Penggali Sejarah dan Budaya Palembang

Oleh Taufik Wijaya

Sejak remaja Djohan Hanafiah senang berpetualang. Menggunakan kereta api atau kapal laut, Djohan sering mengunjungi banyak tempat di Sumatra dan Jawa. Selama perjalanan itu, dia menikmati segala kekayaan budaya pada masyarakat Indonesia.

“Saat itu saya ingin menulis dan membuat buku yang isinya soal petualangan yang menceritakan kekayaan budaya Indonesia,” kata Djohan Hanafiah, yang sejak anak-anak senang membaca buku petualangan seperti karya Karl May, serta buku-buku filsafat modern.

Rasa senangnya akan kebudayaan Indonesia ini dipengaruhi oleh pemikiran Ki Hajar Dewantara melalui pendidikan di Perguruan Taman Siswa—Djohan Hanafiah sekolah SD, SMP, SMA di Perguruan Taman Siswa. Selain itu, juga didorong pemikiran Bung Karno dan AK Gani mengenai nasionalisme atau Indonesia.

“Saya tidak mau seperti ayah saya yang sibuk menjadi birokrat. Saya ingin menjadi seorang pemimpin yang bangga dan ingin membesarkan kebudayaan bangsanya di dunia,” kata Djohan.

Namun, biar pun tidak mau menjadi birokrat seperti bapaknya, tapi dia bangga memiliki seorang bapak yang mengajarkan rasa nasionalisme.

Sikap nasionalisme yang ditunjukkan sang bapak, Raden Muhammad Ali Amin, bukanlah melalui pernyataan tapi melainkan tindakan. Misalnya Djohan Hanafiah disekolahkan bapaknya di Perguruan Taman Siswa yang memang mengajarkan rasa atau sikap nasionalisme, kemudian saat jaman revolusi berkisar tahun 1945-146, Djohan Hanafiah dititipkan ke keluarganya di 26 Ilir, sementara bapak dan ibunya bergerilya ke pedalaman Sumatra Selatan melawan tentara NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie).

Nah, keluarga yang ditumpangi Djohan Hanafiah ini ternyata pro-Belanda. Hal ini yang menyebabkan jiwa Djohan saat itu memberontak. Dia banyak bermain di luar rumah. Buat mengekspresikan rasa kecewanya, dia bersama anak-anak lainnya di kampung itu, membuat perang-perang. Djohan selalu menjadi pasukan Indonesia yang berperang melawan Belanda.

“Tapi kode pihak Indonesia adalah ‘anak muda’, dan pihak ‘Belanda’ adalah musuh. Kami masih takut menyebut Indonesia lawan Belanda, ” kata Djohan.

Mengapa ada keluarga Djohan Hanafiah yang berpihak Belanda? Menurut Djohan, saat itu kaum ningrat di Palembang lebih setuju bergabung dengan Belanda yang akan membentuk Negara Sumatra Selatan. Kenapa? Sebab selama Belanda berkuasa, kaum ninggrat ini, sebagian hidupnya makmur dan tentram, sebab dilindungi oleh Belanda. Saat itu pula Belanda berjanji akan menghidupkan kembali Kesultanan Palembang Darussalam melalui Negara Sumatra Selatan itu. “Jadi saat itu konflik terjadi pada wong Palembang (kaum ninggratnya) bukan memilih antara Indonesia dengan Belanda, tapi bergabung ke Indonesia atau menghidupkan kembali Kesultanan Palembang Darussalam,” katanya.

SAAT menjadi mahasiswa Universitas Sriwijaya, Djohan aktif di organisasi pemuda (GMNI) dan wartawan di koran Panji Revolusi. Selama itu pula Djohan banyak menulis tentang kebudayaan Indonesia, khususnya kebudayaan Palembang.

