Ke Bukittinggi? Jangan Lupa Ngarai Sianok

Bukittinggi - Menyebut Kota Bukittinggi pasti langsung ingat Jam Gadang, jam besar yang sudah identik dengan kota itu. Sembari menuju kota berhawa sejuk itu, tak menyesal kalau singgah dulu di Ngarai Sianok yang dikenal pula sebagai "Grand Canyon-nya Indonesia".

Dari Padang, ibu kota Sumatera Barat (Sumbar), Bukittinggi cuma berjarak 85 kilometer. Kota itu mirip kawasan wisata Puncak di Jawa Barat, berada di ketinggian 930 meter dari permukaan laut, persis di kaki Gunung Merapi dan Singgalang.

Bukittinggi bisa pula dicapai dari Pekanbaru (Riau) yang hanya memakan waktu empat jam bermobil. Pada akhir pekan, wisatawan berdatangan ke Bukittinggi untuk istirahat. Akibatnya, hotel-hotel di kota itu menjadi penuh. Karena itu, jangan lupa reservasi terlebih dahulu bila ingin ikut-ikutan berlibur.

Bukittinggi juga kota bersejarah. Selain merupakan tempat lahir Wakil Presiden RI pertama, Bung Hatta, juga pernah menjadi ibu kota Pemerintah Darurat RI. Pada tahun 1948, petinggi-petinggi RI waktu itu seperti Bung Karno, Bung Hatta, dan Perdana Menteri Syahrir ditawan Belanda. Guna mengisi kevakuman pemerintahan pusat di Jakarta, para petinggi kita menunjuk Mr. Syarifuddin Prawiranegara untuk memegang tampuk pimpinan PDRI dengan Bukittinggi sebagai ibu kotanya.

Kacang Montok
Jika Anda banyak waktu, perjalanan dari Padang bisa diatur misalnya datang pada sore hari dan menginap satu malam. Setelah menggunakan waktu sehari untuk menikmati objek wisata di ibu kota Sumbar itu, keesokan harinya Bukittinggi, yang menyediakan dua hotel bintang empat dengan tarif mulai Rp 350.000 per malam, bisa dikunjungi. Namun, jangan khawatir, banyak pula hotel lain dengan tarif di bawahnya yang cukup bersih untuk dipakai menginap.

Hotel bintang empat itu adalah Novotel dan Pusako. Novotel dibangun di atas tanah milik keluarga Ibu Rachmi Hatta, istri Wakil Presiden RI pertama, Bung Hatta. Letak Hotel Novotel di depan Jam Gadang sekaligus di kompleks Pasar Atas atau pasar tempat berjualan cenderamata apa saja yang berbau Sumbar.

Sementara itu, Hotel Pusako terletak agak ke pinggir, arah ke Kota Payakumbuh, dan mempunyai pemandangan indah di sekitarnya. Pasti rute kunjungan pertama adalah Jam Gadang, yang terletak di tengah-tengah taman yang diapit Pasar Atas dan Gedung Pertemuan Bung Hatta. Gedung pertemuan tersebut berada satu kompleks dengan Hotel Novotel, yang tanahnya adalah milik keluarga Ibu Rahmi Hatta yang disewakan kepada pihak manajemen Novotel selama 30 tahun.

Sekitar Jam Gadang ini adalah pusat kota. Setiap akhir pekan, taman ini ramai sekali karena didatangi penduduk setempat dan pengunjung dari luar kota yang campur aduk menjadi satu.

Pada sore hari kita bisa berjalan-jalan di Pasar Atas mencari cenderamata sekaligus makanan khas Sumbar, seperti singkong balado dan kacang tanah, yang matangnya digoreng di atas wajan tanah. Spesifiknya, kacang-kacang itu tidak ada yang gembos alias kosong tidak ada isinya, atau isinya hanya kecil-kecil saja.

Semua kacang itu ‘montok‘ yang menyebabkan kita ‘lupa diri‘ memakannya sampai habis, seberapapun besar bungkus kacang yang kita beli.

Malam menjelang, taman Jam Gadang semakin penuh manusia, terutama muda-mudi, di sana-sini asyik bercengkerama, sambil makan kacang. Sementara yang sekiranya ‘bermodal‘, terutama pemudanya, mejeng di pinggir jalan di samping mobil masing-masing, sambil memperdengarkan bunyi riuh musik R&B dari sound system-nya. Muda-mudi hanyut menikmatinya meskipun tidak sampai berjingkrak-jingkrak.

Gua Jepang
Keesokan harinya, setelah melepas lelah di hotel, kita bisa melanjutkan tur ke rumah tempat Bung Hatta dilahirkan yang letaknya tidak jauh dari Hotel Pusako. Rupanya Bung Hatta dan Ibu Rachmi ini berasal dari satu kota. Jika rumah Bung Hatta yang kecil mungil ini dipugar, rumah Ibu Rahmi sudah menjadi sebuah hotel, Novotel.

