Simbolisme dalam Budaya Jawa-Hindu

Oleh: Miswanto, Denpasar

Simbol dan Religi
Manusia adalah makhluk yang berbudaya. Sebagai makhluk yang berbudaya tentunya manusia akan selalu berkreativitas sebagaimana yang telah disinggung di atas menurut kemampuan cipta, rasa dan karsanya. Kreativitas itu akan merupakan sebuah kebudayaan yang di sana terdapat sistem gagasan, simbol-simbol dan nilai-nilai sebagai hasil karya dari tindakan manusia. Kenyataan ini membuat manusia tidak bisa lepas dari symbol-simbol yang selalu menjadi bagian dari kehidupan manusia itu sendiri.

Anasir itu nampaknya cukup untuk menunjukkan bahwa simbol sangatlah penting dalam kehidupan manusia. Dalam segala hal baik itu yang berasal dan unsur cipta, rasa dan karsanya, manusia selalu mengungkapkannya secara simbolis, Pengantin ketika mengenakan cincin perkawinannya kepada pasangan pengantinnya sebagai tanda kesetiaan, seseorang diberikan piala dan piagam penghaargaan atas prestasinya, kita memberikan kado ulang tahun untuk teman kita, dan sebagainya, kesemuanya itu merupakan simbolisasi yang ingin diungkapan oleh manusia untuk mengekspresikan pemikiran, perasaan dan tindakannya. Dan hal ini pula yang membedakan manusia dan hewan. Maka dan itu, Ernst Cassier cenderung menyebut manusia sebagai animal symbolicum (hewan yang bersimbol).

Oleh karena itu, tidak salah apa yang pernah diungkapkan oleh S.K. Langer dalam bukunya Philosophy in a New Key tentang simbol yang menyatakan, “The symbol making function is one of man’s primary activities”. Jadi bagi manusia, membuat simbol adalah aktivitas primer yang sening kali teiladi karena spontanitas dan manusianya sendiri.

Lebih jauh A.H. Bakker mengajukan indikator yang menunjukkan suatu perbuatan atau tindakan yang bermakna simbolis. Menurutnya, tindakan orang akan bersifat simbolis jikalau di dalamnya disingkapkan seluruh hidup pribadi atau sekurang-kurangnya salah satu sikap yang cukup untuk mewakili keseluruhan. Tindakan simbolis menyatakan satu sikap dasariah, seperti cinta, persahabatan, pengabdian, kebencian, atau kejahatan lain yang disimbolkan selain dalam arti atau nilai abstrak dan impersonal, melainkan dasar pribadi yang unik seperti dihayati oleh pribadi yang tertentu ini.

Lalu apakah sebenarnya simbol itu? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus memulainya dari asal kata (segi etimologis) simbol itu sendiri.

Secara etimologi, simbol berasal dari kata kerja Yunani sumballo (sumballein) yang berarti berwawancara, merenungkan, memperbandingkan, bertemu, melemparkan jadi satu, menyatukan. Jadi simbol adalah penyatuan oleh subyek atas dua hal yang menjadi satu.

Sedangkan Reede menyebutkan bahwa simbol berasal dan kata Greek suni-balloo yang berarti “saya bersatu bersamanya”, “penyatuan bersama”. Pemahaman yang diberikan oleh Reede ini tidak jauh berbeda dengan pemahaman sebelumnya. Pada hakekatnya, simbol adalah suatu penyatuan apakah itu berupa bentuk dan nilai harfiahnya, wujud dan maknanya, kesadaran dan ketidaksadaran dan lain-lain. Penyatuan ini merupakan nilai tambah terhadap kehidupan manusia sehingga perjalanan kehidupannya hal tersebut menjadi lebih bermakna.

Pemahaman kita tentang simbol ini harus kita bedakan dengan pemahaman terhadap tanda (sign). Tanda adalah formula fisik yang cenderung sebagai operator, sedangkan simbol adalah formula makna yang berfungsi sebagai designator sebagaimana yang diungkapkan oleh Cassier berikut:

”.... Simbol —bila diartikan tepat— tidak dapat dijabarkan menjadi tanda semata-mata. Tanda dan simbol masing-masing terletak pada dua bidang permasalahan yang berlainan: tanda adalab bagian dan dunia fisik; simbol adalah bagian dan dunia makna manusia. Tanda adalah “operator”, simbol adalah “designator”. Tanda, bahkan pun bila dipahami dan digunakan seperti itu, bagaimanapun merupakan sesuatu yang fisik dan substansial; simbol hanya memiliki nilai fungsional”.

Sependapat dengan Cassier, Carl Gustav Jung yang Psikiater Swiss (1875 - 1961) juga membedakan antara tanda (zeichen) dan simbol. Jung mengatakan bahwa antara pemakaian sesuatu sebagai tanda (semiotic) dan pemakaian sesuatu sebagai simbol (symbolic). Simbol mengandaikan bahwa ekspresi yang terpilih adalah formulasi yang paling baik akan sesuatu yang relatif tidak terkenal, namun hal itu diketahui sebagai hal yang ada atau diharapkan ada. Selama suatu simbol hidup, simbol itu adalah ekspresi suatu hal yang tidak dapat ditandai dengan tanda yang lebih tepat. Simbol hanya hidup selama simbol mengandung makna bagi kelompok besar manusia, sebagai sesuatu yang mengandung milik bersama sehingga simbol menjadi sosial yang hidup dan pengaruhnya menghidupkan. Manakala makna telah lahir dan suatu simbol, yakni ketika diperoleh ekspresi yang dapat merumuskan hal yang dicari dengan lebih tepat dan lebih baik, matilah simbol itu dan simbol hanya mempunyai makna historis. Simbol yang hidup mengungkapkan hal yang tidak terkatakan dalam cara yang tidak teratasi.

