Oleh: Edi Sedyawati
A. ‘Bentang Lahan‘ Sastra Melayu
Sebelum membicarakan cakupan wilayah di mana didapati sastra Melayu, terlebih dahulu perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan sastra adalah segala ungkapan yang dinyatakan dengan bahasa, baik lisan maupun tertulis. Dalam hal ini pengertian "sastra" diambil dalam arti yang luas, yang tidak terbatas pada susastra.
Wilayah penggunaan bahasa/sastra Melayu, atau dapat juga disebut dengan istilah “bentang lahan”-nya, ternyata amat luas namun sekaligus terpencar. Di Indonesia kebanyakan komuniti penutur bahasa Melayu, jadi yang merupakan produsen potensial dari sastra Melayu, mendiami kawasan pesisir di berbagai pulau. Namun sejumlah ‘pusat‘ penggunaan bahasa Melayu ada pula di pedalaman. Di luar Indonesia, sastra Melayu tumbuh atau pernah tumbuh juga di Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Thailand, dan Filipina. Keluasan ‘daerah jelajah‘ itulah yang merangsang saya untuk mengajukan usulan kepada Pusat Bahasa untuk menyusun suatu himpunan fakta sastra yang bertajuk “Sastra Melayu Lintas Daerah” (yang oleh rekan-rekan di Pusat Bahasa dibuat akronim "Sasmelinda"), di mana “daerah” diambil dalam arti “area” dan bukan “daerah administrasi”. Gagasan itu diterima dan hasilpenghimpunan itu telah diterbitkan oleh Pusat Bahasa pada tahun 2004. Bagian tertentu dari makalah ini adalah pungutan dari sejumlah kontribusi saya dalam Sasmelinda itu.
Daerah-daerah yang memiliki sastra Melayu di Indonesia dan negara-negara tetangga yang telah dihahas dalam Sasmelinda, dari barat sampai ke timur, adalah: Aceh, Patani, Malaka, Johor, Singapura, Trengganu, Deli-Serdang, Riau-Siak-Indragiri, Sumatra Barat, Kerinci, Palembang, Kalimantan Barat, Banjarmasin, Betawi, Butun, Ternate, Bali, Lombok, dan Bima. Yang belum dapat dihahas karena keterbatasan data adalah sastra Melayu yang mestinya juga terdapat di Kutai, Nusa Tenggara Timur, serta yang ada pada orang-orang Bajau yang berpangkal-huni di berbagai kawasan kelautan yang tersebar di Indonesia.
B. Konteks dan Kategorisasi Sastra Melayu
Berbagai kerajaan atau satuan pemerintahan pada skala apapun pada masa lalu, di berhagai kawasan, telah berfungsi sebagai pusat perkembangan sastra Melayu. Kerajaan-kerajaan lama yang dapat disebutkan adalah antara lain; Samudra-Pasai, Pagarruyung, Melayu, sampai ke Aceh-Darussalam, Riau, dan Deli-Serdang, yang lebih dekat ke masa kini. Di samping itu terdapat koloni-koloni orang Melayu seperti yang di kerajaan Bima di pulau Sumbawa, yang mengembangkan sastra Melayunya tersendiri, dan turut memberi citra sastra bagi Kerajaan Bima. Adapun majunya kerajaan-kerajaan yang bercitra Melayu di kawasan Sumatra-Malaya khususnya, kiranya amat terkait dengan ramainya perniagaan dan pelayaran yang terjadi di sana sepanjang sejarah.
