Oleh : Reny Sri Ayu Taslim
Suatu pagi di Kampung Marena, Desa Pekkalobeang, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang, 236 kilometer utara Makassar, Sulawesi Selatan. Sebagian desa masih tertutup kabut. Udara dingin begitu menusuk hingga terasa ke dalam tulang. Begitu dinginnya, kopi yang disajikan pun tak butuh waktu lama, apalagi ditiup, untuk menjadi dingin. Namun, rupanya dingin pagi itu tak membuat warga larut dan berniat berlama-lama dibalik sarung atau selimut.
Masih pukul 06.00 Wita, sebagian besar warga dari berbagai kampung sudah mulai berkumpul di Desa Pekkalobeang. Tak hanya orang dewasa, remaja, bahkan anak-anak pun turut serta. Tergambar jelas keceriaan di wajah mereka. Umumnya setiap keluarga membawa satu atau dua ekor ayam kampung hidup. Sebagian lagi membawa beragam bahan makanan baik yang sudah jadi maupun masih mentah.
Berkumpulnya warga memang sudah disepakati sebelumnya oleh para tokoh adat dan tokoh masyarakat untuk melaksanakan tradisi Manrundun Banni. Ritual ini kurang lebih sama dengan acara tujuh bulanan pada perempuan yang sedang mengandung. Namun, acara ini digelar untuk tanaman padi atau benih (banni) yang berusia sebulan. Memang, bagi warga Enrekang, selama belum berbuah, tanaman padi belum disebut padi, tetapi benih.
Bersamaan dengan mentari yang mulai naik, warga dan tokoh adat berduyun-duyun ke tempat acara, sebuah dataran agak luas yang berada agak di ketinggian dengan sawah di sekelilingnya. Tanpa banyak bicara, setiba di lokasi acara, sebagian lelaki langsung membuat karerang. Karerang adalah pelepah daun enau yang ditancapkan di tanah dan daun-daunnya dianyam sedemikian rupa menjadi semacam wadah yang nantinya akan diisi makanan. Karerang ini berjejer di tanah dan jumlahnya mencapai puluhan.
Sebagian lelaki lainnya memasang tenda dan tikar, sementara sebagian lainnya menyiapkan sesaji serta kemenyan. Saat tenda dan tikar terpasang, tuak manis pun dituang dan diminum beramai-ramai. Adapun kaum perempuan sibuk menyalakan kayu bakar, menyiapkan bumbu, menanak nasi, dan makanan lain. Satu per satu ayam yang jumlahnya hampir mencapai 100 ekor lalu disembelih dan langsung dimasak dalam beberapa kuali besar.
Sembari menunggu makanan matang dan untuk menghibur warga, terutama yang sibuk bekerja dan memasak, sebagian lelaki memainkan atraksi dan kesenian tradisional manggalelung. Kesenian ini adalah bentuk tarian yang berpadu seni olah tubuh dan pencak silat. Sembari atraksi dimainkan, bunyi-bunyian dari alat musik gendang, seruling, kecapi, dan lainnya juga dimainkan disertai tembang dengan syair berisi cerita baik yang lucu maupun petuah.
“Awalnya manggalelung ini dilakukan petani yang lelah bekerja. Lazimnya dilakukan dua orang. Biasanya mereka melakukan gerakan-gerakan tertentu seperti saling membelakangi dengan tangan berpaut dan bergantian saling memanggul. Ada juga gerakan di mana yang satu tengkurap dan satu lainnya melakukan gerakan-gerakan tertentu di bagian belakangnya, yang intinya membuat urat-urat jadi kendur dan menghilangkan rasa lelah. Atraksi yang semula hanya dilakukan petani di pinggir sawah untuk mengusir lelah ini akhirnya menjadi salah satu bentuk seni tradisi di Enrekang,” kata Hasanuddin (52), salah seorang pa’galelung, sebutan untuk pemain manggalelung.
Benar saja, tanpa terasa, aktivitas masak-memasak pun selesai dan seluruh warga berkumpul di sekitar tenda utama. Makanan yang sudah matang diatur dalam daun pisang, masing-masing berisi lappa-lappa (nasi ketan berbentuk bulat panjang berujung pipih, berbungkus daun kelapa, ada pula potongan daging ayam, ikan bakar, dan makanan lainnya). Makanan berkuah diatur dalam wadah segi empat terbuat dari daun pisang. Saat seluruh makanan sudah diatur dalam wadah, acara makan bersama pun dimulai. Adapun karerang yang juga berisi makanan dibawa ke sawah.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, makanan yang dibawa ke sawah adalah simbol berbagi makanan atau memberi makan pada tikus atau hama lainnya. Hal ini dimaksudkan agar tikus-tikus dan hama lainnya tak lagi menyerang tanaman padi karena telah diberi makan. Bukan hanya saat melaksanakan Manrundun Banni, bahkan sebelum menanam pun warga sudah memberi makan pada tikus.