Lebih jauh, Budiono Herusatoto menambahkan perbedaan antara isyarat, tanda dan simbol atau lambang yang ditulis dalam bukunya “Simbolisme dalam Budaya Jawa” yang terangkum sebagai berikut:

Pertama, isyarat, ialah suatu hal atau keadaan yang diberitahukan oleh subyek kepada obyek. Artinya subyek selalu berbuat sesuatu untuk memberitahu kepada obyek yang diberi isyarat agar obyek mengetahuinya pada saat itu juga. Isyarat tidak dapat ditangguhkan pemakaiannya. Ia hanya berlaku pada saat dikeluarkan oleh subyek. Isyarat yang dapat ditangguhkan penggunaannya, akan berubah bentuknya menjadi tanda. Contoh isyarat, bunyi peluit kereta api, gerak-gerik bendera morse, suara peluit pandu, polisi dan sebagainya.

Kedua, tanda, ialah suatu hal atau keadaan yang menerangkan obyek kepada subyek.
Ketiga, simbol atau lambang ialah suatu hal atau keadaan yang memimpin pemahaman subyek kepada obyek. Tanda selalu menunjuk kepada sesuatu yang riil (benda), kejadian, atau tindakan. Contohnya sebelum guntur berbunyi selalu ditandai dengan munculnya kilat. Tanda alamiah merupakan bagian dan hubungan alamiah; sebelum guntur meledak, didahului kilat. Tanda-tanda yang dibuat oleh manusia pun menunjukkan sesuatu yang terbatas artinya dan menunjukkan hal-hal tertentu pula, misalnya tanda-tanda lalu lintas, tugu-tugu jarak jalan seperti kilometer, hektometer, tanda baca pada bahasa tulis, tanda-tanda pangkat atau jabatan. Sebaliknya pada lambang, contohnya lambang Garuda Pancasila dan Palang Merah merupakan suatu benda, keadaan atau hal yang mempunyai arti yang terkandung di dalam lambang-lambang tersebut. Sebuah benda, misalnya bunga, yang dirangkai menjadi untaian bunga atau krans untuk menyatakan ikut berduka cita atau bendanya, tetapi pemahaman arti benda itu yang dipakai sebagai lambang untuk menyatakan ikut berduka cita. Dalam hal ini sifat kejiwaan yang ditonjolkan. Bendanya sendiri dibebaskan dari unsur yang terkandung dalam dirinya dan diperluas maknanya.

Pemahaman akan simbol sebagaimana yang telah dijelaskan di atas dalam setiap pemaknaannya akan selalu berkaitan dengan proses simbolisasi. Secara ontologi, Dibyasuharda merumuskannya dalam 4 point utama. Salah satu diantaranya menyebutkan tentang simbolisasi, yang mana dinyatakan bahwa dalam simbolisasi terjadi perpaduan dua gerak: gerak dari dalam dan gerak dari luar. Gerak dari luar diri manusia atau yang disebut sebagai “Gerak Yang Transenden” ini yang paling menentukan dalam proses simbolisasi tersebut.

Bertitik tolak dan pemahaman ontologi yang ditulis dalam Disertasi Dibyasuharda tersebut, Yudha Triguna (2000) menyatakan bahwa pengertian simbol dan simbolisasi bersifat dikotomis. Perspektif pertama —yang bermula dan pemikiran Kant— menyebutkan bahwa simbol dan simbolisasi berkaitan dengan yang imanen, dalam arti yang disatukan adalah yang ada dalam manusia saja. Simbol dan simbolisasi terbatas pada dimensi horisontal saja. Sebaliknya perspektif kedua —melalui pemikiran Langer yang filsuf Wanita asal New York— menyebutkan bahwa simbol maupun simbolisasi merujuk pada hal yang transenden (yang mengatasi objektivitas). Artinya, jika kita berbicara tentang simbol dan simbolisasi senantiasaberhubungan dengan adanya dialog manusia dengan “yang lain”. Dengan demikian, simbol tidak saja berdimensi horisontal-imanen, tetapi juga vertikal-transenden. Kedua perspektif ini akan tetap kita gunakan dalam pembahasan selanjutnya, agar terwujud suatu pemahaman yang holistik dan permasalahan simbol ini.

Mengenai permasalahan isyarat, tanda, atau simbol jika dikaitkan dengan proses simbolisasi ini, C.A. van Peusen dalam bukunya “Strategi Kebudayaan”, menyebutkan sejumlah pengertian dan proses yang berhubungan dengan simbol. Dari sana didapatkan pemahaman bahwa simbol dapat muncul ketika proses sedang berlangsung. Maka dari itu, simbol dapat berupa kata, tarian, gambar dan isyarat.

Hal tersebut juga dibenarkan oleh Kuntara Wiryamartana, ahli filsafat dan sastra jawa dari Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada. Kuntara menyatakan bahwa bentuk lambang atau simbol dapat berupa bahasa (dalam cerita, perumpamaan, pantun, syair dan peribahasa), gerak tubuh (tari-tarian), suara atau bunyi (lagu, musik), warna dan rupa (lukisan, hiasan, ukiran, bangunan). Atau dengan kata lain, pemahaman akan simbol dan simbolisasi ini mencakup tanda atau isyarat yang memang bisa mengalami “proses menjadi” simbol itu sendiri.

