Karakteristik Kebudayaan Aceh dan Implikasinya Terhadap Kedamaian Hidup Masyarakat

Oleh : Fuad Mardhatillah UY. Tiba

I. Pengantar: Pentingnya Memahami Suatu Karakter dan Identitas Suatu Etnis

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungghunya Allah Maha Mengenal dan Maha Mengetahui. (al-Quran: 49:13)
*
Ayat di atas, adalah satu petunjuk Allah, menyangkut hal ikhwal alam kodrat manusia dalam urusan bagaimana merajut dan membangun suatu kehidupan bersama baik dalam konteks kehidupan antar individu maupun antar kelompok masyarakat. Lebih tegasnya, disini manusia harus dilihat baik sebagai makhluk yang bersifat individual, yang memiliki egositas (potensi dan kecendrungan untuk lebih mementingkan diri sendiri), bersama sejumlah karakteristik individualnya yang juga saling berbeda antara satu individu dengan individu lain. Maupun sebagai makhluk sosial yang meniscayakan bahwa manusia tidak mungkin hidup sendiri-sendiri, yang maka kemudian melahirkan kehidupan perkelompokkan, yang antara satu kelompok dengan kelompok lain juga saling berbeda.

Dalam ayat tersebut, Tuhan memberi pedoman kepada manusia yang berpikir, bahwa eksistensi makhluk manusia memiliki sifat-sifat, hukum-hukum dan norma-norma yang secara kodrati melekat sebagai suatu keniscayaan universal.

Konsekwensi logisnya, kehidupan manusia yang berkelompok-kelompok itu mensyaratkan perlunya membangun relasi, interaksi, komunikasi, interkoneksi dan jejaringan dan kerjasama, untuk kemudian satu sama lain hendaknya menjadi saling mengenal, mengerti dan memahami, bersama segala bentuk keharusan sosiologis (sociological-must) lainnya, seperti keharusan tolong menolong, berkorban, toleransi dan akomodasi. Karena hal-hal tersebut adalah sangat berperan penting dan berguna dalam membangun dan membina suatu tata kehidupan bersama yang harmonis, saling mengayom dan mendamaikan.

Maka, bahwa sifat eksistensial umat manusia yang niscaya hidup secara berkelompok-kelompok dan satu sama lain memiliki aneka perbedaannya masing-masing itu, baik secara formal, simbolik, substansial maupun esensial, adalah sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan, dipahami dan disadari sebagai sesuatu yang absah, wajar dan logis-rasional. Perbedaan-perbedaan yang ada dalam dan antar kelompok itu merupakan suatu hasil konstruksi historisitas sosial yang berlangsung secara alamiah, dan terbangun melalui proses-proses rasionalitas, emosionalitas dan spiritualitas tertentu, baik yang tumbuh di dalam kelompoknya masing-masing, maupun saat mereka harus hidup berdampingan dengan berbagai kelompok lain yang ada di sekeliling eksistensinya. Dan secara tak terelakkan semua proses tersebut membentuk perbedaan-perbedaan antar kelompok, yang terus terjadi sepanjang sejarah sejak kelahiran dan hingga terbentuknya kelompok (etnis) itu sendiri. Kemudian semua produk historisitas sosial itulah yang turun temurun diwariskan secara transgenerasional, dari satu generasi ke generasi selanjutnya, sepanjang sejarah eksistensinya.

Dari realitas pengalaman sejarah kehidupan berkelompok yang panjang ini, terbentuklah berbagai unsur alam pikiran dasar yang meliputi: world-view, common sense, kepercayaan, tata-nilai, upacara-upacara dan prinsip-prinsip, system kebudayaan, mitologi, totemisme dan ritual. Semua ini disepakati, dipercayai, dipegang-teguh dan diyakini secara bersama sebagai kaedah-kaedah normatif yang mengikat dan mejadi elemen-elemen dasar bagi konstruksi kehidupan bersama kekelompokan mereka. Kaedah-kaedah normative ini, terkadang memiliki tingkat sakralitas tertentu, yang sangat dipengaruhi oleh berbagai ajaran agama, latar filosofi kehidupan dalam menata kehidupan bersama, yang kemudian dianggap agung, dimuliakan dan muncul menjelma ke dalam dan mewarnai pola-pikir dan pola prilaku, yang pada gilirannya menjadi kebiasaan kelompok, adat istiadat dan kebudayaannya.

