Yogyakarta - Karya sastra tidak pernah lepas dari kekosongan budaya yang ada dalam lingkup kehidupannya. Artinya setiap karya sastra yang dihasilkan oleh seorang sastrawan memberikan tanda-tanda budaya yang harus dimaknai oleh para pembaca setiap zamannya.
Dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta Dr Hartono MHum, Jumat (8/1), mengatakan, dalam karya novel Indonesia periode 1980-1995, misalnya mengetengahkan unsur budaya lokal Jawa. Seperti novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, dan Para Priyayi karya Umar Kayam.
"Dalam novel-novel tersebut semua aspek cerita berbicara dan menyuarakan budaya Jawa. Kekentalan budaya Jawa tampak dalam latar belakang, kepercayaan masyarakat, status sosial, latar waktu, dan nama-nama," ungkap Hartono, yang berhasil lulus doktor dari Program Fakultas Ilmu Budaya UGM ini.
Ia menjelaskan, pada tahun 1980-an dan 1990-an awal, novel Indonesia digairahkan oleh sesuatu yang disebut dengan warna lokal atau sensibilitas lokal, dan para pengarang cenderung mengangkat budaya daerah sesuai dengan latar belakang sosial-budaya demografinya.
Menurutnya, pembaca novel Ronggeng Dukuh Paruh dapat mengidentifikasi tanda budaya yang dipaparkan Ahmad Tohari secara semiotika budaya memberikan makna tersendiri. Seperti tanda budaya kepercayaan masyarakat Dukuh Paruk, kehidupannya atapun ronggeng itu sendiri yang mencerminkan budaya Banyumas.
Mengapa di tahun tersebut tema-tema yang diambil oleh pengarang lebih banyak tentang budaya lokal? Menurut analisis Hartono, hal itu terjadi dikarenakan situasi politik saat karya tersebut diciptakan. Saat itu pemerintah sering melakukan penyensoran terhadap tulisan-tulisan yang ditengarai berbau subversif.
Karenanya, lanjut Hartono, pengarang seolah-olah sedang mencari tema alternatif tanpa mengurangi substansi dan tujuan pencipataan sebuah karya sastra. Tetapi di sisi lain, juga perlu digarisbawahi jika aspek budaya tersebut juga mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesadaran budaya lokal dan nasional.
Sumber: http://krjogja.com