Oleh: Abdul Malik
1. Pendahuluan
Bahasa Melayu ialah bahasa yang sejak peristiwa bersejarah Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 di Indonesia “dijunjung” sebagai bahasa persatuon, yang bersempena dengan peristiwa politik itu disebut bahasa Indonesia. Lebih kurang tujuh belas tahun sesudah itu, bahasa Melayu. yang juga mendapat nama baru bahasa Indonesia itu, di alam Indonesia merdeka dikukuhkan sebagai bahasa negara sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (UUD 1945), Pasal 36. Jadi, dalam konteks Indonesia, bahasa Melayu, selain dikenal dengan nama aslinya bahasa Melayu, juga disebut bahasa Indonesia. Soal bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu tak ada keraguan di antara para pakar selama ini. Akan tetapi, kawasan bahasa Melayu di dunia ini sangat luas dan variasi bahasa Melayu juga tak sedikit. Berhubung dengan itu, ditinjau dari sudut geografis, banyak sekali dialek Melayu yang tersebar di nusantara ini. Dengan demikian, bahasa Melayu dialek manakah yang “diangkat” menjadi bahasa Indonesia? Berhubung dengan masalah yang disebut terakhir itu, di antara para pakar masih terjadi silang pendapat. Oleh sebab itu, makalah ini berusaha mengungkap masalah yang mustahak Pendahuluan Bahasa Melayu merupakan salah satu bahasa alamiah (bahasa linguistik) di antara 5.000-an bahasa alamiah yang ada di dunia ini. Sejak bila tepatnya bahasa Melayu dikenal di muka bumi ini tak ada orang yang mengetahuinya dengan pasti setakat ini. Walaupun begitu, dari sumber prasejarah, diyakini bahwa bahasa Melayu telah digunakan oleh bangsa Melavu sejak tahun 2.500 S.M. (lih. juga Tahir, 1992:14). Keyakinan itu didasari oleh kenyataan bahwa pada abad ketujuh (Sriwijaya) bahasa Melayu sudah mencapai kejayaannya. Tak ada bahasa di dunia ini yang dapat berjaya secara tiba-tiba tanpa melalui perkembangan tahap demi tahap. Sejauh yang dapat ditelusuri, puncak pertama kejayaan bahasa Melayu terjadi sejak abad ketujuh (633 M) sampai dengan abad keempat betas (1397 M.) yaitu pada masa Kemaharajaan Sriwijaya. Menurut Kong Yuan Zhi (1993:1), pada November 671 Yi Jing (635-713), yang di Indonesia lebih dikenal sebagai I-tsing, berlayar dari Guangzhou (Kanton) menuju ke India dalam kapasitasnya sebagai pendeta agama Buddha. Kurang dari dua puluh hari ia sampai di Sriwijaya, yang waktu itu sudah menjadi pusat pengkajian ilmu agama Buddha di Asia Tenggara. Di Sriwijayalah selama lebih kurang setengah tahun Yi Jing belajar sabdawidya (tata bahasa Sansekerta) sebagai persiapan melanjutkan perjalanannya ke India. Setelah tiga belas tahun belajar di India (Tamralipiti/Tamluk), ia kembali ke Sriwijaya dan menetap di sana selama empat tahun (686-689) untuk menyalin kitab-kitab suci agama Buddha. Setelah itu ia kembali ke negerinya, tetapi pada tahun yang sama ia datang kembali ke Sriwijaya dan menetap di sana sampai 695. Dari catatan Yi Jing itulah diketahui bahasa yang disebutnya sebagai bahasa Kunlun, yang dipakai secara luas sebagai bahasa resmi kerajaan, bahasa agama, bahasa ilmu dan pengetahun, bahasa perdagangan, dan bahasa dalam komunikasi sehari-hari masyarakat. Ringkasnya, bahasa Kunlunmerupakan bahasa yang digunakan Kemaharajaan Sriwijaya dengan seluruh daerah taklukannya yang meliputi Asia Tenggara. Ternyata, bahasa Kunlun yang disebut Yi Jing dalam catatannya itu ialah bahasa Melayu Kuno. Dari perenggan di atas jelaslah bahwa bahasa