Sebagian dari masyarakat pendukung dan pengembang sastra Melayu di berbagai kawasan itu, yang kemudian menampilkan citra Islami yang cukup kuat, mewarisi juga ‘tinggalan‘ budaya dari masa sebelumnya, yaitu masa Hindu-Buddha. Khasanah Hindu-Buddha itulah diambil pokok-pokok cerita untuk dikembangkan dalam sastra Melayu, sehingga tertulislah karya-karya sastra Melayu seperti "Hikayat Seri Rama", "Hikayat Pandawa Lima", "Sang Boma", dan lain-lain. Di samping pelanjutan pewarisan dari tahap budaya Hindu-Buddha itu, sastra Melayu menggarap pula tema-tema yang berasal dari sastra Parsi seperti pada "Taj-us-Salatin", "Hikayat Amir Hamzah", dan "Hikayat Burung Pingai". Ada pula serapan dari sastra Cina yang dikembangkan dalam sastra Melayu, seperti yang terwujud ke dalam garapan cerita "Sam Pek – Eng Tay", serta cerita-cerita sezaman yang ditulis oleh orang-orangCina pada masa kolonial di Batavia.
Sastra Melayu bercitra ke-Islam-an sekaligus menampilkan wajahnya sebagai sastra tulis dengan diadopsinya sistem aksara Arab yang sedikit dimodifikasi menjadi sistem aksara Jawi. Di daerah budaya Jawa sistem aksara Arab juga diadopsi dengan modifikasi, dan disebut sistem aksara Pegon. Adapun di lingkungan budaya Bugis-Makassar adaptasi dari sistem aksara Arab itu disebut sistem aksara Serang. Demikianlah sebagai kelompok sistem-sistem aksara Jawi, Pegon, dan Serang itu dapat disebut kelompok sistem aksara Pasca-Arab.
Adapun pcnggolongan sastra Melayu dapat dibuat atas dasar beberapa penentu, seperti:
wujud ungkapnya: lisan atau tertulis;
gaya ungkapnya: prosa, puisi, atau bentuk-bentuk di antaranya atau perpaduannya;
tujuan pengungkapannya: hubungan sosial, berhibur, pemujaan,
temanya.
Di samping keempat dasar pembeda tersebut di atas, ungkapan sastra Melayu di berbagai daerah itu tentulah diperbedakan pula oleh variasi kebahasaan di antara mereka, baik pada pelafalan maupun pada kekhasan-kekhasan kosakata, yang kesemuanya itu disebabkan oleh ‘alas budaya‘ lokal di mana masing-masing varian Melayu itu tumbuh.
C. Riwayat Awal Bahasa Melayu
Sebelum munculnya karya-karya sastra tertulis berbahasa Melayu, yang pada umumnya menggunakan aksara Jawi (Arab-Melayu), dan isinya mempunyai kandungan konsep-konsep Islami atau yang terkait dengan itu, di kawasan "nusantara" diketahui adanya penggunaan bahasa Melayu (kuna) dalam sejumlah inskripsi, yang isinya mengacu ke konsep-konsep Hindu-Buddha atau lokal pra-Hindu-Buddha. Inskripsi-inskripsi tersebut ditulis dalam sistem-sistem aksara yang secara kelompok dapat disebut Pasca-Pallava. ‘Keturunan‘ dari sistem aksara Pallava dari India Selatan tersebut dipakai dalam pertulisan di berbagai daerah di Asia Tenggara, daratan maupun kepulauan. Inskripsi-inskripsi tersebut ditemukan di tempat-tempat tersebut di bawah ini:
Palembang - Bangka;
Jawa Tengah;
Bali;
Sumatera Barat;
Lampung.
Inskripsi-inskripsi yang ditemukan di daerah Palembang dan Bangka sekarang adalah pertulisan yang dikeluarkan pada masa dan dalam cakupan kewenangan kerajaan Sriwijaya. Prasasti-prasastinya dikenal sebagai prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuwo, Kota Kapur, Karang Brahi, dan Palas Pasemah (yang terakhir ini di Lampung), dan merujuk kepada abad ke-7 Masehi. Istilah-istilah tertentu di dalamnya menunjukkan pengenalan kosa kata Sanskerta dan mengisyaratkan penganutan agama Buddha, mungkin yang telah mengembangkan paham Tantrayana. Hal terakhir ini ditunjukkan oleh penyebutan istilah-istilah seperti: kalyānamitra, wajraśarīra, dan anuttarābhisamyaksamwodhi. Beberapa kutipan yang menunjukkan ke-Melayu-an bahasanya adalah:
... wulan waiśāhkha dapunta hiyang nāyik di sāmwau maŋalap siddhayātra... wulan jyestha dapunta hiyang marlapas dari mināāa tāmwan mamāwa yang wala dua laksa daŋan kośa dua ratus cāra di samwau daŋan jālan sariwu tle rātus sapulu dua wañakña dātang di matayap (Kedukan Bukit);
... punta hiyang sawañakña yang nitānang di sini niyur pinang hanāu rungwiya dŋan samiśrāña yang kāyu nimākan wûahña, tathāpi hāur wuluh pattung ityewam ādi... muah manghidupi paśuprakāra (Talang Tuwo).