Oleh karenanya, faktor-faktor ethnografis yang saling berbeda antar kelompok itulah yang kemudian mengisyaratkan perlunya jalinan hubungan interaksional, yang satu sama lain harus melakukan aksi-aksi untuk saling “kenal-mengenal,” yang hendaknya selalu dapat berlangsung secara kreatif, inovatif dan produktif dari individu dan antar kelompok yang saling berbeda-beda itu. Disini, konteks interaksi kreatif, inovatif dan produktif itu harus dipahami sebagai suatu kesediaan dan kerelaan, baik antar warga dalam suatu kelompok etnis (ingroup relation), maupun antar kelompok (outgroups relation). Disini, setiap warga dan kelompok harus telah memiliki dan menciptakan serbaneka cara atau jalan untuk mencari tahu secara berkelanjutan, tentang seluk beluk satu sama lain, agar kemudian mereka dapat saling “kenal-mengenal” tentang spesifikasi dan keunikan yang dimiliki masing-masing kelompok, di luar kelompok dirinya sendiri.

Pada dasarnya, kesediaan untuk saling kenal-mengenal ini, hanyalah suatu kegiatan saling belajar dan mempelajari belaka, tentang berbagai keunikan masing-masing kelompok masyarakat etnis atau suku, yang ternyata satu sama lainnya memang berbeda-beda dalam berbagai bentuk perbedaan yang sangat variatif. Dari kegiatan belajar terhadap berbagai bentuk perbedaan itu, diharapkan dapat menciptakan dan menumbuhkan suatu kesadaran imajinatif, dimana setiap pribadi yang terpelajar itu mampu selalu menyiapkan diri untuk bersedia memahami keberadaan orang-orang lain dengan segala bentuk perbedaan yang berbeda dengan dirinya.

Kesadaran semacam itulah yang oleh Elene Scarry disebut spontaneous imaginative, yang secara fungsional digunakan untuk memahami, mengerti dan menghargai keragaman yang terdapat dalam kelompok-kelompok masyarakat. Jika banyak dari warga terpelajar, termasuk para local genius nya suatu kelompok masyarakat, memiliki kapasitas spontaneous imaginative ini, maka dapat dipastikan akan tercipta suatu kesalingan timbal-balik dalam jalinan komunikasi dan interaksi sosial yang konstruktif dalam menyusun, membangun, dan membina suatu kehidupan bersama yang penuh pengertian dan mendamaikan.

Semua pemikiran di atas sungguh merupakan cita-cita ideal kehidupan, yang menjadi hukum kodrat atau natural-law dari makhluk manusia, yang di satu sisi menunjukkan kodrat egosentrisme yang memusatkan segala kesadarannya untuk lebih cendrung pada pementingan diri keakuannya. Darisini menumbuhkan sifat-sifat alamiah manusia yang sangat cinta pada diri sendiri (egoistic).[1] Namun, di sisi yang lain, manusia juga memiliki dimensi sosiologis bersama dengan segala keharusan altruistiknya, yang juga merupakan kodrat alamiahnya. Dari dua sisi kodrati manusia yang terkesan bertentangan secara diametral ini, terciptalah gaya tarik-menarik yang cendrung membentuk polarisasi ekstrim antar kedua dorongan kodrati tersebut. Disini, dorongan egoisme individual tampaknya seringkali mampu membuat berbagai keharusan altruistik itu menjadi terpinggirkan dan bahkan ekstrimnya boleh jadi menjadi terabaikan sama sekali.

Oleh karena itu, dari kecendrungan kepada dorongan egositas individualisme tersebut, membentuk berbagai kesulitan atau hambatan internal-psychologis, baik dalam konteks psychologi individual maupun psychologi komunal (kekelompokan) dalam membangun kesediaan setiap dirinya, untuk selalu berkenan mencoba mempelajari, mengenali, memahami dan menghormati orang lain, dan/atau lebih luasnya kelompok lain (respect for others). Dalam lingkaran kesadaran yang lebih luas, kecendrungan egositas itu berakumulasi menjadi kesadaran kelompok, dan selanjutnya menjadi kesadaran ethnografis dari suatu kelompok rumpun etnis/bangsa.[2]

Ketika perihal hakikat jati-diri manusia seperti yang telah diutarakan di atas dihubungkan dengan terjadinya berbagai konflik, pertikaian dan bahkan permusuhan umat manusia, maka faktor-faktor dan elemen-elemen kodrati dari eksistensi manusia itu perlu dan penting untuk dicermati, ditelusuri, diteliti, dipelajari, dipahami dan dihargai sedemikian rupa, baik dalam konteks hubungan seseorang dengan dirinya sendiri, maupun dengan konteks kelembagaan kelompoknya (ingroup) dan dengan konteks orang-orang di luar kelompoknya (outgroup).