Awal ketertarikan Djohan terhadap kebudayaan Palembang bermula dari ujaran “Palembang buntung”. Ujaran ini sering disampaikan para pendatang, baik Jawa, Minang, atau Melayu, terhadap wong Palembang. Dia ingin tahu, apa yang dimaksud dengan ujaran tersebut. Dia pun bertanya kepada banyak sesepuh yang tahu atau mengerti mengenai sejarah dan budaya Palembang. Djohan pun membaca sejumlah buku catatan sejarah mengenai Palembang. Djohan pun mengambil kesimpulan; maksud dari ujaran “Palembang buntung” itu adalah secara kebudayaan wong Palembang itu tidak jelas identitasnya, disebut wong Melayu bukan, disebut wong Jawa bukan. Sebab dalam kebudayaan Palembang ditemukan budaya Jawa dan Melayu. “Setengah-setengah inilah yang disebut mereka buntung itu,” kata Djohan. “Jadi, saya menyebutnya budaya Palembang Melayu-Jawa,”ujarnya.

Sayang, keinginannya untuk menulis sebuah buku tentang kebudayaan Palembang tersebut terhenti. Ini sebagai akibat situasi politik Indonesia berkisar 1965.

Baru setelah sekian puluha tahun kemudian, tahun 1995, kegelisahannya mengenai “Palembang Buntung” diwujudkan dalam sebuah buku berjudul “Melayu-Jawa, Citra Budaya dan Sejarah Palembang” diterbitkan Rajagrafindo Persada Jakarta.

Di masa awal rejim Orde Baru, anak sulung dari pasangan Raden Muhammad Ali Amin dan Raden Ayu Ning Fatimah yang dilahirkan pada 5 Juni 1939 di Palembang, ini akhirnya lebih banyak bergelut di dunia bisnis. Dia ingin membangun kekuatan ekonomi. Sebab menurut Djohan masyarakat yang selamat dalam perubahan politik adalah mereka yang sebagian besar memiliki kemampuan atau basis ekonomi yang baik.

Tahun 1967-1971, Djohan Hanafiah menjadi Representative Area Sumatra for CIBA-GEIGY. Selanjutnya pindah menjadi Sales Manager for Southern Sumatra Grolier International hingga tahun 1973, lalu membuat perusahaan sendiri yakni CV.Mitra, authorized dealer VOLKSWAGEN di Palembang hingga tahun 1975. Lalu Djohan terjun sebagai pengurus HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) dan KADIN (Kamar Dagang Indonesia).

Bisnisnya terus berkembang hingga memimpin sejumlah perusahaan di Palembang. Dan, terakhir dia sebagai Direktur Utama PT.Tejacatur Primaperkasa hingga 1993, sebelum akhirnya memutuskan terjun ke politik dan memberikan waktu yang lebih banyak buat melacak dan menggali sejarah dan budaya Palembang. Sejak 1992-1997 Djohan Hanafiah menjadi anggota DPRD Sumatra Selatan, dan kembali terpilih menjadi wakil rakyat sejak 1999-2004.

“Selama menjadi pengusaha saya memang menekuni sejarah dan budaya, yang sempat tertunda selama sekian tahun. Tapi, sering kali pelacakan ini terganggu oleh waktu buat melakukan bisnis. Jadi, setelah saya memiliki modal yang cukup untuk hidup sehari-hari, saya memutuskan untuk lebih focus pada penggalian sejarah dan budaya, dan politik,” katanya.

Basis ekonomi ini pula yang mendukung suami dari Napisah (almarhum) untuk mengumpulkan bahan-bahan sejarah, baik berupa buku maupun dokumen lainnya. Djohan pun melakukan sejumlah perjalanan ke berbagai daerah di Indonesia, maupun perjalanan ke ke luar negeri seperti Belanda, guna mendapatkan dokumen sejarah budaya Palembang.

