Mabuk-mabukan dalam Sejarah

Oleh Kasijanto Sastrodinomo

Di tengah upaya keras aparat kepolisian membasmi peredaran minuman beralkohol, ada baiknya kita ingat sebuah buku tua karangan J Kats, seorang pejabat kolonial Belanda. Seperti layaknya buku yang ditulis, disponsori (dipesan), dan diterbitkan oleh pemerintah kolonial pada masa-masa awal abad ke-20, Het alcoholkwaad dapat dilihat sebagai bagian dari kebijakan politik etis.

Politik yang digagas oleh kaum “humanis” Belanda itu sendiri mengamanatkan agar pemerintah meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi di tanah jajahan antara lain melalui pendidikan. Buku ini merupakan salah satu wujud pemenuhan program politik pemerintah tersebut.

Dalam pendahuluannya, Kats menyebutkan bahwa bukunya dimaksudkan untuk memberikan informasi mengenai manfaat dan mudarat minuman keras bagi manusia sehingga patut diketahui oleh pejabat, pegawai pemerintah, kaum muda, dan seluruh anak negeri pada umumnya.

Intinya, Kats menekankan bahwa meskipun alkohol memiliki manfaat tertentu (misalnya untuk pengobatan), cairan memabukkan itu lebih banyak mudaratnya bagi manusia.

Untuk lebih meyakinkan uraiannya, Kats mengutip hasil penelitian tentang dampak negatif penggunaan alkohol di beberapa negara di Eropa. Ditunjukkan antara lain adanya hubungan antara kebiasaan meminum alkohol dan merosotnya daya tahan tubuh penggunanya sehingga mudah menimbulkan sakit.

Di rumah-rumah sakit Perancis pada 1899, misalnya, 30 persen pasien yang dirawat adalah pecandu alkohol. Di Inggris pada kurun yang sama, sekitar 10 persen tentara di negeri itu ternyata pemabuk berat yang membuat tubuh mereka lembek. Sementara di Jerman, penyebab gila pada sekitar seperempat bagian pasien rumah-rumah sakit jiwa di sana ternyata alkohol.

Supaya sasaran buku bisa tercapai secara efektif, Kats merasa perlu “mencari dukungan” dari organisasi masyarakat dan elite pribumi. Dikutipnya salah satu hasil keputusan Kongres Sarekat Islam pada 1915, yang menyerukan agar pemerintah memberlakukan undang-undang untuk melarang anak negeri menggunakan minuman keras; juga pernyataan Muhammadiyah di Yogyakarta yang menginginkan agar pemerintah memberlakukan sistem monopoli perdagangan minuman keras seperti halnya monopoli pada perdagangan candu.

Sikap Boedi Oetomo juga tegas, yakni mendesak pemerintah agar membatasi tempat penjualan minuman keras dan mempermahal harga minuman jenis itu dengan cara menaikkan cukai. Tidak kalah pentingnya, organisasi itu menyerukan kepada masyarakat, jika hendak memilih pamong atau pemimpinnya supaya memilih yang “bebas alkohol” sehingga layak dijadikan suri teladan bagi rakyatnya.

Sementara itu, sumber lain menyebutkan bahwa pada tahun 1918, dua tahun sebelum buku Kats terbit, pemerintah membentuk Komisi Pemberantasan Alkohol (Alcoholbes- trijdings-commissie) yang ditugasi untuk menyelidiki dan memerangi penggunaan dan penyalahgunaan alkohol di kalangan masyarakat Hindia Belanda. Yang menarik, komisi diketuai oleh pejabat pribumi, yaitu PTA Koesoemo Joedo, Bupati Ponorogo, dengan anggota yang terdiri dari berbagai unsur pemerintah dan masyarakat, seperti inspektur, priayi, zending, militer, dan organisasi sosial.

Dalam laporannya, Komisi menemukan bahwa konsumsi minuman keras telah meluas di kalangan masyarakat. Di Batavia, misalnya, pembuatan, penjualan, dan penggunaan minuman jenis itu sudah sampai pada taraf mengkhawatirkan. Kawasan Senen disebut-sebut sebagai tempat jual-beli minuman beralkohol secara gelap. Demikian juga lokalisasi pelacuran (broedplat-sen) tidak salah lagi menjadi ajang hura-hura yang meruapkan bau alkohol (lihat arsip Rapport van de Alcoholbestrijdings-commissie, Weltevreden, Landsdrukkerij, 1922).