Prasasti dari Jawa Tengah yang berbahasa Melayu adalah Prasasti Hyang Wintang Prasada yang ditemukan di desa Gandasuli, Temanggung. Prasasti ini diawali dengan seruan kepada dewa Siwa. Kutipan yang menunjukkan ke-Melayu-annya adalah:
... dang karayān partapān ratnamaheśwara sida busu mor namānda dang karayān lāki busu iti namānda dang karayān wini,... ayānda karayān lāki parpuan...
Prasasti-prasasti dari Bali yang memberikan indikasi bahasa Melayu adalah yang dikenal sebagai prasasti-prasasti "yumu pakatahu" ("hendaknya kauketahui"), yang angka-angka tahunnya menunjukkan akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10 Masehi.
Contoh teks dari prasasti-prasasti tersebut, khususnya bagian yang memuat kata-kata "Melayu" bersambung dengan kata-kata Bali adalah:
... mañuratang ājñā danañjaya, pircintayangku mān tua ulan di bukit cintamani mmal tanyada husir yya anak atar jalan kadahulu, tua hetu nuruhku senāpati danda kumpi marodaya me bhiksu śiwakangśita... (Sukawana Al).
Pada masa yang lebih muda daripada prasasti-prasasti Sriwijaya tersebut di atas, di Padangroco, Sumatra Barat ditemukan pula sebuah prasasti pada lapik sebuah area Amoghapāśa. Prasasti tersebut berangka tahun 1208 Śaka, dan bahasanya menunjukkan paduan Jawa Kuna dan Melayu. Petikannya antara lain:
2.b ... tatkāla pāduka bharāla āryyāmoghapāśa lokeśwara, caturdaśātmikā saptaratna sahita, diāntuk
c dari bhūmi jāwa ka swarnnabhūmi dipratistha di dharmāśraya, akan
3.a punya śrī wiśwarūpa kumāra, prakāranang ditītah pāduka... (Hasan Djafar, 1992).
Contoh inskripsi dari daerah lain, yaitu Lampung, adalah yang ditemukan di desa Dadak, di kawasan pantai timur. Petikan inskripsi ini yang menunjukkan ke-Melayu-an bahasa dan ke-Hindu-an isi adalah:
... warta suratku datang-akĕn di si tapa unak matuha dari...
... malam batang bargahasa kayu ... di jalma mana ya diya tutunu...
... makabar kirakira di śuratku datang-akĕn juga di si tapa anak matuha...
... saratus tahun lawasku minjam tanéh jaŋan ka-u gusar... jaŋan ka-u madataŋi lalu kulĕbur sanghyang pa(rti)bi lalu balik sanghyang akasa ujarna batara guru tuha sang kusika sang garĕga mitri kurussiya patanjala tanĕh bardatu ayer bardatu batu bardatu kayu bardatu partibi bardatu.....
(Informasi dan transkripsi dari Dr. Hasan Djafar, Jurusan Arkeologi, UI).