Melayu (Kuno) sudah tersebar luas di Asia Tenggara sejak abad ketujuh karena digunakan sebagai bahasa resmi Kemaharajaan Sriwijaya. Itu pulalah sebabnya, bahasa Melayu mampu menjadi lingua franca di Asia Tenggara. Masa Sriwijaya itu dikenal sebagai tradisi Melayu-Buddha dengan peninggalannya berupa prasasti-prasasti di Kedukan Bukit,Palembang (tahun Saka 605 = 683 M.), di Talang Tuwo, Palembang (tahun Saka 606 = 864 M.), di Kota Kapur, Bangka (tahun Saka 608 = 686 M.), di Karang Berahi, hulu Sungai Merangin (tahun saka 608 = 686 M.). Semua prasasti itu menggunakan huruf Pallawa (India Selatan) dan bercampur dengan kata pungut dari bahasa Sansekerta. Setelah masa kegemilangan dan kecemerlangan Sriwijaya meredup, pusat tamadun Melayu berpindah-pindah. Perpindahan itu dimulai dari Bintan, Melaka, Johor, Bintan, Lingga, dan Penyengat Indrasakti. Antara abad ke-12 hingga abad ke-13 berdirilah kerajaan Melayu di Selat Melaka. Kerajaan Melayu tua itu dikenal dengan nama Kerajaan Bintan-Tumasik, yang wilayah kekuasaannya meliputi Riau dan Semenanjung Tanah Melayu. Sesudah masa Bintan-Tumasik inilah termasyhur pula Kerajaan Melaka. Pada awal abad kelima belas Kerajaan Melaka sudah menjadi pusat perdagangan dunia di sebelah timur yang maju pesat. Para saudagar yang datang dari Persia, Gujarat, dan Pasai —sambil berniaga— juga menyebarkan agama Islam di seluruh wilayah kekuasaan Melaka. Tak hanya itu, mereka pun menyebarkan bahasa Melayu karena penduduk tempatan yang mereka kunjungi tak memahami bahasa para pedagang itu, begitu pula sebaliknya. Jalan yang harus ditempuh ialah menggunakan bahasa Melayu. Bersamaan dengan masa keemasan Melaka ini, dimulailah tamadun Melayu-Islam. Pada masa kejayaan Melaka itu bahasa dan kesusastraan Melayu turut berkembang. Bahasa Melayu menjadi bahasa resmi kerajaan, bahasa perdagangan, bahasa ilmu dan pengetahuan, di samping bahasa perhubungan sehari-hari rakyat. Bahasa Melayu yang berkembang pada zaman Melaka ini disebut bahasa Melayu Melaka. Malangnya, pada tahun 1511 M Kerajaan Melaka dapat ditaklukkan oleh Portugis dan lebih tragis lagi khazanah kebudayaan zaman Melaka itu musnah terbakar ketika terjadi penyerbuan oleh penjajah tersebut. Sultan Mahmud Syah berundur ke Pohang, lalu mendirikan pusat kerajaan Melayu di Bintan pada tahun 1513. dengan wilayahnya meliputi Indragiri, Siak, Kampar, Rokan, dan lain-lain. Kota Bintan juga diranapkan oleh Portugis pada 1526 sehingga Sultan Mahmud beredar ke Kampar hinggalah beliau meninggal di sana. Dengan demikian, Sultan Mahmud merupakan raja terakhir dari Imperium Melayu Melaka, yang sekaligus pula menjadi sultan pertama Kerajaan Riau-Johor. Teraju kepemimpinan Melayu dilanjutkan oleh putra Sultan Mahmud yang bergelar Sultan Ala‘uddin Riayat Syah II. Beliau mendirikan negara Melayu baru yang pemerintahannya berpusat di Johor pada 1530. Beliau berkali-kali berusaha untuk merebut kembali Melaka, tetapi tetap tak berjaya. Walaupun begitu, di Johor ini dilakukan pembinaan dan pengembangan bahasa dan kesusastraan untuk menggantikan khazanah Melaka yang telah musnah. Di samping itu, diterbitkan pula karya-karya Baru. Di antara karya tradisi Johor itu yang terkenal ialah Sejarah Melayu (Sulatu‘s Salatin ‘Peraturan Segala Raja‘) tulisan Tun Mahmud Sri Lanang yang bergelar Bendahara Paduka Raja. Karya yang amat masyhur ini mulai ditulis di Johor pada 1535 selesai pada 1021 H. bersamaan