Lampung - Sunda Pada Masa Klasik

Oleh: Nanang Saptono

Pendahuluan
Lampung dapat dimaknai sebagai kelompok etnik yang menggunakan Bahasa Lampung. Secara adat, yang termasuk masyarakat Lampung tidak sebatas yang berada di Propinsi Lampung, tetapi juga masyarakat di daerah Danau Ranau, Muaradua, Komering, hingga Kayu Agung, Provinsi Sumatera Selatan (Hadikusuma, 1989: 159). Munculnya sebutan Lampung mungkin masih relatif baru. Asumsi ini didasari pada kenyataan bahwa tidak pernah didapatkan sumber sejarah klasik yang menyebut Lampung, kecuali dalam kakawin Nagarakrtagama karya Mpu Prapanca. Pada pupuh 13 dan 14 menyebut daerah-daerah Melayu yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Daerah-daerah itu adalah Jambi, Palembang, Toba, Dharmasraya, Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Pane, Kampe, Haru, Mandailing, Tamihang, Parlak, Padang Lawas, Samudra, Lamuri, Batan, Lampung, dan Barus (Muljana, 1979: 146 dan 279). Menurut pemberitaan dalam Nagarakrtagama, Lampung termasuk wilayah Kerajaan Melayu.

Sumber asing yang berkaitan dengan Lampung, cenderung menunjuk pada lokasi tertentu. Berita Cina menyebut Yeh-po-ti dan Po-hwang yang ada kaitannya dengan San-fo-tsi (Sriwijaya). Yeh-po-ti disebutkan dalam catatan perjalanan Fa-Hsien. Pada tahun 414 kapal yang ditumpangi Fa-Hsien terserang badai sehingga harus singgah di Yeh-po-ti. Masyarakatnya merupakan penganut Hindu. Lokasi ini hanya disebutkan satu kali saja. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ekspedisi Cina jarang mendatangi lokasi ini. Yeh-po-ti dapat diasumsikan sebagai transliterasi dari Seputih (Sholihat, 1980: 5).

Po-hwang disebutkan dalam berita Cina pernah mengirim utusan ke negeri Cina pada tahun 442, 449, 451, 455, 456, 459, 464, dan 466. Toponim ini biasa dianggap sebagai singkatan dari toponim To-lang-po-hwang yang oleh G. Ferrand diidentifikasikan dengan Tulangbawang. R.M.Ng. Poerbatjaraka juga berpendapat bahwa To-lang P’o-hwang yang disebut dalam sejarah dinasti Liang, merupakan sebuah kerajaan di daerah aliran Way Tulangbawang (Sumadio, 1990: 79; Muljana, 1981: 20).

Tulangbawang selain disebut dalam berita Cina juga terdapat dalam sumber Portugis. Perjalanan Tome Pires dari Laut Merah ke Jepang pada tahun 1512 hingga 1515 memberikan gambaran tentang keadaan dua lokasi di Lampung yaitu Tulangbawang dan Sekampung. Tulangbawang merupakan lokasi yang berbatasan dengan Sekampung dan Andalas. Sebagian masyarakat Tulangbawang masih kafir atau penyembah berhala. Daerah ini merupakan penghasil lada, emas, kapas, lilin, rotan, beras, ikan, dan buah-buahan. Jalan masuk satu-satunya hanya melalui sungai. Perdagangan dilakukan dengan Jawa dan Sunda. Barang dagangan dikumpulkan kemudian dilakukan perdagangan antarpulau. Perjalanan dari Tulangbawang ke Sunda menyeberangi lautan dalam sehari sedangkan ke Jawa memerlukan waktu dua hari (Cortesão, 1967: 158 – 159).

Sekampung merupakan daerah yang sangat melimpah barang-barang komoditas seperti hasil bumi dan hasil hutan. Perdagangan dilakukan dengan Sunda dan Jawa. Barang dagangan meliputi kapas, emas, madu, lilin, rotan, dan lada. Bahan makanan yang diperdagangan berupa beras, daging, ikan, minuman keras (wines), dan buah-buahan. Penguasa Sekampung yang disebut pate masih kafir. Masyarakatnya juga masih kafir. Perjalanan dari Sekampung ke Jawa menyeberang laut dengan menggunakan perahu (lancharas) dalam waktu tiga hari, sedangkan ke Sunda selama satu hari (Cortesão, 1967: 158).

Sebagaimana Lampung, Sunda juga dapat dimaknai sebagai kelompok etnik. Kelompok ini mendiami suatu kawasan geografis yang berada di Jawa bagian barat. Sebutan Sunda juga terdapat pada beberapa sumber sejarah. Prasasti Rakryan Juru Pengambat (854 Ś atau 932 M), yang ditemukan di Bogor menyebut ba(r) pulihkan haji sunda. Kalimat ini menyiratkan bahwa Sunda merupakan nama kerajaan yang kekuasaannya dipulihkan kembali. Naskah kuna Carita Parahyangan menyebut Sunda sebagai nama kawasan (Sumadio, 1990: 356). Daerah yang dimaksud adalah dari Citarum ke barat (Danasasmita, 1975: 49). Selain sumber lokal, sebutan Sunda juga terdapat pada beberapa sumber asing. Berita Cina dari dinasti Ming menyebut-nyebut kerajaan Sun-la (Groeneveldt, 1960: 44). Berita Portugis dari Tomé Pires menyebutkan adanya kerajaan bernama regño de çumda yang sudah menjalin hubungan dagang dengan Portugis. Kerajaan ini mempunyai enam kota pelabuhan di sepanjang pantai utara. Cheguide merupakan salah satu kota pelabuhan yang merupakan pintu gerbang perdagangan dari Pariaman, Andalas, Tulangbawang, Sekampung, dan tempat-tempat lain (Cortesão, 1967: 166 -- 171). Berdasarkan berbagai sumber sejarah, Sunda dapat dimaknai sebagai suatu kerajaan dan juga wilayah. Hubungan dagang Kerajaan Sunda selain dengan Portugis juga dengan daerah-daerah lain di Sumatera antara lain Tulangbawang dan Sekampung.

