Adaptasi Lingkungan Masyarakat Melayu di Nusantara pada Abad Ke-7-9 Masehi

Oleh : Bambang Budi Utomo

1. Puak Melayu
Melayu dalam perwujudannya mempunyai tiga konsep yang masing-masing mengacu pada bentuk yang berbeda, yakni ras sebagai suatu ciri-ciri fisik secara biologi yang membedakannya dengan ras lain dengan ciri-ciri fisik dari kelompok lain; suku-bangsa sebagai suatu jatidiri yang lebih mengacu pada ciri-ciri fisik, gaya bicara yang pada akhirnya sebagai perwujudan dalam tingkat sosial dengan dasar askriptif dan kemudian kebudayaan yang mengacu pada model-model dan cara memahami serta menginterpretasi lingkungan yang kemu dian dipakai untuk mendorong terwujudnya kelakuan dan benda-benda budaya.

Ketiga konsep ini menjadi satu dalam memahami apa yang disebut seba gai orang Melayu, dan tentunya penjabaran masing-masing konsep serta keter kaitannya satu dengan lainnya akan sangat berbeda-beda keluasannya. Seper ti bila bicara Melayu secara ras, maka yang terjadi akan melewati areal kesuku-bangsaan Melayu itu sendiri karena melibatkan suku-suku bangsa lainnya seperti Minangkabau, Batak, Jawa, Sunda sebagai paparan daerah ras. Sedang kan bila mengacu atau berbicara Melayu secara suku-bangsa maka yang ter deteksi adalah adanya pengelompokan-pengelompokan jatidiri Melayu ini yang didasari pada informasi yang didapat dari interaksi kelompok-kelompok tersebut dengan suku bangsa lainnya, seperti adanya suku-bangsa Melayu di Jambi, Suma tera Barat, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan. Kese mua informasi tersebut didapat dari serentetan hubungan dengan suku-bangsa lain nya di daerah-daerah setempat. Apabila berbicara Melayu secara kebuda yaan maka akan tampak perbedaan-perbedaan yang besar antara satu kelompok Melayu dengan kelompok Melayu lainnya, karena masing-masing kelompok berada dan hidup dalam lingkungan alam, sosial dan binaan yang berbeda-beda.

Kelompok Melayu yang berada di daerah Jambi, lebih banyak bersen tuhan dengan kelompok Kubu, sehingga mempunyai model-model yang berbeda dengan kelompok-kelompok Melayu yang bersentuhan dengan kelompok Sakai, atau kelompok Minangkabau, dsb. Akan tetapi secara garis besar, pada umumnya kelompok-kelompok Melayu ini dimana pun mereka tinggal akan selalu diiden tikkan dengan Islam. Seperti Melayu sama dengan Islam di daerah Sakai,[1] atau Islam sama dengan Melayu di daerah Kubu, Islam sama dengan Melayu di Kalimantan Timur[2] dst.

Bila ditelusuri persebaran orang Melayu secara suku-bangsa maka akan dapat dilihat dari model-model mitologi yang menyertainya yang dapat dijadikan acuan kesuku-bangsaan tentang penguasaan wilayah dimana kelompok tersebut menetap dan tinggal. Dari mitologi yang ada maka bisa tergambarkan kapan dan sampai dimana batas-batas kesuku-bangsaan Melayu tersebut ada dan kelompok mana yang menjadi ‘tetangga‘nya. Mitos dan kosmos merupakan fokus dalam suatu kegiatan ritus yang dilakukan oleh anggota masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia sebagai mahluk sosial, bagaimana cara manusia memahami diri mereka, keberadaannya sebagai anggota masyarakat dan di dunia sebagai satu kesatuan. Hasil pemahaman manusia terhadap alam sekitarnya dimanifestasikan kedalam kehidupan sosial dan berusaha menjelaskan dan menciptakan pembenar an keadaannya sebagai masyarakat, baik bentuk asal maupun cara kehidupannya. Hasil pemahaman tersebut biasanya dimanifestasikan dalam bentuk cerita yang diinformasikan dari orang ke orang.

2. Penyebaran Elit Melayu
Salah satu dari tujuh unsur kebudayaan adalah bahasa yang pada per kembangan selanjutnya diwujudkan dalam bentuk tulisan. Melalui bahasa dan tulisan yang dipahatkan pada batu prasasti, dalam makalah ini saya hendak melihat bagaimana kelompok Melayu yang ada di Sumatera, dan kelompok Melayu yang ada di Jawa sebelum munculnya kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam di dua tempat tersebut di Nusantara. Di Sumatera dan di Jawa ditemukan prasasti-prasasti yang berbahasa Melayu Kuna. Prasasti-prasasti tersebut ber asal dari sekitar abad ke-7-9 Masehi dan mengandung informasi tentang unsur-unsur penanggal an, nama raja/pejabat yang mengeluarkan prasasti, perintah raja/pejabat untuk menetapkan sima, sebab-sebab penetapan sima, sistem birokrasi kerajaan, saji-sajian, upacara penetapan sima, dan penulis prasasti. Kejadian-kejadian yang dituangkan di dalam prasasti biasanya kejadian tentang kelompok elite dari sua tu komunitas, bisa seorang raja, seorang kepala daerah, dan pemuka masyarakat.

Penggunaan bahasa Melayu telah kita ketahui sejak abad ke-7 Masehi, yaitu dari prasasti-prasasti Sriwijaya yang rupa-rupanya makin lama makin ber kembang, tersebar di beberapa daerah pesisir Nusantara. Penyebaran baha sa tersebut mungkin disebabkan oleh hubungan lalu-lintas pelayaran dan perda gangan, yaitu sebagai alat komunikasi antar suku bangsa yang semula sudah meng gunakan bahasa daerahnya masing-masing. Dengan perdagangan itulah maka bahasa Melayu yang kemudian disebut bahasa Indonesia di Nusantara dan bahasa Melayu di Semenanjung Tanah Melayu meluas menjadi bahasa yang umum yang dipakai sebagai linguafranca. Kedatangan orang Muslim (Arab) mengem bangkan dan memperbanyak perbendaharaan bahasa Melayu dengan kata-kata yang diambil dari bahasa Arab.

Prasasti berbahasa Melayu pertama yang berangka tahun adalah Pra sasti Kedukan Bukit, ditemukan di Palembang (Sumatera Selatan). Prasasti ini ditulis dalam aksara Pallawa, bertarikh 16 Jun 682 Masehi, dan dikeluarkan oleh Datu Sriwijaya. Dari masa dan kerajaan yang sama, kemudian menyusul prasasti-prasasti Telaga Batu, Talang Tuo (23 Mac 682 Masehi), dan Boom Baru (Keti ganya ditemukan di Palembang). Dari luar Palembang ada Prasasti Kota Kapur (Bangka), Prasasti Karangberahi (Jambi), Prasasti Palas dan Bungkuk (Lampung). Kecuali Prasasti Kedukan Bukit dan Prasasti Talang Tuo, seluruhnya berkenaan dengan persum­pahan.

