Oleh : Marko Mahin
Ular naga (naga) adalah binatang mitologis yang selalu hidup di imajinasi orang Kalimantan. Ia dibayangkan sebagai reftil raksasa yang lingkar tubuhnya bisa sebesar batang kelapa, drum aspal atau lebih besar lagi. Laut, lubuk sungai yang dalam, goa di bukit batu dan hutan yang gelap selalu dihubungkan dengan kediaman makhluk melata besar ini.
Bagi masyarakat yang akrab dengan sungai, rawa dan danau, naga menyimpan pesona ganda. Pada satu sisi, ia dili-hat sebagai makhluk perkasa, gaib dan sakti, pelindung, penjaga, pemberi kesu-buran dan rezeki. Namun di sisi lain, naga juga dilihat sebagai monster buas yang menakutkan. Makhluk ganas yang memangsa manusia ketika lengah di air serta pendatang balabencana banjir dan kegagalan panen.
Entah karena kekaguman atau keta-kutan, motif naga seringkali muncul dalam keseharian orang-orang yang ber-budaya sungai. Misalnya dalam festival, anyaman tikar, atau acara ritual. Ketika dilaksanakan Lomba Jukung Hias 2004, sebagaimana dilaporkan BPost, ada peserta yang membuat Pe-rahu Naga.
Tulisan ini adalah sumbangan kecil yang mencoba memaparkan arti simbolis dari makhluk mitologis yang legendaris ini.
Naga Dalam Tradisi Cina
Tak dapat disanggah, komunitas Cina paling intens memakai simbol atau kata naga. Hal itu tampak pada seringnya dipakai simbol ini dalam karya seni dan lukisan, ceritra dan nyanyian, film layar lebar maupun serial di televisi. Bahkan mereka mengenal adanya Tahun Naga dalam penanggalan mereka. Lebih jauh lagi mereka melihat diri mereka sebagai 'keturunan naga' dan lambang di lencana kaisar Cina adalah naga (Chung 1992:).
Naga menurut tradisi Cina adalah makhluk legendaris yang menakjubkan. Ia selalu dihubungkan dengan awan dan air, sehingga ia juga dianggap sebagai ruh air atau ilah air yang membasahi ta-nah. Ia dilihat sebagai pemberi hujan dan makhluk dermawan yang berkuasa atas air. Tradisi ini bersumber dari situasi masyarakat Cina kuno yang agraris dan sangat tergantung pada air.
Secara fisik, Naga Cina ditampilkan eksotik yaitu bertanduk rusa, bercakar macan dan berkepala keledai. Menurut Chung (1992) Naga Cina merupakan campuran dari sembilan komponen yaitu tanduk rusa, kepala keledai, mata yang tajam dan mencorong, tubuh ikan, leher ular, sisik gurami, cakar elang, te-lapak macan, telinga lembu.
Dalam tradisi Cina, Naga adalah simbol kedermawanan. Karena itu, tidak heran patung naga selalu hadir di rumah ibadah mereka baik dalam ben-tuk menjalar di atas bubungan atau me-lingkar di tiangnya. Dalam festival aga-ma, kegagahan dan keperkasaan naga dipentaskan ulang dalam bentuk tarian.
Dalam Tradisi Kalimantan
Dalam Hikajat Bandjar (Ras 1968) disebutkan, Lambu Mangkurat dan Raden Suryanata atau Raden Putra per-nah 'berurusan' dengan naga. Perahu layar mereka dililit dua ekor naga putih hingga tidak bisa bergerak. Konon, dua ekor naga putih itu adalah hamba dari Putri Junjung Buih, calon istri Raden Putra. Semua hewan air takluk kepada Putri Junjung Buih.
Latar belakang ceritra tersebut dapat dilacak ke kosmologi orang Kalimantan yang mempercayai, di balik riak dan arus air sungai terdapat Alam Bawah Air yang dikuasai dewata perempuan ber-nama Jata. Di sana ada permukiman. Penghuninya sesekali menampakkan diri ke atas air dalam bentuk buaya. Bisa juga berbentuk Gajah Mina, yaitu makh-luk mitologis seperti kuda nil namun memiliki belalai seperti gajah. Selain itu di Alam Bawah Air terdapat naga yang disebut Tambon.
Menurut sejarahwan Banjar Idwar Saleh (1983/4), Putri Junjung Buih, nenek moyang Urang Banjar itu, adalah manifestasi dari Jata, sang penguasa Alam Bawah Air. Karena itu ia mem-punyai kuasa atas segala makhluk yang berada di dalam air, termasuk sepasang naga putih yang melilit perahu layar Lambu Mangkurat dan Raden Putra. Keturunanannya pun dianggap mem-punyai asosiasi dengan Alam Bawah Air, yang tampak pada tradisi eksklusif badudus dari sekelompok babuhan.
Jata dalam konsepsi penduduk pri-bumi Kalimantan, bukan sekadar dewata perempuan. Dalam lukisan imam Da-yak, ia digambarkan sebagai naga maha raksasa yang menyangga bumi. Tugas-nya maha penting dan maha berat yaitu mengapungkan kepingan tanah, tempat tinggal manusia agar tidak tenggelam ke kedalaman air asali (primeval water) yang maha dalam. Ketika ia bergerak, air dan tanah juga bergerak. Gerakan itu yang disebut gempa bumi. Ketika hujan panas pada sore hari, pantulan sinar sisiknya yang terdiri atas emas tampak dalam bentuk bianglala.