dengan 13 Mei 1612 di Lingga. Bahasa yang digunakan dalam tradisi Johor ini biasa disebut bahasa Melayu Riau-Johor atau bahasa Melayu Johor-Riau. Pada masa Kerajaan Riau-Johor atau dikenal dengan nama Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang, pusat kerajaan selalu berpindah-pindah: antara Bintan, Lingga, Penyengat Indrasakti, dan Johor (yang meliputi Tumasik [Singapura] dan Pahang). Semua itu dilakukan sebagai taktik raja-raja Melayu menghadapi penjajah. Misi Belanda di bawah pimpinan William Velentyn yang berkunjung ke Riau (Kepulauan) pada 2 Mei 1687 mendapati Riau sebagai bandar perdagangan yang maju dan ramai. Orang-orang dari pelbagai penjuru dunia datang ke sana dan mereka terkagum-kagum akan kepiawaian orang Riau dalam bidang perdagangan dan kelautan umumnya. Pada tahun 1778, perdagangan di Kerajaan Riau bertambah maju dengan pesat. Dengan sendirinya, rakyat hidup dengan makmur, yang diikuti oleh kehidupan beragama (Islam) yang berkembang pesat.Kala itu pemerintahan dipimpin oleh Raja Haji, Yang Dipertuan Muda Riau IV. Raja Haji pulalah yang membangun koalisi nusantara yang terdiri atas Batu Bahara, Siak, Indragiri, Jambi, pesisir Kalimantan, Selangor, Naning, dan Rembau, bahkan mencoba berhubungan dengan para raja di Jawa dalam melawan kompeni Belanda untuk membela marwah bangsanya. Akhirnya, beliau syahid di medan perang pada 19 Juni 1784 di Teluk Ketapang. Pada 1824, melalui Treaty of London (Perjanjian London). Kerajaan Riau-Lingga-Johor-Pahang dibagi dua. Riau-Lingga berada di bawah Belanda, sedangkan Johor-Pahang di bawah Inggris. Pada permulaan abad ke-19 di Singapura bersinar kepengarangan Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Buah karyanya yang kesemuanya dalam bahasa Melayu, antara lain, Syair Singapura Terbakar (1830), Kisah Pelayaran Abdullah dari Singapura ke Kelantan (1838), Dawa ul Kulub (?), Syair Kampung Gelam Terbakar (1847), Hikayat Abdullah (1849), Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jedah (1854). Selain itu, karya-karya terjemahannya antara lain, Hikayat Pancatanderan (1835), Injil Matheus (bersama Thomsen), Kisah Rasul-rasul, dan Henry dan Pengasuhnya (bersama Paderi Keasberry). Karya-karya Abdullah itu penting artinya bagi pengembangan bahasa Melayu, apalagi karya-karyanya itu tak lagi bersifat istana sentris, sebagai langkah awal menuju tradisi Melayu modern. Pembinaan Bahasa di Kerajaan Riau-Lingga Di Kerajaan Riau-Lingga pada pertengahan dan akhir abad ke-19 serta awal abad ke-20 kreativitas ilmu, pengetahuan, dan budaya mengalir dengan subur. Tak berlebihanlah apabila disebut bahwa pada abad itu Kerajaan Riau-Lingga menjadi pusat tamadun Melayu-Islam. Di antara para penulis dan karya-karyanya disenaraikan berikut ini. • Raja Ali Haji (1808-1873) paling masyhur di antara kaum intelektual Riau kala itu. Beliau menulis dua buah buku dalam bidang bahasa (Melayu) yaitu Bustanul Katibin (1857) dan Kitab Pengetahuan Bahasa (1858). Buah karyanya yang lain dalam bidang hukum dan pemerinthan yaitu Tsamarat Al-Muhimmah dan Muqoddima Fi Intizam, bidang sejarah Silsilah Melayu dan Bugis (1866) dan Tuhfat Al-Nafis (1865), bidang filsafat yang berbaur dengan puisi Gurindarn Dua Belas (1847), bidang sastra (puisi), yang ada juga berbaur dengan bidang agama Syair Abdul Muluk (1846), Syair Sinar Gemala Mestika Alam, Syair Suluh Pegawai, dan Syair Siti Sianah. Karyanya yang lain ialah