan dugaan korupsi. "Hal tersebut merupakan hasil pemeriksaan investigatif yang dilakukan selama semester I-2006 dan telah dilaporkan ke Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti," katanya.

Nilai temuan BPK itu setara dengan 17,33 persen nilai dana alokasi umum (DAU) yang dianggarkan untuk Kabupaten Jember pada tahun 2006, yakni sebesar Rp 770,39 miliar. Pada tahun 2007 pemerintah pusat meningkatkan nilai DAU untuk Kabupaten Jember menjadi Rp 861,13 miliar.

Sebelumnya, dalam penyampaian hasil pemeriksaan semester I-2006 kepada DPR pada 28 November 2006, Anwar hanya menyebutkan tujuh kasus dugaan pidana korupsi yang terjadi pada pengelolaan anggaran pemerintah pusat.

Empat kasus di antaranya telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung, sementara tiga lainnya diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Keempat kasus yang diserahkan ke Kejaksaan Agung adalah kasus dana pensiun di Bank Negara Indonesia, pengadaan helikopter Bell 205-AI di Departemen Pertahanan dan TNI AD, kerugian PT Asuransi Kredit Indonesia, dan kasus PT Asuransi Jiwasraya dengan total nilai Rp 85,11 miliar dan 4,23 juta dollar AS.

Adapun tiga kasus lainnya adalah kasus kegiatan produksi, penjualan, dan investasi tahun buku 2004-2005 di PT Kimia Farma Tbk Bandung, Semarang, dan Watudakon, Jawa Timur; kasus ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan PT Garuda Indonesia, dan kasus di PT Surveyor Indonesia.

Anwar mengatakan, temuan dugaan korupsi pada keuangan pemerintah pusat maupun daerah masih sangat terbatas. Kondisi tersebut disebabkan jumlah auditor yang dimiliki BPK masih sangat terbatas. "BPK itu masih banyak kekurangannya. Jangan dikira BPK itu sudah mapan," katanya.

Tindak lanjut DPD

Menanggapi temuan pemeriksaan BPK, Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita menegaskan bahwa pihaknya memerintahkan Panitia Adhoc (PAH) IV yang mengelola anggaran keuangan daerah menindaklanjuti temuan BPK. Sementara itu, seluruh anggota DPD diminta melakukan pengawasan langsung di setiap daerah. "Kemudian terkait kesalahan yang dilakukan secara berulang- ulang, DPD akan meneliti penyebab utamanya karena bisa terjadi akibat belum adanya kemampuan atau kesalahan sistem," ujar Ginandjar.

Temuan BPK atas pengelolaan keuangan daerah yang menonjol antara lain adalah adanya pendapatan daerah, dana bagi hasil, dan dana bantuan dari pemerintah pusat yang dikelola kepala daerah yang tidak dicatat dalam APBD senilai Rp 3,03 triliun. Akibatnya, BPK tidak bisa menelusuri dana yang dipakai di 44 daerah.

Selain itu, terdapat 77 pemerintah daerah yang memboroskan anggaran sekitar Rp 170,68 miliar. Mereka memakai anggaran belanja daerah untuk bantuan, honor, dan tunjangan bagi pimpinan dan anggota DPRD, pejabat negara, dan pejabat daerah.

Menanggapi temuan itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Agung Pambudhi mengatakan, kondisi tersebut menunjukan masih banyak kepala daerah yang tidak cerdas dalam mengelola anggarannya.

Pelanggaran itu, tutur Agung, menunjukkan ketakpatuhan terhadap peraturan anggaran, baik Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang anggaran berbasis kinerja atau UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. (OIN)

Sumber: Kompas, Jumat, 08 Desember 2006
-

Arsip Blog

Recent Posts