Jadi, Jata adalah naga utama yang maha besar dan makhluk raksasa primordial yang sejak mula ada. Naga lain adalah pengikutnya. Dalam khazanah lokal Urang Banjar, ada dituturkan tentang le-luhur yang menjelma menjadi naga. Beberapa kelompok bubuhan percaya, pa-sangan nenek moyang mereka dahulu tidak mati tetapi menjelma menjadi naga dan sam-pai sekarang masih hidup sebagai makhluk bawah air. Mereka terus memperhatikan dan menjaga anak cucunya, juga dapat menghukum kalau lalai memperhatikan adat bubuhan (Alfani Daud 1997).
Cerita tentang leluhur yang menjelma menjadi naga juga terdapat di kalangan orang Dayak Ngaju di Kalteng. Di Tum-bang Jakolok, Sungai Katingan, terdapat ceritra tentang Naga Andoh. Konon, se-seorang yang bernama Andoh berubah menjadi naga setelah memakan sepotong kayu yang jatuh dari pohon beringin. (Schärer 1963).
Di jalur Sungai Kahayan dikenal pula ceritra seorang bernama Tambing yang berubah menjadi Naga (Ugang tt). Tapi sayang, riwayat Naga Nusa Tambing berakhir tragis. Ia meninggal dunia karena tanpa sengaja menyambar ekornya sendiri. Ia mengira ekornya sendiri itu adalah musuh yang sedang ditunggu. Bangkai naga yang membunuh dirinya sendiri ini kemudian mengapung di tengah Sungai Kahayan. Lama-kelamaan ditumbuhi se-mak dan pepohonan dan akhirnya menjadi pulau bernama Pulau Nusa Tambing. Bila bepergian ke Palangka Raya, setelah Desa Pilang akan melewati Tumbang Nusa. Di desa itulah terdapat Pulau Nusa Tambing dan Terusan Nusa.
Narasi lokal-tradisional di atas, sedikit banyak memberi beberapa informasi. Pertama, info bahwa dalam khazanah lokal Kalimantan, naga adalah simbol penguasa Alam Bawah Air. Simbol itu kemudian dimanifestasi dalam diri Putri Junjung Buih dan keturunannya. Dengan demikian, naga menjadi simbol kekuasaan politik. Hanya tutus naga yang boleh menduduki tahta. Kedua, naga ada kaitannya dengan leluhur yang gaib. Mereka tidak jauh dari anak cucunya, bisa men-datangkan rezeki dan berkat, juga bala-bencana.
Proyeksi Dan Ritualisasi
Mircea Eliade, ahli dalam bidang mi-tos, mengatakan, mitos bukan sekadar cerita khayal, ilusi atau dongeng yang hanya berlaku pada zaman kuno. Mitos dari zaman bahari itu masih hidup dan mem-punyai pengaruh yang tidak kecil dalam masyarakat modern sekarang ini.
Dalam kajian sosioantropologis, simbol naga yang dipakai dan terpakai itu bisa dilihat sebagai proyeksi pengalaman sosial masya-rakat tentang kekuatan, keunggulan dan ke-perkasaan di wilayah berair. Selain itu, bisa dilihat sebagai proyeksi pengalaman religius-kultural masyarakat, bahwa kehidupan yang dijalani masa kini tidak lepas dari penyertaan dan perlindungan leluhur yang hidup di masa lalu. Namun, di sisi lain simbol naga bisa juga menjadi semacam citra diri yang mengacu pada putra-putri naga yang legitim untuk hidup dan berkuasa di wilayah perairan ini.
Proyeksi dan citra diri itu penting untuk menemukan dan mengukuhkan eksistensi diri. Untuk itu diperlukan ritualisasi. Proses itu dilakukan dengan pementasan ulang mitos primordial atau pengalaman leluhur pada masa lampau. Festival, arak-arakan, pertunjukkan, pesta atau perlombaan adalah momen kudus untuk pementasan ulang itu. Namun ritualisasi itu umumnya tidak tampil tunggal tetapi bercampur dengan seni, hi-buran pertunjukkan dan keramaian. Memang agak mengaburkan proses ritualisasi itu. Namun adanya simbolisasi makhluk mitolo-gis merupakan petunjuk, telah terjadi proses reproduksi atau penciptaan dunia kembali, kosmogoni.
Menunggu Naga
Pada 24-25 September, naga imajiner akan meluncur anggun membelah perairan Sungai Martapura dalam rangka merayakan hari jadi Kota Banjarmasin. Dapat dikatakan, inilah cara modern untuk melakukan rekos-mogoni. Masa lalu dan simbolnya diapung-kan kembali dalam pentas kekinian.
Seperti dipaparkan di atas, kehadiran sim-bol reftil raksasa itu mempunyai asal-usul. Tentunya juga, pemakaian simbol itu tidak berlangsung dalam ruang yang steril nilai dan makna. Ada struktur, habitus dan logika pikir tertentu yang melatarbelakangi simbol itu dipakai dan terpakai.
Namun bagi penghuni bantaran Sungai Martapura, ada sesuatu yang mau dikatakan dan terkatakan dengan dipakainya atau ter-pakainya simbol naga. Entah pemakaian simbol itu datang dari masa arkhaik atau dari perjumpaan dengan komunitas Cina, naga adalah gaung pesan dari masa lampau bahwa kita adalah orang-orang sungai dan seharus-nya memiliki budaya sungai.
Datanglah wahai naga perkasa. Bawakan kami ceritra pusaka, legenda purba tentang asal-usul semesta. Ingatkan kami pada petuah tetuha tentang hidup bijaksana di alam raya.
Pengajar Agama-Budaya Dayak di STT-GKE dan Antropologi Agama di FKIP Unlam, tinggal di Banjarmasin e-mail: marko_mahin@xxxxxxxxx
Sumber: http://www.freelists.org