Prasasti berbahasa Melayu lain yang ditemukan di luar Pulau Sumatera, sebahagian besar ditemukan di wilayah Provinsi Jawa Tengah, di daerah pantai utara dan di daerah pedalaman. Kalau prasasti berbahasa Melayu dari Sumatera ditemukan dalam lingkungan kawasan pesisir, sedangkan prasasti berbahasa Melayu dari Jawa ditemukan dalam lingkungan pegunungan. Jelas latar belakang budayanya sangat berbeda. Kawasan pesisir berlatar budaya maritim, sedangkan pegunungan berlatar budaya agraris.

2.1 Kota/Kerajaan Bernuansa Melayu
Dalam membangun sebuah "kota Melayu", ada tahapan-tahapan yang harus di cermati. Tahap ini hampir selalu digambarkan sebagai hasil sekelompok orang, kadang kala dalam jumlah banyak, yang berpindah-pindah untuk mencari tempat yang sesuai untuk membina sebuah negeri.[3] Berbagai alasan meng akibatkan per pindahan ini, seperti misalnya kekalahan atau mencari tempat baru untuk se orang putera raja.[4] Mereka umumnya dipimpin seorang raja atau keturunan nya, diikuti menteri, punggawa, hulubalang, rakyat dan bala tentera, dan mereka singgah di beberapa tempat di mana orang main dan kaum pria berburu. Gam baran seperti ini dapat ditemukan pada Prasasti Kedukan Bukit.

Sebagai sebuah kerajaan yang sudah cukup kuat, Sriwijaya mempunyai suatu bentuk administrasi pemerintahan yang terdiri dari wilayah pusat atau wilayah inti yang dikelilingi oleh sejumlah lingkaran yang juga mempunyai pusat dengan kekuasaannya lebih kecil. Kekuasaan mutlak berada di inti Kadatuan dengan semi urban hinterland yang dekat, yaitu yang disebut wanua. Samaryyada merupakan bentuk area ini yang meluas dan wilayah antaranya. Di wilayah-wilayah pendukungnya ini, ditempatkan orang dari pusat dan dibantu orang tem patan sebagai penguasanya.[5]

Prasasti Kedukan Bukit berisi tentang perjalanan Dapunta Hiya? dari Minana sam bil membawa dua laksa tentera dan 200 peti perbekalan yang naik perahu, dan 1.312 tentera yang berjalan kaki. Pada tanggal 16 Jun 682 Masehi mereka ti ba di suatu tempat di mukha upa? dan kemudian mendirikan wanua (perkam pungan), dan Sriwijaya menang.[6] Dari prasasti ini dapat diduga bahawa ada sekelompok orang elit Melayu di bawah "simbol" Sriwijaya yang membawa pasu kan dan perbe kalannya untuk mencari suatu tempat permukiman. Setelah per kampungan dibina, kemudian pada tanggal 23 Mac 684 Masehi membina se buah taman yang bernama Sri Ksetra.[7] Dengan dibinanya taman ini, mengindi ka sikan bahawa kelompok elit Melayu itu sudah mendapat tempat yang baik un tuk ber mukim. Permukiman elit Melayu ini di kemudian hari tumbuh dan berkem bang menjadi sebuah kota yang bernama Palembang.

Kemapanan kelompok elit Melayu di Sriwijaya ini lebih dinyatakan lagi dengan dikeluarkannya maklumat kutukan yang ditemukan di Telaga Batu. Pra sas ti ini berbeda dengan prasasti persumpahan lain yang pernah ditemukan di Sumatera. Di dalamnya tercantum nama-nama pejabat mulai dari Putera Mah kota sampai ke tukang cuci istana yang disumpah agar tidak melakukan pencero bohan, sedangkan pada prasasti persumpahan lain tidak ada. Ini bererti bahawa mereka yang disumpah berkedudukan/tinggal di pusat pemerintahan. Prasasti persum pahan lain yang tidak selengkap Prasasti Telaga Batu, ditujukan kepada penduduk tempatan. Dari nama-nama jabatan itu, selain bahasa yang digunakan, ada petunjuk ke-melayu-an, misalnya ada nahkoda kapal dan pedagang. Jabatan lain yang ada kaitannya dengan pertanian tidak ada.

Seperti juga kota-kota Melayu lain, kota Sriwijaya dibina di tepi seba tang sungai besar yang tidak terlalu jauh dari laut, tempat bermuaranya Sungai Kramasan, Ogan, dan Komering. Penataannya di tepi utara sungai Musi cukup baik dan disesuaikan dengan lingkungan alamnya. Mereka menempatkan tempat-tempat ibadah di daerah yang tinggi dan agak jauh dari sungai, sedangkan binaan rumah tinggal ditempatkan di tepian sungai berupa rumah kolong atau rumah rakit.

Perjalanan sejarah kota Sriwijaya menjadi bentuknya sebagai Palembang yang sebenarnya kota Melayu cukup panjang, selama lebih dari 10 abad. Pada awal berdirinya Kerajaan Palembang-Islam, Ki Gede ing Suro membangun kera ton sebagai pusat pemerintahannya di daerah sekitar Kelurahan 2-Ilir di tempat yang sekarang merupakan kompleks Kilang Pupuk Sriwijaya. Secara alamiah lo kasi keraton cukup strategik, dan secara teknikal diperkuat oleh dinding tebal dari kayu unglen dan cerucup yang membentang antara Plaju dengan Pulau Kembaro, sebuah pulau kecil yang letaknya di tengah sungai Musi.

Keraton Palem  bang yang dibangunnya itu dise but Keraton Kuto Gawang yang ben tuk nya empat persegi panjang dibentengi dengan kayu besi dan kayu unglen yang tebalnya 30 x 30 cm/batang nya. Kota berbenteng yang di kemudian hari dikenal dengan nama Kuto Gawang ini mempunyai saiz 290 Rijn lands che roede (1093 meter) baik pan jang maupun lebarnya. Tinggi dinding yang mengi tarinya 24 kaki (7,25 meter). Orang-orang China dan Portugis berdiam berse berangan yang terletak di tepi selatan sungai Musi (Mac Leod 1904: 803-804).

