Oleh Maman S. Mahayana
Kalau bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Klasik, maka kesusastraan Indonesia lahir karena dukungan sastra klasik yang tersebar di kepulauan Nusantara, seperti Bali, Jawa, Sunda, atau Melayu. Khusus dalam pembicaraan yang menyangkut kesusastraan Melayu Klasik, tentu saja Abdullah bin Abdulkadir Munsyi tidak dapat dilewatkan. Beberapa karyanya yang terkenal, antara lain Syair Singapura Dimakan Api, Kisah Pelayaran Abdullah dari Singapura ke Kelantan, Hikayat Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, dan Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jedah.
Para pengarang lain yang terkenal adalah Nurrudin ar-Raniri dan Hamzah Fansuri dengan syair-syair tasawufnya, Tun Sri Lanang dengan Sejarah Melayu-nya, dan Raja Ali Haji dengan Gurindam Dua Belas-nya. Yang terakhir inilah yang membawa nama Raja Ali Haji lebih dikenal sebagai sastrawan, meskipun ada sebagian buah tangannya bukan karya sastra. Bahkan, karyanya yang menyangkut masalah tata bahasa Melayu amat penting artinya dalam menelusuri sejarah bahasa Melayu sebagai cikal bakal bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia. Demikian juga dengan karya lainnya yang mencakupi bidang sejarah, pendidikan, etika, dan perkamusan.
Sastra Sejarah
Siapakah sesungguhnya sosok Raja Ali Haji yang terkenal dengan Gurindam Dua Belas-nya itu? Sejauh mana peranannya dan apa kontribusinya sehingga ia dianggap penting dalam perjalanan dan perkembangan kesusastraan Indonesia? Mengingat karya-karya Raja Ali Haji mengangkat ihwal dunia Malayu dan ia lahir dan dibesarkan dalam komunitas Melayu, maka adakah sumbangan pemikiran Raja Ali Haji bagi pembangunan kebudayaan komunitas yang lebih luas; kebudayaan sebuah bangsa. Bagaimana pula relevanansinya dengan problem kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini? Pertanyaan-pertanyaan lain tentu saja masih dapat kita kemukakan. Semakin jauh kita mencoba mencermati karya-karya Raja Ali Haji, boleh jadi semakin dalam kita terperangkap pada pesona dan daya pikat kecermerlangan gagasannya yang tersimpan dalam sejumlah karyanya itu. Sebagai usaha mencoba menjawab berbagai pertanyaan itu, mari kita telusuri buah pemikirannya.
Dari sejumlah karya Raja Ali Haji, dua buah di antaranya mengandung aspek sejarah yang penting. Kedua karya itu adalah Silsilah Melayu dan Bugis dan Segala Raja-Raja dan Tuhfat al-Nafis. Kedua karya itu tentu saja kedudukannya setara dengan Sejarah Melayu. Bahkan, berdasarkan isinya, karya Raja Ali Haji dapat dikatakan telah memenuhi syarat ciri-ciri penulisan sejarah modern.
Dalam kedua buku itu, Raja Ali Haji yang nama lengkapnya Raja Ali Haji ibn almarhum Yang Dipertuan Muda Raja al-Sahid fi l-Sabili l-Lahi Ta’ala telah mencantumkan waktu kejadian dalam hampir setiap persitiwa yang diceritakannya. Seperti yang tertuang dalam Silsilah Melayu dan Bugis dan Segala Raja-Rajanya, kegiatan orang Bugis di Kalimantan, Kepulauan Riau, dan di Semenanjung Melayu pada sekitar tahun 1700-an sampai 1737, digambarkan secara mengesankan.
Yang menarik dari buku yang ditulis tanggal 15 Rabiulakhir 1282 itu adalah adanya bentuk syair yang sebenarnya merupakan kesimpulan atau rangkuman keseluruhan cerita. Sementara gaya penyajiannya sebagian ditulis dalam bentuk prosa. Pantaslah jika kemudian banyak sarjana Barat yang tertarik pada karya Raja Ali Haji ini.
Dalam tahun yang sama, tepatnya tanggal 3 syakban 1282 H, Raja Ali Haji menulis Tuhfat al-Nafis. Isinya menceritakan silsilah raja-raja Melayu, Bugis, Siak, Johor, sampai berdirinya Singapura oleh Rafles. Dalam buku ini pun, setiap peristiwa selalu ditandai penanggalan atau tarikh. Lebih daripada itu, isi ceritanya tidak lagi bersifat dongeng atau mitologi, di samping disebutkan juga berbagai sumber sejarah yang telah digunakannya. Jadi, di dalamnya ada semacam daftar kepustakaan. Menurut Liaw Yock Fang, karya ini bersifat Bugis sentris bahkan kadang-kadang bersifat anti-Melayu.