Setelah mengundurkan diri sebagai pengusaha, Djohan mulai menerbitkan banyak buku, artikel, esai, mengenai sejarah dan budaya Palembang. Bersamaan dengan itu, pelacakan sejarah atau bukti-bukti baru mengenai sejarah Palembang dan Sumatra Selatan terus diburu mantan Ketua Dewan Kesenian Sumatra Selatan ini.
Buah dari totalitasnya ini Djohan Hanafiah mendapat penghargaan Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden RI tahun 2004. Penghargaan juga datang dari Malaysia yakni 3rd Malay and Islamic World Convention di Melaka 2002, oleh Dr.M. Mahatir, Prime Minister Malaysia, serta sejumlah penghargaan lainnya.
Dapat dikatakan pelacakan kembali sejarah Palembang yang mulai marak tahun 1980-an akhir, semua bermula dari pembacaan atas buku atau artikel sejarah dan budaya yang ditulis Djohan Hanafiah.

Bapak Sejarah dan Budaya Palembang
ATAS perjuangannya itu, meskipun tidak berlatar belakang pendidikan sejarah dan budaya, buat sebagian besar wong Palembang Djohan Hanafiah adalah “bapak penggali sejarah dan budaya Palembang”.
Berbagai seminar dan diskusi, baik lokal, nasional, maupun international dihadiri Djohan Hanafiah. Pemikiran atau informasi sejarah yang diungkapkannya membuat sejumlah intelektual, tokoh masyarakat, maupun pekerja seni di Palembang, terinspirasi menggali dan memperkenalkan kebudayaan Palembang.
Misalnya lahirnya organisasi Kerukunan Keluarga Palembang (KKP) tahun 1997, sebuah organisasi yang menggali seni, adat-istiadat Palembang. Termasuk pula lahirnya organisasi Himpunan Zuriat Kesultanan Palembang Darussalam yang dipimpin Iskandar dengan gelar Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin.
Lalu, mulai muncul mahasiswa di Palembang yang membuat skripsi mengenai sejarah Palembang, termasuk lahirnya sejumlah doctor yang mengupas sejarah dan budaya Palembang. Sejumlah karya seni pun lahir, yang beranjak dari kebudayaan Palembang, baik sastra, teater, musik, maupun seni lainnya.
Pandangan Djohan Hanafiah mengenai sejarah cukup menarik. “Sejarah harus ditulis apa adanya. Sejarah yang jelek secara moral juga harus ditulis, tidak hanya yang baik-baik. Ini penting, sebab ini akan menentukan sejarah selanjutnya. Sejarah di Indonesia banyak ditulis yang baik-baik saja, sehingga sering berbenturan dengan realitas hari ini. Dampaknya orang ragu menjadikannya sebagai pijakan buat menyusun sejarah ke depan,” katanya.


Bermula dari Perang
BUKU pertama yang ditulis bapak dari Revi Vereyanthi, Resi Stantiawati, Reli Everyanti, Mohamad Iksan, yakni mengenai sejarah peperangan antara VOC dengan Palembang pada 1819-1821. Judulnya “Perang Palembang 1819-1821” yang diterbitkan Pariwisata Jasa Utama tahun 1986.

“Saya menulis soal sejarah perang ini, sebab hanya perang itu yang terus membangun rasa nasionalisme wong Palembang,” kata Djohan Hanafiah.

Buku ini mendapat respon cukup bagus dari masyarakat, terutama kalangan akademisi dan pekerja budaya di Palembang. Hal ini terbukti dari sejumlah diskusi mengenai buku tersebut.

Setahun kemudian, 1987, Djohan Hanafiah menulis buku mengenai sejarah pergolakan di Palembang Lamo atau di Kuto Gawang. Judul bukunya, “Kuto Gawang: Pergolakan Politik dalam Kesultanan Palembang Darussalam” yang juga diterbitkan Pariwisata Jasa Utama. “Dari buku ini saya ingin melacak dari awal soal Kesultanan Palembang Darussalam,” katanya.