Argumentasi yang dapat kita tunjukkan atas anasir ini adalah apa yang biasanya kita lihat dalam keseharian kita. Misalnya ketika lampu merah pada trafict light menyala, ada makna yang ingin disampaikan, yakni bahwa yang ada dibelakang garis pembatas pada lampu merah tersebut harus berhenti sejenak. Di sekolah ketika bel berbunyi untuk yang pertama kalinya, mengandung makna bahwa jam pelajaran sudah dimulai. Dan masih banyak lagi contoh pen anda dan isyarat yang mengandung formula makna bagi “pengikut”nya.

Dari pemahaman tentang simbol dan simbolisasi sebagaimana yang telah disebutkan di atas, maka dapat kita tarik benang biru bahwa pada dasarnya ada formula makna dan nilai yang harus dipahami dari sebuah simbol. Makna dan nilai yang terkandung dalam sebuah simbol tersebut adalah formula khusus yang merupakan konstruksi budaya manusia itu sendiri dan memang didukung oleh komunitas pendukungnya (dimensi horizontalimanen) pun hal tersebut musti dipertanggungjawabkan kepada “Yang Mengatasi Segala-galanya” (dimensi vertikal-transenden).

Sebagai sebuah konstruksi budaya dalam dimensi vertikal-transenden sebagaimana yang telah disebutkan di muka, maka simbolisasi ini juga mengandung nuansa yang tidak jauh berbeda dengan nuansa yang ada pada pengalaman religi. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Simbol adalah cetusan cipta, rasa, dan karsa manusia yang diwujudkan melalui penyatuan dari wujud dan nilai suatu hal atau keadaan. Ekspresi itu sendiri sudah barang tentu merupakan pengalaman estetik seseorang. Dari pengalaman estetetik itu, manusia akan selalu dihubungkan pada nilai-nilai yang ada pada keindahan tersebut. Fenomena ini akan menyebabkan pada pencarian pada ”Keindahan Yang Tak Terhingga, Yang Mutlak”. Pada saat seperti ini, pengalaman estetik akan memuarakan diri pada pengalaman religi. Begitu pula sebaliknya, pengalaman religi bisa menuntun seseorang untuk mengekspresikannya ke dalam pengalaman estetik

Yudha Triguna melalui tabel konsepsi simbolnya, menggambarkan bagaimana kebanyakan tokoh seperti Kant, Cassier, Cohen, Berger dan Luckman yang para pemikir dunia itu mengakui keberadaan simbol dalam religi.

Keberadaan simbol itu sendiri pada hakekatnya adalah eksistensi dari agama yang bersangkutan. Mengingat keterbatasan manusia untuk mengekspresikan rasa bhaktinya kepada yang ia puja, maka simbol menjadi sangat urgen untuk kebutuhan religius manusia. Karena simbol-simbol itu ternyata mampu membangkitkan perasaan dan keterikatan yang lebih daripada sekedar formulasi verbal dari benda-benda dan atau simbol-simbol yang mereka yakini. WHD No. 450 Juli 2004.

Lebih jauh Mircea Eliade mengungkapkan bahwa simbol bukan sekedar cerminan realitas obyektif namun juga mengungkapkan sesuatu yang lebih pokok dan lebih mendasar. Secara gamblang Eliade mengatakan, “Simbol keagamaan mampu mengungkapkan suatu modalitas dan yang nyata atau suatu struktur dunia yang tidak tampak pada pengalaman langsung.

Dalam megilustrasikan bagaimana sebuah simbol mampu mengungkapkan modalitas kenyataan yang tak terjangkau oleh pengalaman manusia, kita ingat satu contoh saja, yaitu simbolisme air yang mampu’ mengekskresikan kondisi pra-formal, virtual, dan kaotis. Jadi, jelas sekali hal ini bukan masalah pengetahuan rasional; melainkan kesadaran hidup yang menangkap realitas melalui simbol, yang lebih dan sekedar refleksi”. Selain itu, dengan simbolisasi yang diformulasikan ke dalam bentuk-bentuk tertentu inilah masyarakat pemcluk agama yang juga sebagal pendukung kebudayaan itu dapat dipersattikan melalui dorongan-dorongan yang timbul sebagai efek dan simbolisasi itu. Hal ini pun dapat kita lihat pada adanya semangat/rasa persatuan dan kesatuan suatu bangsa yang timbul sebagai efek dan simbol dan simbolisasi pada bendera, bahasa, lagu kebangsaan dan lain-lain. Di Indonesia misalnya, keberadaan bendera Merah Putih yang hanya terbuat dan secarik kain ini ternyata mampu menumbuhkan semangat nasionalisme pada jutaan jiwa rakyat Indonesia.

Dan sini terlihat jelas bahwa simbolisasi itu tidak hanya dilihat dan bentuk dan wujudnya.saja, akan tetapi simbolisasi itu akan lebih menekankan makna yang terkandung atau esensi dalam simbol tensebut. Esensi dan atau makna inilah yang mungkin aka menggetarkan perasaan pendukung simbol yang bersangkutan.