Dilihat dari sumber sejarah masa klasik, sebutan Lampung hanya dijumpai dalam uraian Nagarakrtagama. Berkaitan dengan Lampung, baik sumber Cina maupun Portugis menyebut lokasi yang lebih spesifik yaitu Tulangbawang dan Sekampung. Dua daerah ini diberitakan sangat intensif melakukan hubungan dagang dengan Sunda. Sebutan Sunda dalam sumber sejarah pertama kali muncul pada prasasti Rakryan Juru Pengambat (854 Åš atau 932 M). Pada berbagai sumber sejarah, sebutan Sunda selain merujuk pada satu kawasan juga merupakan satu institusi kekuasaan berupa kerajaan. Dalam kenyataannya baik di Tulangbawang, Sekampung, maupun Sunda terdapat banyak situs yang mengindikasikan bahwa masyarakatnya pernah menjalin kontak terutama perdagangan. Selanjuytnya dibahas kemungkinan adanya kontak antar masyarakat pendukung situs di Lampung dan Sunda dalam kaitannya dengan perdagangan dan pengaruh budaya akibat interaksi tersebut.

Tinjauan Singkat Sejarah
Sejarah Lampung pada masa pengaruh budaya Hindu-Buda (masa klasik) belum banyak terungkap. Beberapa prasasti yang terdapat di Lampung memberi gambaran tentang Lampung. Prasasti yang ada antara lain merupakan prasasti Sriwijaya. Prasasti Sriwijaya yang ditemukan di daerah Lampung antara lain prasasti Bungkuk, Palas Pasemah, dan Batubedil. Prasasti Palas Pasemah ditemukan di tepi Way Pisang, Lampung Selatan berisi peringatan penaklukan daerah Lampung oleh Sriwijaya. Dalam prasasti tersebut memuat catatan tentang bhûmi jawa yang tidak mau tunduk kepada Sriwijaya. Berdasarkan segi paleografis prasasti ini diduga berasal dari abad ke-7 (Purwanti, 1995: 98; Boechari, 1979: 19 – 40).

Prasasti Batubedil ditemukan di daerah Batubedil, Kecamatan Talangpadang, Lampung Selatan. Prasasti ini meskipun hurufnya besar namun sudah aus sehingga sulit dibaca. Pada bagian yang terbaca dapat diketahui bahasa yang dipakai adalah Sansekerta. Bagian yang terbaca tersebut berbunyi namo bhagawate dan pada baris ke-10 swãhã. Dilihat dari segi paleografisnya sangat mungkin berasal dari sekitar abad ke-9 atau ke-10. Namo bhagawate dipermulaan dan swãhã sebagai penutup merupakan mantra agama Buda atau Siwa (Soekmono, 1985: 49 – 50).

Prasasti dengan isi yang hampir sama dengan prasasti Batubedil ditemukan di Rebangpugung, Kotaagung, Lampung Selatan. Prasasti yang kemudian dikenal dengan nama prasasti Ulubelu ini diperkirakan berasal dari abad ke-15. Isi prasasti berupa permintaan tolong kepada kepada dewa-dewa utama yaitu Batara Guru (Siwa), Brahma, dan Wisnu. Selain itu juga kepada dewa penguasa air, tanah, dan pohon agar menjaga keselamatan dari semua musuh (Lasmidara, 2003: 9).

Di dekat Simpang Sebelat sekitar 13 km dari kota Liwa, tepatnya di Dusun Harakuning, Desa Hanakau, Kecamatan Sukau, Lampung Barat terdapat prasasti Hujunglangit atau juga disebut prasasti Bawang. Prasasti berbahasa Melayu Kuna ini tidak menyebut satu kerajaan. Bagian yang dapat terbaca diantaranya menyebut tatkala, sa-tanah, sa-hutan, Śrī haji, dan unsur penanggalan. Menurut kajian yang dilakukan oleh Louis-Charles Damais penanggalan prasasti ini yaitu 919 Śaka atau 997 M. Berdasarkan bentuk huruf dan sistem penanggalan yang memakai unsur wuku, terlihat adanya pengaruh Jawa. Gelar Śrī haji yang disebutkan merupakan gelar yang kedudukannya di bawah maharaja. Oleh karena itu sangat mungkin prasasti ini dikeluarkan oleh raja bawahan (Agus, 1995: 63 -- 64; Yondri, 1995: 52 -- 58; Soekmono, 1985: 49; Damais, 1995: 31 -- 37).

Berdasarkan data prasasti pada sekitar abad ke-7 hingga ke-11, Lampung merupakan wilayah kekuasaan Sriwijaya. Selain Lampung, Jambi dan Bangka juga menjadi wilayah kekuasaan Sriwijaya. Penguasaan ini salah satunya dilandasi sumberdaya emas yang ada di wilayah itu. Untuk melancarkan dan mengembangkan jalur distribusi emas, dilakukan penaklukan-penaklukan ke berbagai wilayah yang belum tunduk kepada Sriwijaya (Rangkuti, 1994: 165 – 166). Kekuasaan Sriwijaya terhadap Lampung tampaknya tidak meliputi seluruh wilayah tetapi hanya daerah-daerah yang dianggap penting bagi Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit berdasarkan unsur penanggalan dan paleografisnya memberi arah dugaan pada adanya pengaruh kekuasaan Mpu Sindok dan Erlangga (Soekmono, 1985: 49). Ketika Sriwijaya mengalami kemunduran, daerah-daerah di Lampung bangkit sebagai daerah yang merdeka. Namun tampaknya daerah-daerah itu bukan merupakan institusi kerajaan yang besar.