Masa produktif Djohan Hanafiah tidak berhenti. Tahun berikutnya dia menulis “Masjid Agung Palembang, Sejarah dan Masa Depannya” yang diterbitkanMasagung Jakarta.

Tahun 1989 ada tiga buku Djohan Hanafiah yang diterbitkan. Yakni “82 Tahun Pemerintah Kota Palembang” dan “Palembang Zaman Bari, Citra Palembang Tempo Doeloe”, yang diterbitkan Humas Pemda Kotamadya Palembang. Lalu buku “Kuto Besak, Upaya Kesultanan Palembang Menegakkan Kemerdekaan” yang diterbitkan Masagung – Jakarta.

Setelah itu Djohan Hanafiah melakukan pelacakan sejarah yang baru. Dia memburu sejumlah data, baik di Palembang, Belanda, maupun daerah lain di nusantara. Dia pun melakukan sejumlah diskusi dengan arkeolog, penliti sejarah, dan para pekerja budaya lainnya.

Tahun 1995, bukunya berjudul “Melayu-Jawa, Citra Budaya dan Sejarah Palembang” diterbitkan Rajagrafindo Persada Jakarta. Buku ini lebih menyoroti soal identitas budaya wong Palembang, yang biasa disebut “wong buntung”, yakni masyarakat yang tidak memiliki akar budaya yang jelas. Disebut Melayu bukan, disebut Jawa juga bukan. “Buku merupakan cermin kegelisahan saya sejak remaja mengenai identitas wong Palembang. Ya, identitas wong Palembang itu yakni Melayu-Jawa,” katanya.

Dari buku inil Djohan Hanafiah mendapat pengakuan sebagai budayawan dari publik di Palembang, dan kemudian meluas secara nasional maupun international. Djohan dinilai telah mampu merumuskan identitas wong atau masyarakat Palembang yang sebelumnya seakan tidak memiliki identitas atau “bunting”.

Tahun berikutnya, 1996, Pemda Sumatra Selatan menerbitkan buku Djohan Hanafiah mengenai “Sejarah Perkembangan Pemerintahan di Sumatera Selatan”.

Selanjutnya “Sejarah Perekembangan Pemerintahan Kotamadya Daerah Tk II Palembang” (Pemerintah Kotamadya Daerah Tk.II Palembang – 1998.), “Perang Palembang Melawan VOC” (Millenium Publisher Jakarta(cet. Ke 2) – 2002.), “Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Kota Palembang” (Pemda Kota Palembang – 2001.), “Perkembangan Kota Palembang dari Wanua Sriwijaya menuju Palembang Modern”
Karya bersama Bambang Budi Utomo & Prof.Dr.Hasan Muarif Ambari (Pemda Kota Palembang – Dinas Pariwisata dan Kebudayaan – 2005.), “Sejarah Keraton-keraton Palembang – Kuto Gawang” (Pemerintah Kota Palembang – Dinas Pariwisata & Kebudayaan - 2005.), “Dicari Walikota yang Memenuhi Syarat” (Kerukunan Keluarga Palembang – 2005.), “Perkembangan Palembang dari Wanua sehingga kota Modern” (Pemda Kota Palembang – 2006), “Keraton-Keraton Kota Palembang – Kuto Gawang” (Pemda Kota Palembang 2006).

Selain itu Djohan Hanafiah juga menjadi editor sejumlah buku, seperti “Pasemah Sindang Merdika 1821-1866 (Pustaka Asri, Jakarta -1999), “Sumatera Selatan Melawan Penjajah Abad ke 19, Catatan Perang Pasemah 1866” (Millenium Publisher, Jakara – 2000),
”Kesan-Kesan Dalam Kehidupan dan Berkarya H.M.ALI AMIN, Pengalaman Pegawai Tiga Zaman” (Pemda Propinsi Sumsel, Bengkulu dan Pemda Kota Palembang 1999).