Beberapa Karya Lain dan Sumbangannya
Di samping kedua karya yang telah disinggung terdahulu, serta Gurindam Dua Belas (1263 H) yang berisi nasihat dan pendidikan agama, masih ada karya lain yang cukup penting untuk dibicarakan. Dari karya-karya itu pula, akan terlihat bahwa Raja Ali Haji tidak hanya menulis karya sastra, tetapi juga karya di luar bidang kesusastraan, seperti etika, pendidikan, sejarah, perkamusan, dan tata bahasa.
Karyanya yang ditulis dalam tahun 1394 H berjudul Tamratu l-Mukaddimah Rajulah. Isinya membicarakan masalah etika dan adab kesopansantunan pergaulan. Sedangkan Syair Siti Syarah berisi nasihat bagaimana menjadi wanita yang baik. Senafas dengan pendidikan etika ini, diceritakan pula dalam Suluh Pegawai tentang pedoman hidup yang patut dan layak dijalani manusia sebagai makhluk Tuhan dan warga masyarakat. Sebuah karya lagi hingga kini belum dapat dipastikan isinya, berjudul Taman Permata.
Sementara itu, ada dua karya Raja Ali Haji yang menyangkut soal bahasa, yaitu Kitab Pengetahuan Bahasa Penggal Pertama (1275 H) dan Kitab Bustanul Katibina Li-s-Subyani l-Muta’alimin. Kitab Pengetahuan Bahasa merupakan buku tata bahasa Melayu dan kamus logat Melayu, Johor, dan Lingga. Jadi buku ini juga merupakan kamus monolingual Melayu pertama yang disusun pribumi.
RAHAda tiga hal yang merupakan keistimewaannya. Pertama, buku tersebut diawali puji-pujian. Mengagungkan kebesaran Allah dan salawat kepada Nabi Muhammad. Kedua, Raja Ali Haji secara baik telah menerapkan metode dan teknik leksikografis tradisi Arab yang berasal dari metode al-Khalil abad ke-8 M. Ketiga, di bagian lain Raja Ali Haji juga menggunakan metode Kufa yang dipelopori al-Syaibani yang sezaman dengan al-Khalil. Kedua metode itu kemudian dikombinasikan, disesuaikan dengan palafalan ejaan Melayu. Penerbit al-Ahmadiah Singapura, lalu menerbitkannya pada tahun 1345 H atau 1928 M.
Sementara mengenai Kitab Bustanul Katibina yang pada tahun 1901 diperkenalkan van Ronkel, kabarnya kitab aslinya berbentuk naskah dari cetakan batu (litografi). Di bawah judul tersebut terdapat tulisan yang berbunyi: Kitab Perkebunan dan Jurutulis Kanak-Kanak yang Hendak Menuntut Belajar akan Dia. Menurut Harimurti Kridalaksana, buku ini memuat penjelasan Raja Ali Haji mengenai pembagian kelas kata, yang bersumber pada pembagian kelas kata bahasa Arab.
Ada tiga jenis kelas kata yang dikemukakan Raja Ali Haji, yaitu ism (nomina atau kata benda), fi’il (verba atau kata kerja), dan harf (partikel). Apabila dihubungkan dengan pembagian kelas kata oleh Aristoteles, maka apa yang dilakukan Raja Ali Haji tidaklah menampakkan perbedaan besar. Dalam hal ini, Aritoteles pun membagi kelas kata menjadi tiga, yaitu onoma (kira-kira sama dengan nomina atau kata benda), rhema (hampir sama dengan verba atau kata kerja), dan syndesmos (lebih kurang serupa dengan partikel).
Dalam bahasa Indonesia pembagian kelas seperti di atas juga pernah dikemukakan Anton M. Moeliono tahun 1966. Ia membagi kelas kata (Moeliono menggunakan istilah rumpun kata) bahasa Indonesia dalam tiga jenis, yaitu rumpun verbal, rumpun nominal, dan rumpun partikel. Yang disodorkannya tentu saja merupakan hasil penemuannya sendiri yang disusun berdasarkan kaidah pemakaian bahasa Indonesia itu sendiri. Oleh karena itu, ia memerinci ketiga rumpun kata tersebut ke dalam anak-anak rumpun, lengkap dengan contoh dan kasus-kasusnya dalam bahasa Indonesia.
Yang dilakukan Raja Ali Haji adalah hasil dari pengaruh konsep kelas kata bahasa Arab. Seperti yang dikutip Harimurti dari naskah salinan yangn berhasil diperolehnya, Raja Ali Haji menguraikan sebagai berikut: “Bermula yang diperbuat perkataannya itu tiadalah sunyi daripada perkara; pertama pada bahasa Arab, yakni nama; kedua fi’il yakni perbuatan; ketiga harf.” Dengan demikian jelas bahwa Raja Ali Haji mencoba menerapkan kelas kata bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu. Sebab itu pula, van Ronkel mengatakan bahwa Kitab Bustamul Katibina bukan berisi uraian tata bahasa Melayu, melainkan tata bahasa di dalam bahasa Melayu.