Kehadiran bahasa Melayu (Kuna) dalam berbagai varian, dalam bukti-bukti tertulis masa lalu itu, adalah suatu fakta yang perlu mendapat telaahan lebih lanjut. Kehadiran bahasa Melayu kuna pada inskripsi-inskripsi di Palembang-Bangka (abad ke-7 M.), di Jawa Tengah dan Bali (abad ke-9 M.), di Sumatera Barat (abad ke-13 akhir), dan di Lampung (abad ke-15 ?) itu tentulah membutuhkan penjelasan tersendiri. Hipotesis yang dapat diajukan adalah bahwa dari waktu ke waktu, sepanjang berabad-abad pergaulan antara bangsa di Nusantara, orang-orang yang berbahasa (dan berbudaya) Melayu, kemungkinan besar demi eksplorasi mata pencahariannya, berkoloni di berbagai daerah pantai pulau-pulau di Nusantara. Asimilasi, ataupun aliansi dan berbagai kesepakatan hidup berdampingan dengan masyarakat setempat dapat terjadi dari waktu ke waktu, dan pada situasi-situasi tertentumemerlukan peneguhan berupa penulisan prasasti.
Namun fakta bahwa sebagian dari inskripsi-inskripsi itu juga ditemukan di daerah pedalaman, artinya bukan di kawasan pantai, menggusur hipotesis koloni tersebut, atau harus menambahnya dengan keterangan bahwa koloni Melayu itu tidak perlu hanya terdapat di daerah pantai. Untuk daerah Palembang-Bangka dan Lampung bahkan hipotesis koloni mungkin dapat disingkirkan, dan diganti dengan pernyataan bahwa bahasa-bahasa setempat di situ adalah juga (varian) Bahasa Melayu.
D. Sastra dalam Seni Pertunjukan
Dalam sub-bab ini dibahas ungkapan-ungkapan sastra yang terdapat dalam berbagai bentuk seni pertunjukan yang terdapat di ‘alam Melayu‘. Dalam hal ini batasan ‘alam Melayu‘ itu didasarkan pada kesamaan bahasa, yaitu bahasa Melayu, sudah tentu dalam berbagai varian, dialek dan ragamnya. Dapat diharapkan bahwa ragam teatrik mempunyai perbedaan dengan ragam ujaran biasa dalam bahasa Melayu di daerah budaya yang hersangkutan. Berkenaan dengan permasalahan batasan bahasa ini, maka bentuk-bentuk seni pertunjukan Minang yang menggunakan bahasa Minang dicakup juga, meskipun bahasa Minang ada kalanya dibedakan dari bahasa Melayu. Dari segi tata bahasa dan kosa kata bahasa Minang dapat ditempatkan sebagai varian ataupun dapat dipandang sebagai "saudara terdekat" dari Bahasa Melayu.
Ke dalam pengertian "seni pertunjukan" tercakup segala jenis penyajian kesenian di mana pihak yang menyajikan berada dalam pertemuan tatap muka dengan ‘konsumen‘ penikmat yang menonton (dan mendengar) sajian tersebut. Ke dalamnya termasuk berbagai jenis penyajian yang berbentuk:
sajian teater yang menampilkan pemeran-pemeran (tokoh-tokoh cerita) di atas ‘pentas‘; ke dalam golongan ini termasuk baik yang menampilkan pemeran yang dimainkan oleh orang, maupun yang pemerannya berupa "wayang" yang dimainkan oleh dalang;
sajian teater tutur, atau sastra lisan yang bersifat menyampaikan cerita;
sajian sastra lisan tanpa cerita;
sajian musik dengan vokal yang menyampaikan teks tertentu;
sajian musik tanpa teks;
sajian tari disertai musik dan narasi dan atau dialog;
sajian tari diiringi musik raja.
Pada tingkatan pertama seni pertunjukan memang disajikan secara tatap muka. Namun dengan berkembangnya industri budaya, maka kemasan rekaman berbagai bentuk seni pertunjukan dapat digandakan dan diperjual-belikan, sedemikain rupa sehingga daya jangkaunya terhadap penonton dan pendengarnya menjadi lebih luas.
