Oleh Asrori S. Karni, Sandika Prihatnala, dan Mukhlison S. Widodo
Wajah Dadang Sumena, 44 tahun, dan istrinya, Neneng Susilowati, 40 tahun, tampak letih setibanya di kompleks makam keramat Mbah Priuk, Koja, Jakarta Utara, Senin siang lalu. Berbaju koko dan peci putih didampingi istri bergamis putih, Dadang lebih dahulu menuju tempat wudu. Aura lelah langsung sirna tatkala keduanya mulai bersimpuh di depan makam, berzikir, mengaji, dan berdoa, penuh khidmat.
Dadang dan Neneng baru datang dari Sukabumi, naik angkutan umum, khusus untuk ziarah ke situs Habib Hasan al-Haddad itu. "Saya berangkat dari rumah jam sembilan pagi," tuturnya kepada Gandhi Achmad dari Gatra. Dadang mengaku terpanggil suara hatinya. "Nggak tahu, kerentek aja hati mau ke sini tiba-tiba," paparnya.
Malamnya merasa ada panggilan, paginya Dadang langsung menggandeng istri ke Koja. "Nggak saya tunda-tunda," katanya. Ia pertama tahu situs Mbah Priuk dari televisi saat bentrokan berdarah antara peziarah dan Satpol Pamong Praja, 14 April lalu.
"Saya (memohon) kepada Allah agar diberikan jalan keluar dan kelancaran usaha," ujarnya. Bisnisnya membuat sapu ijuk lagi sepi pesanan. "Sudah tiga bulan saya nggak dapat order, terpaksa enam karyawan tidak saya pekerjakan," ia mengungkapkan. Dadang tetap berikhtiar menafkahi istri dan empat anaknya.
Perihal kesimpulan Tim MUI DKI Jakarta yang dilansir 9 Agustus lalu, bahwa kekeramatan Mbah Priuk tidak berdasar dan jenazahnya telah dipindahkan, Dadang belum tahu. Ketika dijelaskan rinci, Dadang berujar, "Itu cuma pendapat MUI. Saya datang jauh-jauh karena keyakinan," katanya, sebelum izin pamit pulang ke Sukabumi.
Pandangan senada diutarakan Warna, 42 tahun, peziarah asal Cirebon yang sudah lama menetap di Sunter. Tentang temuan MUI, Warna berujar, "Ini masalah keyakinan Mas, susah diperdebatkan."
Ia mengaku berziarah karena rindu dan tidak terbatas waktu. "Kalau hati ngebatin ingin datang, ya datang. Tengah malam mau datang, ya datang," katanya. Ia biasa meninggalkan kios jamu dan warung kelontongannya demi ziarah. "Rezeki dari Allah," katanya.
Gatra berusaha minta tanggapan pengelola makam, kakak beradik, Habib Abdullah dan Habib Ali. Menurut Adim, orang kepercayaan kedua habib itu, sang habib menolak diwawancarai. "Wartawan nulis seenaknya aja, ngejelek-jelekin nih makam keramat," ungkapnya sewot. "Habib jadi males ngomong ama wartawan."
***
Tim Pengkaji MUI DKI Jakarta menyampaikan hasil penelitian dua bulannya Senin, 9 Agustus, lalu di Jakarta Islamic Center, Jakarta Utara. Paparan disampaikan Dr. Syafii Mufid, Ketua Tim, mantan peneliti senior Kementerian Agama, dan KH Ma'ruf Amin, Ketua MUI Pusat bidang fatwa, sebagai pengarah tim.
Tim ini melibatkan ahli berbagai disiplin ilmu: sejarah, forensik, dan tentu saja agama. Syafi'i memamaparkan, kesimpulan terkait empat hal: sejarah, praktek keagamaan, keberadaan makam, dan persepsi-perilaku masyarakat.
Dari sisi sejarah, tim mengoreksi buku Rusalah Manaqib (Mbah Priuk), terbitan pengurus makam. Tahun kelahiran Habib Hasan tahun 1727 dan tahun kematian 1756 dinyatakan salah. Yang benar, lahir 1874 dan meninggal tahun 1927.
Habib Hasan bukan mubalig, melainkan pelaut. Bahasa tim lebih halus, "Beliau adalah seorang yang tawadhu atau orang saleh yang bekerja sebagai pelaut di kapal dagang milik Sayyid Syech bin Agil Madijihad."