Menurut catatan Tomé Pires, yang ditulis pada abad ke-16, beberapa daerah di Lampung menjalin hubungan dagang dengan Sunda dan Jawa. Hubungan ini mungkin terjadi sejak Lampung di bawah kekuasaan Jawa (Majapahit). Pada tahun 1017, 1025, dan 1068 Sriwijaya diserang kerajaan Cola, India. Serangan-serangan ini melemahkan Sriwijaya, sehingga kerajaan Melayu (Jambi) melepaskan diri dari kekuasaan Sriwijaya. Kerajaan Melayu akhirnya dapat menguasai Sriwijaya dan semenanjung Malaka. Prasasti Grahi bertarikh 1183 yang ditemukan di semenanjung Malaka menyebut nama Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusanawarmadewa. Sebutan srimat menunjukkan pembesar Melayu sebagaimana yang terdapat pada prasasti Padang Roco. Hal ini menunjukkan semenanjung Melayu pada tahun 1183 berada di bawah kekuasaan Melayu. Kekuasaan Melayu hingga meliputi seluruh pantai timur Sumatera. Keadaan seperti ini tidak berlangsung lama. Pada tahun 1377 Melayu ditaklukkan oleh Majapahit (Sholihat, 1980: 5). Prapanca dalam Negarakrtagama menyatakan bahwa Melayu berada di bawah kekuasaan Majapahit yang daerah-daerahnya antara lain meliputi Lampung (Muljana, 1979: 146). Dengan demikian mungkin hubungan perdagangan yang diberitakan Tomé Pires sudah terjadi setelah tahun 1377 ketika Melayu ditaklukkan Majapahit.

Berkaitan dengan penaklukan Melayu oleh Majapahit, terjadi peristiwa penting yaitu peristiwa Bubat. Carita Parahyangan, Kidung Sundãyana, dan Pararaton mencatat peristiwa tersebut yaitu sebagai usaha penaklukan Sunda oleh Majapahit tetapi gagal. Nagarakrtagama tidak mencatat peristiwa ini karena Prapanca sebagai pujangga kraton tampaknya sengaja menyembunyikan peristiwa yang menjelekkan nama raja tersebut. Pada waktu peristiwa ini terjadi raja yang berkuasa di Sunda adalah Prebu Maharaja.

Setelah peristiwa Bubat, Wastu Kañcana naik tahta. Karena masih kecil, maka pemerintahan dipe¬gang oleh Hyang Bunisora. Setelah Hyang Bunisora meninggal dunia pada tahun 1371, Wastu Kañcana memegang pemerintahan. Menurut Carita Parahyangan, Wastu Kañcana memerintah selama 104 tahun (1371 - 1475 M). Pada masa ini pusat pemerintahan kerajaan Sunda di bagian timur yaitu di Kawali. Sepeninggal Wastu Kañcana, digantikan oleh Tohaan di Galuh atau Ningrat Kañcana. Pusat pemerintahannya dipindahkan dari Kawali ke Pakwan Pajajaran. Pada masa pemerintahan Ningrat Kañcana ternyata tidak begitu banyak berita yang terdapat pada prasasti maupun Carita Parahyangan. Ningrat Kañcana kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Sang Ratu Jayadewata. Pada prasasti Kebantenan, tokoh ini disebut Susuhunan ayeuna di Pakwan Pajajaran. Pada prasasti Batutulis, tokoh ini disebut Prabu Guru Dewataprana, Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Pada prasasti tersebut, tokoh ini juga diberitakan ya nu nyusukna pakwan (yang membangun parit di Pakwan). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa pemerintahannya, pusat kerajaan sudah berpindah dari Kawali ke Pakwan Pajajaran (Sumadio, 1990: 364 -- 369). Bila mengacu pada berita Tomé Pires, hubungan antara Sunda dengan Lampung intensif pada masa akhir kerajaan Sunda. Pada masa itu pusat kerajaan Sunda berada di Kawali dan Pakwan Pajajaran. Tomé Pires juga menyebutkan bahwa perdagangan dari kawasan Lampung melalui pelabuhan Cheguide.

Jejak-jejak Arkeologis
Mengacu pada berita Tomé Pires, kawasan Lampung yang intensif berhubungan dengan Sunda adalah Sekampung dan Tulangbawang. Pelabuhan Sunda di pantai utara yang menjadi pintu gerbang adalah Cheguide. Di sepanjang DAS Way Sekampung terdapat sekitar sebelas situs pemukiman yang ditandai dengan benteng tanah. Situs-situs tersebut adalah Pejambon, Gelombang, Pugung Raharjo, Parigi, Gedig, Benteng Sari, Cicilik, Jabung, Negara Saka, Batu Badak, dan Meris (Triwuryani, 1998). Salah satu situs yang dinilai penting adalah Pugung Raharjo. Secara administratif situs ini termasuk di wilayah Desa Pugung Raharjo, Kecamatan Jabung. Lahan situs dikelilingi fetur benteng tanah dan parit. Dengan adanya benteng tanah tersebut, areal situs terbagi menjadi tiga bagian.

Tinggalan-tinggalan arkeologis yang terdapat di situs Pugung Raharjo ini terdiri dari bermacam-macam bentuk, diantaranya berupa batu berlubang, batu bergores, lumpang batu, menhir, dan punden berundak. Pada salah satu punden ditemukan batu tufa berangka tahun 1247 Åš. Selain itu, di sebelah selatan dari punden terbesar terdapat punden arca. Pada punden ini pernah ditemukan sebuah arca yang sekarang tersimpan di rumah informasi situs Pugung Raharjo. Arca menggambarkan tokoh laki-laki duduk di atas padmasana ganda yang berbentuk bulat dengan sikap Vajrasana. Pada bagian belakang padmasana terdapat bingkai menonjol, berhias motif sulur. Pada arca tidak dilengkapi stela.

Sikap tangan atau mudra digambarkan telunjuk kiri mengarah ke atas, telunjuk kanan dibengkokkan di atas telunjuk kiri, jari-jari tangan yang lain dilipat. Kedua telapak tangan berada di depan dada. Mudra seperti ini tidak lazim, tetapi mendekati naivedyamudra yaitu mudra yang diilhami sikap yang biasa digunakan oleh para penganut aliran tantrisme dalam memberikan persembahan. Dilihat dari cirinya, arca ini menggambarkan salah satu tokoh Tantrisme. Arca tersebut bergaya Jawa Timur, sebelum jaman Majapahit sekitar abad ke-12 atau ke-13 (Soekatno, 1985: 165 – 166; Widyastuti, 2000: 132 – 133). Keramik yang ditemukan kebanyakan keramik Cina dari abad ke-8 atau ke-9 sampai dengan abad ke-17 (keramik Tang hingga Qing). Tembikar yang ditemukan kebanyakan berupa wadah baik terbuka maupun tertutup. Fragmen kendi tipe lokal yang disebut kibu juga banyak ditemukan. Berdasarkan tinggalan arkeologik yang ditemukan, dapat disimpulkan bahwa situs Pugung Raharjo berkembang sejak zaman Majapahit hingga abad ke-17. Melimpahnya keramik asing menunjukkan aktivitas perdagangan berlangsung secara intensif.