Sebaliknya, dapat diyakini pula, bahwa harmoni yang misalnya terbangun dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat, itu juga semestinya dipahami sebagai adanya seperangkat world-view atau common sense yang berlaku dan mengikat komitmen mereka dalam kebersamaan. Inilah yang secara historis diturunkan untuk diterima, diwarisi, dipegang teguh secara bersama oleh setiap warga suatu kelompok masyarakat sebagai tata-nilai, karakter, sifat dan adat-istiadat. Dan kemudian digunakan sebagai patron dalam membina suatu kelembagaan kehidupan bersama dalam kelompok masyarakatnya.

Sementara adanya suatu harmoni dan kedamaian hidup berdampingan dengan kelompok-kelompok lain yang ada di sekelilingnya, adalah juga hasil yang diperoleh setelah mereka satu sama lainnya saling mampu menghargai world view mereka masing-masing, bersama seluruh turunan rasional dan irrasionalnya, seperti system mitos dan tabu. Maka dari situ tumbuh semacam kesepahaman yang dapat secara bersama dirumuskan menjadi tata-nilai, prinsip dan cita-cita universal, seperti keadilan dan kesejahteraan, dalam konteks kehidupan bersama antara kelompok masyarakat.
Maka dapatlah disimpulkan bahwa keharmonisan hidup umat manusia yang memiliki sifat-sifat individual dan social, selalu sangat ditentukan oleh sejauhmana setiap individu, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, mampu menempatkan kepentingan individualnya secara tepat, seimbang dan tidak berlebihan serta sebanding dengan keharusan mempertimbangkan kepentingan orang-orang lain atau kelompok-kelompok lain.[3]

II. Metodologi dan Pendekatan dalam Memahami Karakter dan Identitas.

Sebelum memahami “karakter” dan “identitas” suatu kaum, kiranya perlu lebih dulu dijelaskan apa batasan pengertian (definisi) yang sebenarnya terkandung dalam ke dua kosa-kata tersebut. Sehingga jelas apa focus dan objek yang ingin dicermati dalam konteks kehidupan kolektif perkauman (etnis), baik secara personal maupun komunal. Dalam hal ini, karakter dan identitas yang ingin ditelusuri itu, adalah sangat berhubungan dengan persoalan bingkai pola-nilai yang menyifati dan menandai keberadaan suatu kaum, dalam segala aktivitas dan aktualitas kehidupannya yang multi aspek. Ini berarti bahwa, ketika seseorang berada di tengah orang-orang lain (ingroup maupun outgroup), baik secara sadar maupun tak-sadar, semua ucapan dan tindakannya selalu berlangsung bersama segala simbol dan substansinya, yang secara kolektif mencirikan sifat dan tanda keberadaannya. Dengan demikian, sifat dan ciri yang dimiliki bersama itu berlangsunglah proses identifikasi diri, bersama interpretasi dan interaksi seseorang sebagai anggota dari suatu kaum atau kelompok masyarakat, dalam menanggapi dan bertindak, dimana di dalamnya terdapat unsur-unsur yang secara kolektif menjadi pengikat dan pemersatunya.[4]

Jadi batasan pengertian dari apa yang kita pahami dan sebut sebagai karakter adalah, sifat-sifat atau watak-watak yang secara historis dimiliki para warga suatu kaum. Sifat dan watak ini, pada awalnya tidak terbentuk begitu saja, tetapi merupakan hasil yang terbentuk setelah adanya pertimbangan-pertimbangan dan proses-proses rasionalitas betapapun dangkalnya. Maka barangkali lebih banyak dipengaruhi oleh emosionalitas dan imagi-imagi yang secara intriksik melekat dalam keinginan “ego-kolektif” suatu kaum. Ini semua lantas membentuk semacam basic personality structure,[5] dan kemudian diwariskan secara transgenerasional.