Djohan Hanafiah juga menjadi kontributor sejumlah buku, misalnya artikel berjudul “Sriwijaya di antara Mitos, Legenda dan Sejarah” yang dimuat dalam buku “Sriwijaya dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah” (Pemerintah Daerah Propinsi Tk.I Sumatera Selatan – 1993.), lalu artikel “Palembang Masa Pasca Sriwijaya” yang ditulis bersama Bambang Budi Utomo di dalam buku “Sriwijaya dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah”. (Pemerintah Daerah tk.I Propinsi Sumatera Selatan – 1993.).
Artikel “Palembang: Aspek Sejarah dan Budaya” di dalam buku “Musi Riverside Tourisme Development” (Penerbit ITB – Bandung, 1999.). Artikel “Pembangunan Sumbagsel: Pandangan Masa Depan dengan Refleksi Saat Ini dan Masa Lampau” di dalam buku “Untukmu Negeriku: Sumbagsel Membangun dan Pengabdian Kodam II/Sriwijaya” (Penerbit Universitas Sriwijaya – Palembang 1998.). Artikel “Pulau Berhala, Orang Kaya Hitam dan Si Gunjai: Suatu Mitos Ideologi dan Politik Jambi” dalam buku “Seminar Melayu Kuno Jambi, 7-8 Desember 1992” (Penerbit Pemda Tk.I Propinsi Jambi – 1992.). Artikel “Perjuangkan, Penuhi dan Isilah” dalam buku buku “20 Tahun HIPMI” (HIPMI Jakarta 1992.).
Selanjutnya artikel “Kebudayaan Daerah Sumatera Selatan dalam Kehidupan Masyarakat Pendukungnya” dalam buku “Kongres Kebudayaan 1991, Laporan Penyelenggaraan, Jakarta 29 Oktober – 3 November 1991” (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1992/1993.). Artikel “Kebangkitan Rumpun Melayu, Melalui Upaya Kerjaama Budaya dan Pariwisata” pada buku “Prosiding Lokakarya Dunia Melayu Dunia Islam, Kesatuan dan Perpaduan, Palembang 20-23 Mei 2001.” (Penerbit Unsri Palembang.).
Artikel “Potensi Budaya di Sumatera Selatan dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah” di dalam buku “Sejarah dan Budaya Masyarakat Sumatera Selatan” (Penerbit Universitas Sriwijaya 2001.). Kemudian artikel “Chengho, Pelayarannya ke Nusantara” (PITI dan Dewan Kesenian 2005), dan artikel “Kesenian di Sumatera Selatan” di dalam buku “Direktori Kesenian Sumatera Selatan” (Penerbit Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Prop. Sumatera Selatan 2006.)

Sementara buku yang diterbitkan pihak luar atau asing, buku “Guguk, Lembaga Sosial Ekonomi di Kota Palembang Abad 18 dan 19 dalam Jambatan “, Tijdschrift voor de Geschiedenis van Indonesie, jaargang 7, nummer 2. Amsterdam, 1989.
”Tari Zapin Nusantara: Sejarah Perkembangannya di Palembang dalam buku Zapin Melayu di Nusantara (ed.DR.Moh.Anis MD Nor)” (Penerbit Yayasan Warisan Johor, Johor Malaysia – 2000.). “Adat Perkawinan Palembang dalam Buku Adat Melayu Serumpun, Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah” (ed. Prof.Dr.Abdul latif Abubakar). (Penerbit Kerajaan Negeri Melaka, Perbadanan Muzium Melaka, 2001.).
”Kesultanan Palembang Darsussalam dalam buku Kesultanan Melayu Nusantara” (Penerbit Museum Negeri Pahang, Kuantan 2005).

Sejak tahun 1988 hingga saat ini, sekitar 288 artikel sejarah dan budaya karya Djohan Hanafiah yang dipublikasikan di media massa dan jurnal.

Related Posts:

-