Oleh Zuraidah, S.S
mahasiswa S2 Kajian Budaya UNUD
Keberadaan Situs Trowulan akhir-akhir ini mulai menjadi buah bibir. Selama ini, Situs Trowulan hanya dikenal dikalangan tertentu saja, tetapi sekarang keberadaannya mulai diketahui banyak pihak. Hal ini tidak terlepas dari peran media yang begitu gencar memberitakan tentang adanya pengrusakan di Situs Trowulan. Sehingga memunculkan reaksi penolakan yang sangat keras dari beberapa pihak terutama pakar arkeologi, yang menuntut penghentian pembangunan Pusat Informasi Majapahit.
Peran media diakui memang sangat besar dalam penyebaran informasi ke masyarakat, tetapi ada kalanya pemberitaan di media hanya dari satu sisi saja (pemberitaan tidak seimbang), sehingga hal tersebut menimbulkan keresahan di masyarakat. Kembali pada pernyataan beberapa pihak yang menyatakan telah terjadi pengrusakan di Situs Trowulan, terutama kasus ini mencuat setelah adanya proyek pembangunan PIM, di sini saya sebagai putra daerah ingin menanyakan kembali bagaimana bentuk pengrusakannya? Karena tidak dapat dipungkiri bahwasannya pengrusakan terhadap Situs Trowulan sudah berlangsung lama, salah satunya yang dilakukan oleh masyarakat Trowulan untuk pembuatan bata, pencurian terhadap benda-benda arkeologi, adanya aktivitas mencari emas (Ngendang). Tetapi hal tersebut kurang mendapat perhatian dari berbagai pihak secara langsung (termasuk para pakar arkeolog maupun pemerintah).
Ibaratnya seluruh Trowulan adalah situs, karena banyak sekali benda-benda arkeologi di dalamnya. Dalam tataran teori keberadaan situs itu harus dilindungi dan tidak boleh dirusak atau mendirikan bangunan di atasnya, tetapi dalam tataran praktek di Trowulan sekarang sudah semakin sesak dengan pemukiman penduduk. Sengaja atau tidak, ketika masyarakat Trowulan mendirikan rumah banyak menemukan benda-benda arkeologi, tetapi mereka tetap saja mendirikan rumah di lokasi tersebut, hal ini disebut apa? Apakah itu juga bukan sebuah bentuk pengrusakan?
Tetapi sekarang pembangunan PIM yang mempunyai tujuan baik, menjadi sesuatu yang controversial setelah dikemas pemberitaan di berbagai media? Beberapa pihak mulai berbicara tentang kepedulian terhadap Situs Trowulan. Yang menjadi ganjalan di hati saja, kemana saja mereka selama ini termasuk saya sendiri? Para ahli arkeologi sibuk dengan dunianya sendiri, mereka datang silih berganti melakukan penelitian di Situs Trowulan, menggali-menggali dan terus menggali, tetapi apa yang didapat masyarakat?. Masyarakat Trowulan tidak pernah mendapat manfaat dari berbagai penelitian yang dilakukan di Situs Trowulan.
Mengutip pendapat seorang pakar yang mengatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya arkeologi tidak hanya oleh peneliti saja dengan kegiatan penelitiannya, aznamun masyarakat umum juga berhak atas ruang untuk mewujudkan apresiasi mereka sesuai dengan bentuk pemaknaan yang mereka kembangkan atas warisan budaya tersebut. Bukankah masyarakat juga pewaris yang sah atas tinggalan tersebut. Pariwisata merupakan salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya arkeologi yang cukup menarik dan realistis untuk ditawarkan (http:www.duniaesai.com/arkeologi/arkeo7.html).
Hal inilah yang coba diwujudkan oleh pihak BP3 Trowulan dengan mendirikan PIM. Perlu diketahui bahwa pihak BP3 Trowulan berupaya untuk menjadikan PIM sebagai selah satu objek wisata arkeologi. Rencananya mereka berusaha untuk menampakkan struktur bangunan yang ada di dalam tanah dan kemudian menutupnya dengan kaca, sehingga masyarakat dapat berjalan di atas kaca dan melihat tinggalan-tinggalan yang ada di dalamnya, seperti di Quanjzhu.
Perlu diketahui, bahwa pembukaan kotak galian di sekitar PIM itu dilakukan oleh seluruh tenaga arkeolog yang ada di BP3 Trowulan dan mereka tidak dibayar (hal ini berbeda dengan peryataan beberapa pakar yang menyatakan bahwa pembuatan PIM tidak melibatkan tenaga arkeolog). Mengenai pemasangan 50 tiang pancang beton di sekitar PIM, yang dianggap telah merusak situ situ sendiri tentunya juga sudah dipikirkan oleh segenap di instansi tersebut. Tiang-tiang tersebut dipasang di lokasi yang terindikasi sedikit terdapat struktur bangunannya. Jadi penempatan tiang-tiang tersebut tidak asal-asalan tetapi sudah mendapat persetujuan dari para arkeolog setempat.