Kota berbenteng ini sebagaimana dilukiskan pa da tahun 1659 (Sketsa Joan van der Laen), mengha dap ke arah Sungai Musi (ke selatan) dengan pintu masuk nya melalui Sungai Rengas. Di sebelah timurnya berba tas­an dengan Sungai Taligawe, dan di sebelah baratnya ber batasan dengan Sungai Buah.[8] Da lam gambar ske tsa tahun 1659 tampak Sungai Taligawe, Sungai Rengas, dan Sungai Buah tampak terus ke arah utara dan satu sama lain tidak bersambung. Sebagai batas kota sisi utara adalah pagar dari kayu besi dan kayu unglen. Di tengah benteng keraton tampak ber diri megah binaan keraton yang letaknya di sebe lah barat Sungai Rengas. Benteng keraton mempunyai tiga buah baluarti (bastion) yang dibuat dari konstruksi batu. Orang-orang asing ditem pat kan/ber mu kim di sebe rang sungai sisi selatan Musi, di sebelah barat muara sungai Komering.

Kuto Gawang adalah sebuah kota yang di dalam kotanya terdapat juga binaan keraton yang dikelilingi dengan pagar keliling yang kokoh terbuat dari kayu besi dan kayu unglen. Kuto ini digambarkan ti dak ber diri sendiri, tetapi mempunyai pertahanan yang berlapis dengan kubu-kubu yang ada di Pulau Kem baro, Plaju, Bagus Kuning (Sungai Gerong) di samping cerucuk yang memagari memotong Sungai Musi antara Pulau Kembaro dan Plaju. Jaringan sungai di man faatkan semak simal mung  kin untuk sistem pertahanan kota. Kalau perlu dibuat juga parit keliling untuk pertahan an kota atau kera ton. Anehnya, Kuto Gawang ini di sisi utara pada tanah yang permukaannya tinggi tidak diberi berpagar. Seper ti nya di bi arkan terbuka tanpa perlindungan.

Kekuatan Kuto Gawang ditopang oleh suatu sis tem perbentengan dan kubu yang ada di bahagian hilir Musi, yaitu benteng Bamagangan, di muara sungai Kome  ring. Benteng kedua adalah benteng Martapura, di daerah sekitar 16 Ulu, dan terakhir adalah benteng Pulau Kem baro yang letaknya dekat dengan Kuto Gawang. Ketiga benteng tersebut letaknya di depan Kuto Gawang. Penempatan nya didasarkan atas pemikiran bahawa musuh yang akan datang menyerang melalui Sungai Musi dan Sungai Komering. Anehnya, seperti yang dilu kiskan dalam gambar sketsa 1659, sisi utara Kuto Gawang yang berpagar kayu unglen atau kayu besi tidak mem­punyai pertahanan parit. Tiga batang sungai yang mengalir dari arah utara sama sekali tidak berhubungan.

Benteng Bamagangan, Benteng Martapura, dan Ben teng Pulau Kembaro masing-masing mempunyai me ri  ­am yang jumlahnya tidak sama. Senjata meriam di Ben teng Bamagangan sebanyak 24 pucuk, Benteng Martapura sebanyak 9 pucuk, dan Benteng Pulau Kem baro sebanyak 14 pucuk. Kuto Gawang sendiri diperkuat dengan persen jataan 18 pucuk meriam. Menurut laporan Belanda setelah penye rangan 1659, di Kuto Gawang dite mukan 150 buah alat penembak dari tembaga, dan 295 pucuk senapan.

Sejak awal berdirinya, Kerajaan Palembang-Islam wilayahnya dibahagi men jadi beberapa bahagian, yaitu ibukota (keraton), kapungutan, sindang, dan sikep. Ibu kota atau keraton ada  lah pusat kekuasaan dan poli tik, pusat kosmos dalam ben tuk mikrokosmos (pusat ma gis), dan sekaligus pusat legiti masi. Wila yah ini sepe nuh nya berada di bawah kekuasaan raja.

Ibukota Kerajaan Palembang merupakan sebuah kota yang dikelilingi pagar dari kayu. Pada pagar kayu yang menghadap ke arah sungai Musi diberi per senjataan meriam. Demikian juga pada pagar yang menghadap ke arah barat dan timur. Di bahagian dalam kota berbenteng terdapat komleks binaan peme rintahan, tempat tinggal raja dan pejabat-pejabat tinggi kerajaan. Tidak dise but kan di mana rakyat tinggal, apakah di dalam kompleks yang dibatasi pagar kayu, atau di luar pagar. Juga tidak disebut kan dibu at dari bahan apa binaan keraton, apakah dari batu, kayu, atau binaan semi permanen yang dibuat dari bahan kayu dan batu (bata).

Pada gambar sketsa yang dibuat pada tahun 1660, di tengah kompleks perbentengan tampak sebuah binaan yang berdiri dengan megahnya. Menurut keterangan pada gambar sketsa tersebut, binaan yang berdiri megah itu ada lah binaan keraton, tempat tinggal raja. Tampaknya binaan ini terdiri dari dua lantai dengan atap yang dibuat dari genting. Bentuk atapnya mirip dengan bentuk atap rumah-rumah China. Bahagian hujung atapnya menaik. Logikanya, sebuah binaan yang berdiri lebih tinggi dari binaan-binaan lain di sekelilingnya, tentunya binaan tersebut dibuat dari batu, atau semi permanen dari bahan kayu dan batu. Gali-cari arkeologi yang dilakukan pada tahun 1974 dan 2002 berhasil mene mukan indikator bahawa di lahan sekitar kompleks percan dian Gedingsuro hingga kom pleks Kilang Pupuk Sriwijaya III terdapat bekas-bekas kota yang ter­bakar. Indikator tersebut berupa pecah an-pecahan keramik China dari sekitar abad ke-13-17 Masehi, dan bahagian fondasi struktur binaan bata.

Di luar ibukota Palembang terdapat wilayah-wilayah yang merupakan bahagian dari Kerajaan Palembang-Islam. Wilayah-wilayah ini dapat dikatakan meru pakan satu kesatuan dalam satu sistem pertahanan seluruh kerajaan. Kera na itulah, sebagai penguasa di wilayah-wilayah itu ditempatkan keluarga raja atau sanak familinya yang dekat.

Kapungutan adalah wilayah yang langsung di perin tah oleh raja. Menurut de Brauw[9] "... dengan orang Kepungut, yang berarti dipungut (dilin dungi), ada lah orang-orang dari daerah pedalaman Palem     bang yang langsung berada di bawah kekuasaan raja. Mereka dibebani segala macam pajak. Berbeda dengan penduduk perbatasan yang tidak dibebani dengan berbagai macam pajak, dan hanya diang gap sebagai sekutu yang hanya dikenakan cukai".