Habib Hasan belum pernah sampai di Batavia, karena meninggal dalam perjalanan. "Penyebutan sebagai penyebar Islam di Jakarta yang tangguh tidak bisa dipertanggungjawabkan," kata Syafi'i.
Pengaitan nama Mbah Priuk dengan asal-usul nama Tanjung Priok, "secara historis kebenaran faktualnya tidak dapat diterima." Versi sejarah yang lebih diakui, nama Tanjung Priok terkait dengan nama Aki Tirem, penghulu daerah Warakas yang dikenal sebagai pembuat periuk.
Bukti sejarah lain, pada 1877, Belanda melaksanakan proyek pelabuhan yang dinamakan "Haven Tanjung Priok". Pada tahun itu, Habib Hasan berumur 3 tahun dan bermukim di Palembang.
Di bidang keagamaan, persepsi bahwa Habib Hasan seorang wali, penyebar Islam di Jawa dan Sumatera, sehingga dilabeli gelar, "Al Imam Al Arif Billah", dinyatakan tidak sesuai fakta. Tim menemukan kultus berlebihan terhadap makam.
Pengelola mengharuskan peziarah berpakaian serba putih, dilarang bercelana panjang, dan harus berjalan mundur saat meninggalkan makam. Ada keyakinan air mineral yang dibawa ke makam membawa berkah, dan air dari makam sama nilainya dengan air zam-zam.
Beberapa materi ceramah yang direkam dinilai menyimpang. Ada ungkapan, "Mbah Priuk akan hadir dan kembali ke dunia bersama kita, minum kopi dan makan bersama kita." Ketika jamaah mati, Mbah Priuk dan Rasulullah akan menjemput.
Ada pernyataan "makam ini lebih mulia daripada Ka'bah dan lebih suci dibandingkan dengan masjid dan musala". Didapati pula ceramah yang mendoakan pihak yang tidak sepaham dengan kekeramatan makam ini agar celaka, cepat mati, dan masuk neraka.
Soal keberadaan makam, tim berkesimpulan, Tempat Pemakaman Umum (TPU) Dobo yang kini dibangun gapura Gubah Al-Haddad sudah ada sebelum kedatangan jenazah Habib Hasan. Dua puluh tahun sebelumnya, sudah ada makam yang lebih luas diakui kekeramatannya, atas nama Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas.
Awalnya, Habib Hasan dimakamkan di Pondok Dayung, Tanjung Priok. Karena Belanda memperluas pelabuhan, jenazahnya dipindahkan ke TPU Dobo. Lokasi inilah yang kini dipersengketakan dengan PT Pelindo II. Tahun 1997, jenazah dipindahkan lagi ke TPU Semper.
Tim merekomendasikan Pemprov DKI dan PT Pelindo II membangun tempat ziarah di Semper. Apakah Gubah Al-Haddad harus digusur? Tim menempuh jalan tengah, dengan merekomendasikan pembangunan petilasan (atsar) di eks-TPU Dobo.
Petilasan itu bukan hanya untuk menghormati Habib Hasan, melainkan juga makam yang lebih dulu diakui keramat, Habib Abdullah bin Muhsin Al Attas, dan Kiai Haji Mi'an, pendiri Masjid Al-Fudhola, yang kini masih berdiri tak jauh dari situs Gubah Al-Haddad.
Setelah bentrok pecah, Wakil Gubernur Prijanto pernah menyatakan, Pemprov DKI akan menjadikan makam Mbah Priuk sebagai cagar budaya. Kini, Prijanto, yang pernah memimpin mediasi antara ahli waris dan Pelindo II, melimpahkan tindak lanjut pada Pelindo. "Kalau membaca rekomendasi, itu kepada Pelindo," kata Prijanto.
Ia beralasan, pemprov tidak bisa disangkutpautkan. Karena secara historis, pemindahan makam dilaksanakan Pelindo. "Nanti kita jelaskan kepada MUI, bahwa dasar makam itu dari Dobo ke Semper karena ada pembangunan peti kemas, jadi menjadi kewenangan siapa coba?" Prijanto balik bertanya.
Humas PT Pelindo II, Eddy Haristiani, tidak mau berkomentar jauh. "Kita baru mempelajari rekomendasi tersebut," katanya. "Untuk sementara saya belum bisa memberikan komentar lebih banyak lagi," ia menegaskan.