Upaya pemberantasan minuman beralkohol juga dilancarkan di beberapa daerah di Pulau Jawa. Sasaran utamanya adalah minuman keras tradisional yang populer di kalangan masyarakat pribumi, seperti arak, badèg, ciu, dan sejenisnya, yang menurut polisi digolongkan sebagai “gelap” alias tidak berizin.

Operasi pemberantasan yang digelar dalam lima tahun (1920-1925) berlangsung “seru” karena melibatkan pamong setempat, seperti lurah, camat, bahkan wedana, dan telik sandi penduduk desa yang diberi iming-iming hadiah uang apabila berhasil memberikan informasi mengenai keberadaan pembuat arak kepada polisi. Saking semangatnya mengintai sasaran, para telik sandi kadang-kadang tidak akurat dengan melaporkan pembuat tape singkong sebagai “produsen arak gelap”, seperti yang terjadi di Madiun, Gombong, dan Distrik Bekonang di Surakarta.

Tape singkong memang mengandung alkohol, tetapi bukan maksud penjual tape itu untuk membuat arak. Pada titik ini tidak jarang terjadi konflik antara mata-mata desa yang memburu gulden dan simbok bakul tape yang sekadar mengais beberapa sen (lihat arsip proses verbal Algemeene Politie Batavia atau laporan mantri polisi di sejumlah daerah di Jawa; koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia/ANRI, Jakarta).

Namun, Komisi Pemberantasan Alkohol juga menengarai bahwa agen polisi kebanyakan diangkat dari bekas tentara Belanda yang diterjunkan di daerah remang-remang di kota-kota tampak “malas” menjalankan tugasnya, padahal mereka diharapkan dapat menyikat bersih berbagai jenis minuman keras yang banyak diperjualbelikan di kedai-kedai kopi (kroegjes) di kawasan perkotaan. Repotnya lagi, masih menurut laporan Komisi, para pemilik dan pengunjung kedai lama-kelamaan “kenal” dengan agen-agen polisi yang bertugas di situ.

Dalam keadaan seperti itu, bukan tidak mungkin timbul sikap “tahu sama tahu” di antara mereka sehingga mustahil untuk melakukan tindakan pembersihan. Adapun agen polisi pribumi lebih sulit lagi diharapkan keandalannya untuk menghadapi pemilik, penjual, dan pengunjung warung-warung kumuh itu. Sementara itu, minuman keras tradisional juga terus diproduksi.

Alhasil, upaya memerangi minuman keras tersebut tampaknya tidak terlalu efektif kalaupun bukan gagal sama sekali. Letak persoalannya barangkali pertama-tama pada tradisi mengonsumsi minuman beralkohol yang sudah lama berakar di kalangan masyarakat pribumi di Nusantara. Dalam naskah kuno Nagarakertagama yang ditulis pada zaman keemasan Kerajaan Majapahit, misalnya, diketahui bahwa minuman keras pada masa itu selalu menjadi bagian dari perjamuan agung di keraton.

Biasanya, dalam pesta tahunan seusai panen raya, raja akan membuka persamuan besar itu dengan menyuguhkan tampo, yakni arak keras yang terbuat dari beras jenis terbaik. Di lain pihak, orang-orang Belanda sendiri, termasuk para “oknum” pejabatnya, mempunyai interes dalam bisnis impor minuman keras “modern” dari Eropa, seperti brendi dan jenever. Itu berarti mendatangkan ribuan gulden cukai masuk ke kas pemerintah selama bertahun-tahun (lihat arsip dokumen Departement van Financiën yang tersimpan di Kantor ANRI, Jakarta).

Dengan demikian, pihak pemerintah ikut andil dalam menebarkan bau alkohol di tanah Hindia. Bahkan dapat dibaca bahwa operasi pemberantasan terhadap minuman keras “gelap” tersebut sebagai bagian dari strategi pengusaha dan pemerintah kolonial untuk mengamankan bisnis mereka.

Pada 1905, seorang pengusaha Belanda, Th F van Vloten, yang menjalankan bisnisnya dari Cairo, Mesir, mengajukan proposal kepada Departement van Financiën agar pemerintah memberlakukan monopoli perdagangan arak. Belakangan diketahui bahwa pengusaha itu ternyata berminat membuka pabrik arak di bawah bendera “industri spiritus”.

