Banda Aceh, NAD - Kain tenun songket merupakan salah satu jenis kain yang memiliki nuansa mewah. Selain membutuhkan waktu untuk menghasilkan sehelai kain, harganya pun tergolong mahal.
Di Aceh, tak banyak perajin memiliki keahlian menenun songket. Namun, peminat terhadap kain songket aceh cukup banyak karena kesakralan nilainya. Setiap motif songket aceh menggambarkan falsafah hidup masyarakat di Aceh.
Adalah Jasmani, seorang perempuan berusia 50 tahun, dan dia adalah salah satu perajin tenun songket yang bisa ditemui di Desa Siem, Kecamatan Darussalam, Kabupaten Aceh Besar. Hingga kini dia masih eksis menenun songket.
Sejak pagi hari ia sudah memulai aktifitas menenun. Kain hasil tenunannya tak bertahan lama di rumah, karena langsung dibeli oleh konsumen. Belum lagi jika ia harus mengerjakan pesanan para pelanggan dan konsumen.
“Kalau pesanan ada banyak, tapi orang yang mengerjakannya terbatas, karena tidak banyak orang yang bisa menenun,” jelas Jasmani, Sabtu (23/1/2016).
Meski memiliki 10 pekerja, Jasmani masih belum bisa memenuhi permintaan pasar dalam jumlah besar. Selain terbatasnya modal untuk pengadaan mesin tenun, jasmani pun tak punya banyak perajin.
“Perajin saya adalah warga desa biasa, jika tak ada pesanan, mereka tak bisa memproduksi karena tak ada modal, jadi mereka melakukan pekerjaan lain seperti bersawah untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Jika ada orderan bersamaan dengan musim tanam atau panen, maka mereka lebih memilih ke sawah,” ungkap Jasmani tersenyum.
Jasmani mengaku belajar menenun kepada Nyak Salamu, seorang perajin tenun yang tak jauh dari rumahnya. Nyak Salamu alias Nyak Mu sendiri kini sudah meninggal dunia. Ironisnya, tidak ada turunan Nyak Mu yang meneruskan usaha tenun miliknya.
Sejumlah peralatan tenun milik Nyak Mu teronggok tanpa ada yang menggunakan. Selain terbatasnya modal usaha, bahan baku untuk menenun, sebut Jasmani, menjadi penyebab mundurnya usaha tenun di kawasan tersebut.
“Saya pun juga terkendala modal dan bahan baku, sehingga saya tidak mampu memproduksi dalam jumlah besar, padahal saya ingin memproduksi banyak,” jelas Jasmani.
Satu peralatan tenun di kediaman Jasmani pun tak berfungsi. Menurut Jasmani itu adalah alat tenun ikat belum difungsikan karena terbatasnya bahan baku dan kelengkapan peralatan. Jasmani telah menggeluti dunia tenun songket selama 30 tahun. Lewat tangan ibu satu anak ini tradisi kebanggaan masyarakat Aceh ini masih terjaga.
Perempuan ini terus menjaga dan mewarisi tradisi penciptaan songket aceh kepada masyarakat, di tengah sejumlah keterbatasan yang menderanya. Sementara satu helai kain tenun dengan motif sederhana, bisa dihasilkan dalam waktu dua minggu hingga satu bulan.
Jasmani berharap pemerintah lebih peduli kepada perkembangan songket aceh, sebab songket aceh menjadi alat penyampai pesan falsafah hidup masyarakat aceh yang terkandung dalam setiap motifnya. Memiliki kain songket tenun aceh bagi masyarakat di aceh adalah sebuah kebanggaan.
Dalam kesehariannya songket tenun aceh dijadikan bahan utama sebagai antaran untuk pengantin, atau digunakan dalam acara-acara formal kedaerahan atau bahkan acara-acara bernuansa adat dan budaya.
“Saya suka songket tenun Aceh. Bagi kami dikeluarga, setiap keluarga harus memiliki minimal satu kain songket,” sebut Maryamah, saat ditemui tengah membeli kain tenun songket di kediaman Jasmani.
Menurut Maryamah, menggunakan songket tenun aceh dalam berbagai acara merupakan identitas dan kebanggaan masyarakat. Usaha tenun songket aceh memang masih minim, walau budaya tenun ini sudah mendarah daging dalam budaya dan kehidupan masyarakat di Aceh.
Para perajin berharap pemerintah bisa memberi dukungan penuh terhadap usaha tenun songket ini agar budaya bisa terus dilestarikan dan tidak punah di kampung sendiri.
Sumber: http://travel.kompas.com