Proyek ini berusaha untuk menjadikan Trowulan sebagai salah satu objek wisata dengan menjual kebesaran Majapahit. Siapa yang tidak tahu kebesaran Majapahit di masa lalu, warisan nama besar dan banyaknya tinggalan arkeologi yang ada di dalamnya itulah yang berusaha untuk ditampilkan dan ditunjukkan kepada masyarakat luas. Agar masyarakat sadar, khususnya masyarakat Trowulan bahwa mereka harus bangga memiliki pusaka budaya yang telah diwariskan oleh leluhur sebagai identitas atau jatidiri. Sehingga masyarakat tidak hanya beranggapan, bahwa sumberdaya arkeologi tidak hanya sekedar sebuah warisan nenek moyang yang memang begitu adanya, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi dan memberikan kontribusi nyata pada masyarakat.
Jadi di era Globalisasi, pemberdayaan situs sebagai objek wisata arkeologi menjadi sangat penting untuk dapat meningkatkan taraf hidup penduduk sekitar. Ibaratnya sebuah pembangunan di era modernisasi ini pasti mengandung dampak positif dan negatif. Apalagi di Indonesia, pembangunan yang tengah dilakukan secara sengaja atau tidak kerap kali berinteraksi dengan benda warisan budaya karena tingginya sebuah warisan budaya (Ardika, 2007), apakah hal ini selalu menjadi sebuah kontroversi?
Itulah sedikit unek-unek dari seorang putra daerah yang bermimpi menjadikan Situs Trowulan sebagai salah satu daya tarik wisata, sehingga masyarakat setempat juga ikut merasakan manfaat dari keberadaaan situs tersebut. Akhirnya, marilah kita semua berpikir dan bertindak bijak untuk menyelesaikan kontroversi tentang pembangunan PIM. Diharapkan berbagai pihak, bersedia duduk bersama untuk mencari solusi yang terbaik untuk mengatasi masalah tersebut, tanpa merugikan salah satu pihak. Untuk para pakar arkeolog yang memang paham betul tentang manajemen sumberdaya budaya, berilah solusi konkret dan langsung ikut terjun ke lapangan memberikan contoh secara langsung bagaimana sebaiknya mengemas sebuah pusaka budaya sebagai objek pariwisata.
Sumber: http://arkeologi.web.id
mahasiswa S2 Kajian Budaya UNUD
Keberadaan Situs Trowulan akhir-akhir ini mulai menjadi buah bibir. Selama ini, Situs Trowulan hanya dikenal dikalangan tertentu saja, tetapi sekarang keberadaannya mulai diketahui banyak pihak. Hal ini tidak terlepas dari peran media yang begitu gencar memberitakan tentang adanya pengrusakan di Situs Trowulan. Sehingga memunculkan reaksi penolakan yang sangat keras dari beberapa pihak terutama pakar arkeologi, yang menuntut penghentian pembangunan Pusat Informasi Majapahit.
Peran media diakui memang sangat besar dalam penyebaran informasi ke masyarakat, tetapi ada kalanya pemberitaan di media hanya dari satu sisi saja (pemberitaan tidak seimbang), sehingga hal tersebut menimbulkan keresahan di masyarakat. Kembali pada pernyataan beberapa pihak yang menyatakan telah terjadi pengrusakan di Situs Trowulan, terutama kasus ini mencuat setelah adanya proyek pembangunan PIM, di sini saya sebagai putra daerah ingin menanyakan kembali bagaimana bentuk pengrusakannya? Karena tidak dapat dipungkiri bahwasannya pengrusakan terhadap Situs Trowulan sudah berlangsung lama, salah satunya yang dilakukan oleh masyarakat Trowulan untuk pembuatan bata, pencurian terhadap benda-benda arkeologi, adanya aktivitas mencari emas (Ngendang). Tetapi hal tersebut kurang mendapat perhatian dari berbagai pihak secara langsung (termasuk para pakar arkeolog maupun pemerintah).
Ibaratnya seluruh Trowulan adalah situs, karena banyak sekali benda-benda arkeologi di dalamnya. Dalam tataran teori keberadaan situs itu harus dilindungi dan tidak boleh dirusak atau mendirikan bangunan di atasnya, tetapi dalam tataran praktek di Trowulan sekarang sudah semakin sesak dengan pemukiman penduduk. Sengaja atau tidak, ketika masyarakat Trowulan mendirikan rumah banyak menemukan benda-benda arkeologi, tetapi mereka tetap saja mendirikan rumah di lokasi tersebut, hal ini disebut apa? Apakah itu juga bukan sebuah bentuk pengrusakan?