“Entah ada hubungannya atau tidak, nyatanya sepanjang kami masih rutin melaksanakan Manrundun Banni, tanaman padi hampir tak pernah diserang tikus atau hama lainnya. Kalau pun pernah ada yang diserang, biasanya hanya sedikit sekali. Karena itu, masyarakat di sini rutin melaksanakan acara ini, terutama setelah umur benih yang ditanam memasuki bulan pertama,” ujar Piter Kada, salah seorang tokoh adat.
Ajang musyawarah
Inti acara Manrundun Banni sebenarnya bukan sekadar memotong ayam, makan-makan, dan membawa sesaji ke sawah untuk memberi makan pada tikus, tetapi yang terpenting adalah acara dialog atau musyawarah yang dilaksanakan seusai acara makan dan ritual lainnya. Dalam acara ini, para tokoh adat dan masyarakat berkumpul membicarakan kelangsungan tanaman padi mereka yang masih berusia sebulan.
“Biasanya kalau dalam acara Manrundun Banni sudah ada laporan tentang gejala serangan hama, walaupun sedikit, kami segera berembuk mencari jalan keluarnya. Entah menggunakan pestisida, mencari sumber serangan, termasuk apa-apa yang menyebabkan hama datang. Biasanya mereka memasukkan usulan dan mana yang dianggap terbaik dan menjadi kesepakatan bersama, itulah yang dijalankan,” kata Piter.
Menurut Agus Ryadi, Ketua Yayasan Tora Bulan, lembaga yang bergiat dalam kegiatan seni dan budaya di Enrekang, biasanya serangan hama tikus bukan sekadar diartikan sebagai serangan hama semata. Pasalnya, bentuk serangan hama ini biasanya juga menjadi acuan untuk melihat kinerja dan keadilan para tokoh adat dalam menyelesaikan masalah.
“Misalnya kalau serangan merata di satu areal, itu menjadi penggambaran kalau para tokoh adat cukup adil menyelesaikan masalah. Tapi kalau serangannya pada satu areal, hanya pada satu sisi saja, ini biasanya diartikan bahwa tokoh adat berat sebelah atau memihak,” jelas Agus.
Hal ini dibenarkan Anwar, salah satu tokoh adat dari Desa Marena. “Makanya setiap apa pun yang terjadi pada tanaman padi akan menjadi masukan maupun pertanda bagi warga, baik mengenai perilaku mereka maupun tokoh adat,” katanya.
Bagi masyarakat di Kabupaten Enrekang, kabupaten bertanah subur dengan pemandangan elok, bercocok tanam, terutama padi, memang menjadi salah satu mata pencarian utama. Selain padi, daerah ini juga terkenal dengan produksi beragam hasil tanaman, seperti kopi, cengkeh, kakao, buah-buahan, dan sayuran.
Arti penting padi pula yang membuat masyarakat di daerah berhawa dingin ini senantiasa menjaga tradisi padi. Kalau masyarakat di Kecamatan Anggeraja dan sekitarnya melestarikan tradisi Manrundun Banni, maka di dataran tinggi, yakni di Kecamatan Baraka dan sekitarnya, masyarakat masih meneruskan tradisi lumbung padi yang sudah dimulai lebih dari 100 tahun lalu.
Di daerah dataran tinggi ini boleh dikata seluruh rumah memiliki lumbung, atau bagi masyarakat di daerah ini akrab disebut landa. Tak hanya satu, bahkan bisa saja satu rumah memiliki dua atau tiga landa. Ini belum termasuk landa milik desa yang diisi secara swadaya oleh masyarakat untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan, seperti bencana alam, kekeringan, dan gagal panen.
Di Anggeraja pula, masyarakat menganut faham, tak menjual tanah warisan, terutama sawah, untuk menjaga agar kepemilikan sawah tak kian berkurang. Adapun pengelolaannya digilir per tahun atau per periode yang disepakati hingga seluruh ahli waris mendapatkan hal yang sama dari sawah warisan.
Begitu terjaganya tradisi padi di Enrekang, sebagian petani masih menanam padi lokal yang masa tanam hingga panen membutuhkan waktu lima bulan.