Komunitas Melayu Bali

Oleh: Sofwan

“…orang-orang Bugis/Makassar tersebut pertama kali memperkenalkan ajaran-ajaran agama Islam kepada masyarakat Jembrana yang beragama Hindu Bali. Seiring dengan waktu, maka semakin kuat persatuan di antara kedua belah pihak, muslim dan warga asli Bali yang beragama Hindu. Bahkan, tercatat, ada juga seorang anggota keluarga I Gusti Ngurah Pancoran yang memasuki agama Islam. Menyusul kemudian beberapa penduduk dan wanita….” (I Wayan Reken dalam “Sejarah Perkembangan Islam di Bali, khususnya di Kabupaten Jembrana”, hal.5 tahun 1979).

Rumah-rumah pada perkampungan itu tak memiliki pura, seperti halnya kebanyakan rumah di Bali. Justru, rumah-rumah itu merupakan rumah panggung, ciri khas perumahan orang Melayu.

Kampung Loloan memang merupakan sebuah perkampungan Melayu, yang dihuni suku Melayu dan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar pergaulan keseharian—walaupun kampung itu berada di Bali.

Penduduk kampung itu merupakan keturunan para penyebar Islam permulaan di Bali. Unik memang, di Bali yang terkenal dengan Hindhu-nya justru dijumpai sekelompok masyarakat yang konsisten menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa sehari-hari.

Tak hanya itu, pakaian, bentuk rumah dan tata cara adat pun masih merujuk pada akar budaya Melayu. Jumlah penduduk Melayu muslim di Loloan—yang terdiri dari dua kecamatan: Loloan Timur dan Loloan Barat—saat ini sekitar 13.000 orang, dari sekitar 42.000 muslim yang tinggal di Kabupaten Jembrana.

Menurut H. Mustafa Al-Qadri, salah seorang sesepuh Melayu di kampung itu, orang Melayu di Loloan berasal dari beberapa daerah: Bugis, Kalimantan dan Terengganu. Namun yang terbesar berasal dari Bugis. Berdasarkan buku kecil “Sejarah Masuknya Islam di Bali II”, setelah Makassar jatuh ke tangan VOC pada tahun 1667, Belanda menjadikan keturunan Sultan Wajo sebagai lawan yang harus dibasmi. Di bawah tekanan Belanda, serombongan laskar Sultan Wajo, yang dipimpin Daeng Nahkoda melarikan diri dari tanah Sulawesi hingga akhirnya bermukim di suatu tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Bajo. Atas izin I Gusti Ngurah Pancoran yang berkuasa di Jembrana, pelabuhan tempat mereka berlabuh diberi nama Bandar Pancoran—kini bekas pelabuhan lama itu terletak di Loloan Barat.

Sejak kedatangan yang pertama itu, berdatanganlah orang-orang Bugis ke Jembrana dengan menggunakan perahu Pinisi dan perahu Lambo. Selain dari Bugis, dua ratus tahun kemudian, ada pula orang Melayu yang datang dari Pontianak seiring dengan kedatangan Syarif Abdullah bin Yahya Al-Qadry dari Pontianak pada abad ke-18 masehi. Dalam rombongan Syarif Abdullah Yahya al-Qadri itu terdapat seorang Melayu asal Terengganu bernama Ya’qub, yang kemudian menikah dengan penduduk Melayu tempatan.

Ya’qub inilah yang disebut-sebut dalam Prasasti Melayu yang disimpan di Masjid Al-Qadim, Loloan. Di pelataran masjid itu pula Ya’qub dimakamkan. Dalam prasasti tersebut tertulis: “Satu Dzulqa’dah 1268 H, hari Itsnin. Encik Ya’qub orang Terengganu mewaqafkan akan barang istrinya serta mewaqafkan dengan segala warisnya yaitu al-Qur’an dan sawah satu tebih (petak) di Mertosari. Perolehannya 40 siba’ (ikat) dalam Masjid Jembrana di Kampung Loloan ketika Pak Mahbubah menjadi penghulu dan Pak Mustika menjadi Perbekel. Saksi: Syarif Abdullah bin Yahya al-Qadri dan Khatib Abdul Hamid.” Menurut salah seorang takmir Masjid Al-Qadim, H. Fathurrahim, masjid itu dibangun pada tahun 1600-an masehi.

Selain catatan tersebut, juga dijumpai informasi sahih tentang ketibaan orang-orang Bugis di Bali di seputar tahun itu. Menurut informasi itu, disebutkan bahwa ulama-ulama dari negeri Kucing dan Serawak—sekarang di Malaysia Timur—juga berdatangan ke Loloan. Setelah mereka, kemudian datang berdakwah Syaykh Ahmad Bawazir dari Yaman. Mereka mengajar agama Islam kepada warga Loloan dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa Melayu, sesuai dengan bahasa pengantar di Loloan pada masa itu. Hal inilah yang kemudian membuat bahasa Bugis lambat laun tersisih, hingga akhirnya hanya bahasa Melayu yang digunakan di Loloan.

Eksistensi budaya Melayu di Bali itu bertambah kuat dan bertambah kokoh setelah generasi-generasi muda Loloan mulai dikirim belajar hingga ke Mekkah. Bahkan, di antara mereka ada yang berkhidmat di Mekkah hingga 30 tahun, seperti H. Agus Salam, H. Muhammad Said dan H.M. Asad yang sempat mondok di sekitar Masjid al-Haram sebelum Wahabi masuk ke Arab. Sepulang dari jazirah Arab, mereka kemudian membangun pesantren-pesantren di Loloan.

Masyarakat Melayu Islam di Loloan pada masa itu sangat diterima oleh penguasa Bali—bahkan tidak berlebihan jika disebut “sangat akrab”. Hal itu tidak terlepas dari kesediaan para muslim warga Jembrana untuk ikut memperkuat armada kerajaan-kerajaan Hindu Bali di sana. Setiap kali ada serangan dari kerajaan lain, warga Jembrana dari kalangan muslim turut membantu. “Sebagai imbalannya, mereka diberikan hadiah tanah seluas 200 hektare sebagai pemukiman khas bagi orang Melayu,” jelas H. Ahmad Damanhuri, sesepuh Melayu Loloan. Saat itu pula, dibuat sebuah konvensi tak tertulis tentang penggunaan bahasa: bahasa Bali digunakan dari daerah Air Kuning ke arah timur; sedangkan bahasa Melayu digunakan mulai dari Jembrana hingga ke daerah Melaya. Walaupun demikian, dalam kenyataannya tak sekaku konvensi itu.

Kini, setelah 500 tahun berselang, ada juga unsur bahasa Bali yang terserap dalam kosakata Melayu yang dipergunakan oleh masyarakat Loloan. Oleh karena itu, tak salah jika mereka menyebut dirinya sebagai Melayu Bali. Seperti halnya, orang Melayu kebanyakan, Melayu Bali di Loloan juga gemar berpantun. Namun, sepertinya hanya generasi tua saja yang masih piawai melafazkannya.

Dari segi arsitektur bangunan, kesan Bugis juga sangat tampak dalam desain bangunan rumah-rumah asli masyarakat Melayu Loloan, terutama di daerah sekitar Masjid Al-Qadim. Juga, simbol keislaman seperti tulisan Allah dan Muhammad pada dinding rumah-rumah itu. Simbol inilah yang membuat Loloan tampak seperti bukan di Bali yang terkenal dengan sebutan Pulau Seribu Pura itu.

-

Arsip Blog

Recent Posts