Di Bukittinggi ada penunjuk jalan yang menyebutkan ‘Panorama/Fort de Kock/Gua Jepang‘. Lalu, ke mana arah Ngarai Sianok? Bagi yang belum tahu dan ingin sekali menikmati ‘Grand Canyon Indonesia‘ itu tentu amat penasaran. Namun, tunggu dulu, pemandu mengajak kami ke tempat yang disebut Panorama itu.

Kami sempat bertanya-tanya, ngapain ke Panorama? Apa yang kami lihat di sana? Toh, pada waktu perjalanan menuju Bukittinggi, antara Padang-Padang Panjang, kami sudah melihat panorama. Bahkan air terjun Lembah Anai yang letaknya di pinggir jalan besar itu juga sebuah panorama.

Namun, mata kita mendadak bisa terbelalak ketika memasuki tempat yang disebut Panorama itu. Dari situ, pandangan ke arah ngarai begitu indahnya. Pantas disebut Panorama karena memang terlihat begitu indahnya. Persis lukisan, terutama dalam seri prangko tahun 1960-an (saya pengumpul prangko). Sewaktu masih usia SLTP, prangko bergambar pemandangan seperti itu sering saya lihat dan rasanya ingin sekali ‘menjamahnya‘. Dan kini, Ngarai Sianok di depan mata.

Sejenak saya tidak bisa mengucapkan kata-kata karena kekaguman akan indahnya alam ciptaan Tuhan, objek wisata paling indah di Sumbar itu. Paduan antara bukit, hutan, dan sungai yang merupakan sumber inspirasi yang tak habis-habisnya buat para seniman. Ya, nikmati saja, karena tidak bisa diuraikan dengan kata-kata tentang keindahan ngarai yang satu ini.

Terletak satu kompleks dengan Panorama, ada Gua Jepang, yang dibangun oleh tentara pendudukan Jepang pada tahun 1942. Dari mulut gua ini langsung turun ke bawah tanah dengan 128 anak tangga yang kedalamannya mencapai 40 meter.

Gua yang dibangun antara tahun 1942-1945 oleh Jenderal Watanabe ini, menurut pemandu gua, mempunyai luas hampir 60.000 meter persegi. Namun, yang bisa dilalui hanya sekitar 13.000 meter persegi saja, terdiri dari lorong-lorong yang satu sama lain saling berhubungan.

Monumen Kekejaman
Luar biasanya adalah, meski tidak tampak dibangun ventilasi, ternyata sirkulasi udara di dalam gua yang lebih dari 50 meter di bawah tanah itu tetap baik. Artinya, udara segar terhirup nyaman. Ini hasil konstruksi Jepang, ‘cerobong‘ dibuat langsung tembus ke Ngarai Sianok.

Jangan terburu kagum, karena gua ini adalah monumen kekejaman Jepang atas bangsa Indonesia. Pekerjanya adalah romusa (tenaga kerja paksa) yang didatangkan dari Jawa karena untuk menjaga kerahasiaan adanya gua, yang katanya untuk menyimpan persenjataan Jepang.

Aneh tapi nyata, tak satu pun penduduk Bukittinggi, terutama di daerah ngarai itu, yang mengetahui adanya gua tersebut, sampai tentara Jepang menyerah kepada sekutu tahun 1945. Lebih aneh lagi, tak ada sisa tanah galian, entah dibuang ke mana? Kalau dibuang di ngarai, tentu ada semacam bukit baru di sekitar Ngarai Sianok.

Demikian juga dengan tenaga kerja dari Jawa yang masuk gua, tidak tahu ke mana perginya. Hanya saja, menurut pengakuan tentara Jepang, di dalam gua ada semacam penjara untuk memenjarakan romusa dan terowongan menuju ngarai untuk membuang mayat-mayat pekerja asal Jawa itu.

Diceritakan pula, sekali masuk ke dalam gua, para pekerja itu tidak ada yang muncul kembali. Dan mengapa penduduk setempat sampai tidak tahu? Ceritanya lagi, manakala ada penduduk setempat yang sedang mencari kayu memergoki adanya gua itu, langsung ditangkap oleh tentara Jepang dan dibunuh.

Memang, kalau dilihat, konstruksi gua itu tanpa pelindung atau dibangun penyangga agar tanah tidak runtuh. Pembuatan gua itu dilakukan dengan cara digali biasa saja menuju ke kedalaman. Karena jenis tanahnya andesit, tanah itu akan menjadi padat jika menyerap air.

Namun, menuruni gua yang sebagian besar gelap gulita dan harus dipandu itu, menyebabkan kekurangnyamanan. Ada perasaan takut sewaktu-waktu gua runtuh, hingga saya mengalami ketegangan.

Saking tegangnya, saya lupa mengambil gambar-gambar gua yang rasanya juga pas kalau dijadikan tempat pembuatan adegan Òmalam misteriÓ seperti marak dilakukan oleh stasiun-stasiun TV. Ada yang berminat? (SENIOR/Ign. Sunito)

Sumber: www.kompas.com (28 April 2008)
-

Arsip Blog

Recent Posts