Nonton Penari Telanjang di Makassar, Bayar Rp 150 Ribu

Denyut jantung Kota Makassar, Sulawesi Selatan, berdetak 24 jam. Gebyar kehidupan malam membuat kota ini tak pernah tidur. Diskotek, kafe, dan tempat-tempat karaoke, menjadi pilihan ke tempat hiburan.

Ketika malam mulai menyelimuti kota, tempat-tempat hiburan mulai terisi. Kelompok yang suka dunia gemerlap (dugem), ini larut dalam gebyar malam. Mereka mencari kepuasan pribadi yang semu. Mencari kepuasan sesaat. Alasannya, mencari oase pembebasan dari belenggu aktivitas rutin keseharian.

Begitu kuatnya magnet tempat hiburan malam. Saban malam hampir tak pernah sepi dikunjungi. Ia bisa menarik siapa saja, terutama mereka yang punya banyak uang. Malahan, mereka yang punya uang pas- pasan sekalipun, tergoda larut dalam gebyar malam. Oleh kelompok tertentu, biasanya pesta malam diakhiri dengan narkoba dan seks.

Paling tidak, terdapat tujuh tempat hiburan malam berkelas di Makassar. Setiap Rabu malam dan Sabtu malam, semua tempat itu padat dengan pengunjung. Maklum, malam itu tempat-tempat hiburan menetapkan sebagai malam ladys night.

Ada fenomena menarik bergaul di tempat hiburan malam. Meski satu sama lainnya baru saling kenal, terutama antara pria dan wanita, sangat gampang akrab. Apalagi, kalau sudah menenggak minuman beralkohol. Berpelukan dan berciuman menjadi pemandangan yang umum.

Rabu malam di bulan April 2010. Gerimis membasahi Makassar. Jarum jam menunjukkan pukul 23.00 wita. Tiga gadis dan empat lelaki (termasuk saya) masuk ke dalam kamar karaoke pada sebuah tempat hiburan di kawasan Makassar barat.

Ketiganya mengaku siswi salah satu SMA swasta di Makassar. Ketiga remaja itu berteman akrab dengan salah seorang teman. Teman itulah yang memanggil mereka lewat telepon untuk datang berkaraoke.

"Kami hanya bisa datang bila malam Minggu atau malam liburan. Kalau tidak, kami tak bisa datang karena besok paginya harus sekolah," kata Nita (nama samaran) kepada saya. Nita, Arini, dan Ningsih, ketiganya adalah kelas dua salah satu sekolah menengah atas swasta di Makassar.

Awalnya hanya nyanyi-nyanyi biasa. Lima belas menit kemudian, teman tadi masuk ke dalam kamar mandi. Lalu, memanggil dua gadis belia tadi. Beberapa menit kemudian, dua gadis itu keluar dan yang satu lagi masuk bersama teman laki-laki.

Apa yang dibuat di dalam kamar mandi? Saya pun mencoba mengetuk pintu. Ketika daun pintu terkuak, ya ternyata mereka sedang narik-istilah mereka yang sering nyabu.

Ouw, begini ternyata kalau orang nyabu. Secara bergiliran, mereka menghisap pipet lalu mengeluarkan asap dari mulut. Seperti orang yang sedang merokok saja. Ada seorang operatornya. Dialah yang menyalakan korek api, lalu memanggangkan aluminium voil yang telah ditaburi bubuk. Mereka narik secara bergantian sampai bubuk putih tadi habis.

Ada rasa takut ketika menyaksikan pesta shabu itu. Bagaimana seandainya tiba-tiba ada penggerebekan dari polisi? Bisakah dalam waktu sekejab untuk menghilangkan barang bukti seperti bong (alat hisap) dan aluminium voil?

"Akh, seandainya ada penggerebekan, kan bisa tes urine," pikirku.

Entahlah, bagaimana rasanya setelah narik. Tetapi selesai acara di dalam kamar mandi, teman tadi kemudian membagikan lagi sesuatu. Ada yang mendapat sebutir, dan ketiga gadis tadi justru diberi setengah butir per orang. Inilah ineks atau ekstasi.