Mengenai Tulangbawang, hingga sekarang tercatat 18 situs pemukiman yang juga ditandai benteng tanah. Situs tersebut dijumpai di sepanjang Way Kiri, Way Kanan, dan Way Tulangbawang. Way Tulangbawang adalah sungai utama yang merupakan menyatunya antara Way Kiri dan Way Kanan. Kedua sungai ini menyatu di Pagardewa. Pada sepanjang Way Kiri terdapat situs Bumiagung Tua, Karta Talang, Benteng Sabut atau Bujung Menggalou, Gedong Ratu Tua, Benteng Prajurit Puting Gelang, Keramat Gemol, Benteng Minak Temenggung, dan Pagardewa. Pada sepanjang Way Kanan terdapat situs Batu Putih, Gunung Terang, dan Benteng Aceh. Pada sepanjang Way Tulang Bawang terdapat situs Benteng Bakung, Gunung Tapa, Gedong Meneng, dan Dente. Selain pada sepanjang sungai besar, juga terdapat situs yang berada di tepi sungai kecil. Situs-situs itu adalah Jung Belabuh di tepi Tulung Kalutum, Bakung Nyelai di tepi Tulung Bakung Nyelai, dan Umbul Lekou di tepi Way Bawang Bakung.

Penelitian intensif pernah dilakukan di situs Benteng Sabut dan Gunung Terang. Situs Benteng Sabut secara administratif termasuk wilayah Kampung Gunungkatun. Way Kiri mengalir di sebelah tenggara hingga timur situs. Fakta arkeologis yang terdapat di situs Benteng Sabut berupa fitur parit (cekungan), benteng dan tanggul (gundukan tanah), makam kuna, serta sebaran artefak. Parit pada bagian dekat Way Kiri berpola segi lima. Pada sisi dalam parit terdapat benteng. Benteng dan parit ini pada sisi barat bermula dari tepi Way Kiri ke arah barat laut kemudian belok ke arah utara agak ke timur, selanjutnya agak berbelok ke arah timur. Pada bagian luar sudut tenggara benteng, di tepi Way Kiri terdapat fitur makam kuna. Tokoh yang dimakamkan adalah Minak Sendang Belawan. Keadaan makam sedikit lebih tinggi dari lahan sekitar tetapi tidak menggunduk, tidak dilengkapi nisan (Saptono, 2002: 88 – 89).

Fakta artefaktual yang pernah ditemukan di bagian ini berupa fragmen keramik, fragmen tembikar, serpih obsidian, kerak besi, paku, fragmen wadah perunggu, dan manik-manik. Fragmen tembikar ada yang berhias, di antaranya merupakan bagian dari kibu (kendi). Benda tembikar utuh berbentuk gacuk, tatap, dan cangkir.

Benda tembikar ada yang berupa terakota berbentuk kubus berukuran sekitar 1,5 X 1,5 X 3 cm. Pada keempat sisi panjang berhias garis-garis. Selain itu terdapat beberapa benda arkeologis berupa gandik, fragmen pipisan. Analisis keramik pada aspek penanggalan secara relatif diperoleh gambaran dari berbagai jaman yaitu dari Cina masa dinasti Han (awal Masehi hingga abad ke-3), Sui (abad ke-6 hingga ke-7), T’ang (abad ke-7 -- 10), Song (abad ke-10 -- 13), Yuan (abad ke-13 -- 14), Ming (abad ke-14 -- 17), Qing (abad ke-17 -- 20), Thailand (abad ke-13 -- 14), Annam (abad ke-15), dan Eropa (abad ke-19  20) (Saptono, 2003: 42 -- 43).

Gunung Terang merupakan situs pemukiman yang berkembang hingga sekarang menjadi perkampungan. Menurut cerita masyarakat, sebelumnya kampung itu merupakan perkampungan orang Melayu yang kemudian diduduki orang Gunung Terang. Sebelumnya orang Gunung Terang bermukim di seberang sungai yang sekarang dikenal dengan nama Batu Putih. Jejak-jejak pemukiman lama berupa fetur parit dan sebaran artefak. Pada bagian selatan pemukiman terdapat cekungan parit yang disebut pelantingan, membujur dari selatan ke utara hingga sungai kecil yang disebut Way Ngisen. Di bagian utara pemukiman juga terdapat parit/sungai buatan yang menghubungkan antara Way Kanan dengan Way Ngisen. Sungai ini disebut Sungai Pengaliran Darah. Kawasan di sebelah selatan dan timur perkampungan terdapat beberapa lebung antara lain Lebung Seroja yang terdapat di antara pelantingan dengan Way Kanan, Lebung Kibang, dan Lebung Tikak yang berada di sebelah timur kampung. Di sebelah tenggara terdapat gunung yang dikeramatkan disebut Gunung Sri Gandow.

Bekas kampung lama terdiri bekas Kampung Melayu dan bekas Kampung Gunung Terang. Lokasi bekas Kampung Melayu berada di ujung tenggara pemukiman dekat Lebung Tikak. Jejak-jejak bekas pemukiman tidak terlihat dengan jelas, kecuali hanya sebaran artefak pada lahan yang berpola segi empat dengan luas sekitar 2 hektar. Di sebelah selatan lokasi ini merupakan lokasi kampung Gunung Terang lama. Pada bagian selatan lokasi ini terdapat bekas bangunan tempat musyawarah adat (sesat) masyarakat Gunung Terang yang disebut Sesat Watun. Pengamatan di sekitar lokasi terdapat sebaran fragmen keramik asing dan lokal (Saptono, 2004: 47 – 49).