Sebelum menjawab proposal tersebut, pihak Departement van Financiën merasa perlu mendengarkan pertimbangan dari Direktur Departement OEN (Onderwijs, Eeredienst en Nijverheid; Pendidikan, Keagamaan, dan Industri). Direktur OEN JH Abendanon ternyata memberikan jawaban yang bernada negatif bahwa pihaknya tidak ingin ikut campur dalam rencana pembangunan “industri spiritus” tersebut.

Alasan pembangunan pabrik yang diajukan Van Vloten, yaitu untuk memenuhi kebutuhan akan bahan bakar (spiritus antara lain digunakan untuk menyalakan lampu petromaks) di Hindia Belanda, juga diragukan Abendanon. “Di sini [Hindia Belanda],” katanya, “harga kayu bakar dan minyak tanah amat murah dan banyak tersedia bahan bakar lainnya” (lihat “Consideratiën en advis van den Directeur OEN”, Nomor 753, Batavia, 15 Januari 1906; arsip koleksi ANRI, Jakarta).

Penolakan Direktur OEN tersebut didasarkan pada argumen bahwa bidang “industri” yang berada di bawah kewenangannya lebih diarahkan pada pengertian “kerajinan seni” (kunstnijverheid) dalam rangka pendidikan pertukangan bagi penduduk anak negeri. Jadi tidak ada urusan dengan pabrik.

Sebagai “Bapak Politik Etis”, Abendanon tentu saja berkewajiban mengamankan kebijakan politik yang dia sendiri ikut menggagasnya. Namun, ketidaksetujuannya terhadap proposal pembangunan pabrik “cairan yang membuat bersemangat” tersebut tidak menjadi penghalang bagi pengusaha yang meminatinya. Nyatanya, di Surabaya telah beroperasi Nederlandsch-Indische Spiritus-Maatschappij (NISM, Perusahaan Spiritus Hindia Belanda) yang menunjukkan sikap antipatinya terhadap usaha arak tradisional.

Pihak NISM melihat usaha arak itu “mengganggu” bisnis mereka. NISM berdalih bahwa industri penyulingan seperti spiritus dan minuman keras merupakan industri berteknologi tinggi dan berbiaya mahal. Karena itu, menurut mereka, selayaknya jika usaha “yang kecil-kecil” dihentikan saja dan segera “membangun pabrik dengan kapasitas yang besar di atas reruntuhan [ruinen] dari usaha sebelumnya” (Surat NISM, Surabaya, 22 Februari 1915, kepada Direktur Departement van Financiën; arsip koleksi ANRI, Jakarta).

Sementara itu, menurut petugas cukai impor-ekspor (In- en Uitvoerrechtensac-cijnzen) Departement van Financiën, sejak awal abad ke-20, cukai minuman beralkohol sebenarnya terus menurun. Rasanya berlebihan bahkan tidak masuk akal ketika penyebab merosotnya cukai itu ditimpakan kepada usaha arak tradisional milik pribumi dan menjadikannya alasan untuk membasmi mereka.

Pemerintah sendiri sebenarnya juga mencurigai bahwa telah terjadi “permainan gelap” di lingkungan aparat duane di pelabuhan. “Untuk ‘memotong’ arak gelap sampai habis sama sekali pastilah tidak mungkin,” ujar Vermeulen, petugas cukai, dalam nota yang ditulis 27 Februari 1904 kepada atasannya, Direktur Van Financiën (arsip koleksi ANRI, Jakarta). Kalau begitu, bagaimana pemerintah bisa membersihkan apa yang mereka anggap “kotor” kalau pada tubuh aparatnya sendiri tidak bersih?

Kini, setelah lebih dari tiga perempat abad tersimpan pada sedikit rak perpustakaan (antara lain di Perpustakaan KITLV, Leiden, Belanda), Het alcoholkwaad mungkin tak lebih sebagai dokumen sejarah yang berdebu. Demikian juga arsip-arsip penunjang tambahan yang telah dikutip. Akan tetapi, bagaimanapun masih ada pelajaran yang sesungguhnya dapat kita petik sekarang: suatu perintah larangan akan dipatuhi apabila pemberi perintah juga tidak melanggarnya.

Kasijanto Sastrodinomo
Pengajar pada Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

-

Arsip Blog

Recent Posts