Mengapa ketiga gadis itu hanya diberi setengah butir per orang? "Biar setengah saja karena kalau di- mix (sudah nyabu dan sedikit saja ineks) gampang naik," kata teman yang salah satu pengusaha muda di Makassar.

Dari mana shabu-shabu dan ineks dibeli? "Dari jaringan pertemanan dan kepercayaan," katanya. Mereka menjual shabu dan ineks tidak untuk sembarang orang, kecuali yang dikenal sebagai pemakai. Mereka sangat hati-hati. Sebab sedikit saja lengah, bisa berurusan dengan polisi, dan menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan.

Seorang teman pengusaha lainnya, misalnya. Ia tertangkap tangan oleh polisi karena mengantongi enam biji ekstasi sebelum masuk ke dalam ruang karaoke. Ia ditangkap awal April lalu di salah satu tempat hiburan. Sampai kini ia masih menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan.

Sebutir ekstasi dijual Rp 250 ribu. Sedangkan shabu-shabu seharga Rp 300 ribu paling murah per paket. Kebanyakan pemakai lebih suka membeli shabu-shabu. Sebab satu paket bisa digunakan untuk empat sampai lima orang. Sementara ekstasi, apalagi yang kemampuan dosisnya tinggi, paling banter satu biji dibagi untuk dua orang.

Ketika salah satu diskotek di kawasan Makassar timur masih beroperasi, ekstasi dengan mudah dapat diperoleh. Lewat beberapa pelayan, barang haram itu bisa diperoleh di dalam. Malahan, orang-orang tertentu dengan mudah pula bisa mendapatkan shabu-shabu.

Acara nyanyi-nyanyi karaoke pun usailah sudah. Musiknya telah berganti menjadi house music. Minuman dalam kulkas pun mulai dikeluarkan ke meja. Ada empat botol bir dan lima botol air mineral. Belum puas, teman tadi memesan lagi minuman dua gelas long island.

Lampu ruangan pun tidak seterang tadi lagi. Bukan sekadar remang-remang tetapi cukup gelap. Orang yang ada di dalam ruangan saya lihat sudah seperti keranjingan bergoyang. Malahan ada yang bergoyang sambil berteriak-teriak. Inilah pengaruh narik tadi dan ekstasi yang membuat mereka happy?

Tanpa terasa minuman beralkohol pun semakin bertambah di meja. Suasana pun semakin marak. Dan, auzubillah, inilah puncak pesta malam ini. Ketiga gadis tadi sudah tak sungkan-sungkan bergoyang tanpa mengenakan benang sehelai pun di tubuhnya.

Ketiga gadis ini bergoyang tanpa busana sekitar setengah jam. Setelah itu, mereka kembali mengenakan busana seperti semula. Saya bersama tiga teman lelaki yang ada di ruangan harus mengeluarkan isi dompet Rp 150 ribu per orang. Itulah tip sebagai syarat bagi ketiganya agar bisa bergoyang tanpa busana sehelai pun di tubuh mereka.

Untuk berhubungan terlalu terjauh, boleh juga. Berapa uang yang harus disediakan? "Tergantung kesepakatan berdua," kata teman tadi. Acara saat itu berakhir sampai pagi.

Pesta narkoba di tempat-tempat hiburan juga dilakoni pejabat. Teman pejabat satu ini malahan mewanti-wanti saya agar jangan mengantongi barang haram itu. "Jangan pernah membelikan shabu atau ekstasi kepada teman cewek. Tetapi berilah uang, nanti dia sendiri yang membelinya," katanya. "Dengan begitu, kalau ada penggerebekan, kita tetap aman," tuturnya lagi.

Tetapi teman satu ini tidak pernah suka shabu-shabu karena rumit. Peralatannya banyak. Sedangkan ekstasi, begitu ditelan, habis perkara. Dan, pesta kali ini, biasa-biasa saja. Paling, tampak sesekali teman-teman berpelukan dengan pasangannya. Dan, ketika kami keluar dari ruangan, ternyata sudah pukul 05.30 wita. Ya, kali ini saya pulang pagi lagi ke rumah.(tasman banto)

-

Arsip Blog

Recent Posts