Analisis keramik temuan ekskavasi menunjukkan dari berbagai jaman yaitu dari Cina masa dinasti Han (awal Masehi hingga abad ke-3), Sui (abad ke-6 -- 7), T’ang (abad ke-7 -- 10), Yuan (abad ke-13 -- 14), Ming (abad ke-15 -- 17), Qing (abad ke-17 -- 20), Thailand (abad ke-13 -- 14), Annam (abad ke-15), dan Eropa (abad ke-19 -- 20). Keramik Cina masa dinasti Qing merupakan temuan terbanyak. Fragmen keramik dari Eropa merupakan temuan terbanyak kedua, selanjutnya fragmen keramik Cina masa dinasti Ming. Keramik T’ang hanya ditemukan sebanyak 2 keping. Keramik masa dinasti Sui dan Han masing-masing hanya ditemukan 1 keping. Tembikar yang ditemukan kebanyakan berasal dari tipe periuk, tempayan, kibu, dan tungku lokal yang disebut tumang (Saptono, 2004 a: 30).

Di Sunda, menurut catatan Tomé Pires yang mempunyai peranan dalam hubungan dengan Lampung adalah Cheguide. C. Guillot berdasarkan kronik Barros, Couto, peta C. 1540, roteiro C. 1528, dan akta notaris 1527 menarik satu hipotesis bahwa Cheguide berada antara Pontang dan Tangerang, tepatnya antara Tanjung Kait dan Muara Cisadane yaitu di sekitar Kali Kramat (Guillot, 1992: 15 -- 16). Penelitian lapangan di situs Kramat menemukan indikator pemukiman di tepi pantai (pelabuhan). Situs Kramat terdapat di Desa Sukawali, Kecamatan Pakuhaji. Di kawasan situs ini terdapat beberapa objek arkeologis antara lain makam, fragmen komponen bangunan, kapal, serta fragmen keramik, gerabah, dan besi.

Makam yang terdapat di situs ini berupa makam panjang. Tokoh yang dimakamkan bernama Syekh Daud bin Said pendatang dari Hadramaut. Berdasarkan pengamatan pada singkapan hasil penggalian masyarakat banyak ditemukan artefak berupa fragmen keramik baik lokal maupun asing, fragmen benda-benda kaca, dan fragmen besi. Artefak tersebut kebanyakan ditemukan pada kedalaman sekitar 0,5 m. Berdasarkan sebaran artefak yang terdapat di permukaan, luas situs diduga sekitar 10 hektar. Berdasarkan keterangan penduduk setempat juga pernah ditemukan beberapa keping mata uang. Fragmen komponen bangunan yang ditemukan berupa ubin terakota, struktur bekas sumur berbentuk lingkaran, fondasi bangunan yang juga dari bahan bata.

Pada empang di sebelah utara perkampungan, berjarak sekitar 0,5 km atau 0,5 km dari pantai terdapat fragmen kapal dengan posisi membentang arah timur-barat (sejajar dengan garis pantai). Fragmen kapal yang terlihat merupakan bagian sisi lambung sepanjang sekitar 2 m. Bagian yang lain masih tertimbun tanah. Ujung kapal selanjutnya terlihat pada empang di sebelahnya. Secara keseluruhan dari ujung ke ujung yang masih ada panjangnya sekitar 6 m. Kapal ini terbuat dari bahan besi.

Keseluruhan temuan fragmen keramik, yang tertua berasal dari masa dinasti T’ang (abad ke-7 -- 10) dan yang termuda keramik Eropa (abad ke-19 -- 20). Berdasarkan temuan keramik tergambar bahwa pemukiman di situs Kramat berlangsung paling lama sejak abad ke-7 -- 20. Namun karena tidak ditemukannya keramik dari masa dinasti Yuan (abad ke-13 -- 14) dapat diduga pada masa-masa tersebut mengalami pasang surut. Aktifitas meningkat secara pesat pada masa dinasti Ming (abad ke-14 -- 17) dan mencapai puncaknya pada masa dinasti Qing (abad ke-17 -- 20) dan selanjutnya surut lagi (Saptono, 1998: 245 – 248). Surutnya aktivitas pada abad ke-13 hingga ke-13 mungkin juga disebabkan pada kurun waktu itu pusat pemerintahan kerajaan Sunda berada di wilayah timur yaitu di Kawali.

Artefak Sebagai Tanda Adanya Interaksi
Situs-situs arkeologi baik di Lampung maupun Sunda yang diduga ada interaksi semuanya mengandung tinggalan artefak keramik asing. Adanya artefak keramik menunjukkan terjadi suatu interaksi khususnya perdagangan. Karena artefak keramik asing merupakan barang komoditas yang peredarannya sangat luas, maka sangat sulit dipakai untuk mencari jejak interaksi antar lokasi. Pada aspek penanggalan secara relatif, artefak keramik asing yang terdapat di beberapa situs di Lampung maupun Sunda menunjukkan dari kurun waktu yang tidak berbeda. Dengan demikian secara umum dapat ditemui suatu gambaran adanya interaksi antara Lampung dan Sunda. Untuk melihat adanya interaksi antar wilayah dapat dilihat melalui keberadaan artefak lokal antara lain tembikar.

Benda tembikar dengan bentuk spesifik bagi masyarakat Lampung misalnya kibu (kendi) dan tumang (tungku berkaki tiga khas Lampung). Kibu mempunyai variasi bentuk sekitar sepuluh macam. Salah satu bentuknya mirip buah labu (waluh) bulat. Kepala datar dan pepat. Lubang terdapat di sisi leher. Cerat lebar membentuk garis menyatu dengan badan. Bentuk lain ada yang mirip dengan kamandalu yang dibawa pendeta dan dewa Siwa maupun Buda. Kendi yang terkenal dihias dengan arca pengantin yang distilir terdapat di bagian atas (Satari, 1990: 199).