Begitu juga —lebih-lebih— dalam konteks religi yang mana di sana kita akan terpaut oleh suatu interaksi dengan Sang Maha Pencipta. Tentunya simbolisasi ini lebih dan sekedar simbol atau lambang negara. Karena keberadaannya diyakini sebagai sesuatu yang mutlak dan arnat disakralkan (the sacred symbol) meskipun di sisi lain keberadaan simbol ini bersifat kayali (imajiner) dan kadang kala jauh dan penalanan ilmiah (logika). Dalam banyak hal simbol yang satu ini akan selalu dipagari oleh larangan-larangan atau tabu-tabu yang tidak dimiliki oleh simbol yang bersifat sekuler atau duniawi (the seculer or the profane symbol) yang mungkin lebih logis dan pada simbol yang sakral tadi.

***
Jawanisasi Hindu dan Pembiasannya
Hindu adalah agama yang universal dan terbuka untuk seluruh budaya yang ada di dunia. Sebagai agama yang universal dan terbuka tentunya Hindu akan menerima budaya apasaja yang sesuai dengan falsafah Hindu itu sendiri. Budaya yang sesuai dengan Hindu itu akan mengalami akulturasi dengan peradaban Hindu sehingga membentuk suatu corak baru yang khas dan menambah khasanah budaya dalam Hindu.

Jawa sebagai pulau yang pernah menjadi pusat peradaban Hindu ternyata telah menerima banyak pengaruh dari Hindu. Mulai dari sistem gagasan yang memunculkan falsafah dan pandangan Hidup orang Jawa, sistem sosial yang dianut oleh masyarakat Jawa, hingga benda-benda yang merupakan perwujudan budayanya. Kesemuanya itu adalah bagian dari peradaban dan kebudayaan Jawa yang memang diilhami oleh pemikiran Hindu. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya yang dibarengi dengan surutnya peradaban Hindu dan berkembangnya peradaban Islam di Jawa, pun masih diilhami oleh pemikiran-pemikiran Hindu.

Mungkin terlalu “naïf” kalau kita mengelak dengan mengatakan bahwa budaya jawa adalah budaya yang berdiri sendiri dan bebas dari pengaruh Hinduisme. Dan akan lebih mbalelo lagi kalau akhirnya peradaban dan kebudayaan Jawa itu meninggalkan pandangan-pandangan hidup sebagaimana yang pernah diwarisi dari para pemikir-pemikir Hindu seperti yang bisa kita lihat pada kenyataan saat ini. Dan memang hal ini telah diprediksikan dalam sebuah unen-unen dari para tetua di Jawa dahulu yang kurang lebih berbunyi, “ela-elo Cina Landa kari separo, wong Jawa kari sajodho”. Indikator ini menunjukkan bahwa tidak sedikit orang jawa yang lupa dengan jati diri “Jawa”nya (wong Jawa ilang jawane).

Jawa yang dimaksud adalah yang bermakna implisit sebagaimana dikatakan Adi Soeripto, seorang tokoh Jawa yang juga Sekretaris PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) Pusat bahwa kata tersebut mempunyai kedekatan arti dengan—bisa jadi berasal dari— kata Sanskerta arjawa yang berarti jujur atau kejujuran. Dan anasir seperti ini bisa kita buktikan dengan melihat korteks yang ada di masyarakat. Suatu misalnya ketika seorang Jawa mempunyai itikad yang tidak baik, pendusta, durhaka dan sejenisnya maka ia akan disebut sebagai orang yang ora jawa.

Lebih jauh jika kita mau berkaca pada sejarah dalam konteks yang sebenarnya”—bukan yang “sebaiknya”, maka di sana akan kita dapati bahwa pada jaman dahulu telah terjadi proses yang boleh disebut sebagai jawanisasi ajaran-ajaran Hindu. Proses ini berlangsung sekian lama setelah kedatangan orang-orang ke India ke Indonesia baik itu yang bertujuan untuk berdagang maupun yang memang hanya ingin menyebarkan ajaran-ajaran Hindunya. Karena peradaban bangsa Indonesia yang pada waktu itu tidak jauh berbeda dengan peradaban yang dibawa oleh bangsa India, maka hal tersebut memudahkan untuk terjadinya akulturasi budaya.
Selanjutnya, masuklah paham-paham Hindu ke Indonesia termasuk kebudayaannya yang berasal dari India. Akan tetapi para pendahulu kita memang bukan orang yang udah menerima ajaran begitu saja (text book thinking) tanpa memperhitungkan baik dan buruknya sehingga pada waktu itu kebudayaan Hindu yang berasal dari India akhirnya pun harus mengalami proses adaptasi dengan kebudayaan setempat. Dan proses inilah kemudian lahirlah apa yang oleh para pujangga jaman dahulu disebut sebagai “mangjawaken byasamata” yang artinya adalah, “membahasajawakan ajaran-ajaran Bhagawan Byasa”. Proyek besar ini dimulai sekitar abad X pada zaman Raja Dharmawangsa Teguh yang masih keturunan dari Dinasti Isana di Jawa - Timur.

Kemudian proyek tersebut mendapatkan perhatian dari para raja-raja sesudahnya sehingga proses jawanisasi itu pun menjadi program yang berkelanjutan hingga akhirnya ajaran-ajaran Hindu yang berasal dari India itu dapat beradaptasi dengan kebudayaan Jawa waktu itu. Proses ini pun nampaknya juga dapat kita lihat pada masa-masa abad ke-19 hingga mungkin pada abad modern.