Sifat dan watak yang terlahir dan terbentuk dari pertimbangan dan proses-proses rasionalitas, emosionalitas dan imagi-imagi ini, secara dominan kembali mempengaruhi pola-pikir dan pola manifestasinya dalam peri-laku individu-individu dalam menyikapi berbagai suasana dan problema hidup sehari-hari, dyang berjalan dalam rentangan sejarah eksistensinya yang panjang, sehingga lepas dari segala kesadaran awal saat ia terbentuk dulu. Maka para warga suatu kaum yang datang kemudian tidak lagi merasa perlu mengkritisinya, namun dipakai begitu saja baik dalam konteks dirinya sendiri sebagai individu, maupun dalam konteks sebagai warga dari perkaumannya (etnis).

Dengan adanya konsep pemahaman sifat dan watak individual para warga dari suatu kaum seperti itulah, menuntut para outsiders untuk berkenan memberikan pertimbagan, pengertian dan penghargaannya. Karena ini merupakan hasil konstruksi sosial alamiah, yang boleh jadi juga rasional, adalah salah satu faktor penting yang perlu dimiliki dan dihayati lebih dulu, ketika suatu konstruksi kehidupan bersama secara berdampingan dari berbagai etnis ingin dibangun. Meskipun kita menyadari, ada berbagai kesulitan yang dimiliki para outsiders untuk membayangkannya dan sekaligus bersedia mempertimbangkan. Khususnya ketika para outsiders merasa memiliki kekuasaan, dimana ia kemudian berkeinginan membangun hegemoni atas keberadaan kelompok-kelompok lain yang ingin dikuasai.

Untuk menjelajahi dan lantas memahaminya, berbagai karakter dan identitas etnografis keacehan dapat digunakan pendekatan semiotika bahasa yang perlambangannya tersusun dalam berbagai proverb atau dalam ungkapan lokal disebut Hadih Madja yang telah eksis sejak ratusan lalu dan hingga kini masih diakui oleh masyarakat Aceh sebagai sesuatu yang wajar atau benar. Hadih Madja ini adalah suatu ungkapan padat dan singkat yang mengandung kebenaran umum atau pembenaran yang memiliki filosofi hidup tersendiri, yang lahir dari suatu kesadaran tentang suatu aspek kehidupan, setelah berlangsung dalam rentangan sejarah yang panjang. Sehingga semua ungkapan itu tidak lagi dimungkinkan untuk diketahui siapa sesungguh penggagas dan pengucap pertamanya. Namun, secara etnografis, hadith madja ini telah diterima masyarakat Aceh sebagai sebuah kebenaran dan pembenaran yang muatan dan isinya dapat memberi gambaran tentang karakter dan identitas etnis Aceh. Jadi kandungannya dapat dipahami sebagai sebuah warisan yang diturunkan secara turun temurun, meskipun untuk sebagiannya, pada hari ini barangkali, sudah tidak lagi diterima sebagai kebenaran yang perlu dipertahankan.

Tetapi secara umum, banyak dari Hadih Madja ini yang masih sangat diterima oleh masyarakat Aceh sebagai diktum aksiomatik, yang seringkali memberi justifikasi terhadap prilaku budaya, meskipun terkadang sangat tidak rasional, atau sangat emosional, namun cukup dipandang wajar.

III. Hubungan Timbal-Balik antara Karakter/Identitas dan Perdamaian
Jika karakter yang menjadi identitas budaya suatu etnis itu ditelusuri implikasi nya terhadap penciptaan suasana kehidupan bermasyarakat, tentu akan memperlihat suatu hubungan timbal-balik dan kausalitas yang amat dekat dan potensial, baik bagi membangun masyarakat yang damai ataupun sebaliknya yang merusak perdamaian. Sebut saja misalnya sikap keras yang muncul dalam sikap-sikap yang militan dan ekstrim (ni bak sihet, leubeh got roe, ni bak puteh mata leubeh got puteh tuleung, dll) yang jika dihubungkan dengan cara-cara menyelesaikan konflik yang sering muncul dalam masyarakat, tentu saja kekerasan kemudian cendrung digunakan dalam upaya menyelesaikan pertikaian. Ini tentu saja besar pengaruhnya bagi rusaknya suasana hidup yang aman dan damai. Demikian pula, karakter budaya yang suka berterus-terang, atau blak-blakan yang terkadang dapat pula membuat situasi menjadi tegang dan bermusuhan.

Akan tetapi, dalam budaya Aceh, sebenarnya juga telah ada suatu mekanisme penyelesaian konflik dengan menggunakan kearifan lokal sebagai jalan penyelesaian-nya. Dengan metoda ini, kebijakan lokal menggunakan mekanisme pengakuan bersalah dan pembayaran konpensasi sebagai jalan untuk meniadakan permusuhan yang berkelanjutan antara para pihak yang bertikai. Terlihat disini, bahwa di satu pihak terdapat budaya kekerasan dalam masyarakat, namun di pihak lain terdapat kearifan local yang coba menengahi pertikaian masyarakat yang secara tradisional telah diterima masyarakat tempo dulu sebagai suatu dispute settlement.

