Membangun Bangsa Melalui Seni Budaya

Oleh R Adhi Kusumaputra

Suasana Balai Rakyat Depok I tampak meriah. Satu per satu anak menghampiri dan mencium tangan Budi Agustinah (44), pemimpin Sanggar Tari Ayodya Pala. Di Balai Rakyat milik Pemerintah Kota Depok itu puluhan anak tekun belajar menari tradisional.

“Orangtua melihat saat ini terjadi krisis moral. Di sini anak-anak bukan hanya diajarkan agar pandai menari, tetapi juga memiliki budi pekerti. Mencium tangan salah satu bentuknya,” kata Budi Agustinah beberapa waktu lalu.

Sanggar Ayodya Pala yang didirikannya tahun 1981 itu kini memiliki 20 cabang di Depok, Bogor, dan Jakarta dengan 28 tenaga pengajar dan sekitar 1.000 siswa. Semua cabang dipimpin dan dilatih oleh lulusan Ayodya Pala.

Ayodya Pala kini dikenal telah membina dan mengembangkan rasa cinta budaya tradisional kepada generasi muda. Mereka yang belajar dari awal dapat melanjutkan hobi ini menjadi profesi ke tingkat pendidikan formal di bidang seni. Alumnus Ayodya Pala menjadi sarjana tari lulusan Sekolah Tinggi Seni Indonesia, di antaranya Solo, Yogyakarta, Denpasar, dan Jakarta.

Nama Ayodya diambil dari epos Ramayana, yaitu tempat Rama dilahirkan, di mana para kesatria belajar ilmu. Pala diambil dari Sumpah Palapa Majapahit karena sanggar ini mengajarkan beragam kesenian dari semua daerah di Nusantara.

Sanggar yang memiliki moto “Membangun Bangsa Melalui Seni Budaya” ini telah melahirkan banyak penari profesional, pelatih tari, dan pekerja seni. Karena itu, sanggar ini, kata Agustinah, secara langsung telah memberikan peluang pekerjaan kepada anggotanya.

“Menari tidak dapat dilakukan secara instan, apalagi tari tradisional. Menari haruslah sabar dan ulet, tak boleh gampang putus asa dan harus dilakukan terus-menerus, seperti olahraga,” ujar perempuan kelahiran Jakarta, 16 Agustus 1962, itu.

Ketika belajar menari pada usia empat tahun, Agustinah melakukannya karena didorong orangtuanya, H Radikin dan Ny Suminah, keduanya paramedis RSCM Jakarta asal Kroya, Jawa Tengah. Namun, ia akhirnya jatuh cinta pada seni tari sejak kelas I SD. “Awalnya itu obsesi orangtua. Dulu kan embah (saya) dalang dan punya gamelan. Bapak dan Ibu melihat saya kok tomboi. Supaya kelihatan jadi perempuan, saya disuruh belajar menari,” ujarnya. Sejak itu Agustinah makin mencintai tari.

Ke luar negeri
Pengalaman pertamanya menari di pentas nasional pada tahun 1977 ketika ikut misi kebudayaan sebagai wakil DKI Jakarta, ke Surabaya, Malang, Yogyakarta, dan Solo. Pada tahun itu Agustinah lulus dari SMPN Depok dan tercatat sebagai siswa teladan se-Kabupaten Bogor. Saat lulus SMAN 38 Jakarta tahun 1981, Agustinah meraih predikat juara umum.

Ia pergi ke luar negeri pertama kali ketika duduk di kelas I SMA tahun 1978, yaitu ke Kuala Lumpur, Malaysia, untuk kegiatan menari. Hingga kini hampir semua negara di belahan dunia pernah disinggahinya.

Selepas SMA, ia merintis pendirian sanggar tari ini di Jalan Melati Raya, Depok. “Dulu Depok masih kota kecamatan di Kabupaten Bogor,” ujarnya.

Supaya sanggar tari ini tetap eksis, Agustinah mengembangkan Ayodya Pala. Ia tak hanya mengajarkan tari jawa dan sunda, tetapi juga tarian tradisional dari seluruh Nusantara.

Sepuluh tahun pertama, yang masuk sanggar ini adalah anak-anak dari masyarakat menengah ke bawah. Namun, sejak tahun 1991 hingga sekarang, banyak orangtua dari kelas menengah dan menengah atas yang memasukkan anak-anak mereka ke sanggar ini.

Ia tak melupakan jasa mantan Lurah Depok Jaya Huharmusa, yang pada awal sanggar ini dibuka selalu memberikan tempat gratis bagi anak-anak untuk berlatih menari. “Bahkan, Pak Lurah memberi ongkos pulang saat itu,” katanya.

Organisasi “entertainment”
Sanggar ini membuka kelas terpadu untuk belajar tari, olah vokal, dan modeling. Dari sini talenta anak akan mudah tergali.

“Dalam perkembangannya, Ayodya Pala berkembang menjadi organisasi entertain yang menjual beragam paket kesenian, menjadi event organizer, penghubung artis, dan menjual jasa konsultan. Hingga kini Ayodya Pala aktif membina dan memberikan kesempatan beragam kelompok seni untuk tampil, seperti kelompok pencak silat, barongsai, reog ponorogo, sisingaan, kuda lumping,” katanya.

Anak-anak asuh Sanggar Ayodya Pala sering tampil di salah satu televisi swasta nasional.

Saat latihan, kata Agustinah, anak-anak asuhnya diwajibkan bercakap-cakap dalam bahasa Inggris karena ia ingin lulusan Ayodya Pala mengglobal dan mampu menjadi guide bagi dirinya sendiri. “Anak-anak juga tak boleh menggunakan tank-top dalam latihan,” kata Agustinah.

Agustinah yang sarjana biologi Fakultas MIPA Universitas Indonesia, menikah dengan Baas Cihno Sueko (53) dan punya tiga putra, yaitu Denta (23), Bima (20), dan Yayik (8).

Ia menarik Rp 75.000 per bulan untuk setiap anak yang belajar tari dan Rp 125.000 per bulan untuk anak yang masuk kelas terpadu, khususnya di Sanggar Ayodya Pala, Jalan Melati Raya. Pendidikan di sanggar ini selama 14 semester atau tujuh tahun. Adapun di cabang-cabangnya, biaya sangat bergantung pada lingkungan permukiman setempat. “Ayodya Pala diwaralabakan. Kami hanya minta 20 persen dari pendapatan cabang. Namun, semua pelatih dan pengajar harus lulusan Ayodya Pala,” katanya.

Salah satu lulusan Ayodya Pala, Dwi Krisna Handayani (22), putri seorang pegawai negeri sipil Fakultas Kedokteran Gigi UI, belajar menari sejak tujuh tahun lalu. Ia membiayai sendiri kuliahnya di Program D3 Sekretaris BSI Pondok Labu dari hasil mengajar di sanggar ini. Dwi pernah melanglang buana ke Jerman, Korea, dan China.

Salah satu obsesi Agustinah adalah membangun sanggar seni dan budaya di Depok atau di Jakarta yang sekelas dengan Pedepokan Bagong Kussudiardjo di Yogyakarta dan Mang Ujo di Bandung. “Kami tidak semata-mata mencari keuntungan karena kami ingin menyumbang pembangunan karakter manusia Indonesia lewat seni dan budaya di sanggar ini,” ujarnya.

-

Arsip Blog

Recent Posts