Dari berbagai jenis seni pertunjukan tersebut di atas berikut ini dapat diberikan contoh-contoh yang terdapat di ‘alam Melayu‘:
Tergolong ke dalam jenis penyajian ini dapat disebutkan pertunjukan Makyong, Mendu. dan Bangsawan yang dikenal di daerah-daerah bekas Kerajaan Melayu, khususnya di Riau dan sekitarnya. Seni pertunjukan Melayu juga berkembang di Medan dan sekitarnya, di mana dahulu pernah berdiri Kerajaan Deli-Serdang. Ke dalam golongan ini pula termasuk Wayang Gong dan Mamanda dari daerah pantai Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan. Lenong dan Topeng Betawi termasuk ke dalam golongan ini pula. Contoh pertunjukan dengan menggunakan boneka wayang adalah Wayang Banjar dari Kalimantan Selatan dan Wayang Betawi dari Jakarta.
Contoh teater tutur yang dapat diberikan adalah tukang cerita Sahibul Hikayat berbahasa Betawi, juga Kaba dalam sastra lisan Minangkabau, serta variannya di daerah pantai Pariaman yang disebut Rabab Pasisia / Rabab Piaman. Penyajian teater tutur ini ada kalanya diiringi musik secara rudimenter, dengan satu instrumen saja.
Sastra lisan tanpa cerita dapat dicontohkan oleh Pasambahan dan Pidato Adat pada orang Minang.
Sajian musik dengan dominasi vokal yang menyampaikan teks tertentu dapat dicontohkan oleh berbagai gaya Indang di Sumatera Barat, dengan iringan ansambel rebana yang padu. Di daerah budaya yang sama dikenal pula Salawat Dulang, yang inti teksnya berupa puji-pujian kepada Rasul, dengan instrumen pengiring hanya berupa dulang (talam dari logam) yang diperlakukan sebagai penekan ritmik. Madihin yang bersifat "musik pergaulan" dari Kalimantan Selatan termasuk golongan ini pula. Dalam sastra lisan Melayu di Kutai, Kalimantan Timur, terdapat pula bentuk sajian yang tergolong dalam kelompok ini, yaitu yang disebut Tarsul dan Bedandeng. Di Kutai maupun Banjarmasin beserta kitarannya masing-masing, dikenal pula sajian musik beserta teks yang disebut Baladon, yaitu sajian pembuka pada drama tari Mamanda. Pada bagian ini biasanya tiga orang bernyanyi sambil menari,di antaranya menampilkan kelucuan untuk menarik perhatian penonton, sedangkan teks yang mereka nyanyikan berisi inti kisah yang akan dibawakan dalam pertunjukan drama tari tersebut.
Sajian musik tradisional tanpa teks ada banyak, dan boleh dikatakan semua suku bangsa di Indonesia memilikinya, namun dalam kesempatan ini tak perlu diberikan contoh karena dengan sendirinya tak memiliki unsur sastra, Melayu atau bukan.
Jenis pertunjukan tari yang disertai musik dan narasi dapat dicontohkan oleh Randai dari Sumatera Barat. Dalam pertunjukan ini para pemain dalam kostum seragam pencak-silat menari membuat lingkaran, dan dari waktu ke waktu satu atau dua orang masuk ke dalam lingkaran untuk memerankan tokoh-tokoh cerita, sementara dari waktu ke waktu pula diberikan narasi tentang kejadian-kejadian dalam cerita.
Sajian tari dengan iringan musik saja juga terdapat pada semua suku bangsa, namun tidak perlu disebut contoh-contohnya karena tak ada unsur sastra di dalamnya.
Secara lain, berdasarkan cara penyampaian isinya, dapat diperbedakan bentuk-bentuk seni pertunjukan atas:
yang menyajikan cerita (= representasional), baik yang secara dramatik dimainkan di ‘pentas‘, maupun yang semata-mata bersifat naratif;
yang non-representasional, umumnya dengan menyajikan teks-teks untuk ‘dimasyarakatkan‘, terdiri atas teks-teks dakwah Islam dan teks-teks pendidikan atau informasi umum; termasuk ke dalam golongan ini adalah penyajian musikal dengan teks-teks yang dapat dibuat secara impromtu, seperti pada Madihin di Kalimantan Selatan.