Jadi dapatlah disimpulkan disini, bahwa ada sejumlah karakter budaya Aceh yang punya potensi untuk merusak suasana damai dalam suatu hubungan pergaulan, disaat satu sama lain tidak cukup paham karakter kebudayaan dari masing-masing pihak dan tidak arif dalam mencari penyelesaian.

III. Wali Nanggroe: Sebuah Alternatif Pemersatu
Melihat pada konteks raison d’etre sebagai landasan keinginan masyarakat Aceh terhadap institusi Wali Nanggroe, seperti yang tersebut dalam UUPA (pasal 96, ayat 1), agaknya ada kebutuhan masyarakat Aceh tentang perlunya lembaga yang berfungsi sebagai penjaga adat-istiadat, nilai-nilai luhur kebudayaan dan sekaligus berfungsi sebagai lembaga pemersatu masyarakat. Padahal dalam sejarah Aceh agaknya belum pernah dikenal adanya lembaga semacam Wali Nanggroe ini. Yang pernah ada adalah lembaga Qadhi Malikul Adil yang fungsinya lebih sebagai lembaga Yudikatif yang punya wewenang untuk mendelegitimasi keputusan-keputusan politik eksekutif (Sulthan).

Akan tetapi, lembaga Wali Nanggroe ini dipandang perlu keberadaannya sekarang, setelah dirasakan adanya semacam ancaman memudar, melemah dan bahkan cebdrung menghilangnya berbagai kekayaan adat dan budaya Aceh di tengah budaya masyarakat Aceh hari ini, yang juga dirasa tidak menyenangkan. Maka persoalannya adalah, sejauh mana fungsi lembaga wali nanggroe dapat pula menjadi sebuah kekuatan yang berfungsi sebagai perekat persatuan masyarakat Aceh dan sekaligus menjadi penjaga perdamaian?

Suggested Blbliograpy
Amin, S.M., Sekitar Peristiwa Berdarah di Atjeh, (Jakarta: Soerongan, 1956).
Bernard, H. Russel, Handbook of Methods in Cultural Anthropology, (California: Altamira Press, 1998).
Carmejoole, P.J., Atjeh, Groningen, 1931
Coakley, John, The Territorial Management of Ethnic Conflict, (London: Frank Cass and Co. Ltd., 1993).
Comaroff, Jean, Ethnography and the Historical Imagination, (Oxford, San Fransisco: Westview Press, 1992).
Flynn, Pierce J., The Ethnomethodological Movement, Sociosemiotic Interpre-tations, (New York: Walter de Gruyter & Co, 1991).
Forbes, H.D., Ethnic Conflict: Commerce, Culture, and the Contact Hypo-thesis, (New Haven, London: Yale University Press, 1997).
Fukuyama, Francis, The End of History and the Last Man, (New York: the Free Press, 1992).
Gellner, Ernest, Nations and Nationalism, (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1983).
Ra’anan, Uri, et.al., (eds.), State and Nation in Multi-ethnic Societies, (New York: Manchester University Press, 1991).
Reid, Anthony J.S., The Contest of North Sumatra, (Kuala Lumpur: Univer-sity of Malaya Press).
Said, Muhammad, Centuries Along with the Acehnese History, (Medan, 1961)
Siddiqi, Mazheruddin, The Qur’anic Concept of History, (Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965).
Stavenhagen, Rudolfo, Ethnic Question: Conflict, Development and Human Rights, (Tokyo: United Nation University Press, 1990).
Tiskov, Valery A., et.al, (eds.), Ethnicity and the Power in the Contemporary World, (Tokyo: United Nation University Press, 1994).
Weiner, Eugene, The Handbook of Interethnic Coexistence, (New York: Continuum Publishing Company, 1998).
Wicker, Hans-Rudolf, Rethinking Nationalism and Ethnicity, the Struggle for Meaning and Order in Europe, (New York: Berg Publisher, 1997).
Willet, Cynthia, Theorizing Multiculturalism: A Guide to the Current Debate, (Massachusets: Blackwell Publisher, 1998).
Will, Kymlicka, Multicultural Citizenship, (Oxford: Clarendon Press, 1995).
Wuthnow, Robert, et.al., (eds.), Cultural Analysis, (London: Routledge, 1984).
Yinger, J. Milton, Ethnicity: Source of Strength? Source of Conflict?, (New York: State University of New York Press, 1994).

