Kreativitas dan Kearifan Lokal jadi Modal Majukan Wisata

Padang, Sumbar - Kearifan daerah menjadi modal berkembangnya sektor pariwisata dalam menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN (MEA). Semua elemen masyarakat dituntut bisa memainkan peranannya masing-masing dalam upaya menumbuhkan semangat sadar wisata.

Demikian mengemuka dalam seminar nasional pariwisata di Hotel Grand Inna Muara Padang, Sabtu (6/1). Seminar ini menghadirkan tiga narasumber yang dinilai berhasil memajukan sektor pariwisata di daerahnya, masing-masing Mahyeldi Ansharullah (Wali Kota Padang) dan Abdullah Azwar Anas (Bupati Bayuwangi) serta Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung Herlan Joerliawan Soemardi. Sedangkan Ridwan Kamil (Wali Kota Bandung) yang juga didaulat jadi narasumber, berhalangan hadir akibat sakit.

“Kami tengah gencar mengembangkan kawasan wisata terpadu (KWT) mulai dari Pantai Padang, Pelabuhan Muaro, Kotatua, hingga Pantai Air Manis,” ujar Mahyeldi Ansharullah ketika tampil di bagian pertama dalam seminar yang digelar Kementerian Pariwisata bersama Universitas Andalas dan Pemerintah Kota Padang ini.

Pembenahan yang dilakukan di kawasan wisata Padang tersebut, diyakini Mahyeldi bakal memanjakan pengunjungnya. Terlebih lagi, objek wisata di Padang makin menarik karena mengandung legenda yang berkembang dalam cerita rakyat.

“Keindahan alam dan kearifan lokal, modal besar untuk wisata di Padang berkembang,” ujarnya dalam seminar yang dimoderatori Sari Lenggogeni, pengamat pemasaran pariwisata jebolan Universitas of Queensland, Australia.

Selain itu, kata Mahyeldi, kawasan wisata Padang diyakini mampu berkembang pesat karena didukung penuh masyarakat sekitarnya. Apalagi tujuan utama pihaknya membantu perekonomian masyarakat.

“Elo pukek sudah lama tidak kita saksikan. Jadi ketika kami membersihkan Pantai Padang, masyarakat nelayan sangat antusias mendukung bila tradisi elo pukek tersebut dijadikan daya tarik wisata di pantai itu,” ujarnya.

Mahyeldi siap menampung seluruh masukan dari berbagai pihak agar wisata Padang maju. “Masukan yang baik tentu bersamaan dengan solusi. Kami menargetkan tahun 2019, pengembangan wisata di Padang akan rampung,” katanya.

Sedangkan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas memegang konsep kreatif dalam pengembangan wisata di daerahnya. Dia memberdayakan tenaga muda dalam memajukan pariwisata yang dirancang pihaknya. “Relasi dan kreativitas kunci utama kami, sehingga peluang-peluang yang ada dapat kami kembangkan tanpa membebani anggaran negara,” ujarnya.

Seluruh peluang pengembangan wisata di Banyuwangi, kata Abdullah, berupa kegiatan bertaraf internasional, seperti surfing. Promosinya berkerja sama dengan pihak asing.

“Membuat video pengenalan wisata di tempat kami, sebenarnya butuh modal ratusan juta. Karena bekerja sama dengan pihak asing, hanya modal nol. Merekalah yang membuatkan kami video tentang wisata di Banyuwangi. Modelnya dari Brasil,” ungkapnya seraya menunjuk video yang ditayangkan di layar proyektor.

Setelah media pengenalan wisata tersebut berhasil, tahap berikutnya memasukkan kearifan lokal ke dalam video tersebut. “Sekarang promosi kami melalui media video itu sudah menggunakan gadis Banyuwangi sebagai model. Seluruh kearifan lokal semakin menonjol. Makanya, wisata kami semakin mendapat sorotan internasional,” pungkasnya.

Bupati yang berhasil menekan angka kemiskinan hingga 11 persen selama tiga tahun memimpin ini menambahkan, Pemkab Banyuwangi mengembangkan pendekatan holistik marketing, di mana semua SKPD berfungsi sebagai Event Organizer (EO), dalam mendukung pembangunan infrastruktur pariwisata berwawasan lingkungan.

“Seperti pembangunan green airport, ekowisata dengan tidak merusak alam dalam pembangunan infrastruktur wisata alam. Serta, menggelar iven tanpa bergantung pada APBD,” ujar Azwar.

Dalam seminar tersebut, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung, Herlan Joerliawan Soemardi, hadir mewakili Ridwan Kamil. Herlan memaparkan, dalam menghadapi MEA, pariwisata Bandung fokus menyajikan wisata kuliner, fashion, dan festival yang berbasis ekonomi kreatif.

Pengembangan wisata di Bandung mengutamakan brand. Sebab, pengenalan tersebut lebih sulit dilakukan dibandingkan pembenahan. “Sekarang penataan wisata sudah sangat banyak yang kami lakukan. Pengunjungnya juga banyak,” ujarnya.

Herlan mengatakan, kuliner di Bandung sangat diminati. “Banyak kuliner yang harus dicicipi kalau datang ke Bandung. Semua itu berkembang pesat berkat kreativitas masyarakat,” ujarnya.

Kunci dari kreativitas, katanya, berada di tangan komunitas-komunitas yang dibentuk di Bandung. Pemko Bandung terus melakukan pendekatan dengan komunikasi tersebut. “Salah satu contohnya, dibangun taman-taman tematik oleh komunitas yang ada, seperti Taman Jomblo. Ini untuk meningkatkan daya saing kreativitas kota,” ujarnya dalam seminar yang dibuka Deputi Pengembangan dan Pemasaran Pariwisata Nusantara Kementerian Pariwisata, Esty Reko Astuti ini.

Herlan menyebut, sanksi sosial juga diberikan kepada warga yang merusak lingkungan Kota Bandung. “Pernah suatu kali seorang pemuda yang sedang membuang sampah tertangkap kamera dan difoto. Pembuang sampah ini kemudian disuruh menyapu jalan yang dikotorinya dan foto tersebut dipublikasikan di media sosial dan media massa lainnya,” bebernya.

“Ini jadi efek jera bagi pelaku lain, sehingga pada suatu kali ada lagi warga yang kedapatan membuang sampah, memohon-mohon agar foto perbuatannya tidak dipublikasikan,” ungkap Herlan.

Rektor Universitas Andalas Prof Tafdil Husni di depan peserta seminar mengatakan, Padang punya pariwisata yang menarik. Padang juga memiliki kuliner enak yang tak ada duanya.

“Kuliner di Sumbar enak-enak, jadi lupakan diet kalau ke Padang,” katanya dalam seminar yang dihadiri para kepala Dinas Pariwisata se-Sumatera, para general manager restoran dan hotel, praktisi pariwisata, Danlantamal dan Kapolda.

Meski begitu, Tafdil menilai kondisi sadar wisata di Sumbar mesti ditingkatkan. Seluruh elemen diharapkan giat sadar wisata. “Terutama, akademisi, pemerintah, pengelola pariwisata dan warga masyarakat,” tambahnya.

Dicontohkannya dalam penataan pelayanan di restoran maupun rumah makan, serta kedai/ lapau, meski diimbangi dengan pelayanan yang baik. “Jangan sampai ada istilah makan enak, tapi ketika membayar, stres karena disodori bill yang mencekik. Untuk itu, perlu pembenahan sikap kita, apalagi dalam MEA 2016 ini,” ingatnya.

-

Arsip Blog

Recent Posts