Pada golongan seni pertunjukan yang pertama, yaitu yang menyajikan cerita, seringkali dapat dijumpai adanya kekhasan-kekhasan gaya yang berkaitan dengan:
karakterisasi tokoh-tokoh cerita;
formula-formula naratif yang terkait dengan jenis adegan;
formula-formula naratif yang terkait dengan alur dramatik.
Adapun pada golongan pertunjukan kedua, yaitu yang non-cerita, penggolongan lebih lanjut dapat dilakukan atas dasar isi teksnya, yaitu: (a) dakwah Islam; (b) pendidikan imum; (c) informasi umum, yang biasanya terkait dengan masalah-masalah aktual seperti Keluarga Berencana, Pemilihan Umum, penggilingan padi, dll.; dan (d) pergaulan, menanggapi situasi saat pertunjukan.
E. Kata-kata Penyela Pembangun Ritme
Kata penyela pembangun ritme ini pada dasarnya ditampilkan pada bagian pertunjukan di mana ada teks yang dilagukan. Contoh yang akan diberikan adalah dari ‘musik tutur‘ Salawat Dulang, dan dari ‘teater tari‘ Makyong. Kata-kata penyela itu dalam wacana musikologi disebut kata-kata non-sense, yaitu kata-kata yang tidak mempunyai arti leksikal. Kebermaknaannya adalah pada bunyinya sendiri yang dirasakan dapat memberi rasa musik atau membangun suasana tertentu.
Berikut ini kutipan bagian-bagian dari Salawat Dulang (diambil dari disertasi Oman Fathurahman, 2003) dengan kata-kata penyela diberi tanda cetak tebal:
1. Aaa ... ei ... yo ... oo ... aa ... ooo ... ei ... ya
Aaa ... ei ... yo ... aa ... Nabi Allah oi Na(nga)bi ... ya ...o ... ey
Aaayo junjuangan ..... dst.
(Arti: "Nabi Allah Nabi junjungan")
2. Tiado nan Tuhan o de malainkan inyo oo Allah
Iyo matilah kamu di dalam ee kalimah
Di dalam alai kulimah lailaha(na)ilallah
Diakui Nabi masuak sarugo jannah
Iyo silamat nvawo lai barpulang oo ka Allah
Iyo salamaik tubuah ditarimo tanah
E le baitu pangajian iyo la di dalam oo kulimah
Oo ... ilallah aaa ... e.. o ... ei ... ya ...
(Arti: Tiada Tuhan melainkan Allah; matilah kamu di dalam kalimat; dalam kalimat "la aha ilallah"; diakui oleh nabi masuk surga jannah; selamat nyawa berpulang ke Allah; selamat tubuh diterima tanah; begitu pengajian kalimat "ilallah".)
3. Iyo lei nak lei jangan kaji lai surah lai kaleleran
Dikaja lei tak dapek dikanduang lah baciciran
Iyo harok nde di hujan o la di ateh awan
O air iyo di cawan o kito iyo curahkan...
(Arti: Hendaknya jangan kaji surah bersebaran; dikejar tak dapat (yang) dikandung berceceran; mengharap hujan di atas awan; air di cawan engkau tuangkan).
Berikut ini adalah contoh kata-kata non-sense dari pertunjukan Makyong di daerah Riau (diambil dari disertasi Pudentia MPSS, 2000, hal. 94-96).