***
Ketua Dewan Pengurus Rabithah Alawiyah, organisasi para habaib, Ahmad Fahmi Assegaf, menyebutkan, ada dua poin yang harus dijadikan perhatian. Pertama, ditemukannya praktek keagamaan menyimpang. "Atas kesimpulan itu, kami sepakat bahwa tata cara ziarah di sana harus dibenahi," katanya kepada Haris Firdaus dari Gatra.
Untuk meluruskan praktek menyimpang dan menjamin penyimpangan berikutnya tidak terjadi, ia berpendapat, harus disusun petunjuk tata cara ziarah yang benar. Praktek menyimpang itu, kata Fahmi, tidak sampai mengganggu reputasi habaib.
"Banyak tempat ziarah habaib yang pakai pola yang benar," ia mengungkapkan. Pihak yang salah harus dinyatakan salah, katanya, terlepas dia habaib, ulama, kiai, atau orang biasa. "Siapa pun, kalau menyimpang, harus dikatakan keliru," katanya.
Butir kedua, menurut Fahmi, simpulan bahwa makam Habib Hasan telah dipindahkan ke TPU Semper. "Kami tidak bisa memberikan tanggapan apa pun terhadap poin itu," katanya. Rabithah tidak memiliki data keberadaan jenazah.
Rabithah belum memahami konsep petilasan yang direkomendasikan dibangun di TPU Dobo. Ketidakjelasan ini, kata Fahmi, bisa menimbulkan multiinterpretasi dan membuat persoalan tidak selesai.
Fahmi mengingatkan, hasil penelitian MUI belum tentu membuat masyarakat berhenti berziarah. Jika bentuk petilasan yang direkomendasikan tidak jelas, sementara peziarah tetap datang, berarti persoalan belum selesai.
Akar persoalan, kata Fahmi, berada di TPU Dobo sehingga penyelesaian yang diputuskan di tempat itu harus diterima semua pihak. "Kalau ada peziarah yang mau datang, harus dibuatkan akses yang cukup," ujar Firman.
Sebelum penelitian MUI keluar, katanya, ada Tim Lima yang bertugas mencari solusi. Tim dikordinasikan Komnas HAM, dengan anggota dari perwakilan MUI, PT Pelindo II, ahli waris Mbah Priok, dan Rabithah Alawiyah.
Tim bertugas mencari solusi agar ziarah bisa berlangsung tanpa mengganggu operasional Pelindo II. Sudah ada maket bangunan yang disepakati. "Namun, waktu itu tidak difinalkan karena MUI minta menunggu hasil penelitian,'' ujarnya.
Pembangunan fasilitas untuk peziarah dan pembuatan maket itu, kata Fahmi, inisiatif Pelindo II. Dalam maket itu, dibuat areal ziarah baru dikelilingi pagar. Terdapat area parkir peziarah. Agar arus peziarah tidak menganggu operasional Pelindo II, dibangun jalan sendiri.
Fahmi tidak tahu apakah petilasan yang direkomendasikan MUI sama dengan maket yang disusun Tim Lima. "Saya sempat mengusulkan pada MUI agar Tim Lima segera kumpul dan membahas soal atsar ini," katanya.
Jika konsep petilasan yang dimaksud MUI sama dengan maket buatan Tim Lima, maka persoalan bisa segera selesai. "Namun kalau bentuk monumen yang dimaksud lain lagi, harus mulai dari awal," ia memaparkan.
Fahmi menyatakan, terlepas TPU mana yang dijadikan tempat ziarah, ada dua hal penting yang harus dilakukan. Pertama, harus dibuat buku panduan tentang tata cara berziarah yang benar.
Kedua, harus dibentuk lembaga sebagai pengelola tempat ziarah tersebut. "Lembaga itu harus mempunyai AD/ART supaya pengelolanya tidak sewenang-wenang," ujarnya. Dengan anggaran dasar, pengelola yang menyimpang bisa dikeluarkan.
Menurut Fahmi, Rabithah tidak perlu ikut masuk lembaga pengelola, seperti rekomendasi MUI. "Tugas kita itu sudah banyak. Kalau Rabithah ikut dalam tim pengelola, rasanya tidak perlu. Kita khawatir malah tidak bisa bertanggung jawab,'' Fahmi memaparkan.
[Nasional, Gatra Nomor 42 Beredar Kamis, 26 Agustus 2010]
Sumber: http://www.gatra.com