Di daerah perbatasan wilayah Kepungutan ter letak wilayah Sindang yang merupakan wilayah paling hujung atau wilayah pinggir. Penduduk wilayah ini ber tugas menjaga batas-batas kerajaan. Penduduk daerah ini dibe baskan dari kewa jiban membayar pajak kepada kerajaan. Mereka ini ada lah orang-orang merdeka dan dianggap se ba gai teman raja. Hal yang dianggap sebagai suatu kewa jib an ada lah melakukan seba kepada raja yang dilakukan setidaknya tiga tahun sekali ke Palem bang. "Kewajiban" ini merupakan suatu kebia saan adat di kalangan pen duduk tempatan untuk saling berkunjung dengan mem bawa buah tangan.[10]

Di antara wilayah Kepungutan dan wilayah Sindang terdapat wilayah Sikep, yang merupakan sebuah atau sekum pulan dusun yang dilepaskan dari marga. Wila yah Sikep berada di bawah pengawasan dan di perintah langsung Jenang dan Raban (pejabat/pamong dari Raja atau Sultan). Dusun-dusun ini terletak di daerah per­te muan-pertemuan sungai yang strategik. Mereka tidak dibe bani pajak, tetapi mempu nyai tugas-tugas sebagai tukang ka yuh perahu raja/sultan, tukang kayu, pembawa air, tentera, dan yang sesuai dengan keahli an nya. Tugas yang mereka lakukan disebut gawe raja.

Penduduk sikep terdiri dari campuran berbagai etnik dalam masyarakat, misalnya etnik Palembang, Jawa, dan Melayu. Mereka itu dibebaskan dari ber bagai macam punggutan pajak, tetapi sebagai gantinya adalah wajib bekerja un tuk raja (gawe rajo) dengan suatu tujuan ter tentu dalam banyak hal kerja berkayuh dan atau sebagai pemandu jalan (pekayuh dan perpat). Dapat dikemu kakan sebagai contoh, misalnya dusun Sungsang wajib memeli hara jalur pelayar an antara Palembang dan Sungsang agar bebas dari segala rintangan; dusun Belida wajib menga dakan selain laskar pada waktu perang, juga pemikul-pemikul air untuk keperluan keraton; dan dusun Betung wajib memelihara sarang-sarang burung air di muara sungai Abab. Dusun Muara Lakitan (sikep dalam Musi) dan juga dusun Medang (sikep dalam Lakitan) wajib mengadakan dan memelihara perahu-perahu pancalang. Seterusnya ada dua buah daerah sikep yang masing-masing menguasai muara-muara sungai penting, seperti Dusun Teluk Kijing dan Muara Danau menguasai muara-muara Abab, Penukal, dan Batanghari Leko; Dusun Te rusan me nguasai muara sungai Rawas; Dusun Muara Lakitan me nguasai muara sungai Lakitan; Dusun Muara Enim menguasai muara sungai Enim; Dusun Padamaran mengua sai daerah danau-danau dan pintu masuk Lem puing di sebelah hilir sungai Komering. Daerah Belida yang dulunya merupakan daerah sikep, meliputi marga-marga Meranjat, Burai, Tambangan, Tanjung Batu, dan Danau pada masa Kerajaan Palembang mempunyai pengaruh besar dan tergolong orang-orang yang dipercaya.

Kelompok sikep tersebut mengawasi dan me ngua  sai Ogan dan Komering sebagai pusat penanaman padi dan penangkapan ikan. Kelompok sikep lainnya ialah dusun-dusun yang terletak di batas yang dapat dicapai perahu-perahu niaga (toendan, perahu niaga yang beratap), antara lain sikep dalam Musi Ulu, sikep dalam Lakitan, Muara Beliti, Baturaja, dan Muara Rupit. Dengan demikian sistem sikep tersebut merupakan salah satu unsur pertahanan wilayah yang alamiah.

2.2 Kota/Negara Agraris

Apabila kita kaji Melayu dari kacamata kebudayaan, maka yang akan kita lihat bagaimana orang-orang Melayu itu memahami dan menginterpretasikan ling kungan tempat mereka tinggal yang baru yang diwujudkan dalam perilaku dan benda-benda budaya yang diciptakannya. Perilaku dan benda-benda budaya dari sukubangsa Melayu yang ada di Sumatera berbeda dengan yang ada di Jawa. Latar belakang budaya dari kedua tempat itu sangat jauh berbeda. Demikian juga dalam hal sistem mata pencaharian hidupnya. Di Sumatera berlatar budaya maritim/pedagang, sedangkan di Jawa berlatar budaya agraris.

Petunjuk kuat keberadaan orang-orang Mela yu di tanah Jawa, pertama kali ditemukan pada sebuah prasasti batu yang ditemukan di kawasan pantai utara Jawa, yaitu di Desa Sojomerto (Kabu paten Pekalongan, Jawa Tengah). Prasasti dari sekitar abad ke-7-8 Masehi ini menyebutkan genealogi seseorang yang ber nama Dapunta Selendra, nama ayah dan ibunya, yaitu Santanu dan Bhadrawati, dan istrinya yang ber nama Sampula.[11] Nama Dapunta Selendra jelas meru pa kan ejaan Melayu dari kata Sansekerta Sailendra yang di dalam sejarah kuna merupakan nama sebuah keluarga (wangsa).[12] Kenyataan bahawa ia menggu nakan bahasa Melayu Kuna di dalam prasastinya menunjukkan baha wa ia orang Melayu asli, mungkin pendatang dari Sumatera,[13] karena di Sumatera ditemukan banyak prasasti yang berbahasa Melayu Kuna, misalnya prasasti-prasasti Sriwi jaya seluruhnya berbahasa Melayu Kuna beraksara Pallawa.

Kelompok masyarakat Melayu rupanya tidak hanya terdapat di wilayah pesisir saja. Di daerah pe da laman Jawa Tengah kelompok masyarakat ini dite mu  kan di daerah Temanggung. Dari Desa Gondosuli di temukan sebuah prasasti berbahasa Melayu Kuna yang bertarikh 17 Mei 827 Masehi. Prasasti ini mem per ingati persembahan dari Da? Puhawa? Glis, seorang nahkoda kapal, bersama isteri dan anaknya (?), berupa sebuah alat penanak nasi dan sebuah genta upaca ra, [14] sebagai tanda bakti dan tanda bahawa Da? Puhawa? Glis tidak lupa pada sima-nya. Persembahan itu disak sikan oleh beberapa orang pendeta (di suatu candi yang diberi persembahan oleh Da? Puhawa? Glis).[15]

Prasasti berbahasa Melayu lain ditemukan juga di Desa Gondosuli dekat dengan runtuhan binaan candi. Prasasti ini dikeluarkan oleh Da? Karayan Parta pan Ratnamaheswara Sida Busu Plar atau Rakai Patapan pu Palar. Tokoh elit ini dalam prasastinya menggunakan bahasa Melayu menunjukkan bahawa ia di duga berasal dari Sumatera dan kemudian menjadi penguasa di Kerajaan Mataram (Mda?). Mungkinkah Da? Puhawa? Glis seorang nahkoda kapal yang juga berasal dari Sumatera, mau menunjukkan kebaktiannya pada sebuah binaan suci yang dibangun oleh orang sesukunya dan menjadi penguasa?