Di Trowulan pernah ditemukan fragmen kibu (Satari, 1990: 195). Hal ini sesuai dengan sumber sejarah bahwa antara Lampung dengan Majapahit ada interaksi. Di situs Kramat, meskipun merupakan pelabuhan sebagai gerbang antara Sunda dan Lampung, namun tidak ditemukan fragmen kibu atau tumang. Artefak semacam ini pernah ditemukan di kawasan Kertabumi, Kecamatan Cijeungjing, Ciamis. Kawasan Kertabumi diapit dua sungai yaitu Cimuntur dan Cileueur. Di kawasan ini terdapat dua situs yaitu situs Gunung Susuru, dan Bojong Gandu. Situs Gunung Susuru merupakan suatu tonjolan bukit yang terbentuk oleh batuan breksi volkanik. Situs ini berada di ujung tenggara. Situs Bojong Gandu berada di sebelah barat laut situs Gunung Susuru. Tinggalan arkeologis yang ada di kawasan Kertabumi berupa batu datar, punden berundak, gua, makam kuna, bekas benteng dari susunan batu, sumur, batu bersusun, dan benda artefaktual. Artefak yang pernah ditemukan antara lain beliung persegi, bola batu, batu pipisan, gelang emas, manik-manik, keramik, dan tembikar (Agus, 2001: 150 – 151; Widyastuti, 2001: 101 – 102).

Gua di Kertabumi berada di situs Gunung Susuru. Gua yang ada berjumlah lima, tiga di antaranya telah digali penduduk. Beberapa benda arkeologis temuan hasil penggalian penduduk antara lain berupa gigi dan tulang binatang yang sudah mengalami pemfosilan (sub-fosil), fragmen keramik, dan fragmen tembikar (Agus, 2001: 157). Secara tipologis fragmen tembikar temuan penduduk tersebut ada yang berasal dari bentuk kibu dan tumang.

Penelitian yang pernah dilakukan antara lain menemukan fragmen keramik dan tembikar. Artefak tersebut selain ditemukan pada gua di situs Gunung Susuru, juga banyak ditemukan di situs Bojong Gandu. Analisis pertanggalan secara relatif terhadap keramik menunjukkan berasal dari Cina masa dinasti Song, Yuan, Ming, dan Qing. Selain itu juga ada keramik Thailand, Vietnam, dan Eropa. Berdasarkan pengamatan terhadap seluruh tenuan keramik asing, keramik Cina masa dinasti Ming dan Qing merupakan temuan terbanyak selanjutnya keramik Eropa dan Thailand (Widyastuti, 2002: 103).

Beberapa temuan tembikar ada yang berupa terakota berbentuk pipih panjang. Masyarakat setempat menyebut benda semacam ini dengan istilah kue. Benda semacam ini ditemukan dalam jumlah sangat banyak. Pengamatan pada benda tersebut menunjukkan bermacam-macam variasi penampang lintang yaitu segi empat, setengah lingkaran, elips, dan trapesium. Pada bagian sisi panjang dihias dengan teknik gores dan sebagian tekan. Ragam hias yang ada kebanyakan berupa garis-garis dengan sebelas variasi motif (Widyastuti, 2001: 102 – 111). Fragmen terakota berbentuk kue juga pernah ditemukan di situs Benteng Sabut, Tulangbawang.

Berdasarkan kesamaan ragam artefak tersebut, sangat mungkin pernah terjadi interaksi antara masyarakat Lampung dengan masyarakat Sunda. Kibu dan tumang yang merupakan benda tembikar khas Lampung ditemukan juga di kawasan Kertabumi, Ciamis. Sedang benda terakota berbentuk kue juga pernah ditemukan di Tulangbawang. Dengan demikian terdapat gambaran bahwa antara masyarakat pendukung situs Susuru di Kertabumi dengan masyarakat Tulangbawang telah terjadi interaksi.

Sejenis dengan benda terakota berbentuk kue juga pernah ditemukan di situs Ratu Balaw. Situs Ratu Balaw secara administratif termasuk di dalam wilayah Kampung Kedamaian, Kecamatan Tanjung Karang Timur, Kota Madya Bandar Lampung. Lokasi situs diapit dua aliran sungai yaitu Way Balaw yang mengalir di sebelah utara hingga timur situs dan Way Awi atau Way Kedamaian yang mengalir di sebelah barat hingga selatan situs. Kedua sungai ini kemudian menyatu di sebelah tenggara situs membentuk aliran Way Lunik. Di sebelah baratlaut situs terdapat Gunung Camang dan di sebelah timur situs terdapat Gunung Pemancar. Benda sejenis kue yang ditemukan di situs Ratu Balaw bukan terbuat dari terakota tetapi dari batu dan tidak berhias. Sisi-sisi batu tersebut polos. Ditinjau dari aspek historis, masyarakat di Balaw ada kaitan dengan masyarakat Sunda kuna sekitar abad ke-16.

Batu berbentuk bulat pipih dari situs Ratu Balaw
Menurut cerita sejarah yang berkembang di masyarakat keturunan Ratu Balaw, Keratuan di Balaw berdiri sejak sebelum Islam masuk di Lampung, sejaman dengan kerajaan Sriwijaya, Tulangbawang, dan Sekala Berak yaitu pada sekitar abad ke-7 atau ke-8. Tokoh yang mendirikan adalah Radin Kunyayan dengan istrinya yang bernama Putri Kuning. Radin Kunyayan merupakan keturunan Keratuan Pugung Skala Berak dari daerah Ranau, bergelar Ratu Sai Ngaji Saka. Keratuan di Balaw mula-mula berada di daerah Krui pada ujung muara Way Balaw Krui. Dari lokasi ini kemudian pindah ke muara Way Balaw yang sekarang berada di Tiyuh Kedamaian. Tokoh penguasa Keratuan Balaw antara lain adalah Ratu Mungkuk, Ratu Jang Kuna, Ratu Pujaran, dan Ratu Lengkara. Pada abad ke-16 Keratuan Balaw berada di bawah kepemimpinan Ratu Lengkara (Djubiantono, 2004: 9).