Jawanisasi kebudayaan Hindu tersebut kemudian mengakibatkan kebudayaan Jawa itu sendiri menjadi sebuah peradaban baru yang agak sedikit berbeda dengan kebudayaan asalnya. Peradaban tersebut kemudian mengakar dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Jawa baik dalam kerangka falsafah, sistem etika, maupun pelaksanaan ritual Jawa itu sendiri. Peradaban inilah yang kemudian di kalangan masyarakat Jawa dikenal dengan istilah kejawen. Niels Mulder (1996), yang setelah mengadakan penelitiannya tentang yang “Jawa” selama kurang lebih 10 tahun pun menyimpulkan bahwa kejawen atau yang ia sebut sebagai javanisme ini sebenarnya berasal dari tradisi di masa Hindu dan Budha dalam sejarah Jawa yang kemudian tergabung dalam suatu sistem filsafat tersendiri.

Dalam pada itu kejawen bukanlah sinkretisme sebagaimana yang disebutkan Geertz (1960) dengan interpretasinya tentang kalangan priyayi, santri dan abangan dalam masyarakat Jawa. Sebaliknya kejawen ini lebih cenderung merupakan mosaikisme yang mana menurut Abdullah Ciptoprawiro, seorang pakar filsafat Jawa adalah bahwa segala hasil pemikiran, pengalaman dan penghayatan manusia dalam gerak perjalanannya menuju kesempurnaan merupakan pola tetap filsafat Jawa sepanjang sejarah. Dengan tegas ia mengatakan bahwa istilah sinkretisme tersebut tidak tepat karena dalam filsafat Jawa pola yang dipakai adalah tetap sedangkan unsure-unsur atau “batu-batunya” bisa berubah dengan masuknya budaya baru. Oleh karena itu tidaklah mengherankan ketika masa kejayaan Hindu dan Budha berakhir dan berganti dengan kejayaan Islam, cara-cara dan tradisi yang dipakai dalam.budaya Jawa-Hindu tersebut tetap dipakai dalam budaya Jawa-Islam. Dan dalam kejawen sendiri terbuka untuk agama apa saja, tidak terkecuali Islam yang pada masa kejayaannya banyak menggunakan media-media yang merupakan warisan budaya Jawa Hindu untuk menyebarkan ajarannya. Dan memang itulah suatu kelebihan dalam peradaban Hindu yang mampu menerima local genius sehingga tidak salah kalau Hindu disebut sebagai agama universal. Hal ini sebagaimana yang terungkap dalam sebuah mahawakya—yang kini dijadikan semboyan bangsa Indonesia dan terpampang pada Garuda Pancasila— dalam karya Mpu Tantular yang kini kita kenal sebagai kitab Sutasoma, yang salah satu slokanya berbunyi, “bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa” yang artinya, “berbeda tetapi tetaplah satu, tak ada dualisme dalam dharma/kebenaran”. WHD No. 451 Agustus 2004.

Mahawakya tersebut yang kemudian oleh Sujamto dinamakan dengan istilah tantularisme, yang kini paham itu dikenal sebagai paham tentang semangat-semangat untuk membangun kesatuan yang kokoh dalam segala perbedaan dengan pemahaman akan kebenaran tunggal yang universal bebas dari sektarianisme pun dimensi ruang dan waktu. Pernyataan ini tidaklah berlebihan jika kita mau melihat dari sisi sejarahnya dimana Mpu Tantular menulis mahawakya tersebut ketika Majapahit dihadapkan pada fenomena Siwa Budhanya.

Kondisi semacam itu mungkin dapat kita lihat di negara India saat ini. India yang mayoritas penduduknya Hindu tidak pernah menerapkan tirani untuk menjadikan Hindu sebagai agama negara. Justru sebaliknya India adalah negara demokrasi yang menempatkan humanisme dan universalitas. Hal ini tidaklah mengada-ada karena kita semua tahu bahwa satu-satunya negara yang pernah dipimpin oleh kaum minoritasnya (Islam) dan masyarakatnya menerima dengan penuh kearifan yang diwarisi dan ajarannya (Hindu).

Namun demikian keuniversalan Hindu tersebut nampaknya menjadi fenomena tersendiri bagi perkembangan ajaran Hindu khususnya di Jawa dan Indonesia pada umumnya. Karena dengan adanya jawanisasi tersebut, pada perkembangan selanjutnya banyak ajaran Jawa-Hindu yang telah jauh meninggalkan “pakem”-nya. Dengan kata lain banyak terjadi pembiasan terhadap ajaran-ajaran dalam perikehidupan masyarakat kejawen yang notabene bernuansa Hindu sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Lebih-lebih dengan masuknya Islam dan “islamisasi” terhadap ajaran-ajaran sebelumnya (Jawa-Hindu), perkembangannya pun banyak yang kemudian disalah-artikan dengan tafsiran-tafsiran sendiri yang kadang kala menyimpang dari sumber utamanya yakni Weda.

Selain itu, tidak sedikit perkembangan tersebut menyebabkan penyimpangan sumber dan sejarah. Misalnya dengan adanya pengakuan terhadap otoritas kewilayahan dalam cerita “Barata Yudha” yang mengadopsi dari “ Itihasa Mahabharata” dalam ajaran Hindu sebagai bagian dari kesejarahan Jawa, Mandura yang diasosiasikan sebagai Madura (padahal nama yang sebenarnya adalah Mathura yang juga merupakan nama wilayah di India), Kalimasada yang dipersepsikan sebagai Kalimat Sahadat dan masih banyak lagi lainnya yang “dipleset-plesetkan”.

Memahami Simbolisme dalam Budaya Jawa-Hindu
Berbicara masalah budaya Jawa, memang bukanlah sesuatu yang gampang. Apalagi budaya Jawa di abad modern ini yang tentunya sudah banyak terjadi perubahan-perubahan secara sosio-kultural dan teruntuk hal tersebut sudah pasti kita harus mencari bahan-bahan perbandingan maupun sumber-sumber yang dapat menjelaskannya.