Al-Wusta, Al-Qubra, dan Al-Sugra. Dia juga diperkirakan menulis naskah Peringatan Sejarah Negeri Johor. • Abu Muhammad Adnan menghasilkan karya asli dan terjemahan. Karyanya dalam bidang bahasa adalah Kitab Pelajaran Bahasa Melayu dengan rangkaian Penolong Bagi yang Menuntut Akan Pengetahuan yang Patut, Pembuka Lidah dengan Teladan Umparna yang Mudah, Rencana Madah pada Mengenal Diri yang Indah. Selain itu, dia juga menulis Hikayat Tanah Suci, Kutipan Mutiara,Syair Syahinsyah, Ghayat al-Mona, dan Seribu Satu Hari. • Raja Ali Kelana menghasilkan karya dalam bidang bahasa yaitu Bughiat al-Ani Fi Huruf al-Ma‘ani. Karyanya yang lain ialah Pohon Perhimpunan, Perhimpunan Pelakat, Rencana Madah, Kumpulan Ringkas Berbetulan Lekas, dan Percakapan Si Bakhil. • Haji Ibrahim. Dari penulis ini, Kepulauan Riau mewarisi paling tidak lima buah buku. Karyanya dalam bidang bahasa ialah Cakap-Cakap Rampai-Rampai Bahasa Melayu-Johor (dua jilid; penerbitan pertama 1868 dan kedua 1875, di Batavia). Karya-karyanya yang lain ialah Perhimpunan Pantun-Pantun Melayu, Hikayat Raja Damsyik, Syair Raja Damsyik, dan Cerita Pak Belalang dan Lebai Malang. • Raja Ahmad Engku Haji Tua (ayahnda Raja Ali Haji menulis tiga buah buku: (1) Syair Engku Puteri, (2) Syair Perang Johor, dan (3) Syair Raksi. Dia juga mengerjakan kerangka awal buku Tuhfat al-Nafis yang kemudian, disempurnakan dan diselesaikan oleh anaknya, Raja Ali Haji. • Raja Haji Daud, saudara seayah Raja Ali Haji. Dia menulis buku (1) Asal Ilmu Tabib dan (2) Syair Peperangan Pangeran Syarif Hasyim. • Raja Hasan, anak laki-laki Raja Ali Haji, diketahui menulis sebuah Syair. Syair Burung nama gubahannya itu. • Umar bin Hasan. Menulis buku Ibu di dalam Rumah Tangga. • Khalid Hitam. Selain aktif dalam kegiatan politik, ia juga dikenal sebagai pengarang. Karyanya (1)Syair Perjalanan Sultan Lingga dan Yang Dipertuan Muda Riau Pergi ke Singapura, (2) Peri Keindahan Istana Sultan Johor yang Amat Elok, dan (3) Tsamarat al-Matlub Fi Anuar al-Qulub. • Raja Haji Ahmad Tabib menulis lima buah buku. Kelima buku tersebut adalah (1) Syair Nasihat Pengajaran Memelihara Diri, (2) Syair Raksi Macam Baru, (3) Syair Tuntutan Kelakuan, (4) Syair Dalail al-Ihsan, dan (5) Syair Perkawinan di Pulau Penyengat. • Yang Dipertuan Muda Riau Raja Ali menulis (1) Hikayat Negeri Johor dan (2) Syair Nasihat. • Yang Dipertuan Muda Riau Raja Abdullah menghasilkan karya (1) Syair Madi, (2) Syair Kahar Masyhur, (3) Syair Syarkan, dan (4) Syair Encik Dosman. • Raja Haji Muhammad Tahir sehari-hari dikenal sebagai hakim. Walaupun begitu, dia juga menghasilkan karya sastra yaitu Syair Pintu Hantu • Raja Haji Muhammad Said dikenal sebagai penerjemah. Karya terjemahannya (1) Gubahan Permata Mutiara (terjemahan karya Ja‘far al-Barzanji) dan (2) Simpulan Islam (terjemahan karya Syaikh Ibrahim Moshiri). • Abdul Muthalib menghasilkan dua buah karya: (1) Tazkiratul Ikhtisar dan (2) Ilmu Firasat Orang Melayu. Pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20 dunia kepengarangan di Kerajaan Riau-Lingga juga diramaikan oleh penulis-penulis perempuan. Di antara mereka terdapat nama Raja Saliha. Dia dipercayai mengarang Syair Abdul Muluk bersama Raja Ali Haji. Raja Safiah mengarang Syair Kumbang Mengindera dan saudaranya Raja Kalsum menulis Syair Saudagar Bodoh. Kedua penulis perempuan itu adalah putri Raja Ali Haji. Pengarang perempuan yang juga sangat terkenal waktu