Sumber lain menyebutkan bahwa Keratuan di Balaw berhubungan dengan Sunda. Di Lampung pernah datang Ratu Alangkara dari Pajajaran disertai dua orang panglima yang bernama Ratu Mungkuk dan Ratu Jangkung. Mereka ke Lampung dalam rangka mengejar anak gadisnya yang dilarikan orang Lampung. Mengejar dalam bahasa Lampung adalah bualaw. Mereka tidak berhasil tetapi enggan kembali ke Pajajaran karena baik di Pajajaran, Banten, maupun Majapahit telah pindah ke agama Islam. Mereka kemudian mendirikan pemukiman di sekitar Way Awi dekat Teluk Betung dan menyebut diri dengan Ratu Alangkara Pajajaran. Mereka masih tetap beragama Hindu. Di Lampung lebih dikenal dengan sebutan Ratu Balaw (Warganegara, 1994: 15; Soebing, 1988: 9).

Perbedaan dalam cerita sejarah tersebut memang perlu pengkajian lebih dalam lagi. Dilihat dari tokoh yang diceritakan memang banyak kesesuaian. Lokasi cerita pun sama, yaitu di pertemuan antara Way Awi dan Way Lunik. Namun mengenai asal-usulnya sangat bertentangan. Menurut versi masyarakat Balaw sendiri, mereka mengaku berasal dari Way Balaw, Krui. Cerita versi masyarakat Tulangbawang dan Abung menyebutkan dari Pajajaran. Bila dilihat dari tinggalan batu yang bentuknya mirip dengan terakota kue, mungkin memang ada hubungan antara Balaw dengan Sunda.

Penutup
Pada masa klasik awal sekitar abad ke-5, di Lampung dikenal adanya kerajaan Tulangbawang. Pada suatu masa kerajaan ini mengalami kemunduran dan akhirnya punah. Selanjutnya kawasan Lampung berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Setelah Sriwijaya runtuh, Lampung berada di bawah kekuasaan Melayu Jambi. Keberhasilan Majapahit menaklukkan Melayu, mengakibatkan Lampung berada di bawah kekuasaan Majapahit. Kontrol Majapahit terhadap Lampung tampaknya tidak begitu ketat. Pada masa ini Lampung tidak hanya berinteraksi dengan Majapahit tetapi juga dengan Sunda.

Pada masa klasik akhir, ketika mulai muncul komunitas muslim di daerah pantai, hubungan antara Lampung dengan Sunda semakin intensif. Pada masa ini di Lampung tidak ada kekuatan politik besar berupa kerajaan, tetapi semacam kelompok masyarakat dalam bentuk keratuan. Dalam catatan Tomé Pires, Lampung tidak lagi disebut tetapi lebih ke lokasi spesifik yaitu Sekampung dan Tulangbawang. Meskipun Tomé Pires menyebutkan dengan jelas bahwa gerbang masuk dari kawasan Lampung ke Sunda adalah pelabuhan Cheguide, tetapi di situs Keramat yang merupakan lokasi pelabuhan Cheguide tidak ditemukan artefak spesifik yang menunjukkan adanya hubungan tersebut.

Melalui perbandingan artefak berupa fragmen tembikar dari bentuk kibu dan tumang, yang merupakan benda spesifik dari Lampung, dapat ditarik suatu hipotesis bahwa hubungan antara Lampung dan Sunda, khususnya terjadi antara Sekampung dan Tulangbawang (Lampung) dengan kawasan Kertabumi (Sunda). Hal ini didasari bahwa fragmen kibu dan tumang juga ditemukan di Kertabumi. Selain itu juga diperkuat adanya temuan terakota berbentuk kue di Tulangbawang yang merupakan artefak spesifik dari Kertabumi. Fenomena seperti ini memunculkan dugaan bahwa kawasan Kertabumi merupakan lokasi penting bagi kerajaan Sunda. Mungkin kawasan Kertabumi adalah ibukota kerajaan Sunda di Galuh.

Terakota berbentuk kue yang merupakan artefak spesifik dari Kertabumi, secara tipologis mempunyai kesamaan dengan salah satu artefak batu yang ditemukan di situs Ratu Balaw. Kesamaan tipe ini mengarahkan pada dugaan bahwa antara Kertabumi (Sunda) dengan Balaw ada kaitan. Dugaan ini juga dilandasi cerita sejarah masyarakat Tulangbawang dan Abung mengenai Keratuan Balaw yang menyatakan bahwa masyarakat Balaw berasal dari Pajajaran.