Kawasan tempat di mana prasasti-prasasti tersebut ditemukan merupa kan kawasan lembah Sungai Progo di kaki dan lereng gunung api Sumbing, Sin doro dan Perahu. Kawasan yang subur ini merupakan kawasan pertanian sawah dengan irigasi. Penduduk di lembah yang subur ini telah lama bermata-pecahari an sebagai petani. Beberapa buah prasasti yang berasal dari sekitar abad ke-8-9 Masehi menyebutkan areal persawahan dan juga ladang sebagai tanah sima, serta pejabat-pejabat desa yang tugasnya berkaitan dengan aktiviti pertanian.

Sebagaimana halnya dengan Kadatuan Sriwijaya di Sumatera, Kerajaan Mataram (Mda?) wilayahnya juga ditata mulai dari kesa tuan wilayah yang ter kecil sampai kepada wilayah administratif terbesar. Meskipun dalam penata an nya ada ting katan wilayah administratif, namun tujuannya berbeda. Di Sriwijaya lebih cen derung untuk sistem pertahanan, sedangkan di Mataram (Mda?) untuk penge lolaan sawah. Adapun penataan wilayah di Kerajaan Mataram (Mda?) adalah sebagai berikut: 1. wanua (desa), 2. watak (kumpulan beberapa desa), serta 3. bhumi (wilayah).[16] Para pemimpin ini tinggal di wilayah kekuasa an nya masing-masing, sedangkan raja sebagai penguasa tertinggi tinggal di ibukota kerajaan.

Dari sekitar dua ratus prasasti yang ditemukan dapat memberi gam baran struktur pemerintahan Kerajaan Mataram (Mda?). Kerajaan ini terdiri dari daerah pusat kerajaan, yaitu ibukota kerajaan dengan istana raja atau sri maharaja dan tempat tinggal para putra raja dan kaum kerabat yang dekat, para pejabat tinggi kerajaan, para hamba sahaya; daerah-daerah watak, yaitu daerah-daerah yang dikuasai para rakai dan para pamgat; dan wanua, yaitu desa-desa yang diperintah oleh para pejabat desa (rama). Di antara para rakai dan pamgat itu ada yang berkedudukan sebagai pejabat tinggi kerajaan, dan ada yang ber kedudukan sebagai kepala daerah secara turun temurun.[17]

Berbeda keadaannya dengan permukiman di Palembang yang sebahagian besar masyarakatnya hidup dari perdagangan dan pelayaran. Mereka menempat kan permukimannya di tepian sungai besar atau di daerah pertemuan sungai. Di Jawa yang sebahagian besar masyarakatnya hidup dari tanah-tanah pertanian, mereka menempati lembah-lembah sungai yang subur di daerah kaki dan lereng gunungapi. Hingga saat ini gambaran mengenai permukiman rakyat dapat diketa hui dari prasasti-prasasti, sedangkan gambaran mengenai kota pusat peme rin tah an diperoleh dari berita-berita China[18]

Di ibukota kerajaan yang dikeli lingi oleh dinding, baik dari bata maupun dari kayu/bambu, terdapat istana raja yang dikeli lingi oleh dinding. Di dalam istana itulah berdiam raja dan keluar ga nya, yaitu permaisuri, selir-selir dan anak-anaknya yang belum dewasa, serta para hamba sahaya istana.

Di luar istana, masih di dalam lingkungan dinding kota, terdapat kediam an putera mahkota (rake hino), dan tiga orang adiknya (rakai halu, rakai sirikan, dan rakai wka), dan kediaman para pejabat tinggi kerajaan beserta keluarga dan hambanya. Pejabat tinggi kerajaan yang dimaksud adalah pejabat-pejabat ke agamaan dan kehakiman yang bergelar sa? pamgat. Mereka ini mem pu nyai daerah lungguh (daerah kekuasaan) di luar tembok kota, tetapi masih berada di dalam wilayah kerajaan.[19]

Di dalam lingkungan tembok kota itu juga tinggal para peja bat sipil yang lebih rendah, yaitu yang di dalam prasasti Mataram (Mda?) disebut para manilala drawya haji yang jumlahnya sekitar 28-50 orang, bersama-sama dengan keluar ga mereka. Mereka ini adalah para abdi dalem keraton, termasuk para pengawal istana (magalah, mamanah, magandi),[20] para pandai emas, pandai gangsa, pandai tembaga, pandai besi, Citralekha (juru tulis), dan lain-lain. Di sebuah kerajaan agraris, pejabat kerajaan yang tugasnya cukup penting adalah wila? thani dan wila? wanua yang tugasnya adalah menghitung luas tanah dan jumlah desa dalam kaitannya dengan penghitungan pajak.

Putra mahkota, para pangeran (para adik Putra Mahkota) dan para peja bat tinggi kerajaan, kecuali pankur, tawan, dan tirip, mempunyai daerah lungguh di luar ibukota kerajaan yang disebut watak. Mungkin mereka tidak tinggal di daerah watak mereka, tetapi mereka mempunyai bawahan yang merupakan peja bat elit birokrasi daerah. Selain itu, ada penguasa-penguasa daerah yang berge lar rakai, pamgat, haji atau samya haji yang bukan merupakan pejabat tinggi kera jaan. Mereka ini mempunyai istana, karena kedudukan mereka sebagai penguasa dae rah bersifat turun temurun. Sayang tidak disebutkan bagaimana bentuk permu kimannya, apakah merupakan miniatur pusat kerajaan atau tidak, tidak ada satupun sumber tertulis yang menyebutkannya.

Daerah watak yang dikepalai oleh rakai, pamgat, haji atau samya haji, membawahi daerah yang tingkatannya lebih kecil lagi, yaitu wanua. Wanua atau desa (kampung) diatur oleh para pejabat desa. Penduduk desa yang disebut anak wanua atau anak thani pada umumnya hidup dari tanah-tanah pertanian, ber niaga, mengusahkan industri rumah tangga yang mengusahakan makanan seperti gula kelapa/aren dan minyak; barang-barang keperluan sehari-hari seperti arang, kapur, tembikar, dan barang-barang anyaman; perangkap haiwan, seperti jaring dan jerat.