Mengenai pengaruh tata bahasa Arab ini, pada mulanya para ahli mengalami kesulitan dalam melacak, siapa cikal bakal yang membagi kelas kata dalam bahasa Arab menjadi tiga jenis itu. Dalam Bustanul Karibina, Raja Ali Haji sama sekali tidak mencantumkan buku-buku tata bahasa Arab yang digunakannya sebagai sumber rujukannya.
Tetapi akhirnya dapat diketahui bahwa sumbernya berasal dari Al-Kitab yang ditulis seorang sarjana keturunan Persia, Siwabaihi. Tokoh inilah yang kemudian oleh para ahli bahasa Arab hingga kini dianggap sebagai Bapak Linguistik Arab.
Perintis
Pengenalan lebih dekat terhadap Raja Ali Haji—dan juga tokoh lainnya— tentu saja penting artinya, tidak hanya untuk mengetahui latar belakang dan karya-karya yang dihasilkannya, melainkan juga guna mengetahui apa sumbangannya bagi ilmu pengetahuan. Gambaran tentang Raja Ali Haji yang umumnya hanya dikenal sebagai sastrawan, ternyata belum cukup jika hanya sampai pada Gurindam Dua Belas saja.
RAHLewat karyanya Tuhfat al-Nafis dan Silsilah Melayu Bugis dan Segala Raja-Rajanya, ia juga termasuk seorang sejarawan. Bahkan boleh dikatakan sebagai perintis penulisan sejarah modern di wilayah Melayu, seperti juga Tun Sri Lanang dan Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Sementara dari karya Bustanul Katibina dan Kitab Pengetahuan Bahasa nyata bahwa beliau juga seorang bahasawan. Ia pun merupakan penduduk nusantara pertama yang menyodorkan konsep pembagian kelas kata tradisi Arab dalam bahasa Melayu.
Raja Ali Haji sebagai putra kelahiran Pulau Panyengat, Tanjung Pinang, Riau, rupanya menyadari tanggung jawab kepada tanah leluhurnya, Kendati ia dibesarkan di lingkungan bangsawan Riau keturunan Bugis, ia tetap akrab dengan masyarakat sekitarnya. Di sisi lain, beliau pun dikenal sebagai penganut garis keras dan konservatif dalam menentang Inggris. Itulah sebabnya, karya Raja Ali Haji yang lain sengaja tidak dipopulerkan oleh orang-orang Inggris.
Raja Ali Haji yang lahir tahun 1808 ini termasuk juga seorang penganut tasawuf yang taat. Ajaran tarikat Nakhsyahbandiah dan kemahirannya berbahasa Arab akan mudah dapat kita tangkap pada bagian pembukaan di hampir semua karyanya. Demikian juga dengan nasihat dan pendidikan moral acap kali ia selipkan dalam uraiannya. Raja Ali Haji hampir tidak pernah luput dari tugas keulamaannya.
Sementara itu, harus diakui pula, bahwa upaya Raja Ali Haji dalam menerapkan kaidah-kaidah tradisi bahasa Arab dalam bahasa Melayum terbukti memperlihatkan beberapa hal yang kurang sesuai dan ada beberapa kelemahannya. Sungguhpun demikian, beliaulah orang pertama yang mencoba membagi kelas kata dalam bahasa Melayu dengan menggunakan konsep kelas kata tradisi bahasa Arab.
Dilihat dari aspek kesejarahan, hal itu memberi gambaran yang jelas bahwa pada masa itu pengaruh Islam di Riau terasa begitu kuat. Maka dalam konteks sejarah bahasa Indonesia, perjalanannya juga ditandai oleh kehadiran tradisi India (terutama dalam bahasa Jawa Kuna), tradisi Eropa yang hingga kini paling berpengaruh, serta tradisi Arab dengan tokohnya, Raja Ali Haji.
Raja Ali Haji meninggal tahun 1875 dalam usia 67 tahun. Ia telah meninggalkan warisan kita berupa karya-karyanya yang belum jelas berapa sebenarnya buah tangan beliau. Justru inilah tugas kita sekarang melacak dan memperkenalkan buah karyanya bagi dunia ilmu pengetahuan. Dalam hal ini pula, peranan para filolog akan sangat penting artinya, terutama dalam menanamkan rasa cinta terhadap khazanah budaya bangsanya yang masih terpendam.
Sumber: http://sastra-indonesia.com