Sangalaki, Journey to Paradise....

Berau - Inilah ujung perjalanan mengungkap pesona kepulauan Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Saya menapakkan kaki di tujuan terakhir, Sangalaki, pulau kecil dengan cakrawala sebagai batas keindahannya.

Hembusan angin dan lambaian pohon kelapa mengiringi langkah-langkah kami ke pulau yang tak berpenghuni itu. Butiran-butiran pasir putih nan lembut, laut yang sangat jernih, dengan gradasi warna biru muda, hijau dan biru tua, semakin menambah kecantikan pulau kecil ini.

Karena keelokannya, Sangalaki juga menjadi tempat favorit diving dan snorkling di dunia. Selain alam bawah lautnya, binatang laut, yakni Manta Alfredi (Pari Hantu) juga menjadi tujuan para penyelam.

Binatang laut yang indah ini memang hanya ada di Sangalaki. Tidak hanya wisatawan dalam negeri, wisatawan manca negara pun banyak yang mendatangi pulau ini untuk melihat Pari Hantu.

Pesona yang ditawarkan tidak hanya sebatas itu. Masih ada satu lagi keistimewaan pulau ini, yakni menjadi salah satu pusat peteluran penyu hijau dan penyu sisik terbesar di Asia.

Perjalanan saya menyusuri Sangalaki pun dimulai sore itu, beberapa saat setelah tiba di sana. Ditemani sejumlah anggota tim monitoring penyu, saya berkeliling pulau untuk melihat tempat-tempat penyimpanan telur yang tersebar di seluruh pulau.

Dengan cekatan, mereka memeriksa tempat-tempat tersebut. "Semoga, bisa melihat tukik (anak penyu) yang baru keluar dari sarangnya mbak," kata Junai, salah satu anggota tim monitoring.

Sarang demi sarang saya kami lewati. Sayang, rata-rata tukik-tukik itu sudah keluar dari telurnya. Akhirnya sampailah kami di sarang terakhir. Wow, untunglah saya menemukannya. Begitu sarang dibuka, puluhan tukik langsung berlarian, berlomba keluar dari sarangnya menuju laut lepas.

Lucu sekali melihat anak-anak penyu ini saling berlomba keluar, berdesak -desakan ingin menghirup udara bebas. Karena jarak sarang yang lumayan jauh dari pantai, makhluk-makhluk mungil ini butuh waktu cukup lama sampai ke tujuan.

Sementara di atas sana seekor elang, sang predator, menunggu dengan sigap untuk menerkam bayi-bayi penyu ini. Tetapi kami pun tak kalah sigap. Tukik-tukik ini kami tangkap dan masukkan sementara ke ember besar.

"Nanti aja, agak sorean melepas mereka ke laut, setelah elang itu pergi," ungkap Junai. Selesai sudah kami memeriksa sarang demi sarang penyu di sekeliling pulau.

Sambil menunggu makan malam dan saya berjalan-jalan lagi menikmati sunset di salah satu ujung Sangalaki. Meski agak terlambat, saya masih bisa menikmati sisa-sisa keindahannya.

Di depan saya, terlihat garis batas cakrawala yang terbentang saat matahari ke peraduannya, memendarkan warna-warni yang memukau.

Biru, jingga dan merah seakan saling berlomba memancarkan cahayanya membentuk lukisan alam yang sangat nyaris sempurna.

Ditambah dengan bulatan matahari yang secara perlahan tenggelam di ufuk langit, membuat saya terpukau dengan segala keindahan yang ada. Hening. Hanya ada hembusan angin senja dan alunan debur ombak yang menyatu dalam harmoni senja.

Belum habis kekaguman saya, tiba-tiba ada suara memanggil, memecah sunyi. Sudah saatnya makan malam. Saya harus bangun dari ketermanguan menikmati indahnya sunset Sangalaki.

Bertemu Penyu
Setelah makan malam, saya kembali berkeliling pulau mencari penyu yang akan meninggalkan telur-telurnya di pantai. Saya dan Junai berjalan perlahan menembus kegelapan malam. Tanpa lampu. Hanya ditemani kerlip bintang di langit. Junai tampak sudah hapal dengan setiap langkahnya di sepanjang pantai.

Berbeda dengan saya yang masih agak ‘gagap‘ melangkahkan kaki ini. Ia pun sesekali menyalakan senternya.

"Lampu memang jarang dinyalakan, soalnya penyu-penyu itu ‘takut‘ akan sinar lampu. Kalau ada lampu mereka akan kembali ke laut," terangnya.

Tiba-tiba, teman saya berhenti. Tak jauh dari tempat kami, ada seekor penyu hijau yang bergerak lambat menuju pantai. Kami pun mengawasi dari jauh.

Tak lama, sang penyu berhenti dan mulai menggali pasir, tanda sudah menemukan tempat untuk bertelur. Dengan perlahan, kami mendekat.

Sebelum mengeluarkan telur, tak boleh ada lampu. Dengan sabar, kami menunggu. Dan, setelah telur-telur itu dikeluarkan, senter pun dinyalakan. Si penyu juga tidak lagi terganggu dengan sinar lampu yang menerangi telur-telurnya.

Wow, telur-telur itu lumayan banyak. Setelah mengambil foto, kami lalu meninggalkan tempat itu untuk mencari penyu-penyu lain. Sayang, tidak ada telur-telur yang lain yang saya temukan lagi.

Tetapi, tidak masalah. Soalnya, kata Junai, saya termasuk beruntung bisa melihat proses peteluran. Tidak semua orang yang datang, bisa serta merta bertemu dengan penyu dan telurnya.

Puas sudah hari itu saya bertualang dengan penyu-penyu dan telurnya di malam itu. Sekarang, tinggal menunggu pagi dan berharap bisa melihat Pari Hantu. Sayangnya, keesokan paginya, tidak ada kapal buat kami untuk bersnokling di tengah laut.

Jadi, kesempatan melihat binatang laut kebanggaan Sangalaki pun lenyap. Kalau beruntung, tak jarang binatang-binatang ini bermunculan di laut menyapa pengunjungnya.

Namun, bersnorkling di pinggiran pantai sudah cukup buat saya. Saya menemukan berbagai ikan-ikan kecil warna-warni, anemone dan juga bintang laut.

Rupanya, hari itu memang bukan hari kami. Seorang teman saya yang diving pun tak jua menjumpai Manta.

"Bagus. Coralnya tidak terlalu banyak. Tetapi relief tempatnya bagus. Jadi bisa melihat sekelilingnya. Ada unicorn, tetapi sayang, tidak ketemu dengan Manta," ujarnya.

Dengan berakhirnya snorkling, berakhir pula perjalanan semalam saya di Sangalaki, surga kecil di bumi Indonesia. Siang itu, saya meninggalkan Sangalaki dengan sejuta kenangan indah yang tak terlupakan.

Saya hanya berharap, semoga segala keindahan yang ada tetap bisa terjaga dan jauh dari jangkauan tangan-tangan jahil yang sering merusak alam atas nama pariwisata….

Sumber: www.kompas.com (09 January 2008)

Related Posts:

-

Arsip Blog