Namun demikian hal tersebut bukanlah sesuatu yang akan menghambat dalam menemukan dan menjelaskan budaya Jawa-Hindu dan simbolisnya. Karena sebagaimana yang telah disebutkan di muka bahwa tradisi dan adat-istiadat jawa dan atau kejawen pada akhirnya akan bermuara ke Hindu sebagai referensi tertua sejak peradaban dan atau kebudayaan Jawa memasuki jaman sejarahnya.

Dalam pada itu dasar dan esensi simbolisme dalam budaya Jawa-Hindu pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan dasar dan esensi simbolisme Hindu secara universal. Kalau dalam Hinduisme secara universal, dasar pijakan bagi simbolismenya adalah serangkaian sistem tattwa, susila dan upacara. Sedangkan dalam budaya Jawa-Hindu pada hakekatnya merupakan produk dan kesatuan sistem dan proses yang di dalamnya mencakup “olah cipta, olah rasa, dan olah rasa”yang kemudian melahirkan budaya dan produk budaya dalam kesatuan sistem, baik itu gagasan yang mencakup falsafah hidup, tingkah laku yang kaitannya dengan etika dan gaya hidup orang jawa, serta wujud-wujud benda yang dihasilkan dari kreativitas orang Jawa itu sendiri.

Lebih lanjut Budiono Herusatoto menyatakan bahwa pada intinya simbolisme dalam budaya Jawa merupakan cetusan maksud atau pesan—baik itu yang tertulis maupun lisan secara turun temurun— yang ingin disampaikan melalui komunikasi seluas-luasnya. Hal tersebut, menurutnya dapat ditempuh melalui beberapa sarana atau media, diantaranya: dengan bahasa lisan, tindakan-tindakan, benda-benda dan suasana tertentu.

Bahasa lisan
Bahasa lisan ini dipergunakan oleh orang-orang Jawa pada jaman dahulu untuk menitipkan pesan-pesan moral ataupun religius lewat symbol-simbol yang berupa ungkapan-ungkapan, semboyan, seloka, sengkalan, jarwa dosok dan lain-lain. Kemudian simbol-simbol dalam bahasa lisan itu disebar-luaskan dengan cara berantai, dari satu orang ke orang lain hingga akhirnya menjadi sebuah pandangan hidup bagi orang Jawa.

Pandangan hidup itu terbentuk dari alam pemikiran Jawa tradisional, Hindi atau filsafat India dan ajaran tasawuf Islam yang notabene mempunyai kedekatan pemahaman dengan —dan bisa jadi kena pengaruh— filsafat India atau Hinduisme. Hal ini bisa kita lihat pada ajaran-ajaran yang terdapat pada pelbagai sastra suluk Jawa.

Oleh karena itu, di sini saya menyebutnya dengan istilah pandangan Jawa-Hindu. Pandangan ini banyak yang mengacu pada pustaka-pustaka dan atau sastra-sastra, terutama pustaka/sastra Jawa kuno. Sebut saja Ramayana yang disusun pada tahun 825 Saka atau 903 M pada masa pemerintahan Dyah Balitung yang menguasai Jawa Timur dan Jawa Tengah, Kekawin Arjunawiwaha gubahan Mpu Kanwa pada tahun 941-964 Saka atau 1019-1042 M pada masa pemerintahan Raja Airlangga di Kediri. Di jaman itu juga digubah Kekawin Bharatayuddha oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Kemudian di Jaman Majapahit, kita mengenal Kekawin Desawarnana (baca: Negarakertagama) karya Mpu Prapanca, Sutasoma, dan Arjunawijaya yang keduanya karya Mpu Tantular.

Kemudian muncul karya-karya dengan menggunakan bahasa Jawa Pertengahan/Jawa Madya (peralihan dari Jawa Kuno ke Jawa Baru). Diantaranya Tantu Pangelarán, Tantri Kamandaka, Pararaton, Sudamala, Dewaruci. Kemudian setelah itu munculah sastra-sastra yang lain seperti Suluk Sukarsa, Suluk Wijil, Nitisruti, Kanda, Sastragendhing, Centhini, Gatholoco, Wulangreh karya Paku Buwono IV, Wedhatama karya Mangkunegara IV yang juga menggubah Serat Tripama, Kalatidha dan Jaka Lodhang karya R. Ng. Ranggawarsita yang merupakan pujangga besar di masa Jawa Barn, serta masih banyak lagi lainnya. Kesemua pustaka itu secara langsung atau tidak telah membentuk dan atau memelihara corak khas budaya Jawa yang kita kenal saat sekarang ini.

Dan beberapa pustaka tersebut banyak kita dapati pandangan-pandangan hidup orang Jawa yang terungkap dalam konsepsi-konsepsi tentang Tuhan, Manusia dan Alam Semesta. Adapun perincian konsep-konsep tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Tuhan atau Gusti
Penggambaran Tuhan dalam pandangan Jawa adalah sesuatu zat yang tidak dapat dibayangkan seperti apa pun (acintya), dekat tiada bersentuhan, jauh tiada perbatasan-Nya. Dalam istilah Jawa disebutkan sebagai “Dat han tan kena kinayangapa, cedhak tan pa seuggolan, adoh tanpa wangenan”.