itu adalah Aisyah Sulaiman. Cucu Raja Ali Haji itu menulis (1) Syair khadamuddin, (2) Syair Seligi Tajam Bertimbal, (3) Syamsul Anwar, dan (4) Hikayat Shariful Akhtar. Masih ada paling tidak dua orang penulis perempuan lagi yang menulis karya asli. Pertama, Salamah binti Ambar menulis dua buku yaitu (1) Nilam Permata dan, (2) Syair Nasihat untuk Penjagaan Anggota Tubuh. Kedua, Khadijah Terung menulis buku Perhimpunan Gunawan bagi Laki-Iaki dan Perempuan. Penulis perempuan yang lain ialah Badriah Muhammad Thahir. Dia memusatkan perhatian dalam bidang penerjemahan. Karya terjemahannya adalah Adab al-Fatat, berupa terjemahan dari karya Ali Afandi Fikri. Untuk mengoptimalkan kreativitas intelektual dan kultural mereka, para cendekiawan dan budayawan Kerajaan Riau-Lingga itu mendirikan pula Rusydiyah Klab pada 1880. Rusydiyah Klab merupakan perkumpulan cendekiawan Riau-Lingga, tempat mereka membahas berbagai hal yang berkaitan dengan ihwal pekerjaan mereka itu. Dunia kepengarangan tak akan lengkap tanpa percetakan. Sadar akan kenyataan itu, kerajaan mendirikan percetakan (1) Rumah Cap Kerajaan di Lingga, (2) Mathba‘at Al-Riauwiyah di Penyengat, dan (3) Al-Ahmadiyah Press di Singapura. Dengan adanya ketiga percetakan itu, karya-karya Riau-Lingga itu dapat dicetak dengan baik, yang pada gilirannya disebarluaskan. Bahasa Melayu yang dibina dan dikembangkan pada masa Imperium Melayu sejak abad ke-14 sampai dengan abad ke-19 itu disebut bahasa Melayu Klasik. Ciri utamanya ialah begitu melekat dan bersebatinya bahasa Melayu itu dengan Islam. Oleh sebab itu, tamadun yang dinaunginya terkenal dengan sebutan tamadun Melayu-Islam. Dari tamadun, itulah bangsa Melayu mewarisi tulisan Jawi atau tulisan Arab-Melayu. Peran Bahasa Melayu pada Masa Penjajahan Pada masa pendudukannya di nusantara ini pemerintah kolanial Belanda berkali-kali berusaha untuk mengatasi kedudukan istimewa bahasa Melayu, yang hendak digantikannya dengan bahasa Belanda. Ketika pada 1849 Pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah bagi orang Jawa, muncullah persoalan bahasa: bahasa apakah yang harus digunakan sebagai bahasa pengantar? Terjadilah perselisihan pendapat. Akan tetapi, Gubernur Jenderal Rochussen dengan tegas berpandangan bahwa pengajaran itu harus diantarkan dengan bahasa Melayu karena sudah menjadi alat komunikasi di seluruh Kepulauan Hindia. Ada satu hal lagi yang tak boleh dilupakan dalam kaitannya dengan perkembangan bahasa Melayu di nusantara ini. Walau di bawah penjajahan Belanda, bahasa Melayu tetap digunakan sebagai bahasa resmi antara pihak Belanda dan raja-raja serta pemimpin rakyat kala itu. Oleh C.A. Mees (1957:16) disimpulkannya, “Demikianlah bahasa Melayu itu mempertahankan sifat yang internasional dan bertambah kuat dan luaslah kedudukannya yang istimewa itu.” Memasuki abad ke-20 bahasa Melayu memainkan peran sebagai bahasa pergerakan nasional. Ketika Dewan Rakyat dilantik pada 1918, dimunculkan keinginan akan bahasa persatuan. Pada 25 Juni 1918. berdasarkan Ketetapan Raja Belanda, para anggota Dewan diberi kebebasan menggunakan bahasa Melayu. Begitulah selanjutnya, berdirinya penerbit Balai Pustaka dengan Majalah Panji Pustaka, Majalah Pujangga Baru, Surat Kabar Bintang Timur (Jakarta), Pewarta Deli (Medan), organisasi sosial dan politik, semua menggunakan bahasa Melayu. Di antaranya ada yang berdiri sebelum dan sesudah peristiwa Kongres Pemuda yang