Kupang, NTT - Pengamat hukum dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Dr Karolus Kopong Medan SH.MHum mengatakan persoalan lahan yang menjadi kendala bagi para investor selama ini, karena pemerintah tidak mengakomodir kepentingan masyarakat adat dalam kebijakan pembangunan.
"Kita semua tahu bahwa hampir sebagian besar lahan di wilayah Nusa Tenggara Timur ini adalah tanah ulayat, milik masyarakat adat. Namun, peran masyarakat adat diabaikan begitu saja oleh pemerintah dalam menata kebijakan pembangunan," katanya kepada Antara di Kupang, Rabu.
Kandidat kuat Dekan Fakultas Hukum Undana Kupang mengemukakan pandangannya tersebut ketika ditanya soal hambatan investasi di NTT, dimana salah satu kendalanya adalah hak kepemilikan atas lahan tersebut.
Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Undana Kupang ini mengatakan kebijakan pembangunan di daerah, tidak cukup dengan hanya mengakomodir kepentingan para investor, dan di sisi lain, justru mengabaikan peran masyarakat adat dalm kebijakan pembangunan.
Ia menambahkan antara pemerintah, investor dan masyarakat adat harus dilibatkan dalam setiap kebijakan pembangunan di daerah, guna mengeliminasi atau meminimalisir persoalan lahan yang menjadi hambatan investasi selama ini.
"Masyarakat adat harus diikutsertakan dalam pembangunan tersebut, dengan menjadikan lahan investasi itu sebagai saham agar mereka pun pun ikut menikmati hasil dari kegiatan inverstasi tersebut," ujarnya.
Dengan demikian, kata Kopong Medan, persoalan lahan yang menjadi kendala investasi selama ini, dapat terpecahkan dengan baik.
"Pemerintah seharusnya bisa merubah arah kebijakan pembangunan di daerah ini dengan melibatkan masyarakat adat yang menjadi pemilik tanah ulayat dimaksud," katanya.
Akibatnya ketika para investor ingin berinvestasi, muncul klaim atas kepemilikan lahan tersebut yang berakibat pada ketidaknayamanan investor untuk membuka usahanya di daerah itu.
Lebih lanjut Karolus yang juga merupakan pembantu Dekan ini mengatakan kepentingan masyarakat adat ini penting untuk diperhatikan, karena kendalah utama yg menjadi penghambat pembangunan adalah lahan yang selama ini dikuasai oleh masyarat adat.
"Konflik-konflik pembangunan yang ada di NTT selama ini lebih banyak didominasi oleh persoalan lahan. Contohnya seperti pembangunan dan pelebaran bandara, pembangunan bendungan, pelebaran jalan selalu menjadi kendala hanya karena sengketa," tururnya.
Karolus menilai selama ini pemerintah baik provinsi dan daerah lebih fokus untuk mengakomodir kepentingan pemerintah dan pihak investor semata, tanpa melihat betapa pentingnya peran dari masyarakat adat tersebut. Padahal keberadaan masyarakat adat dalam penguasaan dan pengolahan lahan tersebut sudah diklaim sebagai tanah ulayat.
Melihat hal tersebut maka menurutnya perlu ada kebijakan pembangunan yang mampu mengakomodir kepentingan masyarakat adat yang selama ini terabaikan perannya. Pemerintah daerah sendiri harus memperhatikan tiga kepentingan sekaligus termasuk kepentingan masyarakat adat sebagai pemilik lahan.
"Kalau perlu lahan yang dikuasai oleh masyarakat adat itu menjadi modal bagi masyakat dalam kolaborasi antara pemerintah, investor, serta masyarakat adat," ujarnya.
Presiden Joko Widodo dalam kunjungannya ke Kupang pada 27-28 Desember 2015 lalu juga mengakui masalah lahan di NTT sering menjadi kendala masuknya investor untuk menanamkan modalnya.
Presiden Jokowi memandang penting untuk mendiskusikan persoalan tanah dengan para kepala suku dan tokoh-tokoh masyarakat setempat guna mencari jalan pemecahannya, agar bisa menggiring para investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia Timur.
Sumber: http://kupang.tribunnews.com/