1. Kata-kata penyela ini muncul dalam refrain yang dinyanyikan oleh koor, setiap satu bait lagu pokok selesai dinyanyikan, disertai tarian para pelaku:
Poong eee... ooi
Hilang goyak berita nak timbullah
Timbul tersebut di ledang balai
Yoong de de de de
2. Bait-bait ini pada Adegan Buka Kipas Awang:
a. Awe... ooi
Hilang ke mana raib ke manalah Awang
Awang tidak bersama saya
Yong de de de de
b. Awe... ooi
Bangunlah Awang bangunlah
Saya nak sayu Awang saya nak ngajak Awang kira bicara
Yong de de de de
F. Formula Naratif Terkait Jenis Adegan
Sebagai contoh, dalam pertunjukan Makyong terdapat formula naratif yang terkait dengan jenis adegan tertentu, yaitu khususnya pada adegan-adegan di mana seorang tokoh dari status sosial tinggi (raja atau permaisuri) mendatangi rumah pengasuhnya yang berstatus sebagai pengabdi (Awang atau Inang). Pudentia MPSS (2000: 173-182) telah membuat tabel yang menunjukkan adanya formulaic expressions (ungkapan-ungkapan baku) dengan sedikit raja variasi, pada dialog para pemeran. Pada tabel itu yang ditampilkan hanya dialog para pelaku pria (terutama raja dan Awang), sedangkan untuk dialog para wanita (permaisuri dan Inang) yang ternyata mengikuti formula yang sama, terdapat dalam Lampiran I, khususnya di halaman 254-283). Berikut ini formulanya, dengan R untuk raja atau permaisuri, dan S untuk Awang atau Inang.
R: "Baiklah berapa umur setengah lama ... saya pun sudah sampai di halaman pondok S. Kalau begitu baik, saya endak memanggil S, saya endak ngajak S. kira bicara.
0 yalah S., S. hoi!"
S: "Hai, siapa itu?"
R: "Saya datang, S.!"
S: "Saya datang dari mana Cik hoi?"
R: "Saya datang dari ledang balai (atau: anjung istana), S."
S: "O, Cik datang dari ledang balai / anjung istana, kata"
R: "Iya S."
S: "Masuklah Cik, gubuk / teratak saya ini, Cik"
R: "Saya tak sempat endak naik pondok S."
S: "Bukan begitu Cik, tiap orang harus mau masuk, Cik oi, entah minum kopi atau air ketehe” (variasi: ditambah/diganti "air kelapa").
R: "Hai S., janganlah S. baik budi, baik bahasa. Macam mans saya endak naik. Cobalah S. pandang ke atas, atap kawa bintang; cobalah pandang ke bawah, lantai jungkat-jungkit pijak ujung pangkal menjungkit".
S: "Amboi, Cik datang bukan endak memuji rupanya. Cik suka datang, datanglah. Tak suka datang, pergi balik. Saya punya halaman saya punya raja, saya punya penghulu".
R: "Ayolah S., silalah ke luar".
S: "O, Cik suruh saya ke luar juga, kata".
R: "Iya lah S."
S: "Baiklah. Kalau gitu jaga-jaga, Cik. Cik simpang tcpi-tepi. Saya endak mengojoi. Saya endak ngelengse. Saya endak ngelongso. Kalau terampuh, tergaduh, jangan kata S. bangkak sombong".
Demikianlah selanjutnya, setelah S. melongokkan kepala keluar (mengojoi), lalu menapakkan kaki di ujung tangga (ngelengse), lalu turun (ngelongso), sesampai di bawah menari dengan gaya jenaka, sampai akhirnya menabrak R. Lalu R. marah, mengatakan S. buta. Lalu S. mengatakan ada kelambu di matanya. Ketika matanya diraba oleh R., ia mengatakan, maksudnya kelabu (pandangannya), dan sesudah itu baru sadar siapa yang berdiri di hadapanya, lalu minta ampun.
Suatu contoh lain formula dialog yang terkait dengan jenis adegan adalah misalnya yang terdapat pada adegan pembuka pada drama tari Mamanda, di mama tokoh-tokoh yang tampil memperkenalkan diri. Berikut ini dua variasi yang pada dasarnya sama, diambil dari dua lakon yang disusun oleh Bachtiar Sanderta mengikuti format tradisi Mamanda:
Lakon I: "Harta wan Ilmu"
Harapan I dan II memasuki Balai Persidangan.