mencetuskan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, yang mengangkat Bahasa Melayu Riau menjadi bahasa Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) kedudukan bahasa Melayu (Indonesia) menjadi lebih kuat lagi karena pemerintah kolonial Jepang tak mengizinkan bangsa Indonesia menggunakan bahasa Belanda. Alhasil, dalam waktu hanya tujuh belas tahun sejak 1928 dengan menggunakan bahasa Indonesia (bahasa Melayu) sebagai alat perjuangan, bangsa Indonesia berhasil merebut kembali kemerdekaannya. Padahal, sebelum itu bangsa kita sudah berjuang lebih kurang 333 tahun, tetapi tak mampu mengusir penjajah. Persilangan Pendapat Seperti yang sudah disebutkan pada bagian awal tulisan ini, masih terdapat persilangan atau perbedaan pendapat tentang asal-usul bahasa Indonesia. Kesepakatan yang ada hanya bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu? Bahasa Melayu yang mana? Para sarjana dan pakar bahasa tampaknya banyak yang mengikuti jalan mereka masing-masing, dan sering tak memperhatikan kenyataan yang objektif, dalam menjawab pertanyaan itu sehingga mengaburkan perkara yangmustahak ini. Mengikuti Rogers T. Bell, Alwasilah (1985:119-120) mengemukakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari variasi pijin bahasa Melayu. “Bahasa Indonesia berasal dari satu variasi pijin bahasa Melayu, yang dengan demikian, tak ada masyarakat pemakai B1 [bahasa pertama, AM)- nya, lebih menyukainyo daripada bahasa Jawa dengan 40 persen penutur. Pemilihan ini sangatlah menarik dari segi sosiolinguistik karena ini memperlihatkan keputusan untuk mengangkat satu bahasa pijin don menyesua":onnya dalam pemakaian sebagai bahasa nasional, yaitu mengubahnya menjadi satu bahasa baku." (Bell, 1976:167). Pendapat lain menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari variasi kreol bahasa Melayu. Sarjana yang berpandangan demikian, antara lain, R.A. Hall Jr. (lih Kridalaksana, 1991:175-176). Soal mitos bahasa Indonesia berasal dari pijin dan kneel Melayu sudah dibantah oleh Harimurti Kridalaksana (1991:176-177). Dalam bantahan itu disebutkan, antara lain, bahwa ketika diangkat menjadi bahasa Indonesia 1928, bahasa Melayu secara substansiil sudah merupakan bahasa penuh (full-fledged language) dan menjadi bahasa ibu masyarakat yang tinggal di wilayah Sumatera sebelah timur, Riau, dan Kalimantan, dan sudah mempunyai kesusastraan yang berkembang —kesusastraan yang lazim disebut Angkatan Balai Pustaka atau Angkatan 20— yang berhubungan historis dengan kesusastraan Melayu Klasik yang sudah berkembang sejak abad ke-14. Selanjutnya, menurut Kridalaksana, "Sebelum menjadi bahasa Indonesia, bahasa Melayu telah mengalami proses standardisasi terutama melalui sistem pendidikan kolonial Belanda." Ada pula pendapat yang menekankan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Balai Pustaka. Pasalnya, para penulis Balai Pustaka itulah yang menyebarluaskan bahasa Melayu sehingga dikenal di seluruh nusantara. Soal itu akan dibahas berikut ini. Perihal bahasa Indonesia merupakan nama lain dari bahasa Melayu banyak pakar yang sependapat. Dalam esainya yang dimuat dalam majalah Pujangga Baru pada 1933, S. Takdir Alisjahbana mengalakan: "Nyatalah kepada kita, bahwa perbedaan yang sering dikemukakan orang [antara bahasa Indonesia dan bahasa Melayu, AM] itu tiada beralasan sedikit juapun. Dan saya yakin, bahwa meski bagaimana sekalipun orang tiada akan