Karena keterbatasan manusia, masyarakat Jawa kemudian memberikan nama untuk Tuhan-Nya yang mewujudkan lambang atau kebesaran-Nya. Nama-nama yang dipakai itu diantaranya Sang Hyang Taya yang identik dengan konsep Sat-Asat dalam Hindu, Sang Hyang Wenang atau bisa juga sebagai Prajapati yang Maha Kuasa atas seluruh alam semesta, Sang Hyang Tunggal sebagai konsep Keesaan Tuhan bagi orang Jawa yang juga dikenal dalam konsepsi ketuhanan dalam Hindu dan Sangkan Paraning Dumadi yang merujuk pada pemahaman Tuhan sebagai Asal dan Tujuan dan segala yang ada.

Selain nama-nama yang diperuntukkan bagi Tuhan di atas, masyarakat Jawa seringkali menggunakan sebutan “Gusti” untuk Tuhannya yang dalam jarwa dosoknya diartikan sebagai “bagusingati” atau dalam ajaran Hindu Brahman sebagai pujaan hati merupakan atman yang ada dalam diri kita (brahman atman aikyam).

2. Manusia
Dalam pandangan Jawa tentang manusia disebutkan ada dua unsur yang semuanya akan menjadi sarana “kembali” bersatu dengan Tuhannya (manunggaling kawula lan gusti) sebuah konsep mengenai moksa dalam masyarakat Jawa. Dua unsur itu disebutkan sebagai unsur jasmani dan unsur rohani (stula sarira dan suksma sarira dalam konsep Hindu).
Unsur jasmani terdiri atas dulur papat yang meliputi; kakang kawah, adhi ari-ari, air ketuban dan plasenta, babahan hawa sanga (lobang sembilan), panca indria dan seterusnya. Sedangkan unsur rohaninya terdiri atas nafsu, Aku (ego) yang kodrat kemampuan cipta rasa dan karsa, Ingsun (pribadi/self) yang merupakan penuntun ego dan Suksma Sejati yang merupakan “percikan” Tuhan atau Suksma Kawekas. WHD No. 452 September 2004.

Sedangkan dalam konteks tindakan, unggah-unggah yang juga merupakan istilah untukaturan-aturan tingkah laku atau tindakan-tindakan orang Jawa ini mempunyai bentuk yang cukup bervariasi. Dalam pandangan Jawa tentang ungah-ungguh itu sendiri pada intinya berkenaan dengan rasa isin (malu) dan sungkan/hormat.

Bedasarkan rasa tersebut manusia Jawa akan selalu berusaha untuk “menarik diri” dan membatasi diri dengan melakukan tindakan-tindakan baik itu cara beilalan, bersolek, berpakaian dan sebagainya yang sesuai dengan asas sopan santun itu sendiri. Gambaran tersebut mungkin dapat kita lihat pada sebuah peribahasa Jawa “ajining raga saka bhusana, ajining diri saka lathi” (seseorang akan dihargai dan cara ia berpakaian dan berbicara). Dalam pada itu akan mungkin sekali dalam ungah-unguh itu banyak kata “ojo” (jangan) dan “gak ilok” (nggak boleh). Misalnya ketika banyak orang tua sedang duduk-duduk di lantai kemudian kita mau lewat diantaranya, maka kita yang kebetulan lebih muda harus membungkukkan badan dengan mengucapkan salam “nuwun sewu”. Jika seandainya kita melanggar ketentuan itu, maka kita akan dicap dengan kata-kata yang bermakna konotasi negatif seperti “ora nduwe duga” dan masih banyak lagi penggambaran-penggambaran unggah-ungguh dalam budaya Jawa yang kita kenal sejak Jaman Hindu hingga jaman sekarang ini.

Benda-benda berbentuk tertentu
Benda-benda yang dibuat sebagai simbolisasi ini pada umumnya menyesuaikan dengan situasi dan kondisi tatkala benda-benda tersebut dibuat. Ada beberapa jenis benda warisan dan budaya Jawa-Hindu yang mengandung makna simbolik yang sangat mendalam sebagaimana pemahaman dalam religiositas Jawa itu sendiri. Dari benda-benda simbolik itu yang kini masih terjaga diantaranya:

Lingga Yoni
Lingga Yoni adalah benda yang biasanya terbuat dari batu yang dibentuk sedemikan rupa sehingga menyerupai phallus laki-laki di atas bulatan yang merupakan Yoninya. Bentuk simbolik ini adalah warisan dari kebudayaan Hindu di India yang merupakan lambang dari Dewa Siwa dan Dewi Uma. Dalam budaya Jawa Hindu, benda ini dianggap sebagai lambang “Ibu Bumi/Pertiwi Bapa Akasa”

Lingga Yoni ini sangat disucikan oleh umat Hindu di seluruh dunia termasuk Indonesia lebih spesifik lagi (Jawa). Ada beberapa daerah di Jawa yang menggunakan Lingga Yoni sebagai sarana pemujaan. Sebut saja di Gumuk Kancil, Banyuwangi, Gunung Semeru dan di Dusun Nayan, Desa Kalangan, Kecamatan Pedan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah yang saat ini sedang membangun candi yang berisikan Lingga Yoni sebagai pemujaannya.

