Jakarta - Tak banyak umat Islam di negeri ini yang mengenal Raja Ali Haji, tokoh sastra Muslim dan ulama Melayu asal Pulau Penyengat, Kepulauan Riau.
Padahal karya-karyanya disebutkan begitu melegenda hingga ke dunia internasional. Hal itu diungkap oleh peneliti tokoh Melayu, Ai Wardah Mardiah Koswiar, M.Phil. dalam Seminar yang digelar oleh Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan (PIMPIN) tersebut bertajuk “Empat Naskah Karya Raja Ali Haji” dan digelar di ruang kelas Masjid Salman Insitut Teknologi Bandung (ITB), Ahad, (03/01/2016).
Dalam temuan penelitian Wardah, salah satu bukti sederhana tentang penghargaan besar atas karya Raja Ali Haji terdapat di Malaysia.
Di negeri jiran tersebut ditemukan beberapa karya Raja Ali Haji yang dicetak memakai kertas kerajaan atau istana.
“Buku Bustan al-Katibin dan Tuhfat al-Nafis itu dicetak memakai kertas istana yang bisa bertahan hingga ratusan tahun ke depan,” ungkap Wardah, lulusan Magister Philosofi Centre of Advanced Studies on Islam, Science, and Civilisation (CASIS), Universitas Teknologi Malaysia (UTM).
Menurut Wardah, sadar tak sadar saat ini ada upaya secara massif untuk menghilangkan peran para tokoh Islam dalam sejarah bangsa Indonesia, terutama pada kerajaan-kerajaan Islam terdahulu.
Kaum sekular, lanjut Wardah, secara sengaja menutupi atau membelokkan fakta sejarah tersebut.
“Saat ini siapa yang kenal lebih jauh nama Raja Ali Haji tersebut? Kalaupun ada biasanya hanya sebatas karya sastranya, Gurindam Dua Belas. Selain itu bisa dibilang tidak ada,” papar Wardah.
Padahal dikatakan, Raja Ali Haji adalah seorang ulama Nusantara yang juga pernah berguru hingga ke Makkah. Usai menetap beberapa tahun di Makkah, Raja Ali Haji langsung diangkat menjadi penasehat kerajaan Riau-Lingga pada abad 19.
Masih menurut Wardah, istilah pujangga atau sastrawan juga mengalami penyempitan makna ala sekular. Sebab zaman dahulu, sebutan pujangga mencakup seorang tokoh intelektual, penulis, sejarahwan, bahkan menjadi seorang filsuf dan ahli sejarah.
“Belasan karya Raja Ali Haji bisa menjadi bukti kepakarannya di berbagai bidang ilmu,” ungkap Wardah.
“Tahun 1860, Raja Ali Haji bahkan sudah punya murid yang menyebar hingga ke Bandung, Jawa Barat,” imbuh Wardah kembali.
Untuk diketahui, peraih gelar Pahlawan Nasional (2004) tersebut setidaknya memilik karya sebanyak empat belas buku yang dterbitkan. Di antaranya, “Silsilah Melayu dan Bugis” dan “Tuhfat al-Nafis” (bidang sejarah), “Thamarat al-Muhimmah Dhiyafah li al-Umara wa al-Kubara” dan “Muqaddimah fi Intizam al-Wazaif al-Malik”.
Kedua judul terakhir adalah buah dari kepakaran Raja Ali Haji di bidang ketatanegaraan Islam dan adat istiada Melayu. Di bidang bahasa, Raja Ali Haji dikenal dengan buku “Gurindam Dua Belas”,“Syair Abdul Muluk”, “Bustan al-Katibin” serta “Kitab Pengetahuan Bahasa.
Terakhir, di bidang agama dan pemikiran, Raja Ali Haji menelurkan karya “Syair Siti Siyanah”, “Syair Hukum Nikah”, dan “Syair Gemala Mastika Alam”.
Sumber: http://www.hidayatullah.com