Gorontalo - Ribuan orang memadati puncak peringatan Walima (kelahiran Nabi Muhammad) di desa wisata relijius Bongo, Batudaa Pantai, Kabupaten Gorontalo.
Sejak pagi mereka memadati jalan-jalan di tepi bukit gersang dari desa-desa sekitar dan luar kota, Minggu (3/1/2016) kemarin.
Iring-iringan Tolangga (usungan kayu menyerupai perahu atau menara) dipenuhi kue kolombengi dan toyopo (wadah ayaman janur berisi ayam panggang atau ikan) sudah mulai diarak penduduk ke masjid At-Taqwa.
Satu keluarga menyediakan satu tolangga untuk diantar ke masjid. Namun, bagi yang mampu, beberapa tolangga bisa membuat lebih dari satu.
Prosesi membawa tolangga dari rumah ke masjid ini adalah atraksi yang ditunggu masyarakat yang memadati desa yang dihuni nelayan tradisional ini.
Membawa tolangga bukan perkara mudah, karena besarnya tolangga dan banyaknya kue yang menghias. Diperlukan minimal dua orang atau lebih untuk bisa membawanya, bahkan ada yang tingginya mencapai empoat meter, sehingga dibutuhkan kendaraan gerobak.
Puji-pujian dan doa syukur dllafalkan masyarakat saat mengarak tolangga. Inilah wujud rasa cinta masyarakat Gorontalo atas kelahiran Nabi Muhammad.
Di masjid, ratusan masyarakat melantunkan dikili, syair-syair yang berisi sejarah kelahiran nabi dalam bahasa Arab dan Gorontalo.
Sejak semalam dikili dikumandangkan tanpa henti, hingga menjelang siang saat tolangga tiba di masjid. Inilah prosesi unik walima di Gorontalo yang paling banyak dikunjungi orang.
Tradisi walima adalah tradisi tua semasa kerajaan-kerajaan Islam ada, yang dilaksanakan turun-temurun antar generasi. Diperkirakan mulai ada sejak Gorontalo mengenal Islam, pada abad XVII.
Menurut Alex Bobihoe, Ketua Lembaga Adat Limboto, walima merupakan tradisi lama yang hingga kini masih terpelihara dengan baik.
Tanpa diperintah, setiap masjid di seluruh Gorontalo melaksanakan tradisi ini, dan masyarakatnya menyiapkan kue-kue tradisional seperti kolombengi, curuti, buludeli, wapili, pisangi.
“Sejak tahun 1673, saat kerajaan Gorontalo menetapkan semboyan adat bersendikan syara dan syara bersendikan kitabullah, sejak itu tradisi walima mulai ramai dilaksanakan masyarakat,” kata Alex Bobihoe.
Salah satu yang khas di Bongo ini adalah sikap tulus dan ikhlas masyarakat dalam menyambut tamu, termasuk yang tidak dikenal sekalipun.
Tamu-tamu tersebut akan dipersilakan menikmati hidangan yang telah disiapkan. Makan minum dan membawa oleh-oleh kule kolombengi sudah disiapkan oleh tuan rumah.
“Saya sudah sebulan lalu menyiapkan kolombengi untuk walima, sebagian dikirim ke masjid dalam bentuk hiasan tolangga, dan sebagian lagi dikemas dalam plastik untuk dijadikan oleh-oleh pengunjung,” ungkap Abdullah Nihe.
Hingga sore, Bongo masih riuh dengan kemeriahan walima. Lalu lalang kendaraan mengular memenuhi jalan, kemacetan tidak terelakkan, namun semua puas, pulang membawa oleh-oleh kolombengi.
Sumber: http://regional.kompas.com