Candi
Sebagaimana Lingga Yoni atau Meru di Bali, Candi juga merupakan bentuk benda atau bangunan yang sangat disakralkan. Candi dalam pengertian peninggalan purbakala atau pun pemahaman kini di Jawa merupakan simbol dari kosmos atau alam sorga yang disebut sebagai kahyangan. Hal ini juga dibenarkan oleh Soekmono dalam disertasinya “Candi, Fungsi dan Pengertiannya” yang menyatakan bahwa candi di Jawa bukanlah sebagai makam karena rajaraja atau nenek moyang di Jawa dahulu tidak mengenal penguburan jenasah, melainkan kremasi sebagimana yang diungkapan banyak khalayak Jawa pada umumnya.
Lebih lanjut, candi-candi di Jawa pada umumnya mempunyai bentuk dan pola yang sama yaitu terdiri atas bagian kaki, badan dan kepala candi yang juga menjadi bagian-bagiaii dalam Padmasana sebagai Pryangan umat Hindu di Indonesia saat ini. Keseluruhan itu nampak sebagai bentuk yang melambangkan Mahameru, tempat tinggal para dewa.

Wayang
Wayang memanglah bukan budaya asli Hindu, melainkan budaya Indonesia (baca: Jawa) itu sendiri. Karena jauh sebelum Hindu masuk ke Indonesia, wayang sudah berkembang sebagai bentuk budaya yang mempunyai kemiripan dengan seni teater diberbagai belahan dunia di Indonesia waktu itu.

Namun demikian simbolisme dalam wayang yang ada pada jaman dahulu sebelum ada pengaruh Hindu masih berwujud lukisan atau boneka yang amat sederhana buatannya seperti gambar punokawan saat sekarang ini. Baru setelah masuknya pengaruh dan kesenian Hindu simbolisme itu mengalami perubahan hihgga seperti yang kita kenal sekarang di mana lebih kelihatan nuansa Hindunya.

Lebih-lebih dengan masuknya sastra Hindu (Mahabharata dan Ramayana) ke sistem cerita wayang di Jawa, wayang menjadi lebih bermakna tidak sekedar bentuknya saja tetapi juga nilai dan esensinya.

Kesemuanya itu terlihat jelas pada pelbagai simbolisasi yang ada dalam sarana-sarana yang dipakai dalam wayang itu sendiri. Seorang dalang adalah perwujudan dan orang yang mengajarkan kawruh (pengetahuan) sebagaimana kata dalang yang berasal dari “weda” yang berarti pengetahuan dan “mulang” yang berarti mengajarkan. Sedangkan secara jarwa dosoknya dalang dapat diinterpretasikan sebagai “ngudhal piwulang”. Kemudian symbol-simbol yang lain seperti blencong, kelir, dan lain-lain yang sarat dengan makna kehidupan manusia itu sendiri.

Simbolisme itu pada saat tertentu sangat diskralkan. Pemaknaan ini dapat kita lihat pada beberapa prosesi upacara misalnya Ruwatan yang dilaksanakan oleh Ki Dalang Kanda Buwana sebagaimana yang telah dijelaskan di muka. Di sana ada simbolisme yang berupa wayang yang digunakan pada prosesi upacara tersebut.

Keris
Keris adalah warisan budaya nenek moyang Indonesia. Asul-asul keris tidak begitu jelas, mengingat banyak daerah baik itu di Indonesia maupun di luar negeri juga mengenal benda yang satu ini. Di Jawa keris ini sudah dikenal pada masa Mpu — sebutan untuk sang pembuat keris— Ramadi dengan kerisnya yang terkenal diantaranya: Sang Lar Ngantap, Sang Pasupati dan Sang Cundrikarum atau pada masa jawa Kanda sekitar tahun 125. Kemudian setelah itu banyak para Mpu yang mengikuti jejak Mpu Ramadi ini.

Setelah Hindu masuk ke Indonesia budaya keris ini banyak dipengaruhi oleh Hindu hingga menjadi suatu tradisi yang kita kenal sekarang ini. Hal ini terbukti dengan adanya prosesi pada pembuatan keris yang di dalamnya menggunakan japa-mantra yang diambil dari Hindu. Misalnya sebelum menayuh seorang mPu harus berdoa dan mengucapkan mantra seperti, “aum awighnamastu, hanata sira inarcaya, yeka sara ulun, ulun yun miminta, inggita de inagruhan ri andika” yang artinya, “Ya,Tuhan semoga tidak ada halangan. Adalah pusaka yang dihormati, ialah pusakaku, hamba ingin memohon syarat tanda-tanda diberi nugraha yang baik”.

Kalau kita kaji lebih lanjut sebenarnya banyak yang kita perlu kita pahami dan sebuah benda kuno ini. Nilai-nilai yang terkandung dari falsafah keris ini mempunyai kaitan yang sangat erat dengan ajaran-ajaran moral yang ada dalam setiap ajaran agama, lebih-lebih Agama Hindu yang mempunyai korelasi dengan nilai religius dalam pembuatan keris-keris pusaka. Nilai-nilai itu terutama bagi masyarakat Jawa telah menjadi sendi-sendi dalam suatu pandangan hidup yang adi luhung dan bersifat universal, terutama bagi mereka yang mengerti mengenai paham Jawa atau yang Iebih sering dikenal sebagai kejawen.

Penutup
Setelah memahami ulasan-ulasan yang singkat tentang simbolisme dalam budaya Jawa ini, maka tidak ada lagi kata “musryik” bagi masyarakat Jawa untuk menerima Hindu dengan segala simbolisasinya sebagai agama yang paling banyak memberikan ilham dalam gaya hidup Jawa yang pada hakekatnya juga sarat dengan simbolisasi baik yang masih abstrak maupun yang sudah konkret. WHD No. 455 Desember 2004.

-

Arsip Blog

Recent Posts