mungkin menunjukkan perbedaan yang sesungguh2nya nyata antara bahasa yang disebut sekarang bahasa Indonesia dengan bahasa yang disebut bahasa Melayu” (Alisjahbana, 1978:47). Tokoh lain yang perlu disebut ialah R.M. Suwardi Suryaningrat yang lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara. Dalam makalahnya “Bahasa Indonesia di dalam Perguruan”, yang disajikan dalam Kongres Bahasa Indonesia I di Solo pada 1938, beliau lebih tegas lagi menyebutkan, “Yang dinamakan ‘bahasa Indonesia‘ adalah bahasa Melayu dasarnya berasal dari ‘Melayu Riau‘ ….” (Puar, 1985:324; lih. Juga Malik, 1992:3). Selanjutnya, dalam rumusan hasil Kongres Bahasa Indonesia II, Medan, 1954 sekali lagi ditegaskan: “. . . asal bahasa Indonesia ialah bahasa Melayu. Dasar bahasa Indonesia ialah bahasa Melayu yang disesuaikan dengan pertumbuhannya dalam masyarakat Indonesia sekarang” (lih. Malik, 1992:3). Dari beberapa kutipan penting itu jelaslah bahwa bahasa Melayu dan bahasa Indonesia itu adalah bahasa yang sama. Lagi pula, secara linguistik, bahasa—yang karena memiliki dua nama sehingga selalu dipertentangkan dan diperbedakan—itu adalah bahasa yang satu karena sistemnya (fonologi, morfologi, dan sintaksis) sama. Malah, Ki Hajar Dewantara, secara kesatria, menegaskan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Riau. Pendapat yang menyebutkan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu Balai Pustaka sangat kurang beralasan. Pasalnya, bahasa Melayu Tinggi yang diajarkan di sekolah-sekolah pada masa pemerintahan Hindia Belanda adalah bahasa Melayu Riau. Bahasa itu disebut Melayu Tinggi karena sudah mengalami proses standardisasi yang diupayakan oleh para cendekiawan Kerajaan Riau-Lingga pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Soal pemakaian bahasa, dalam tradisi Riau-Lingga, memang dituntut tanggung jawab yang besar. Lembaga pendidikan Kweekschool di Bukittinggi merupakan tempat bahasa Melayu Tinggi atau bahasa Melayu Riau diajarkan. Alumni dari sekolah itulah yang kebanyakannya menjadi penulis Balai Pustaka. Yang jelas, bahasa ibu para penulis Balai Pustaka itu sangat berbeda dengan bahasa yang mereka gunakan dalam tulisan-tulisan mereka. Tulisan-tulisan mereka menggunakan bahasa Melayu Tinggi atau bahasa Melayu Riau yang memang mereka pelajari di sekolah. Ternyata, bahasa Melayu Riau juga memiliki dialek-dialek yang beragam. Kalau demikian keadaannya, di manakah tempat asal bahasa Indonesia, yang diangkat dari bahasa Melayu Riau itu? Untuk menjawab pertanyaan itu, dapatlah dicermati rujukan berikut ini. Dalam buku Kees Groeneboer, JaIan ke Barat (1995:166) tercatat Pasal 28 dari Peraturan untuk Pendidikan Dasar Pribumi dari tahun 1872, yang berbunyi sebagai berikut. “Untuk pendidikan dalam bahasa rakyat, dipakai bahasa yang paling murni ucapannya dan yang paling berkembang di tempat-tempat seperti bahasa Jawa menurut bahasa yang biasa dipakai di Surakarta, bahasa Sunda menurut yang biasa dipakai di Bandung, bahasa Batak menurut bahasa yang dipakai di Mandailing, bahasa Melayu akan diajarkan menurut aturan dan ejaan bahasa Melayu murni yang dipergunakan di Semenanjung Melaka dan di Kepulauan Riau [huruf tebal oleh AM], dan bahasa-bahasa selebihnya akan ditentukan kemudian” (KG 25-5-1872, Stb. No. 99, dalam Brouwer 1899: Lampiran I). Karena bahasa Indonesia diangkat dari bahasa Melayu Riau pada peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, dengan