Tetapi sekarang pembangunan PIM yang mempunyai tujuan baik, menjadi sesuatu yang controversial setelah dikemas pemberitaan di berbagai media? Beberapa pihak mulai berbicara tentang kepedulian terhadap Situs Trowulan. Yang menjadi ganjalan di hati saja, kemana saja mereka selama ini termasuk saya sendiri? Para ahli arkeologi sibuk dengan dunianya sendiri, mereka datang silih berganti melakukan penelitian di Situs Trowulan, menggali-menggali dan terus menggali, tetapi apa yang didapat masyarakat?. Masyarakat Trowulan tidak pernah mendapat manfaat dari berbagai penelitian yang dilakukan di Situs Trowulan.
Mengutip pendapat seorang pakar yang mengatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya arkeologi tidak hanya oleh peneliti saja dengan kegiatan penelitiannya, aznamun masyarakat umum juga berhak atas ruang untuk mewujudkan apresiasi mereka sesuai dengan bentuk pemaknaan yang mereka kembangkan atas warisan budaya tersebut. Bukankah masyarakat juga pewaris yang sah atas tinggalan tersebut. Pariwisata merupakan salah satu bentuk pemanfaatan sumberdaya arkeologi yang cukup menarik dan realistis untuk ditawarkan (http:www.duniaesai.com/arkeologi/arkeo7.html).
Hal inilah yang coba diwujudkan oleh pihak BP3 Trowulan dengan mendirikan PIM. Perlu diketahui bahwa pihak BP3 Trowulan berupaya untuk menjadikan PIM sebagai selah satu objek wisata arkeologi. Rencananya mereka berusaha untuk menampakkan struktur bangunan yang ada di dalam tanah dan kemudian menutupnya dengan kaca, sehingga masyarakat dapat berjalan di atas kaca dan melihat tinggalan-tinggalan yang ada di dalamnya, seperti di Quanjzhu.
Perlu diketahui, bahwa pembukaan kotak galian di sekitar PIM itu dilakukan oleh seluruh tenaga arkeolog yang ada di BP3 Trowulan dan mereka tidak dibayar (hal ini berbeda dengan peryataan beberapa pakar yang menyatakan bahwa pembuatan PIM tidak melibatkan tenaga arkeolog). Mengenai pemasangan 50 tiang pancang beton di sekitar PIM, yang dianggap telah merusak situ situ sendiri tentunya juga sudah dipikirkan oleh segenap di instansi tersebut. Tiang-tiang tersebut dipasang di lokasi yang terindikasi sedikit terdapat struktur bangunannya. Jadi penempatan tiang-tiang tersebut tidak asal-asalan tetapi sudah mendapat persetujuan dari para arkeolog setempat.
Proyek ini berusaha untuk menjadikan Trowulan sebagai salah satu objek wisata dengan menjual kebesaran Majapahit. Siapa yang tidak tahu kebesaran Majapahit di masa lalu, warisan nama besar dan banyaknya tinggalan arkeologi yang ada di dalamnya itulah yang berusaha untuk ditampilkan dan ditunjukkan kepada masyarakat luas. Agar masyarakat sadar, khususnya masyarakat Trowulan bahwa mereka harus bangga memiliki pusaka budaya yang telah diwariskan oleh leluhur sebagai identitas atau jatidiri. Sehingga masyarakat tidak hanya beranggapan, bahwa sumberdaya arkeologi tidak hanya sekedar sebuah warisan nenek moyang yang memang begitu adanya, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi dan memberikan kontribusi nyata pada masyarakat.
Jadi di era Globalisasi, pemberdayaan situs sebagai objek wisata arkeologi menjadi sangat penting untuk dapat meningkatkan taraf hidup penduduk sekitar. Ibaratnya sebuah pembangunan di era modernisasi ini pasti mengandung dampak positif dan negatif. Apalagi di Indonesia, pembangunan yang tengah dilakukan secara sengaja atau tidak kerap kali berinteraksi dengan benda warisan budaya karena tingginya sebuah warisan budaya (Ardika, 2007), apakah hal ini selalu menjadi sebuah kontroversi?
Itulah sedikit unek-unek dari seorang putra daerah yang bermimpi menjadikan Situs Trowulan sebagai salah satu daya tarik wisata, sehingga masyarakat setempat juga ikut merasakan manfaat dari keberadaaan situs tersebut. Akhirnya, marilah kita semua berpikir dan bertindak bijak untuk menyelesaikan kontroversi tentang pembangunan PIM. Diharapkan berbagai pihak, bersedia duduk bersama untuk mencari solusi yang terbaik untuk mengatasi masalah tersebut, tanpa merugikan salah satu pihak. Untuk para pakar arkeolog yang memang paham betul tentang manajemen sumberdaya budaya, berilah solusi konkret dan langsung ikut terjun ke lapangan memberikan contoh secara langsung bagaimana sebaiknya mengemas sebuah pusaka budaya sebagai objek pariwisata.
Sumber: http://arkeologi.web.id