[1] Secara fenomenologis, bahwa pementingan dan bahkan pengagungan terhadap diri atau kelompok sendiri merupakan bagian dari ketaksadaran manusia yang seringkali mempengaruhi pola-pola nilai dan ideologi seseorang atau dalam lingkup yang lebih luas menjadi kesadaran suatu kelompok masyarakat etnis tertentu ketika ia berpikir, mempertimbangkan dan bereaksi dalam merespon segala sesuatu yang berhubungan dengan orang lain. Untuk kajian fenomenologi terntang ketaksadaran manusia ini, baca misalnya, Alice Kasakoff, “Levi Strauss’ Idea of Social Unconscious: The Problem of Elementary and Complex Structures in Gitksan Marriage Choice,” dalam Ino Rossi, (ed.), The Unconscious in Culture, the Structuralism of Claude Levi Strauss in Perspective, (New York: E.P Dutton & Co, Inc, 1974), hal. 143-165.

[2] Dalam konteks berbagai kesulitan yang mungkin mucul dalam membina kesediaan untuk memikirkan orang atau kelompok lain, baik yang orang-orang dikenal (acquaintances) maupun yang tidak dikenal (foreigners) lain, ada deskripsi dan ilustrasi menarik yang penting dibaca dan direnungkan, sebut misalnya buah pikiran Elene Scarry, “The Difficulty of Imagining Other Persons” dalam Eugene Weiner, (ed.), The Handbook of Interethnic Coexistence, (New York: The Continuum Publishing Company, 1998), hal. 40-62. Kesulitan tersebut potensial untuk kemudian berkembang menjadi dorongan membenci eksistensi kelompok atau orang lain, yang seterusnya dapat memuarakan aneka kekerasan. Untuk mengatasi kemungkinan ekstrim tersebut, ia mengusulkan penting adanya semacam constitutional design, tempat dimana spontaneous imaginative dapat berlangsung dan berkembang, dalam misalnya suatu komunitas masyarakat di suatu negara atau antar negara/bangsa.
[3] Problem ketidak-seimbangan dan tarik-menarik antar kepentingan keakuan dan tuntutan social inilah sering menjadi sumber masalah bagi munculnya suasana ketidak-damaian dalam kehidupan masyarakat, dan dalam konteks kekelompokan antar kelompok untuk dapat hidup berdampingan secara damai dan saling menguntungkan. Untuk mencermati bagaimana sejarah imajinasi komunitas etnis tertentu dalam memahami keberadaan suatu kelompok lain yang ada disekelilingnya, baca misalnya, Comaroff, Jean, Ethnography and the Historical Imagination, (Oxford, San Fransisco: Westview Press, 1992).

[4] Melalui perspektif teori Interaksionisme Simbolis, dapatlah ditegaskan bahwa tindakan sosial merupakan tindakan individu yang lahir dari hasil tafsiran, tanggapan dan peranan seseorang yang sebelumnya telah memiliki warisan pola berpikir dan cara bertindak tertentu yang kiranya sangat sulit untuk dirubah, tanpa adanya suatu pendekatan transformative tertentu yang tepat, yang lebih dulu mampu memahami dan mempertimbangkan unsure-unsur esensial yang terkandung di fdalam pola dan cara yang telah diwariskan itu. Untuk lebih lanjut baca, misalnya, Margaret M. Poloma, (terj.), Sosiologi Kontemporer, (Jogjakarta: Yayasan Solidaritas Gadjah Mada, 1984), hal. 268-278.

[5] Basic Personality Structure merupakan suatu entitas kepribadian yang tersusun dari unsur-unsur karakter dan identitas yang terdapat dalam pikiran setiap warga dari suatu kelompok masyarakat etnis yang kiranya penting untuk dipahami. Namun, pemahaman itu bukan dalam konteks penaklukan, tetapi lebih dalam konteks membangun harmoni, yang dapat menghindarkan kita dari kemungkinan-kemungkinan konflik yang seharusnya tak perlu terjadi. Untuk lebih detilnya, baca misalnya, Philip K. Bock, Continuities in Psychological Anthropology, (San Franscisco: W.H. Freeman Company, 1980), khususnya hal. 85-95.

-

Arsip Blog

Recent Posts