penjelasan di atas, menjadi jelaslah tempat asalnya. Dalam hal ini, tempat asal bahasa Indonesia tak lain tak bukan Kepulauan Riau. Kenyataan itu tak terbantahkan oleh upaya pembinaan bahasa yang memang sudah dilakukan oleh Raja Ali Haji dkk sejak abad ke-19 sampai dengan awal abad ke-20 di Kerajaan Riau-Lingga yang pusat pemerintahannya memang di kawasan yang sekarang disebut Propinsi Kepulauan Riau. Penutup Bahasa Melayu sejak abad ke-7 sudah menjadi bahasa yang penting di nusantara. Dari masa kegemilanngan Sriwijaya, yang mengembangkan tamadun Melayu-Buddha, hingga masa-masa kecemerlangan Imperium Melayu Melaka, Johor-Riau atau Riau-Johor, dan Riau-Lingga, yang mengembangkan tamadun Melayu-Islam, bahasa Melayu telah memainkan perannya yang penting dalam bidang perdagangan, pemerintahan, agama, ilmu dan pengetahun, dan sosial-budaya umumnya. Itulah sebabnya, bahasa Melayu menjadi lingua franca, yang pada gilirannya menjadi bahasa internasional kala itu. Pembinaan yang intensif yang dilakukan oleh Raja Ali Hail dkk. di Kerajaan Riau-Lingga sejak abad ke-19 sampai dengan awal abad ke-20 memungkinkan bahasa Melayu Riau menjadi bahasa baku, yang biasa disebut bahasa Melayu Tinggi. Bahasa Melayu Tinggi itulah, pada peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, yang diangkat menjadi bahasa Indonesia. Dengan demikian, Kepulauan Riau merupakan tempat asal bahasa Indonesia, yang dalam alam Indonesia merdeka berkedudukan sebagai bahasa nasional sekaligus bahasa negara. Daftar Pustaka • Alisjahbana, S Takdir, 1978. Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat. • Alwasilah. A Chaedar, 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa. • Badudu, J.S. 1982. Pelik-Pelik Bahasa Indonesia. Bandung: Pustaka Prima • Bell. Rogers T. 1976. Sociolinguistics: Goals, Approaches, and Problems. London B T Batsfort • Crystal, David. 1980. A First Dictionary of Linguistics and Phonetics. Cambridge. University Press. • Fishman, Joshua A. 1974. Advances in Language Planning. The Hague: Mouton. • Gardner, Robert dan Wallace Lambert. 1972. Attitudes and Motivation in Second Language Learning. Rowley, Mass: Newbury House Publishers. • Junus, Hasan. 2000. Raja Haji Fisabilillah: Hannibal dari Riau. Tanjungpinang, Hubungan Masyarakat Pemerintah Daerah Kepulauan Riau. • Kong Yuan Zhi. 1993. “Bahasa Kunlun dalam Sejarah Bahasa Melayu,” makalah Simposium Internasional Ilmu-Ilmu Humaniora II: Bidang Sejarah dan Linguistik, Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 26-27 April 1993. • Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. • ___________________. 1991. Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Yogyakarta: Kanisius. • Malik, Abdul. 1992. “Perkembangan Bahasa Melayu Masa Kini: Kasus Indonesia”. Makalah Seminar Internasional Bahasa Melayu sebagai Bahasa Pergaulan Bangsa Asean dan Bangsa Serumpun, Tanjungpinang, 7-10 September 1992. • Malik, Abdul, dan Hasan Junus. 2000. “Studi tentang Himpunan Karya Raja Ali Haji”. Pekanbaru. Bappeda Propinsi Riau dan PPKK, Unri. • Mees, C.A. 1957. Tatabahasa Indonesia. Jakarta: J.B. Wolters. • Moeliono, Anton M. 2000. “Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi,” dalam Hasan Alwi dkk. (Eds.) Bahasa Indonesia dalam Era Globalisasi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. • Puar, Yusuf Abdullah (Ed.). 1985. Setengah Abad Bahasa Indonesia. Jakarta Idayus.