Dalam kaitannya dengan lingkungan agraris, di tingkat desa terdapat pejabat-pejabat yang berkaitan dengan industri pertanian, misalnya hulair (bertugas mengurusi masalah pengairan di desa), makala?ka? dan tu?gu duru? (bertugas mengurusi lumbung padi),[21] wariga (bertugas menentukan hari baik untuk memulai suatu pekerjaan pertanian), dan hulu wras (bertugas mengurusi hasil panen). Di tingkat wanua dan juga di tingkat watak, ada satu jabatan yang peranannya sangat penting, yaitu yang disebut wila? thani atau wila? wanua. Pajabat ini tugasnya menghitung luas tanah karena dikaitkan dengan pajak yang harus dibayarkan oleh penduduk. Karena itulah organisasi sosial ma sya rakat agraris lebih kompleks dan rumit daripada organisasi sosial masyarakat maritim. Keselu ruhan pekerjaan di tingkat desa merupakan sebuah sistem yang saling berkaitan.

Daerah pesisir (pantai utara Jawa) seharusnya termasuk juga daerah yang termasuk wilayah Kerajaan Mataram (Mda?), namun tidak ada satupun prasasti dari sekitar abad ke-8-9 Masehi yang menyebutkan kawasan ini. Adanya orang asing (warga kilala?) yang dikenai pajak merupakan indikator adanya tem pat berlabuh orang-orang asing dari tempat yang jauh. Bukti lain adanya daerah pesisir yang masih masuk dalam wilayah Kerajaan Mataram (Mda?) adalah adanya perda gangan dengan kerajaan lain di luar Jawa, misalnya dengan China dan India. Para pedagang ini tentunya akan berlabuh di daerah pesisir utara Jawa.

3. Budaya Melayu di Luar Semenanjung

Dari apa yang telah diuraikan, dapat dilihat suatu perbedaan yang nyata antara kelompok Melayu yang ada di Sumatera dan kelompok Melayu yang ada di Jawa. Perbedaan ini disebabkan karena lingkungan alam dan budaya dari kedua tempat tersebut berbeda. Kelompok Melayu yang ada di Sumatera mengambil tempat untuk bermukim dan berusaha di daerah pesisir sebelah timur yang lingkungan alamnya merupakan lingkungan sungai dan paya. Mereka tinggal di tepian-tepian sungai besar dengan membina permukimannya di atas air. Kehidup­an mereka sebahagian besar dari pelayaran dan perdagangan. Karena itulah mereka harus hidup di tepian sungai karena sungai merupakan jalur lalu-lintas penting sejak dahulu hingga sekarang.

Kehidupan bertani, terutama membuka areal persawahan dengan irigasi tidak dilakukan oleh kelompok Melayu yang ada di Sumatera. Tanah-tanah di seki tar tempat tinggal mereka tidak memungkinkan untuk dibuat sebagai areal persawahan. Sebuah petunjuk bahawa ada kelompok Melayu yang hidup dari tanah-tanah pertanian ditemukan di wilayah Tanah Datar, Sumatera Barat. Di daerah itu pada zaman Adityawarmman dibuat areal persawahan dengan irigasi. Prasasti Bandar Bapahat (abad ke-14 Masehi) yang ditemukan di tebing sebuah bukit menginforma sikan kepada kita tentang pembuatan sebuah saluran air un tuk mengairi tanah-tanah pertanian.[22] Ini merupakan satu bukti, bahawa di mana kelompok Melayu bermukim, maka mereka akan menyesuaikan diri dengan ling kungan alam tempat mereka tinggal.

Kedatangan kelompok elit di Pulau Jawa pada sekitar abad ke-7 Masehi mengindikasikan adanya suatu perpindahan untuk mencari daerah baru untuk hidup. Pada awal kedatangan kelompok elit Melayu ini, menempati daerah pegu nungan di pesisir utara Jawa Tengah. Pada masa yang kemudian, di daerah peda­laman (sebelah selatan dari tempat kedatangannya yang awal) ditemukan petun juk keberadaan kelompok Melayu. Prasasti Da? Puhawa? Glis (17 Mei 827 Masehi) dan Prasasti Sa? Hya? Winta? memberi petunjuk adanya kelompok Melayu di daerah yang mempunyai latar budaya agraris. Namun, meskipun mere ka tinggal di daerah agraris, identitas ke-melayu-an mereka tidak terhapus. Hal ini tampak pada nama Da? Pu Hawa? yang merupakan jabatan yang berkaitan dengan kebaharian. Da? Karayan Parta pan Ratnamaheswara Sida Busu Plar atau Rakai Patapan pu Palar yang namanya tercantum dalam prasasti dari Desa Gondosuli itu diduga orang Melayu pendatang dari Sumatera yang berkuasa di Kerajaan Mda?.

Kerajaan Mataram (Mda?) yang lokasinya diduga di daerah lembah sungai Progo yang subur itu, merupakan sebuah kerajaan yang hidupnya dari tanah-tanah pertanian. Sebagai pendatang tentu saja kelompok elit Melayu itu harus menye suaikan diri dengan lingkungan alam tempat mereka tinggal. Ling kungan alamnya memungkinkan untuk hidup sebagai masyarakat agraris dengan areal persawahan irigasi. Sistem pertanian dengan irigasi merupakan suatu sis tem pertanian yang rumit dengan organisasi sosial yang mantap. Hal ini ter cermin dalam sistem biro krasi Kerajaan Mataram (Mda?) yang cukup rumit. Mulai dari tingkat desa (wanua) hingga ke tingkat kerajaan/wilayah (bhumi), terdapat pejabat-pejabat yang tugasnya berkenaan dengan pertanian.

Sistem birokrasi yang berbeda ditemukan di Sumatera dari zaman Kada  tuan Sriwijaya. Dalam Prasasti Telaga Batu tidak ditemukan petunjuk ada nya sistem birokrasi yang serumit sistem birokrasi Kerajaan Mda?. Mulai dari pejabat tinggi hingga pejabat yang kedudukannya paling rendah di Kada tuan, semuanya tinggal di ibukota. Prasasti itu tidak menyebutkan daerah lain. Mung kin daerah yang dikuasainya (dikoordinir) dikepalai oleh seorang datu. Sayang sekali, data yang mengacu pada masalah birokrasi kerajaan dari zaman ini tidak banyak ditemukan. Satu-satunya data hanya dari Prasasti Telaga Batu.

Dalam hal jabatan tinggi setelah raja, ada kesamaan antara yang ada di Sriwijaya dan Mataram (Mda?). Dari berbagai prasasti yang ditemukan di Jawa, bahawa yang pertama-tama berhak untuk menggantikan tahta kerajaan adalah anak raja dari parameswari. Putra mahkota ini bergelar rakai hino atau raka rayan mapatih i hino. Namun kadang-kadang jabatan ini tidak harus anak dari parameswari. Ia dapat juga adik, kemenakan, paman, atau kerabat dekat yang lain, asal masih seketurunan secara langsung.