Daftar Pustaka

Agus
1995 “Lingkungan dan Kaitannya Dengan Tinggalan Arkeologis di Situs Harakuning”. Dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung Nomor 2/November/1995. Bandung: Balai Arkeologi Bandung. Hlm. 62 -- 71.
2001 “Lingkungan dan Tinggalan Arkeologi di Kawasan Kertabumi: Bahasan Deskriptif Atas Temuan Situs Baru”. Dalam Tony Djubiantono dan Moh. Ali Fadillah (ed.), Manusia dan Lingkungan: Keberagaman Budaya Dalam Kajian Arkeologi. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Hlm. 148 – 160.
Boechari
1979 “An Old Malay Inscription of Srivijaya at Palas Pasemah (South Lampong)”. Dalam Pra Seminar Penelitian Sriwijaya. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional. Hlm. 19 -- 40.
Cortesão, Armando
1967 The Suma Oriental of Tomé Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprint Limited.
Damais, Louis-Sharles
1995 “Tanggal Prasasti Hujung Langit (‘Bawang’)”. Dalam Epigrafi dan Sejarah Nusantara: Pilihan Karangan Louis-Charles Damais. Jakarta: Ecole Française d’Extrême-Orient – Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Hlm. 27 – 45.
Danasasmita, Saleh
1975 “Latar Belakang Sosial Sejarah Kuno Jawa Barat dan Hubungan Antara Kerajaan Galuh Dengan Pajajaran”. Dalam Atja (ed.), Sejarah Jawa Barat dari Masa Prasejarah Hingga Masa Penyebaran Agama Islam. Bandung: Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Propinsi Jawa Barat. Hlm. 40 – 81.
Djubiantono, Tony et al.
2004 Laporan Survei, Pemetaan Dan Penggalian Arkeologi di Kawasan Situs Keratuan Balaw Dusun Keramat Balaw, Kelurahan Kedamaian Bandar Lampung. Kerjasama Pemerintah Daerah Propinsi Lampung, Asdep Urusan Arkeologi Nasional, Balai Arkeologi Bandung.
Groeneveldt, W.P.
1960 Historical Notes on Indonesia & Malaya Compiled from Chinese Sources. Jakarta: C.V. Bhratara.
Guillot, C
1992 “Perjanjian dan Masalah Perjanjian Antara Portugis dan Sunda Tahun 1522”. Aspek-aspek Arkeologi Indonesia No. 13. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Hadikusuma, Hilman
1989 Masyarakat dan Adat-Budaya Lampung. Bandung: Mandar Maju.
Lasmidara, Ira
2003 “Napak Tilas Aksara Nusantara”. Dalam SKH Republika, 2 Februari 2003. Hlm. 9.
Muljana, Slamet
1979 Negarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
1981 Kuntala, Sriwijaya, dan Suwarnabhumi. Jakarta: Yayasan Idayu.
Purwanti, Retno
1995 “Perang Pada Masa Sriwijaya: Tinjauan Terhadap Prasasti-prasasti Abad VII Masehi”. Dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung. Bandung: Balai Arkeologi Bandung. Hal. 98 -- 103.
Rangkuti, Nurhadi
1994 “Emas dan Tanah: Kasus Penguasaan Sumber-sumber Ekonomi di Sumatera dan Jawa Pada Abad VII – X Masehi (Kajian Prasasti-prasasti Masa Sriwijaya dan Mataram Kuna)”. Dalam Evaluasi Data dan Interpretasi Baru Sejarah Indonesia Kuna, Berkala Arkeologi, Th. XIV, Edisi Khusus. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta. Hlm. 163 – 169.
Saptono, Nanang
1998 “Cheguide”. Dalam Tony Djubiantono, et al. (ed.), Dinamika Budaya Asia Tenggara – Pasifik Dalam Perjalanan Sejarah. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
2002 “Hubungan Fungsional Situs Benteng Sabut, Benteng Prajurit Puting Gelang, dan Keramat Gemol”. Dalam Agus Aris Munandar (ed.), Jelajah Masa Lalu. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Hlm. 86 – 101.
2003 Laporan Hasil Penelitian Arkeologi Permukiman Benteng Di Kampung Gunungkatun Tanjungan Dan Gunungkatun Malay Kec. Tulangbawang Udik, Kab. Tulangbawang, Propinsi Lampung. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.
2004 “Struktur ‘Kota’ Kuna Gunung Terang, Tulangbawang, Lampung”. Dalam Agus Aris Munandar (ed.), Teknologi dan Religi Dalam Perspektif Arkeologi. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Hlm. 42 – 54.
2004a Laporan Hasil Penelitian Arkeologi Pemukiman di Gunung Terang – Gunung Agung dan Sekitarnya, Kabupaten Tulangbawang, Lampung. Bandung: Balai Arkeologi Bandung.
Satari, Sri Soejatmi
1990 “Kendi di Indonesia”. Dalam Edi Sedyawati, dkk. (ed.), Monumen: Karya Persembahan Untuk Prof. Dr. R. Soekmono. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Hlm. 191 – 202.
Sholihat, Nia Kurnia
1980 “Abad 13, Sriwijaya Sudah Tak Ada Lagi”. Dalam SKH Sinar Harapan, 9 April 1980. Hlm. 5.
Soebing, Abdullah A
1988 Kedatuan di Gunung – Keratuan di Muara. Jakarta: Karya Unipress.
Soekatno, Endang Sh.
1985 “Catatan Tentang Arca Masa Klasik dari Pugungrahardjo, Lampung”. Dalam Rapat Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi II. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Hlm. 163 – 174.
Soekmono
1985 “Kisah Perjalanan ke Sumatra Selatan dan Jambi”. Dalam Satyawati Suleiman et al. Amerta 3. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Sumadio, Bambang (ed.)
1990 “Jaman Kuna”. Dalam Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.
Triwuryani, Rr.
1996 “Pola Persebaran Situs Benteng di Sepanjang DAS Sekampung: Ditinjau dari Kajian Wilayah”. Makalah pada Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi, Ujungpandang 20-26 September 1996. (belum diterbitkan).
1998 “Pola Tata Letak Situs Tradisi Megalitik di DAS Sekampung”. Makalah pada Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi, Cipayung 16-20 Februari 1998. (belum diterbitkan).
Warganegara, Marwansyah
1994 Riwayat Orang Lampung. (manuskrip).
Widyastuti, Endang
2000 “Penentuan Periode Situs Pugung Raharjo Berdasarkan Gaya Bangunan”. Dalam Fachroel Aziz dan Etty Saringendyanti (ed.), Cakrawala Arkeologi. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Hlm. 127 – 134.
2001 “Temuan Terakota dari Situs Bojong Gandu, Kertabumi, Ciamis: Sebuah Telaah Bentuk dan Ragam Hias”. Dalam Tony Djubiantono dan Moh. Ali Fadillah (ed.), Manusia dan Lingkungan: Keberagaman Budaya Dalam Kajian Arkeologi. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Hlm. 99 – 112
2002 “Tembikar dan Keramik dari Kawasan Kertabumi”. Dalam Endang Sri Hardiati (ed.), Tapak-tapak Budaya. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Hlm. 98 – 110.
Yondri, Lutfi
1995 “Beberapa Peninggalan Arkeologis di Dusun Harakuning, Lampung”. Dalam Jurnal Penelitian Balai Arkeologi Bandung Nomor 2/November/1995. Bandung: Balai Arkeologi Bandung. Hal. 51 -- 61.

Catatan: Tulisan ini terbit di buku berjudul “Hastaleleka: Kumpulan Karya Mandiri Dalam Kajian Paleoekologi, Arkeologi, Sejarah Kuna, dan Etnografi”, hlm. 51 – 66. Editor Agus Aris Munandar. Jatinangor: Alqaprint, 2005.

-

Arsip Blog

Recent Posts