Har.I: Jaya Ranggana aku punya ngaran bagalar Astawaja tarpangkat Panganan dalam karajaan Sukalima Ganda Parwangi, apa damintu, sudara?
Har.II: Banar itu, kada salah saudara.
Akulah jua nang bangaran Raksapati bagalar Astawasi tarpangkat Pangiwa atawa Harapan Kadua, apa babanaran saudara?
Har.I: Babanaran itu, saudara.
Kaduanya bakuliling lalu mamariksa Balai Parsidangan dan lalu bajaga-jaga.
Raja, Wazir, Mangkubumi, Pardana Manteri, Parmaisuri, Khadam Inang mamasuki Balai Sidang.
Lakon II: "Rumaidi, Musyafir dari Nargi Airguci"
Dua urang, Panganan wan Pangiwa masuk Balai Parsidangan.
Panganan: Inilah aku punya ngaran Maulana Kalalatu tarpangkat Panganan atawa Harapan Partama, apa banar saudara?
Pangiwa: Mimang kabanaran, saudara.
Aku jua nang bangaran Kurihal Mannan, tarpangkat Pangiwa atawa Harapan Kadua, hujur atawa kada saudara?
Panganan: Bujur haja, saudara.
Balalu mamutar bakuliling, imbahitu babulik ka asal di Panjagaan.
Raja, Wazir, Mangkubumi, Pardana Manteri mamasuki Lawangan Basar, lalu dimulai parsidangan.
Begitulah dua buah contoh yang kiranya dapat memberi gambaran mengenai adanya formula naratif dalam suatu sajian teater tradisi. Formulaic expressions itu seringkali juga tidak hanya terdapat pada ungkapan-ungkapan kebahasaan, baik pada dialog maupun narasi, melainkan juga terdapat pada tata busana dan tata gerak-laku yang dikaitkan dengan jenis-jenis peran tertentu.
G. Penutup
Paparan yang agak ke sana-kemari tersebut di atas kiranya dapat memberikan gambaran bahwa muncul dan berkembangnya sastra Melayu dipengaruhi oleh fakta-fakta ekonomik-sosial-politik, yang masing-masing, secara sendiri-sendiri ataupun bersama-sama dapat mengarahkan perkembangan, melalui fasilitasi maupun pilihan-pilihannya.
Daftar Pustaka
Brandes. J.L.A. 1913. Oud-Javaansche Oorkonden, nagelaten transcripties van wijlen Dr. J.L.A. Brandes. Penyunting: N.J. Krom. Verhandeling Bataviaasch Genootschap 60.
Coedes, George. 1989. "Prasasti Berbahasa Melayu Kerajaan Sriwijaya", dalam G. Coedès dan L.C. Damais, Kedatuan Sriwijaya... (Terjemahan dari "Les inscriptions malaises de Çrīvijaya", Bulletin de l‘Ecole française d‘Extrême-Orient, XXX, 1930: 29-90)
Goris, R. 1954. Prasasti Bali. Vol. I dan II. Bandung: N.V Masa Baru.
Djafar, Hasan. 1992. "Prasasti-prasasti Masa Kerajaan Malayu Kuno dan Beberapa Permasalahannya", Seminar Sejarah Malayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992.
-------. (1994) "Prasasti Dadak (Batara Guru Tuha) dari Daerah Lampung Tengah", naskah.
Fathurahman, Oman. 2003. “Tarekat Syattāriyyah di Dunia Melayu-Indonesia: Kajian atas Dinamika dan Perkembangannya Melalui Naskah-naskah di Sumatra Barat”. Disertasi, Universitas Indonesia.
Kern. H. 1917. Verspreide Geschriften, onder zijn toezicht verzameld. Zesde Deel: Inscripties van den Indischen Archipel. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Poerbatjaraka, R. Ng. 1952. Riwayat Indonesia I. Penerbit Djambatan.
Pudentia MPSS. 2000. “Makyong: Hakikat dan Proses Penciptaan Kelisanan”. Disertasi, Universitas Indonesia.
Sumber: http://www.blogster.com