Masih ada dua orang lagi yang berhak atas tahta kerajaan, dan memper oleh tempat di dalam hirarki pemerintahan, yaitu rakarayan i halu dan rakarayan i sirikan. Ini sesuai dengan Berita China dari zaman dinasti Song, yang menga takan bahawa tiga orang putera raja bertindak selaku raja muda. Dan ini sesuai pula dengan keterangan yang terdapat di dalam Prasasti Telaga Batu dari Sri wi jaya, yang menyebut yuwaraja, pratiyuwaraja, dan rajakumara.

Beberapa perbedaan yang telah dikemukakan tadi, bukan bererti tidak mempunyai satu kesamaan. Kesamaan itu berasal dari satu akar budaya yang sama, misalnya dalam hal pembahagian wilayah administratif. Semakin tinggi ting  katan administratif suatu wilayah, semakin dekat hubungan keluarga pengua sanya dengan raja (penguasa) yang memerintah. Semakin rendah tingkatan admi nis tratifnya, semakin jauh hubungan keluarga penguasanya dengan raja (pengua sa) yang memerintah.

4. Penutup
Masyarakat Melayu adalah masyarakat "pengembara" di mana kawasan pengem baraannya cukup luas. Di nusantara mereka diketahui berada di Suma tera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Nusatenggara, dan pulau-pulau lain di kawasan timur Indonesia. Mereka itu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan alam tempat mereka tinggal. Ada yang menetap di daerah pesisir, di tepian-tepian sungai, dan di pedalaman. Data sejarah yang sampai kepada kita, kelompok masyarakat Melayu ada yang menetap bahkan menjadi penguasa di daerah pedalaman yang penduduk tempatannya hidup dari tanah-tanah pertanian. Sudah barang tentu, kelompok masyarakat Melayu yang hidup di daerah ini hidup sebagaimana halnya dengan kelompok masyarakat agraris. Akibat dari tata-hidup masyarakat agra ris, maka diperlukan suatu organisasi sosial yang mantap dengan jaringan-jaringannya yang rumit.

Bila dalam negara agraris seperti Mataram (Mda?) sistem lungguh merupakan sendi utama untuk kelangsungan hidupnya dimana unsur tenaga manu sia sangat penting di samping unsur areal tanah, maka bagi kerajaan maritim seperti Sriwijaya dan Malayu yang mutlak diperlukan adalah "penguasaan" pen duduk yang mampu memanfaatkan wilayah laut sebagai sumber mata penca harian.[23] Apabila dilihat dari lokasi pusat kekuasaan kedua kerajaan maritim tersebut, maka kedua kerajaan itu berbentuk gabungan maritim dan sungai.

Sebagai kerajaan sungai yang diperlukan adalah hubungan yang baik dengan penduduk di kawasan pedalaman di hulu-hulu sungai. Sifat dari poros ulu-ilir ini sejak dahulu senantiasa mewarnai pamor suatu kerajaan yang mengandal kan hidupnya pada lalu-lintas sungai. Oleh sebab itu, pada masa Kerajaan Palembang-Islam hubungan dengan masyarakat Komering, Rejang, Pasemah dsb. sangat relevan sebagaimana tercermin pada pembahagian wilayah kerajaan (kapungutan, sikep, dan sindang). Sementara itu, di daerah aliran sungai Batang hari di mana Kerajaan Malayu berada, kerjasama dengan masyarakat Kerinci serta nagari-nagari Minangkabau di pedalaman mempengaruhi kebesaran pusat kerajaan.

Akhirnya, dapat disimpulkan bahawa persebaran puak Melayu di bebera pa tempat di Nusantara menimbulkan budaya yang berbeda pada masing-masing suku-bangsa Melayu. Perbedaan ini lebih banyak disebabkan karena lingkungan alam tempat mereka tinggal. Dan perbeda an ini mengakibatkan juga perbedaan dalam sistem mata pencaharian hidup yang tercermin dalam organisasi/sistem birokrasi pemerintahan.

Kepustakaan
Boechari, 1966, "Preliminary Report on the Discovery of an Old Malay Inscription at Sojomerto", dalam MISI 3 (2&3): 241-251.
Boechari, 1986a, "Penelitian baru atas prasasti Kedukan Bukit", dalam Romantika Arkeologi (edisi khusus): 4-18. Jakarta: KAMA-FSUI.
Boechari, 1986b, "New Investigations on the Kedukan Bukit Inscription", dalam Untuk Bapak Guru. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
de Brauw, 1855, "Iets betreffende de verhouding der Pasemahlanden tot de sultans van Palembang", dalam TBG 4 n.s.l.
du Bois, D.A., 1856, "De Lampongers", dalam TNI 2,
Bambang Sumadio (ed.), 1984, Jaman Kuna (Sejarah Nasional Vol. 2), Jakarta: Balai Pustaka.
Cœdès, C dan L. Ch. Damais, 1989, Kedatuan Sriwijaya. (Seri Terjemahan Arkeologi No. 2). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Damais, L. C., 1970, Repertoire Onomastique de l‘Épigraphie Javanaise (Jusqu‘a Pu Sindok Sri Isanawikrama Dharmmotungadewa): Étude d‘Épigraphie Indonésienne. Paris: Publications de EFEO, LXVI.
Geertz, Clifford, 1979, "Religion as a Cultural System" dalam Reader in Comparative Religion: An Anthropological Approach (Lessa, A. William and Evon Z. Vogt, eds.). New York: Harper & Row.
Geertz, Clifford, 1973, The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books Inc.
Groeneveldt, 1960, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sourches. Djakarta: Bhratara
Kunst, Jaap, 1968, Hindu Javaansche musical instruments (Translation Series no. 12), The Hague: Martinus Nijhoff.
Koentjaraningrat, 1984, Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Jambatan.
Krom, N.J., 1912, "Inventaries der Oudheden in de Padangsche Bovenlanden", dalam OV 1912, Bijlage G-H, hlm. 33-52.
Kulke, Herman, 1985, "Kedatuan Sriwijaya: Kraton or Empire of Sriwijaya", makalah dalam Seminar on the Asian City and State. Oxford: Asian Studies Centre
Lapian, A.B., 1992, "Jambi dalam Jaringan Pelayaran dan Perdagangan Masa Awal", dalam Seminar Sejarah Melayu Kuno, hlm. 143-149. Jambi: Pemerintah Daerah Tk I Jambi
Perret, Daniel, 1999, "Kota Raja dalam Kesusasteraan Melayu Lama", dalam Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard. Jakarta: École française d‘Extrême-Orient, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, dan Yayasan Obor Indonesia.
Rudito, Bambang, 2002, Pemecahan Konflik dari Sudut Kebudayaan, Kasus di Kalimantan Timur. Laporan penelitian kerjasama dengan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Suparlan, Parsudi. 1982. "Struktur Sosial, Agama dan Ritual: Geertz, Hertz, Cunningham, Turner dan Levi-Strauss" dalam Ilmu Sosial Dasar. Konsorsium Antar Bidang Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sutjipto, F.A., 1968, "Struktur Burokrasi Mataram (djaman Kerta-Kartasura)", dalam MISI IV no. 1,2 hlm 51-70).
Sutjipto, F.A., 1995, Orang Sakai. Jakarta: Yayasan Obor.
Wellan, J.W.J., 1934, "Criwijaya: 1250 jaren gelegen gesicht", dalam KNAG 2e serie deel LI aflevering. Leiden: E.J. Brill


Bambang Budi Utomo, Drs., adalah Peneliti bidang Arkeologi pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta.

[1] Suparlan, Parsudi, 1995, Orang Sakai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
[2] Rudito, Bambang, 2002, "Pemecahan Konflik dari Sudut Kebudayaan, Kasus di Kali man tan Timur". Laporan penelitian kerjasama dengan Departemen Kebu dayaan dan Pari wisata.
[3] Perret, Daniel, 1999, " Kota Raja dalam Kesusasteraan Melayu Lama", dalam Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard. Jakarta: École française d‘Extrême-Orient, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, dan Yayasan Obor Indonesia, hlm. 246.
[4] Misalnya dalam Hikayat Merong Mahawangsa, sekelompok orang berpindah-pindah selama 200 hari.
[5] Kulke, Herman, 1985, "Kedatuan Sriwijaya: Kraton or Empire of Sriwijaya", makalah dalam Seminar on the Asian City and State. Oxford: Asian Studies Centre.
[6] Boechari, 1986, "Penelitian baru atas prasasti Kedukan Bukit", dalam Romantika Arkeologi (edisi khusus): 4-18. Jakarta: KAMA-FSUI.
[7] CÅ“des, C dan L. Ch. Damais, 1989, Kedatuan Sriwijaya. (Seri Terjemahan Arkeologi No. 2). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
[8] Wellan, J.W.J., 1934, "Criwijaya: 1250 jaren gelegen gesicht", dalam KNAG 2e serie deel LI aflevering. Leiden: E.J. Brill, hlm. 19.
[9] De Brauw, 1855, "Iets betreffende de verhouding der Pasemahlanden tot de sultans van Palembang", dalam TBG 4 n.s.l, hlm. 519.
[10] Du Bois, D.A., 1856, "De Lampongers", dalam TNI 2, hlm. 41
[11] Boechari, 1966, "Preliminary report on the discovery of an Old Malay inscription at Sojomerto" dalam MISI III no. 2&3 hlm. 241-251.
[12] Di Indonesia nama Sailendravamsa dijumpai pertama kali di dalam Prasasti Kalasan dari tahun 778 Masehi (Sailendragurubhis; Sailendrawansatilakasya; Sailendra raja guru bhis) (Damais 1970: 512). Kemudian nama itu ditemukan di dalam Prasasti Kelu rak dari tahun 782 Masehi (Sailendra wansatilakena) (Bosch 1928: 1-56), dalam Pra sasti Abhayagiriwihara dari tahun 792 Masehi (dharm ma tungadewasyasailendra) (Damais 1970: 512), Prasasti Sojomerto dari tahun 725 Masehi (selendra namah) (Boechari 1966: 241-251; Damais 1970: 512) dan Prasasti Kayumwunan dari tahun 824 Masehi (sai[len drawansatilaka]) (de Casparis 1956: 38-41; Damais 1970: 512).
[13] Boechari dalam salah satu karyanya (tidak berangka tahun) menduga bahawa Dapunta Selendra berasal dari suatu tempat yang berbahasa Melayu Kuna, yaitu Akhan dala pura, suatu kerajaan yang merupakan pendahulu Kadatuan Sriwijaya. Selanjutnya beliau menduga bahawa sekalipun belum ditemukan bukti-bukti, Akhandalapura diduga berlo kasi di daerah Riau yang pada abad ke-6-7 Masehi sebahagian besar masyara­kat nya beragama Siwa, dan sebagian dari raja-raja Sailendra dan raja-raja sesudah nya sampai dengan Rakai Mataram Sa? Ratu Sañjaya ialah penganut agama Siwa. Baru mulai Rakai Panamkaran agama Buddha Maha ­yana dianut oleh raja-raja Sailendra.
[14] Kunst, Jaap, 1968, Hindu Javaansche musical instruments (Translation Series no. 12), The Hague: Martinus Nijhoff.
[15] OJO III.
[16] Pada zaman Mataram Islam ketika ibukotanya masih di Kartasura, Kerajaan Mataram dibagi menjadi tiga daerah teritorial yang dimulai dari pusat kerajaan, yaitu 1. Kutanagara yang merupakan inti pusat kerajaan, 2. Negara Agung adalah daerah yang berada di sekitar Kutanegara, 3. Mancanegara adalah daerah di luar daerah Negara Agung (tidak termasuk daerah Pasisiran) yang terdiri dari Mancanegara Kulon dan Mancanegara Wetan, dan 4. Pasisiran yang letaknya di pesisir utara pulau Jawa juga dibagi menjadi dua bahagian, yaitu Pasisiran Kulon dan Pasisiran Wetan (Sutjipto, F.A., 1968, "Struktur Burokrasi Mataram (djaman Kerta-Kartasura)", dalam MISI IV no. 1, 2 hlm 51-70).
[17] Sumadio, Bambang (ed.), 1984, Jaman Kuna (Sejarah Nasional Vol. 2), Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 191.
[18] Groeneveldt, 1960, Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sourches. Djakarta: Bhratara, hlm. 10-12
[19] Pada zaman Mataram-Islam di lingkungan ibukota (Kutanagara yang merupakan pusat dari kerajaan Mataram) tinggal raja dan keluarganya serta beberapa pejabat tinggi lainnya (kaum bangsawan keraton). Para pejabat tinggi ini mempunyai tanah-tanah lungguh yang terletak di sekitar Kutanagara. Daerah tempat tanah-tanah lungguh ini terletak di daerah Negara-Agung.
[20] Di Yogyakarta hingga kini masih ada kampong yang bernama Numbakanyar dan kam pong Nyutran, kampong-kampong yang dulunya ditempati oleh pasukan pengawal istana yang bersen jatakan tombak (galah) dan panah.
[21] Pengelolaan lumbung-lumbung padi diurusi oleh juru ni? kanayakan, patih, dan wahuta. Mereka ini, masing-masing mempunyai tu?gu duru?.
[22] Krom, N.J., 1912, "Inventaries der Oudheden in de Padangsche Bovenlanden", dalam OV 1912, Bijlage G-H, hlm. 33-52.
[23] Lapian, A.B., 1992, "Jambi dalam Jaringan Pelayaran dan Perdagangan Masa Awal", dalam Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi: Pemerintah Daerah Tk I Jambi, hlm. 143-149.

Related Posts:

-